Apakah Allah adalah nama pribadi / diri?

Pdt.Budi Asali, M.Div.
Apakah Allah adalah nama pribadi / diri? Bukan, 'Allah' artinya adalah 'the God'.
Apakah Allah adalah nama pribadi / diri? - Pdt.Budi Asali, M.Div
gadget, education, insurance
Sekarang saya akan menanggapi pandangan mereka bahwa kata ‘Allah’ merupakan nama pribadi dari Tuhannya umat Islam.

Prolog:

Kata Allah bukan merupakan nama pribadi dari Tuhannya orang Islam!

Seperti sudah saya singgung di atas, kata ‘Allah’ berasal dari kata-kata Al dan Ilah, dan berarti ‘the God’ (=sang Allah). Jadi, ini jelas bukan merupakan suatu nama! Saya mendapatkan hal ini dari:

a. Bambang Noorsena.

Dan Bambang Noorsena juga mengatakan bahwa dalam kalangan Islam memang ada 2 pandangan berkenaan dengan hal ini.

Bambang Noorsena: “Padahal, tidak semua umat Islam berpandangan seperti itu. Faktanya, ada umat Islam yang menganggap Allah itu ‘nama diri’, karena itu ghayr al-musytaq (tidak punya asal-usul dari kata lain), tetapi ada pula yang menganggapnya musytaq (berasal dari kata al-Ilah)”.

b. Seorang kyai Islam yang mengundang saya khotbah 3 x di tempatnya. Ia bernama Sumardi, mempunyai gelar S2 dalam Islam, dan mengaku bisa berbicara dalam bahasa Arab.

c. Seorang teman Islam saya yang mengaku bisa berbahasa Arab.

d. Sumber-sumber lain di bawah ini:

Encyclopedia Britannica 2007 (dengan topik ‘al-’):

“Arabic definite article, meaning ‘the.’ It often prefixes Arabic proper nouns, especially place-names; an example is Al-Jazirah (Arabic: ‘The Island’), the name of an interfluvial region in The Sudan” [=Kata sandang tertentu dalam bahasa Arab, berarti ‘the’ (=si / sang). Kata ini sering diletakkan di depan kata-kata benda bahasa Arab, khususnya nama-nama tempat; sebagai contoh adalah Al-Jazirah (bahasa Arab: ‘sang pulau’), nama dari suatu daerah antara sungai di Sudan].

Catatan: perhatikan bahwa kutipan di atas ini membicarakan kata bahasa Arab ‘al-’.

Dari kutipan di atas ini bisa kita lihat bahwa kata bahasa Arab ‘al-’ merupakan suatu definite article / kata sandang tertentu, dan karena itu dalam bahasa Inggris diterjemahkan ‘the’ (=si / sang).

Microsoft Encarta Reference Library 2003: “Allah, Arabic name of the supreme being. The term is a contraction of the Arabic al-llah, ‘the God.’ Both the idea and the word existed in pre-Islamic Arabian tradition, in which some evidence of a primitive monotheism can also be found. Although they recognized other, lesser gods, the pre-Islamic Arabs recognized Allah as the supreme God” (=Allah, nama / sebutan bahasa Arab untuk Tuhan / makhluk tertinggi. Istilah ini merupakan singkatan dari kata Arab Al-llah, ‘the God’. Baik gagasan maupun kata itu sudah ada dalam tradisi Arab sebelum Islam, dalam mana beberapa bukti dari suatu monotheisme yang primitif juga bisa ditemukan. Sekalipun mereka mengakui allah-allah / dewa-dewa lain yang lebih kecil, orang-orang Arab sebelum Islam mengakui Allah sebagai Allah yang tertinggi).

Catatan: saya harus tekankan berulang-ulang bahwa kata ‘name’ dalam bahasa Inggris tidak harus berarti ‘nama’, tetapi bisa berarti ‘sebutan’.

Microsoft Encarta Reference Library 2003 (related articles, definition of Allah): “The Arabic name for God, Allah, refers to the same God worshiped by Jews and Christians. Islam’s central teaching is that there is only one all-powerful, all-knowing God, and this God created the universe. ... The Arabic word ‘Allah’ means ‘the God,’ and this God is understood to be the God who brought the world into being and sustains it to its end. ... Before Islam, many Arabs believed in a supreme, all-powerful God responsible for creation; however, they also believed in lesser gods. With the coming of Islam, the Arab concept of God was purged of elements of polytheism and turned into a qualitatively different concept of uncompromising belief in one God, or monotheism” (=Sebutan bahasa Arab untuk untuk God, Allah, menunjuk kepada God / Allah yang sama yang disembah oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang kristen. Ajaran pokok Islam adalah bahwa hanya ada satu Allah yang maha kuasa dan maha tahu, dan Allah ini yang menciptakan alam semesta. ... Kata bahasa Arab ‘Allah’ artinya ‘the God’, dan Allah ini dimengerti sebagai Allah yang menciptakan dunia / alam semesta dan menopangnya sampai pada akhirnya. ... Sebelum Islam, banyak orang Arab percaya kepada suatu Allah yang tertinggi dan maha kuasa yang bertanggung-jawab untuk penciptaan; tetapi mereka juga mempercayai allah-allah / dewa-dewa yang lebih kecil. Dengan datangnya Islam, konsep orang Arab tentang Allah dimurnikan dari elemen-elemen polytheisme, dan dibelokkan pada konsep yang berbeda secara kwalitas tentang kepercayaan tanpa kompromi kepada satu Allah, atau monotheisme).

Microsoft Encarta Reference Library 2003 (‘Christian Arab’, ‘spread of’): “Allah is the Arabic word for ‘God.’” (=Allah adalah kata bahasa Arab untuk ‘God’).

Encyclopedia Britannica 2007 (dengan topik ‘Allah’):

“(Arabic: ‘God’), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, ‘the God.’ The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonym for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for ‘God’ and is used by Arab Christians as well as by Muslims” [=(bahasa Arab: ‘God’), satu-satunya God / Allah dalam agama Islam. Dari sudut ilmu asal kata, sebutan ‘Allah’ mungkin merupakan suatu singkatan dari kata bahasa Arab ‘al-Ilah’, ‘the God’. Asal usul sebutan itu bisa ditelusuri jejaknya sampai pada tulisan-tulisan Semitik dalam mana kata untuk ‘god’ adalah Il atau El, yang terakhir ini merupakan kata Perjanjian Lama yang sama untuk Yahweh. Allah adalah kata standard bahasa Arab untuk ‘God’ dan digunakan oleh orang-orang kristen Arab maupun oleh orang-orang Islam).

Wikipedia, the free encyclopedia (internet):

• “In Islam, Allah is the name of the nameless God” (=Dalam Islam, Allah adalah sebutan dari Allah yang tak bernama).

Catatan:

kutipan di atas ini menunjukkan secara jelas bahwa dalam bahasa Inggris kata ‘name’ bisa berarti ‘nama’ ataupun ‘sebutan’. Dalam kutipan di atas ini, jelas bahwa kata ‘name’ yang pertama harus diartikan sebagai ‘sebutan’, sedangkan kata ‘name’ yang kedua (yang digabungkan dengan kata ‘less’, sehingga menjadi ‘nameless’), harus diartikan sebagai ‘nama’.

Kata-kata ‘nameless God’ (=Allah yang tidak bernama) jelas menunjukkan bahwa Encyclopedia ini menganggap bahwa ‘Allah’ bukanlah nama dari Tuhannya orang Islam.

• “Allah ... is the standard Arabic word for ‘God’. While the term is best known in the West for its use by Muslims as a reference to God, it is used by Arabic-speakers of all Abrahamic faiths, including Christians and Jews, in reference to ‘God’” (=Allah ... adalah kata standard bahasa Arab untuk ‘God’. Sementara istilah ini di Barat dikenal karena penggunaannya oleh orang-orang Islam berhubungan dengan God / Allah, kata ini digunakan oleh orang-orang yang berbicara dalam bahasa Arab dari semua iman Abrahamik, termasuk Kristen dan Yahudi, berhubungan dengan ‘God’).

• “In Islam, Allah is the supreme and all-comprehensive divine name. All other divine names are believed to refer back to Allah. Allah is unique, the only God, transcendent creator of the universe and omnipotent. Arab Christians today, having no other word for ‘God’ than ‘Allah’, use terms such as Allāh al-ab to mean ‘God the father’” [=Dalam Islam, Allah adalah sebutan ilahi yang tertinggi dan mencakup segala sesuatu. Semua sebutan ilahi yang lain dipercaya menunjuk kembali kepada Allah. Allah itu unik, satu-satunya God / Allah, pencipta alam semesta yang transenden (melampaui pengetahuan / terpisah dari materi), dan maha kuasa. Orang-orang kristen Arab sekarang tidak mempunyai kata lain untuk ‘God’ selain ‘Allah’, menggunakan istilah-istilah seperti Allah al-ab untuk memaksudkan ‘God the Father / Allah Bapa’].

• “Arabic-speakers of all Abrahamic faiths, including Christians and Jews, use the word ‘Allah’ to mean ‘God’. The Christian Arabs of today have no other word for ‘God’ than ‘Allah’. Arab Christians for example use terms Allāh al-ab meaning ‘God the father’, Allāh al-ibn mean ‘God the son’, and Allāh al-rūh al qudus meaning ‘God the Holy Spirit’” (=Orang-orang yang berbicara dalam bahasa Arab DARI SEMUA IMAN Abrahamik, termasuk orang Kristen dan orang Yahudi, mengunakan kata ‘Allah’ untuk memaksudkan ‘God’. Orang-orang kristen Arab jaman sekarang tidak mempunyai kata lain untuk ‘God’ selain ‘Allah’. Sebagai contoh, orang-orang kristen Arab menggunakan istilah-istilah Allah al-ab yang berarti ‘God the Father / Allah Bapa’, Allah al-ibn berarti ‘God the Son / Allah Anak’, dan Allah al-ruh al qudus yang berarti ‘God the Holy Spirit / Allah Roh Kudus’).

Catatan: dalam bahasa Indonesia juga tidak ada kata lain selain ‘Allah’ untuk menterjemahkan kata ‘God’. Seringkali kata ‘God’ diterjemahkan ‘Tuhan’, tetapi saya berpendapat itu salah, karena kata ‘Tuhan’ merupakan terjemahan dari kata ‘Lord’, bukan dari kata ‘God’.

W. E. Vine (OT): “’elah, ‘god.’ This Aramaic word is the equivalent of the Hebrew ’eloah. It is a general term for ‘God’ in the Aramaic passages of the Old Testament, and it is a cognate form of the word ’allah, the designation of deity used by the Arabs” (=ELAH, ‘god’ / ‘allah’. Kata bahasa Aram ini sama artinya dengan kata bahasa Ibrani ELOAH. Ini merupakan istilah yang umum untuk ‘God’ / ‘Allah’ dalam text-text Perjanjian Lama bahasa Aram, dan ini merupakan bentuk yang berhubungan / sama asal usulnya dengan kata ‘ALLAH’, kata yang digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjuk pada Allah).

The International Standard Bible Encyclopedia (dengan topik ‘God, names of’): “'El: In the group of Semitic languages, the most common word for Deity is El ('el), represented by the Babylonian ilu and the Arabic 'Allah” (=EL: dalam kelompok bahasa-bahasa Semitik, kata yang paling umum untuk Allah adalah EL, diwakili oleh kata Babilonia ILU dan kata Arab ‘Allah’).

A. Heuken SJ: “Kata ‘Allah’ merupakan perpaduan dua kata Arab: ‘al’ dan ‘ilah’, artinya ‘the God’ atau Yang (Maha)kuasa. Kata Semit ‘ilah’ sama arti dan akarnya dengan kata Ibrani ‘el’, yang berarti ‘yang kuat’, ‘yang berkuasa’ dan menjadi sebutan untuk ‘Tuhan’” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88.

Sir Hamilton A. R. Gibb: “Kata Arab ‘Allah’ adalah bentuk singkat dari al-ilah” - ‘Islam Dalam Lintasan Sedjarah’, hal 50.

'Allah' tak bisa dibuat jadi jamak?

Argumentasi lain untuk mengatakan bahwa kata ‘Allah’ merupakan nama pribadi, yaitu: dalam Islam, kata ‘Allah’ itu tidak bisa dibuat menjadi bentuk jamak.

Teguh Hindarto: “Sebagai bukti bahwa ALLAH itu nama dan bukan gelar, terbukti bahwa ALLAH tidak dapat dibuat jamak. ilah bentuk jamaknya adalah alihah. Eloah bentuk jamaknya Elohim. Apakah bentuk jamak dari ALLAH?? Demikian pula YAHWEH sebagai nama diri tidak dapat dibuat jamak”.

Teguh Hindarto: “Untuk membedakan nama diri dan nama umum adalah dengan memperhatikan dalil, Nama umum, dapat dibuat jamak. Contoh; Ilah menjadi Alihah, Eloah menjadi Elohim, God menjadi God’s. ... Sedangkan nama diri, tidak dapat dibuat jamak”.

Catatan: kata ‘God’s’ itu pasti salah; seharusnya adalah ‘Gods’. Entah ini sekedar salah tulis, atau orang ini memang tak becus bahasa Inggris.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Bahwa kata ‘Allah’ tidak bisa dibuat jamak, bukanlah merupakan suatu bukti bahwa itu adalah sebuah nama pribadi. Mungkin karena mereka (orang Islam) mempercayai monotheisme mutlak, maka mereka tidak memberikan bentuk jamak itu kata ‘Allah’ itu.

Bambang Noorsena: “Memang, Sabili dalam salah satu terbitannya pernah menguraikan bahwa secara etimologis, kata Allah yang terdiri dari huruf alif, lam, lam dan ha' dengan tasydid sebagai tanda idgham lam pertama pada lam kedua) adalah ghairu musytaq (tidak ada asal katanya dan bukan pecahan dari kata lain). Karena itu, kata ini tidak bisa diubah menjadi bentuk tatsniyah (ganda) dan jama’ (plural). Demikian pula kata ini tidak dapat dijadikan sebagai mudhaf. Jacob Sulistiono (maksudnya ‘Yakub Sulistyo’) mengutip ini, saya yakin ia sendiri tidak mengerti apa itu bentuk mutsanah, jama’ atau mudhaf dalam bahasa Arab. Harus saya jelaskan sekali lagi, pandangan Sabili sama sekali tidak bisa dianggap representatif mewakili Islam. Banyak ulama Islam terkemuka yang berpandangan sebaliknya. Contohnya, kita bisa membaca kitab yang sangat terkenal di dunia Arab, al-Mu’jam al-Mufahras, yang menempatkan kata Allah tersebut di bawah heading (judul): hamzah, lam, haa ( ‘-l-h). Mengapa? Karena Al- pada Allah adalah hamzah wasl, sehingga Al- bisa hilang dalam kata: wallahi, bi-lahi, lil-lahi, dan sebagainya. Misalnya, pada kalimat Alhamdu lil-lah (segala puji bagi Allah), lil-lahi ta’ala (karena Allah Yang Maha Tinggi), kata sandang Al- di depan Allah juga dihilangkan. Sedangkan kata Allah tidak bisa dijumpai dalam bentuk ganda dan jamak, secara historis dibuktikan karena kata sandang al- yang mendahului kata ilah, muncul untuk menegaskan: ilah itu, yang sudah mengandung makna pengkhususan. Maksudnya, bisa berarti Dia adalah ilah yang paling besar, sedangkan ilah-ilah lain berada di bawahnya, seperti dianut kaum Mekkah pra-Islam, seiring dengan pergeseran dari paham politeisme menuju henoteisme. Sebaliknya, bisa juga berarti ‘ilah satu-satunya, yang tidak ada ilah selain-Nya’. Makna kedua ini, antara lain diberikan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, kaum Hanif pra-Islam di wilayah Arab untuk menegaskan Keesaan-Nya. Tradisi monoteisme inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Islam. Selanjutnya, kata Allah memang tidak dapat dijadikan mudhaf, tetapi itu tidak berarti bahwa Allah itu nama diri. Sebab bukan hanya ‘nama diri’ yang tidak bisa dijadikan mudhaf, tetapi setiap bentuk ma’rifah juga tidak bisa dijadikan mudhaf. Misalnya, kita berkata: Baitu al-Kabiiri (Rumah yang besar itu). Kata baitu dalam kalimat ini adalah ‘mudhaf’, sedangkan al-kabiiri adalah ‘mudhaf ilaih’. Tetapi kalau kita tambahkan al- sebelum bait, misalnya: al-baitu kabiirun (Rumah itu besar). Jadi, maknanya berbeda. Mengapa? Karena al-bait disini menjadi mubtada’ (subyek), bukan mudhaf lagi, sedangkan kabiirun adalah khabar (predikat)”.

Catatan: henotheisme adalah kepercayaan terhadap satu Allah tanpa menyangkal adanya allah-allah lain.

Terus terang, ketidak-mengertian saya tentang bahasa Arab menyebabkan saya tidak bisa mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Bambang Noorsena di atas, tetapi jelas ia mengatakan bahwa:

1. Dalam dunia Islam ada 2 pandangan. Sabili mengatakan bahwa kata ‘Allah’ tak bisa dibuat menjadi jamak dan itu menunjukkan bahwa kata itu tidak berasal dari kata yang lain / bukan pecahan dari kata yang lain. Tetapi Bambang Noorsena melanjutkan dengan mengatakan bahwa ‘pandangan Sabili sama sekali tidak bisa dianggap representatif mewakili Islam. Banyak ulama Islam terkemuka yang berpandangan sebaliknya’.

Dalam kata-katanya di bagian lain, Bambang Noorsena berkata sebagai berikut:

“Pdt. Jacob Sulistiono (maksudnya ‘Yakub Sulistyo’) mengutip majalah Islam Sabili, yang memuat tulisan seorang Muslim yang menganggap bahwa Allah itu tidak bisa diterjemahkan, tetapi itu tidak mewakili pendapat seluruh umat Islam di dunia. Bahkan di kalangan Islam sendiri, Sabili sering dianggap mewakili kelompok Islam garis keras, setali tiga uang dengan ‘kaum penentang Allah’, minimal dalam pandangan teologisnya yang sama-sama ‘hitam putih’ itu”.

2. Kata ‘Allah’ tak bisa dibuat jamak karena adanya kata sandang tertentu yang sudah terkandung dalam kata ‘Allah’ tersebut, yang sudah mengandung makna pengkhususan. Juga karena Allah memang dianggap sebagai cuma satu.

3. Ia juga mengatakan bahwa kata ‘Allah’ itu tak bisa dijadikan mudhaf / jamak, tak berarti itu adalah nama diri, karena bukan hanya nama diri yang tidak bisa dijadikan jamak / mudhaf.

Sekarang saya ingin tunjukkan bahwa penjelasan Bambang Noorsena ini ditanggapi sebagai berikut oleh Kristian Sugiyarto.

Kristian Sugiyarto: “Ini penjelasan sangat bagus, mudah-mudahan semua pemahaman Islam demikian juga; namun kami menginginkan terjemahan Alkitab dari Ibrani aslinya ke dalam bahasa Indonesia, dengan menghindari title (=gelar) yang pernah dipakai sebagai title berhala bagi Nama Yahweh”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Kelihatannya Kristian Sugiyarto tidak bisa membantah kata-kata Bambang Noorsena ini, dan bahkan menganggapnya ‘sangat bagus’. Tetapi anehnya, ia tetap berkeras untuk tidak menggunakan kata ‘Allah’ tersebut. Saya tidak keberatan kalau Kristian Sugiyarto mau tetap membuang kata ‘Allah’ bagi dirinya sendiri. Tetapi yang ia lakukan adalah mengharuskan orang-orang kristen lain juga melakukan hal ini, padahal argumentasi mereka telah dipatahkan oleh Bambang Noorsena! Ini adalah tindakan memutlakkan apa yang tidak mutlak, mengharuskan apa yang tidak harus. Dengan kata lain, ia membuat hukum sendiri, tanpa dasar yang jelas. Dia kira dia siapa?

b. Perhatikan kata-kata yang saya garis-bawahi dari kata-kata Kristian Sugiyarto di atas. Apakah kata-kata ‘ke dalam bahasa Indonesia’ itu cocok dengan terjemahan yang dilakukan ILT yang lalu mengubah kata ‘Allah’ menjadi ‘Elohim’?

c. Sekarang perhatikan bagian kata-kata Kristian Sugiyarto yang saya beri garis bawah ganda. Bukankah pembicaraan di sini adalah berkenaan dengan kata ‘Allah’ yang mereka anggap sebagai nama Tuhannya orang Islam? Mengapa tahu-tahu Kristian Sugiyarto pindah / lari ke kata ‘Allah’ sebagai nama berhala? Ini lari dari topik perdebatan! Kalah argumentasi, lalu lari ke pokok lain, merupakan sesuatu yang umum bagi orang yang tidak fair dalam berdebat!

Sebelum agama Islam muncul, orang-orang Kristen Arab sudah lebih dulu menggunakan kata ‘Allah’ ini.

Bambang Noorsena: “istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari lingkungan Kristen”.

Catatan: kata ‘inskripsi’, dalam bahasa Inggris ‘inscription’, artinya adalah ‘prasasti’.

A. Heuken SJ: “Alkitab, Terjemahan Arab. Sebelum kebangkitan Islam, agama Kristen berdiri kokoh di beberapa tempat di Jazirah Arab, khususnya di bagian baratnya dan di Yaman. Sejak abad ke 2 bagian-bagian dari Kitab Suci sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk digunakan sebagai bacaan dalam ibadat” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 87.

Catatan: Buku ini dari perpustakaan STRIS.

A. Heuken SJ: “Mengingat sejarah terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Arab, peraturan beberapa negara bagian - Malaysia, yang melarang orang Kristen menggunakan kata-kata Arab seperti nabi, Allah ... adalah tidak adil. Sebab kata-kata itu sudah digunakan sebelum zaman nabi Muhammad oleh orang Kristen bangsa Arab” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88.

A. Heuken SJ: “Sebelum masa Muhammad, kata ‘Allah’ sudah dipakai dalam bahasa Arab untuk Pencipta alam semesta yang terlalu jauh atau tinggi untuk disembah atau dimintai perhatian. Orang Kristen keturunan Arab pada waktu itupun sudah memakai sebutan ‘Allah’ untuk Tuhan” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88-89.

Sebagai tambahan berkenaan dengan larangan bagi orang Kristen untuk menggunakan kata ‘Allah’ di Malaysia, di sini saya berikan kutipan dari koran Jawa Pos.

Berita dari JAWA POS, Selasa tanggal 6 Mei 2008, hal 6, kolom 1-2:

“Menang Gugatan Kata ‘Allah’. Kuala Lumpur - Surat kabar Katolik Roma di Malaysia The Herald memenangkan hak menggunakan kata ‘Allah’ dalam artikel mereka. Sidang yang diadakan kemarin (5/5) itu merupakan upaya mereka sebelum menggugat pemerintah yang melarang agama lain selain Islam menggunakan kata ‘Allah’. Menurut mereka, hal tersebut sah-sah saja. Sebab, ‘Allah’ merupakan sinonim dari ‘Tuhan’. Hakim Lau Bee Lan yang memimpin sidang memutuskan bahwa larangan pemerintah itu tidak pantas. Hakim pun mengizinkan media tersebut menggugat pemerintah atas larangan itu di pengadilan. Sidang tersebut merupakan buntut dari pernyataan pemerintah yang melarang media itu menggunakan kata ‘Allah’ dalam edisi bahasa Melayu mereka. Menurut pemerintah, kata tersebut hanya layak digunakan orang Islam. Pemerintah mengeluarkan larangan tersebut untuk mencegah timbulnya kebingungan pada umat muslim. Bahkan, pemerintah mengancam akan mencabut izin terbit media yang membangkang. The Herald menyatakan bahwa kata itu bukan semata hak eksklusif bagi muslim. Saat ini sirkulasi media tersebut mencapai 850 ribu. Surat kabar itu menampilkan artikel dalam empat bahasa, yakni Inggris, Mandarin, Tamil, dan Melayu”.

Saya kira hakim itu memutuskan pasti tidak dengan sembarangan. Hampir bisa dipastikan bahwa fakta sejarah, yang menunjukkan bahwa sebelum Islam ada, kata ‘Allah’ sudah digunakan oleh orang-orang Kristen Arab, menjadi pertimbangannya untuk secara benar / adil / tepat memenangkan gugatan surat kabar Katolik itu.

Catatan: memang belakangan Malaysia membalikkan keputusan pengadilan itu dan memenangkan pihak Islam yg melarang non Islam menggunakan kata 'Allah'. Tetapi ini jelas merupakan suatu penindasan terhadp keadilan dan kebenaran!

Saya berpendapat bahwa fakta sejarah ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena kata ‘Allah’ sudah lebih dulu digunakan oleh orang-orang kristen Arab sebelum Islam ada, maka menurut saya adalah sangat tolol dan tidak masuk akal untuk membentuk suatu ajaran tentang boleh tidaknya menggunakan kata ‘Allah’ berdasarkan ajaran dari Islam / Al-Quran!

Dalam Alkitab Kristen bahasa Arab, juga digunakan kata ‘Allah’ sebagai terjemahan dari kata ‘God’.

Kristian Sugiyarto: “Terjemahan Alkitab Ibrani-Arab bukanlah standar ‘kebenaran’; barangkali kristen-Arablah yang memaksakan demikian, maksud saya kata Allah (Arab) =Elohim (ibrani) itu hanya berlaku bagi kristen-Arab, sementara itu kaum muslim-Arab belum tentu setuju pemahaman bahwa Allah bukan nama diri, atau karena terpengaruh agama suku karena nama Allah sudah ada sebelum Kristen masuk di Arab. Lihat Kamus English-English Hornby misalnya, Allah =name of God among Muslims, and all faiths in Arabs”.

Dalam bagian lain, Kristian Sugiyarto menterjemahkan kata-kata itu yang ia kutip dari kamus Hornby itu sebagai berikut: “kata Allah adalah nama diri Tuhan Islam dan semua kepercayaan di Arab”.

Catatan: kalimat terakhir saya beri terjemahan dari saya: ‘Allah =nama / sebutan dari Allah di antara orang-orang Islam, dan semua iman / kepercayaan di Arab’.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Betul-betul konyol kalau Kristian Sugiyarto lebih peduli pada pandangan orang Islam dari pada apa yang ada dalam Alkitab Kristen bahasa Arab, padahal Alkitab Kristen bahasa Arab itu sudah ada lebih dulu dari pada Islam. Juga sama konyolnya kalau ia mengatakan orang Kristen Arab yang memaksakan demikian.

b. Juga perhatikan kata-kata ‘barangkali’ dan ‘belum tentu’ yang saya beri garis bawah. Kata-kata ini menunjukkan bahwa argumentasi yang ia gunakan ini hanya merupakan suatu dugaan / kemungkinan, yang ia sendiri tidak yakin akan kebenarannya.

c. Dengan kata-kata ini Kristian Sugiyarto mau membuktikan dengan menggunakan kamus Hornby tersebut bahwa kata ‘Allah’ merupakan sebuah nama. Tetapi dia kelihatannya tidak tahu (atau, pura-pura tidak tahu?) bahwa kata ‘name’ tidak harus diterjemahkan ‘nama’, tetapi bisa diterjemahkan ‘sebutan’, dan ia menterjemahkan ‘name’ menjadi ‘nama diri’. Padahal kalau ‘nama diri’, bahasa Inggrisnya adalah ‘personal name’.

Untuk menjawab ini sekali lagi saya tekankan bahwa kata ‘name’ dalam bahasa Inggris tidak selalu harus diterjemahkan ‘nama’, tetapi bisa diterjemahkan sebagai ‘sebutan’. Dan saya berpendapat, bahwa dalam kutipan dari kamus Hornby yang digunakan oleh Kristian Sugiyarto itu, kata ‘name’ harus diartikan ‘sebutan’.

d. Juga Kristian Sugiyarto kurang memperhatikan kata-kata ‘all faiths in Arab’ (=semua iman / kepercayaan di Arab) di bagian akhir dari kutipannya dari kamus Hornby itu. Kata-kata ini menunjukkan bahwa di Arab, bukan hanya Islam, tetapi juga agama Yahudi dan Kristen menggunakan kata ‘Allah’! Kalau bagi orang Islam kata ‘Allah’ itu merupakan suatu nama, maka konsistensinya, berdasarkan kamus itu, Kristian Sugiyarto juga harus menyimpulkan bahwa Kristen dan Yahudi juga mempercayai bahwa kata ‘Allah’ merupakan suatu nama. Tetapi ini jelas salah, bukan?


Perlu diketahui bahwa sebelum Islam ada, ada banyak orang Arab yang beragama Yahudi.

The International Standard Bible Encyclopedia (dengan topik ‘Arabia’): “Judaism: Before the time of Mohammad Judaism prevailed extensively in Arabia, especially in the Hijaz. It began no doubt with the migration of families due to disturbed political conditions at home. The conquest of Palestine by Nebuchadnezzar,

Penutup: Apakah Allah adalah nama pribadi / diri?

Perlu dipertanyakan, dengan kata apa orang-orang Arab yang beragama Yahudi ini menyebut kata ‘God’? Tidak bisa tidak, mereka pasti menggunakan kata ‘Allah’!

by the Seleucids, by the Romans under Pompey, Vespasian and finally Hadrian, drove many Jews to seek peace and safety in the deserts out of which their forefathers had come. Thither Paul also withdrew after his conversion (Gal 1:17). Two of these emigrant tribes, the Nadir and Koreiza, settled at Medina, first in independence, then as clients of the Aus and Khazraj. In the end they were harried and destroyed by Mohammad. The Jewish colony at Kheibar met the same fate. Several free Arab tribes also professed the Jewish faith, especially certain branches of Himyar and Kinda, both descendants of Kahtan, the former in southern, the latter in central Arabia. Judaism was introduced into the Yemen by one of the Tubbas, probably in the 3rd century AD, but it was not until the beginning of the 6th century that it made much headway” [=Yudaisme: Sebelum jaman Muhammad, Yudaisme tersebar secara sangat luas di Arab, khususnya di Hijaz. Tak diragukan bahwa hal itu dimulai dengan perpindahan keluarga-keluarga disebabkan kondisi politik yang terganggu di Palestina / Kanaan. Penaklukan Palestina oleh Nebukadnezar, oleh orang-orang Babilonia, oleh orang-orang Romawi di bawah Pompey, Vespasian dan akhirnya Hadrian, memaksa banyak orang Yahudi untuk mencari tempat yang damai dan aman di padang pasir, dari mana nenek moyang mereka datang. Kesana juga Paulus menarik diri setelah pertobatannya (Galatia 1:17). Dua dari suku-suku pendatang, suku Nadir dan Koreiza, menetap di Medina, mula-mula dalam kebebasan / kemerdekaan, tetapi lalu menjadi orang-orang yang tergantung pada orang-orang Aus dan Kheibar. Pada akhirnya mereka disiksa / dirampok dan dihancurkan oleh Muhammad. Koloni Yahudi di Kheibar mengalami nasib yang sama. Beberapa suku Arab bebas juga mengakui iman Yahudi, khususnya cabang-cabang tertentu dari Himyar dan Kindaq, keduanya keturunan dari Kahtan, yang lebih awal di Arab selatan, dan yang lebih akhir di Arab tengah. Yudaisme diperkenalkan di Yaman oleh satu dari orang-orang Tubba, mungkin pada abad ke 3 SM, tetapi baru pada abad 6 agama / gerakan itu mengalami banyak kemajuan].

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Next Post Previous Post