BENARKAH PERJANJIAN BARU DITULIS DALAM BAHASA IBRANI ?
Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
(Sebuah jawaban terhadap pandangan teologis Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani)
Kelompok Yahweisme tertentu untuk mendukung ajaran dan prakteknya mengklaim bahwa bahasa asli Perjanjian Baru bukanlah bahasa Yunani tetapi bahasa Ibrani.
Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA[2] dalam video youtobe (https://www.youtube.com/watch?v=IZ16diztngw) khotbahnya yang berjudul “Benarkah Tulisan Asli Perjanjian Baru Ditulis Dalam Bahasa Yunani?” yang disampaikan pada tanggal 27 Agustus 2017 dalam ibadah di Gereja Yakin Hidup Sukses (YHS) Palangka Raya menyatakan demikian, “Kalau saya berbicara tentang apakah benar tulisan asli Perjanjian Baru itu berbahasa Yunani, yang menjadi pertanyaan “apakah kaitannya dengan nama YAHWEH?’ Orang-orang yang anti nama YAHWEH mereka selalu mengatakan bahwa Kitab Suci asli Perjanjian Baru itu di dalam bahasa Yunani... kalau memang kitab Perjanjian Baru itu aslinya dalam bahasa Yunani seharusnya tidak boleh ada kesalahan. Kalau kitab asli saja salah berarti iman kita juga salah. .. karena itu mau tidak mau berarti mengacu kepada Brit Khadasha (Perjanjian Baru berbahasa Ibrani”.[3]
Menyimak video khobah Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA, walau penyampaiannya baik tetapi tidak benar secara teologis, akademis, ilmiah dan historis. Dalil beserta argumen-argumen yang diajukan hanya asumsi atau mungkin lebih tepat menyebutnya omong kosong. Ini doktor teologi barangkali otaknya di taruh di dengkul. Berulang-ulang menyatakan (seolah-olah membuktikan) bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani tetapi mengakui dari mulutnya sendiri (dalam video tersebut) bahwa ia tidak bisa membuktikan Perjanjian Baru itu ditulis dalam bahasa Ibrani.
Tentu saja ia tidak akan pernah bisa membuktikan karena memang Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani. Khotbah tersebut tidak lebih dari penyataan dari penyesat yang menuduh sesat banyak pakar dan ahli teologi yang telah diakui kepakarannya. Keinginan untuk membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dilakukan oleh Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA, merupakan usaha yang sia-sia, sekalipun dilakukannya sampai rambutnya memutih semuanya. Lebih konyol lagi, alasan yang dipakai atas musnahnya naskan asli Perjanjian Baru adalah peristiwa pembantaian umat Yahudi Jerman dibawah rezim Hitler di abad ke 19.
Pertanyaannya, jika memang naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Ibrani ikut terbakar pada peristiwa Holocaust (pembantaian besar-besar ras Yahudi) itu, mengapa selama sembilan belas abad tidak ada satupun salinan manuskripnya ? Menjadikan peristiwa Holocaust (peristiwa pembantaian besar-besar ras Yahudi), sebagai bukti musnahnya naskah asli Perjanjian Baru merupakan alasan yang konyol dan dicari-cari. Bahkan kebangkutran yang terjadi atas negara Yunani saat ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dipakai Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA untuk mendukung pendapatnya tersebut.
Tentu saja ia tidak akan pernah bisa membuktikan karena memang Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani. Khotbah tersebut tidak lebih dari penyataan dari penyesat yang menuduh sesat banyak pakar dan ahli teologi yang telah diakui kepakarannya. Keinginan untuk membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dilakukan oleh Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA, merupakan usaha yang sia-sia, sekalipun dilakukannya sampai rambutnya memutih semuanya. Lebih konyol lagi, alasan yang dipakai atas musnahnya naskan asli Perjanjian Baru adalah peristiwa pembantaian umat Yahudi Jerman dibawah rezim Hitler di abad ke 19.
Pertanyaannya, jika memang naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Ibrani ikut terbakar pada peristiwa Holocaust (pembantaian besar-besar ras Yahudi) itu, mengapa selama sembilan belas abad tidak ada satupun salinan manuskripnya ? Menjadikan peristiwa Holocaust (peristiwa pembantaian besar-besar ras Yahudi), sebagai bukti musnahnya naskah asli Perjanjian Baru merupakan alasan yang konyol dan dicari-cari. Bahkan kebangkutran yang terjadi atas negara Yunani saat ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dipakai Rev. Dr. Yakub Sulistyo S.Th.,MA untuk mendukung pendapatnya tersebut.
Berikut ini tanggapan saya terhadap pendapat Yahweisme, khususnya penyataan Yakub Sulistyo bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani bukan bahasa Yunani.
1. Salah satu cara yang ditempuh oleh kelompok Yahweisme untuk mendukung ajaran dan praktek mereka mewajibkan penggunaan nama YAHWEH adalah dengan membangun sebuah opini dikalangan Kristen bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Pendapat bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani ini mungkin merupakan satu-satunya senjata yang paling ampuh bagi mereka untuk mendukung pandangan mewajibkan penggunaan nama YAHWEH tersebut.
Hal ini terus menerus mereka tekankan dalam setiap kesempatan sebab memang Perjanjian Baru bahasa Yunani tidak menggunakan nama YAHWEH tetapi menggantinya dengan Kurios. Secara logis, apabila Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan tidak mempertahankan pemakaian nama YAHWEH maka mewajibkan pemakaian kata tersebut adalah suatu kekeliruan. Konsekukuensi logis ini tentu saja sangat dipahami oleh para penganut Yahweisme.
Karena itu membangun opini bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat mewajibkan penggunaan nama YAHWEH karena dalam Perjanjian Baru bahasa Ibrani tersebut ada tertulis nama YAHWEH. Ironisnya, Perjanjian Baru yang menjadi acuan mereka adalah Ha B’rit ha-Hadasah atau Brit Khadasha ! Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah ini diperlakukan mereka seakan-akan itu merupakan teks bahasa aslinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Mengapa? Karena faktanya, Brit Khadasha merupakan kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970.[4]
Lebih jauh lagi harus diperhatikan, bahwa penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ibrani yang paling awal dilakukan pada tahun 1385 Masehi.[5] Perjanjian Baru bahasa Ibrani baru dibuat baru abad 14 M oleh Shem Tov, seorang Rabbi Yahudi yang ingin menyerang ajaran Kristen (itupun hanya Injil Matius). Karena terjemahan Shem Tov terlalu banyak memasukkan tafsir dan bukan murni terjemahan ke dalam bahasa Ibrani, 200 tahun kemudian Du Tillet merevisi terjemahan Shem Tov di tahun 1555, dan hasil revisi inilah yang dikenal dengan injil Matius Du Tillet. Perjanjian Baru yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani yang lengkap baru dikerjakan pada abad 19 M.
Hal ini terus menerus mereka tekankan dalam setiap kesempatan sebab memang Perjanjian Baru bahasa Yunani tidak menggunakan nama YAHWEH tetapi menggantinya dengan Kurios. Secara logis, apabila Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan tidak mempertahankan pemakaian nama YAHWEH maka mewajibkan pemakaian kata tersebut adalah suatu kekeliruan. Konsekukuensi logis ini tentu saja sangat dipahami oleh para penganut Yahweisme.
Karena itu membangun opini bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat mewajibkan penggunaan nama YAHWEH karena dalam Perjanjian Baru bahasa Ibrani tersebut ada tertulis nama YAHWEH. Ironisnya, Perjanjian Baru yang menjadi acuan mereka adalah Ha B’rit ha-Hadasah atau Brit Khadasha ! Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah ini diperlakukan mereka seakan-akan itu merupakan teks bahasa aslinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Mengapa? Karena faktanya, Brit Khadasha merupakan kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970.[4]
Lebih jauh lagi harus diperhatikan, bahwa penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ibrani yang paling awal dilakukan pada tahun 1385 Masehi.[5] Perjanjian Baru bahasa Ibrani baru dibuat baru abad 14 M oleh Shem Tov, seorang Rabbi Yahudi yang ingin menyerang ajaran Kristen (itupun hanya Injil Matius). Karena terjemahan Shem Tov terlalu banyak memasukkan tafsir dan bukan murni terjemahan ke dalam bahasa Ibrani, 200 tahun kemudian Du Tillet merevisi terjemahan Shem Tov di tahun 1555, dan hasil revisi inilah yang dikenal dengan injil Matius Du Tillet. Perjanjian Baru yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani yang lengkap baru dikerjakan pada abad 19 M.
2. Jika pertanyaannya “bolehkah menggunakan nama YAHWEH?” maka jawabannya “ya”. Alasannya karena nama YAHWEH (TUHAN) adalah salah satu nama Allah dalam bahasa Ibrani yang disebutkan di dalam Alkitab. Sebutan lainnya adalah Elohim (Allah). Dalam Perjanjian Baru (bahasa Yunani) nama YAHWEH disebut dengan Kurios dan Elohim dengan Theos.
Carles C. Ryrie menjelaskan, “Banyak nama Allah di dalam Alkitab memberikan pernyataan tambahan tentang sifatNya. Ini bukan sekedar nama yang diberikan oleh orang, tetapi pada kebanyakan kasus di Alkitab, merupakan penggambaran Allah tentang diriNya sendiri. Nama-nama itu menyatakan aspek-aspek sifatNya.” [6]
Karena itu disini saya menegaskan bahwa saya tidak anti nama YAHWEH dan saya juga tidak melarang orang-orang menggunakan nama YAHWEH karena nama YAHWEH itu memang ada di dalam Alkitab yang diperkenalkan kepada Musa dan orang Israel pada saat itu. Tetapi jika pertanyaannya “haruskah menggunakan nama YAHWEH?” maka jawabannya “tidak diharuskan”.[7] Jadi pada dasarnya saya sepakat dengan kelompok Yahweisme bahwa orang Kristen boleh memakai nama YAHWEH, tetapi saya tidak sepakat bila penggunaan itu diwajibkan bagi umat Kristen masa kini karena memang Perjanjian Baru tidak memerintahkan, mewajibkan, ataupun mengindikasikan keharusan tersebut.
Justru jika ingin konsisten dengan Perjanjian Baru Baru maka nama yang digunakan adalah Kurios yang menunjuk pada YAHWEH. Jadi tuduhan “anti nama YAHWEH” seperti yang dilontarkan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA tersebut merupakan cacat logika yang disebut strawman. Cara seperti ini sama dengan membangun sendiri “lawan bayang” dan kemudian menyerangnya tanpa ampun, sambil berkata dengan angkuhnya “tidak Alkitabiah dan sesat”. Padahal tuduhan tersebut salah karena dibangun menurut pandangan yang salah, yaitu pandangannya sendiri. Hal seperti ini termasuk kategori penalaran cacat yang disebut “straw man”.[8] Sebuah kesalahan logika, dengan memutarbalikan fakta yang bertujuan melemahkan lawan dengan menciptakan argumen baru, suatu argumen yang dibangun sendiri dan yang mudah dipatahkan.
Karena itu disini saya menegaskan bahwa saya tidak anti nama YAHWEH dan saya juga tidak melarang orang-orang menggunakan nama YAHWEH karena nama YAHWEH itu memang ada di dalam Alkitab yang diperkenalkan kepada Musa dan orang Israel pada saat itu. Tetapi jika pertanyaannya “haruskah menggunakan nama YAHWEH?” maka jawabannya “tidak diharuskan”.[7] Jadi pada dasarnya saya sepakat dengan kelompok Yahweisme bahwa orang Kristen boleh memakai nama YAHWEH, tetapi saya tidak sepakat bila penggunaan itu diwajibkan bagi umat Kristen masa kini karena memang Perjanjian Baru tidak memerintahkan, mewajibkan, ataupun mengindikasikan keharusan tersebut.
Justru jika ingin konsisten dengan Perjanjian Baru Baru maka nama yang digunakan adalah Kurios yang menunjuk pada YAHWEH. Jadi tuduhan “anti nama YAHWEH” seperti yang dilontarkan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA tersebut merupakan cacat logika yang disebut strawman. Cara seperti ini sama dengan membangun sendiri “lawan bayang” dan kemudian menyerangnya tanpa ampun, sambil berkata dengan angkuhnya “tidak Alkitabiah dan sesat”. Padahal tuduhan tersebut salah karena dibangun menurut pandangan yang salah, yaitu pandangannya sendiri. Hal seperti ini termasuk kategori penalaran cacat yang disebut “straw man”.[8] Sebuah kesalahan logika, dengan memutarbalikan fakta yang bertujuan melemahkan lawan dengan menciptakan argumen baru, suatu argumen yang dibangun sendiri dan yang mudah dipatahkan.
3. Upaya untuk membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dilakukan oleh Yakub Sulistyo, merupakan usaha yang sia-sia. Karena memang memang Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani, tepatnya Yunani Koine. Para pakar teologi dan ahli Alkitab telah memberikan bukti-bukti akademis, ilmiah dan historis bahwa Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani. Untuk Perjanjian Baru bahasa Yunani ini buktinya sangat melimpah. Ada 5366 naskah untuk (manuskrip) yang beberapa diantaranya berasal dari abad ke 2 dan ke 3.[9]
Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani : J.I. Packer, Merril C. Tenney, William White Jr menjelaskan demikian, “Orang Yahudi memakai bahasa Aram dalam rumah mereka, bahasa Yunani di pasar, dan bahasa Latin dalam urusan mereka dengan orang Romawi. Orang Romawi memakai bahasa Latin dan Yunani, tetapi tidak memakai bahasa Ibrani dan Aram. .. Bahasa Yunani diketahui di seluruh daerah Laut Tengah.
Di banyak tempat, Bahasa Yunani lebih umum daripada bahasa Latin, bahkan disebuh provinsi seperti Mesir. Ada banyak orang Yahudi yang tinggal di daerah Yerusalem, yang tidak tahu bahasa Ibrani atau tidak dapat membacanya, jadi bagi mereka diterjemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta) adalah Kitab Suci. Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para penulisnya sering mengutip Septuaginta dengan cermat, bahkan ketika susunan kata dalam Septuaginta tidak cocok dengan teks bahasa Ibrani”.[10]
Jerry MacGregor dan Marie Prys menyatakan, “Sebagian besar Kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi sebagian kitab Daniel ditulis dalam bahasa Aram. Kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani Koine, meskipun kitab-kitab itu memuat frase-frase dalam bahasa Latin, Aram, dan Ibrani”.[11]
Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani : J.I. Packer, Merril C. Tenney, William White Jr menjelaskan demikian, “Orang Yahudi memakai bahasa Aram dalam rumah mereka, bahasa Yunani di pasar, dan bahasa Latin dalam urusan mereka dengan orang Romawi. Orang Romawi memakai bahasa Latin dan Yunani, tetapi tidak memakai bahasa Ibrani dan Aram. .. Bahasa Yunani diketahui di seluruh daerah Laut Tengah.
Di banyak tempat, Bahasa Yunani lebih umum daripada bahasa Latin, bahkan disebuh provinsi seperti Mesir. Ada banyak orang Yahudi yang tinggal di daerah Yerusalem, yang tidak tahu bahasa Ibrani atau tidak dapat membacanya, jadi bagi mereka diterjemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta) adalah Kitab Suci. Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para penulisnya sering mengutip Septuaginta dengan cermat, bahkan ketika susunan kata dalam Septuaginta tidak cocok dengan teks bahasa Ibrani”.[10]
Jerry MacGregor dan Marie Prys menyatakan, “Sebagian besar Kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi sebagian kitab Daniel ditulis dalam bahasa Aram. Kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani Koine, meskipun kitab-kitab itu memuat frase-frase dalam bahasa Latin, Aram, dan Ibrani”.[11]
Merril C. Tenney dalam bukunya New Testament Survey yang direvisi oleh Walter M. Dunnat menyatakan, “Bahasa Aram dan Yunani lebih banyak berperan di dalam sejarah gereja pada abad yang pertama daripada bahasa Latin dan Ibrani.
Konon beberapa catatan yang paling dulu dibuat mengenai ajaran Kristus ditulis dalam bahasa Aram, dan kenyataannya bahwa Perjanjian Baru secara utuh disebarluaskan hampir sejak awal dalam bahasa Yunani terlalu sulit untuk dibantah. Semua surat kepada jemaat dalam bahasa Yunani, dan kitab-kitab Injil serta Kisah Para Rasul hanya diketemukan dalam bahasa Yunani; meskipun terdapat catatan mengenai ajaran Kristus dalam bahasa Aram pada pertengahan abad yang pertama”.[12]
Konon beberapa catatan yang paling dulu dibuat mengenai ajaran Kristus ditulis dalam bahasa Aram, dan kenyataannya bahwa Perjanjian Baru secara utuh disebarluaskan hampir sejak awal dalam bahasa Yunani terlalu sulit untuk dibantah. Semua surat kepada jemaat dalam bahasa Yunani, dan kitab-kitab Injil serta Kisah Para Rasul hanya diketemukan dalam bahasa Yunani; meskipun terdapat catatan mengenai ajaran Kristus dalam bahasa Aram pada pertengahan abad yang pertama”.[12]
4. Alasan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani adalah karena pengaruh helenisasi pada masa itu. Helenisasi adalah istilah teknis untuk menggambarkan proses perubahan kultural yang terjadi sekitar abad ke-2 SM hingga pertengahan abad ke 1 M, dimana pengaruh kebudayaan Yunani (termasuk dalam hal cara hidup) sangat dominan.
Dominasi kebudayaan Yunani ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung pada Abad ke 3 SM. kita sudah mengetahui bahwa sejak abad ke 5 SM (zaman Ezra, Nehemia 8:9), bahasa Ibrani yang terdiri hanya huruf-huruf konsonan sudah tidak dimengerti oleh umumnya orang Yahudi, dan sebagai bahasa percakapan kemudian digantikan oleh bahasa Aram. [13] Alexander raja Yunani yang menguasai kawasan dari Yunani, Asyur, Media, Babilonia, sampai Mesir, menyebabkan pengaruh helenisasi menguasai Palestina, lebih-lebih dibawah wangsa Ptolomeus dan Seleucus helenisasi khususnya bahasa Yunani makin tertanam di Palestina sehingga kitab Tanakh Ibrani pun harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta di Aleksandria (abad ke 2 - 3 SM).[14]
Kita bisa membayangkan, setelah sekian lama orang Yahudi itu bergaul erat dengan kebudayaan dan cara hidup Yunani mengakibatkan mereka tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Sehingga Kitab Suci bahasa Ibrani (Tanakh, Perjanjian Lama) perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.[15] Jadi, pada masa itu sebagian umat Yahudi sudah tidak lagi bisa berbicara bahasa Ibrani kecuali mereka yang menjadi ahli kitab yang bertugas di Bait Allah dalam salin-menyalin Kitab Suci. Walau dapat dipastikan bahwa Yesus dan murid-muridNya yang tinggal di daerah Yudea-Samaria (daerah Palestina) berbahasa Aram (bukan bahasa Ibrani) sebagai bahasa ibu, namun tak bisa dipungkiri bahwa Yesus hidup pada zaman dan masyarakat yang sudah terpengaruh bahasa dan budaya Yunani, yang disebut masyarakat helenistik.[16]
Masyarakat helenistik terbentuk ketika Aleksander Agung menaklukkan Yunani dan sebagian besar wilayah mulai dari Mesir sampai ke India, dimana kemudian bangsa Yunani membawa keluar budaya serta bahasanya yang disebut helenisasi. Merril C. Tenney mengatakan, “Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi di pengadilan dan bahasa pergaulan sehari-hari, seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan di atas papirus, surat-surat cinta, tagihan, resep, mantera, esai, puisi, biografi, dan surat-surat dagang, semuanya tertulis dalam bahasa Yunani, bahkan tetap demikian hingga masa pendudukan Romawi. ... bahasa Aram menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa pergaulan di Palestina, dan Helenisme mendesak Yudaisme. “[17]
Jadi bahasa Aram sebagai bahasa ibu diiringi bahasa Yunani Koine digunakan oleh Yesus Kristus dan para Rasul dalam pemberitaan Injilnya, dan bukan Tenakh Ibrani melainkan Septuaginta Yunanilah yang digunakan oleh umat pada saat awal kekristenan. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip dari Septuaginta,[18] sisanya dari berbagai naskah Ibrani.
Dominasi kebudayaan Yunani ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung pada Abad ke 3 SM. kita sudah mengetahui bahwa sejak abad ke 5 SM (zaman Ezra, Nehemia 8:9), bahasa Ibrani yang terdiri hanya huruf-huruf konsonan sudah tidak dimengerti oleh umumnya orang Yahudi, dan sebagai bahasa percakapan kemudian digantikan oleh bahasa Aram. [13] Alexander raja Yunani yang menguasai kawasan dari Yunani, Asyur, Media, Babilonia, sampai Mesir, menyebabkan pengaruh helenisasi menguasai Palestina, lebih-lebih dibawah wangsa Ptolomeus dan Seleucus helenisasi khususnya bahasa Yunani makin tertanam di Palestina sehingga kitab Tanakh Ibrani pun harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta di Aleksandria (abad ke 2 - 3 SM).[14]
Kita bisa membayangkan, setelah sekian lama orang Yahudi itu bergaul erat dengan kebudayaan dan cara hidup Yunani mengakibatkan mereka tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Sehingga Kitab Suci bahasa Ibrani (Tanakh, Perjanjian Lama) perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.[15] Jadi, pada masa itu sebagian umat Yahudi sudah tidak lagi bisa berbicara bahasa Ibrani kecuali mereka yang menjadi ahli kitab yang bertugas di Bait Allah dalam salin-menyalin Kitab Suci. Walau dapat dipastikan bahwa Yesus dan murid-muridNya yang tinggal di daerah Yudea-Samaria (daerah Palestina) berbahasa Aram (bukan bahasa Ibrani) sebagai bahasa ibu, namun tak bisa dipungkiri bahwa Yesus hidup pada zaman dan masyarakat yang sudah terpengaruh bahasa dan budaya Yunani, yang disebut masyarakat helenistik.[16]
Masyarakat helenistik terbentuk ketika Aleksander Agung menaklukkan Yunani dan sebagian besar wilayah mulai dari Mesir sampai ke India, dimana kemudian bangsa Yunani membawa keluar budaya serta bahasanya yang disebut helenisasi. Merril C. Tenney mengatakan, “Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi di pengadilan dan bahasa pergaulan sehari-hari, seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan di atas papirus, surat-surat cinta, tagihan, resep, mantera, esai, puisi, biografi, dan surat-surat dagang, semuanya tertulis dalam bahasa Yunani, bahkan tetap demikian hingga masa pendudukan Romawi. ... bahasa Aram menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa pergaulan di Palestina, dan Helenisme mendesak Yudaisme. “[17]
Jadi bahasa Aram sebagai bahasa ibu diiringi bahasa Yunani Koine digunakan oleh Yesus Kristus dan para Rasul dalam pemberitaan Injilnya, dan bukan Tenakh Ibrani melainkan Septuaginta Yunanilah yang digunakan oleh umat pada saat awal kekristenan. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip dari Septuaginta,[18] sisanya dari berbagai naskah Ibrani.
Merril C. Tenney menuliskan, “Septuaginta ... Pada masa Kristus, kitab tersebut telah tersebar luas di antara para Perserakan di wilayah Timur Tengah dan menjadi Kitab Suci Jemaat Kristen yang mula-mula”. [19] Sebagai tambahan, Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septuaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septaguinta.
Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septuaginta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” [20] lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namunkanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”.[21]
Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septuaginta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” [20] lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namunkanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”.[21]
5. Berikut ini kronologi naskah-naskah penting Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani [22] :
(1) Manuskrip John Ryland (130 M) terdapat diperpustakaan John Ryland di Manchester, Inggris. Ini adalah fragmen Perjanjian Baru (Penggalan Injil Yohanes) berbahasa Yunani tertua yang di tulis di Mesir.
(2) Manuskrip Papyrus:
(1) Manuskrip John Ryland (130 M) terdapat diperpustakaan John Ryland di Manchester, Inggris. Ini adalah fragmen Perjanjian Baru (Penggalan Injil Yohanes) berbahasa Yunani tertua yang di tulis di Mesir.
(2) Manuskrip Papyrus:
(a) Bodmen Papyrus II (150-200 M) terdapat di Perpustakaan Kesusasteran Dunia Bodmer, berisi sebagian besar Injil Yohanes;
(b) Payrus Chester Beatty (200 M) terdapat di Musium Chester Beatty di Dublin dan sebagian dimiliki oleh Universitas Michigan.
Koleksi ini terdiri dari kodeks-kodeks papyrus, tiga diantaranya memuat bagian terbesar dari Perjanjian Baru. (3) Manuskrip Unicial: (a) Kodeks Vaticanus (325-350 M) terdapat di Museum Vatikan berisi hampir semua kitab Perjanjian Baru; (b) Kodeks Sinaiticus berisi semua Perjanjian Baru dan tertanggal 331 M; (c) Kodeks Alexandrinus (400 M) terdapat di Museum British, ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir dan memuat hampir seluruh Alkitab. (d) Kodeks Ephra-emi (400 an M) terdapat di Bibliotheque Nationale, Paris; (e) Kodeks Bezae (450 M) terdapat di perpustakaan Cambridge dan berisi Injil-Injil serta Kisah Para Rasul dalam Bahasa Yunani dan dalam bahasa Latin; (f) Kodeks Washingtonensis (450 M) besisri keempat kitab Injil; (g) Kodeks Claromontanus (500 M) berisi surat-surat Paulus yang merupakan naskah dwi bahasa).
Sedangkan Perjanjian Baru versi lainnya dalam bahasa Siria, Latin, dan Koptik sebagai berikut : (1) Versi Siria: Siria kuno (400 M, Peshitta Siria (150-250 M), Siria Palestina (400-450 M), Philoxenia (508 M), Siria Harkleim (616); (2) Versi Latin : (a) Latin Kuno (350-400 M), (b) Latin Kuno Afrika (400 M), Kodeks Corbiensis (400-500 M), Kodeks Vercellensis (300 M), Kodeks Palatinus (500 M), Latin Vulgatta (366-384 M); (3) Versi Koptik (Mesir): (a) Sahidic (300 M), (b) Bohairic ((400 M), (3) Mesir Pertengahan (400-500 M); (4) Versi lainnya: Armenia (sekitar 400 M) terjemahan dari Alkitab Yunani, Gothic (sekitar 400 M), Gergorian (sekitar 500 M), Ethiopia (sekitar 600 M) dan Nubian (sekitar 600 M).
Fakta historisnya, semua naskah (manuskrip) Perjanjian Baru yang lebih awal ini tidak satupun ditulis dalam bahasa Ibrani!. Bahkan Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dijadikan acuan oleh Yahweisme ternyata tidak pernah ada dalam sejarah. Sejak abad pertama hingga abad ke 14 M tidak ditemukan walau hanya sebuah manuskrip saja. Fakta ini sebaliknya mendukung bahwa Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine.
6. Perlu diketahui bahwa bahasa Yunani memiliki sejarah yang kaya dan panjang, mulai dari abad ke 13 SM sampai sekarang. Bentuk paling awal bahasa ini disebut Linear B (abad ke 13 SM). Bentuk bahasa Yunani yang digunakan para penulis, mulai dari Homer (abad ke 8 SM) hingga Plato (abad ke 4 SM) disebut bahasa Yunani Klasik. Bentuknya indah dan mampu menyampaikan ekspresi secara tepat dengan nuansa yang baik. Alfabetnya, sebagaimana halnya bahasa Ibrani berakar dari bahasa Fenisia. Dalam Bahasa Yunani Klasik terdapat banyak dialek, terutama tiga dialek: Dorik, Aeolik, dan Ionik (dimana Attik adalah cabangnya).
Kota Athena ditaklukan raja Filipus dari Makedonia pada abad ke 4 SM. Putra Filipus Aleksnder Agung, murid filsuf Yunani Aristoteles, menaklukan dunia dan menyebarkan kebudayaan Yunani beserta bahasanya. Karena Aleksander berbicara bahasa Yunani Attik, maka dialek inilah yang tersebar. Dialek ini juga dipakai para penulis Athena yang terkenal. Waktu itulah zaman Helenis dimulai. Ketika bahasa Yunani menyebar keseluruh dunia dan bertemu bahasa-bahasa lain, bahasa Yunani mengalami perubahan (seperti pada bahasa manapun).
Antara sesama dialek pun saling beriteraksi. Penyesuaian ini yang akhirnya menghasilkan apa yang sekarang disebut Yunani Koine artinya “umum” dan menggambarkan bentuk bahasa sastra halus, karena pada faktanya beberapa penulis pada zaman ini dengan sengaja meniru gaya bahasa Yunani yang lebih tua. Yunani koine adalah bentuk sederhana dari Yunani klasik, akibatnya banyak detail Yunani klasik menjadi hilang. Misalnya, dalam Yunani klasik “allos” berarti “lain”, bentuk lainnya adalah “eteros” yang juga berarti “lain”, namun memiliki perbedaan dengan yang pertama.
Jika anda mempunyai sebuah apel dan meminta “allos”, maka anda akan menerima apel lainnya. Namun jika anda meminta “eteros”, anda akan meneriam sebuah jeruk. Bahasa Yunani koine yang seperti inilah yang biasanya terdapat dalam Septuaginta, Perjanjian Baru, dan tulisan-tulisan bapa-bapa Gereja. Studi terhadap Papirus Yunani yang ditemukan di Mesir lebih dari seratus tahun lalu, menunjukkan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang digunakan sehari-hari untuk surat wasiat, surat pribadi, resep-resep, daftar belanja, dan lain-lain. [23]
Kota Athena ditaklukan raja Filipus dari Makedonia pada abad ke 4 SM. Putra Filipus Aleksnder Agung, murid filsuf Yunani Aristoteles, menaklukan dunia dan menyebarkan kebudayaan Yunani beserta bahasanya. Karena Aleksander berbicara bahasa Yunani Attik, maka dialek inilah yang tersebar. Dialek ini juga dipakai para penulis Athena yang terkenal. Waktu itulah zaman Helenis dimulai. Ketika bahasa Yunani menyebar keseluruh dunia dan bertemu bahasa-bahasa lain, bahasa Yunani mengalami perubahan (seperti pada bahasa manapun).
Antara sesama dialek pun saling beriteraksi. Penyesuaian ini yang akhirnya menghasilkan apa yang sekarang disebut Yunani Koine artinya “umum” dan menggambarkan bentuk bahasa sastra halus, karena pada faktanya beberapa penulis pada zaman ini dengan sengaja meniru gaya bahasa Yunani yang lebih tua. Yunani koine adalah bentuk sederhana dari Yunani klasik, akibatnya banyak detail Yunani klasik menjadi hilang. Misalnya, dalam Yunani klasik “allos” berarti “lain”, bentuk lainnya adalah “eteros” yang juga berarti “lain”, namun memiliki perbedaan dengan yang pertama.
Jika anda mempunyai sebuah apel dan meminta “allos”, maka anda akan menerima apel lainnya. Namun jika anda meminta “eteros”, anda akan meneriam sebuah jeruk. Bahasa Yunani koine yang seperti inilah yang biasanya terdapat dalam Septuaginta, Perjanjian Baru, dan tulisan-tulisan bapa-bapa Gereja. Studi terhadap Papirus Yunani yang ditemukan di Mesir lebih dari seratus tahun lalu, menunjukkan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang digunakan sehari-hari untuk surat wasiat, surat pribadi, resep-resep, daftar belanja, dan lain-lain. [23]
7. Untuk mendukung pandangannya bahwa Asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani, Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA mengutip Matius 27:7-9, bahwa teks tersebut dalam bahasa Yunani mengandung kesalahan, sedangkan teks dalam bahasa Ibrani (Brit Khadasa) itu benar. Memang harus diakui bahwa Matius 27:7-9 ini merupakan satu dari beberapa bagian yang sukar dalam Perjanjian Baru.
Tetapi yang perlu diingat, sukar bukan berarti salah! Kelihatannya, Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA telah memanfaatkan teks yang sukar ini dan menggiring orang-orang untuk meragukan bahwa Naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Ironinya, Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dipakai menjadi acuan Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA untuk membandingkan teks tersebut adalah Brit Khadasha, yaitu kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970 Untuk kepentingan orang-orang Kristen Yahudi modern saat ini. [24]
Tentu saja Perjanjian Baru versi ini telah mengalami banyak perbaikan untuk memudahkan pembacanya dan menghindari kesukaran-kesukaran dalam teks tertentu. Jadi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah inilah yang dijadikan acuan dan diperlakukan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA seakan-akan itu merupakan teks bahasa aslinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Pertanyaannya, seberapa jauh Naskah berbahasa Yunani dapat dipercaya sebagai bahasa asli Perjanjian Baru? Apa yang dianggap kesalahan karena mengundung kontradiksi dalam naskah Perjanjian Baru Yunani seperti pendapat Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA tersebut sebenarnya adalah paradoksi.[25]
Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi (1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau (2) penerjemahannya keliru, atau (3) kita memang belum mengerti”.[26]
Sebagai contoh bagian lain dalam Perjanjian Baru yang dianggap sebagai kontradiksi Alkitab, padahal sebenarnya adalah paradoksi, yaitu peristiwa kematian Yudas. Injil Matius 27:5 menyebutkan bahwa kematian Yudas itu disebabkan karena ia gantung diri. Sedangkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menulis bahwa kematian Yudas disebabkan karena ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan semua isi perutnya tertumpah keluar. Para kritikus menuduh mana yang benar, dan menyatakan bahwa ini kontradiksi. Kekristenan menjawab bahwa ini adalah paradoksi yang bisa dijelaskan karena kedua laporan penulis Kitab itu benar adanya.
Yudas memang gantung diri, kemudian oleh sesuatu hal talinya putus, ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan isi perutnya semuanya keluar. Tetapi masalah dalam kisah kematian Yudas ini belum selesai, sebab dalam Matius 27:6-7 disebutkan bahwa para imam yang membeli tanah hakal dama itu; sedangkan menurut Kisah Para Rasul 1:18 menyebutkan bahwa Yudaslah yang membeli tanah tersebut. Dari kedua laporan tersebut, mana yang benar ? sekali lagi Alkitab oleh para kritikus dituduh kontradiksi. Sebenarnya tidak kontradiksi tetapi hanya paradoksi, dan ini bisa dijelaskan. Jadi kedua laporan itu benar adanya, yaitu bahwa para imam membeli tanah tersebut atas nama Yudas (sertifikat hak milik Yudas).
Lalu bagaimana kita menjelaskan kesulitan dalam teks Matius 27:7-9 tersebut? Kesukaran dalam bagian ini adalah dikarena Matius mengatakan “nubuat nabi Yeremia” (ayat 9) sedangkan ayat rujukan yang paling cocok dengan peristiwa ini kelihatannya adalah Zakharia 11:12-13. Mungkin karena inilah maka terjemahan Brit Khadasa yang dipakai oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA menghilangkan kata “Yeremia” untuk menghindari kesulitan ini. Jawaban untuk kesulitan ini ada Matius ketika menyatakan bahwa peristiwa pembelian Tanah Tukang Periuk itu merupakan penggenapan dari nubuatan Nabi Yeremia maka ia sedang memadukan unsur-unsur simbolisme nubuat nabi Yeremia (Yeremia 32:6-9) dan nabi Zakharia (Zakharia 11:12-13).
Ketika memadukan kedua nubuatan ini, seperti kebiasaan yang sering dipakai saat itu dalam mengutip ayat-ayat dari kitab para nabi, maka nama nabi yang tua dan terkenalah yang disebutkan, yaitu Yeremia. Penafsiran saya tersebut di atas didukung oleh pendapat Pakar Bahasa Ibrani Perjanjian Lama Profesor Gleason L. Archer yang menjelaskan demikian, “Matius sedang menggabungkan dan merangkumunsur-unsur simbolisme yang ada dalam Kitab-nabi-nabi baik Zakharia maupun Yeremia. Namun, karena Yeremia adalah yang lebih menonjol di antara dua nabi tersebut maka dia memprioritaskan nama Yeremia daripada nama nabi kecil itu.
Tetapi yang perlu diingat, sukar bukan berarti salah! Kelihatannya, Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA telah memanfaatkan teks yang sukar ini dan menggiring orang-orang untuk meragukan bahwa Naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Ironinya, Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dipakai menjadi acuan Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA untuk membandingkan teks tersebut adalah Brit Khadasha, yaitu kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970 Untuk kepentingan orang-orang Kristen Yahudi modern saat ini. [24]
Tentu saja Perjanjian Baru versi ini telah mengalami banyak perbaikan untuk memudahkan pembacanya dan menghindari kesukaran-kesukaran dalam teks tertentu. Jadi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah inilah yang dijadikan acuan dan diperlakukan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA seakan-akan itu merupakan teks bahasa aslinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Pertanyaannya, seberapa jauh Naskah berbahasa Yunani dapat dipercaya sebagai bahasa asli Perjanjian Baru? Apa yang dianggap kesalahan karena mengundung kontradiksi dalam naskah Perjanjian Baru Yunani seperti pendapat Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA tersebut sebenarnya adalah paradoksi.[25]
Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi (1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau (2) penerjemahannya keliru, atau (3) kita memang belum mengerti”.[26]
Sebagai contoh bagian lain dalam Perjanjian Baru yang dianggap sebagai kontradiksi Alkitab, padahal sebenarnya adalah paradoksi, yaitu peristiwa kematian Yudas. Injil Matius 27:5 menyebutkan bahwa kematian Yudas itu disebabkan karena ia gantung diri. Sedangkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menulis bahwa kematian Yudas disebabkan karena ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan semua isi perutnya tertumpah keluar. Para kritikus menuduh mana yang benar, dan menyatakan bahwa ini kontradiksi. Kekristenan menjawab bahwa ini adalah paradoksi yang bisa dijelaskan karena kedua laporan penulis Kitab itu benar adanya.
Yudas memang gantung diri, kemudian oleh sesuatu hal talinya putus, ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan isi perutnya semuanya keluar. Tetapi masalah dalam kisah kematian Yudas ini belum selesai, sebab dalam Matius 27:6-7 disebutkan bahwa para imam yang membeli tanah hakal dama itu; sedangkan menurut Kisah Para Rasul 1:18 menyebutkan bahwa Yudaslah yang membeli tanah tersebut. Dari kedua laporan tersebut, mana yang benar ? sekali lagi Alkitab oleh para kritikus dituduh kontradiksi. Sebenarnya tidak kontradiksi tetapi hanya paradoksi, dan ini bisa dijelaskan. Jadi kedua laporan itu benar adanya, yaitu bahwa para imam membeli tanah tersebut atas nama Yudas (sertifikat hak milik Yudas).
Lalu bagaimana kita menjelaskan kesulitan dalam teks Matius 27:7-9 tersebut? Kesukaran dalam bagian ini adalah dikarena Matius mengatakan “nubuat nabi Yeremia” (ayat 9) sedangkan ayat rujukan yang paling cocok dengan peristiwa ini kelihatannya adalah Zakharia 11:12-13. Mungkin karena inilah maka terjemahan Brit Khadasa yang dipakai oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA menghilangkan kata “Yeremia” untuk menghindari kesulitan ini. Jawaban untuk kesulitan ini ada Matius ketika menyatakan bahwa peristiwa pembelian Tanah Tukang Periuk itu merupakan penggenapan dari nubuatan Nabi Yeremia maka ia sedang memadukan unsur-unsur simbolisme nubuat nabi Yeremia (Yeremia 32:6-9) dan nabi Zakharia (Zakharia 11:12-13).
Ketika memadukan kedua nubuatan ini, seperti kebiasaan yang sering dipakai saat itu dalam mengutip ayat-ayat dari kitab para nabi, maka nama nabi yang tua dan terkenalah yang disebutkan, yaitu Yeremia. Penafsiran saya tersebut di atas didukung oleh pendapat Pakar Bahasa Ibrani Perjanjian Lama Profesor Gleason L. Archer yang menjelaskan demikian, “Matius sedang menggabungkan dan merangkumunsur-unsur simbolisme yang ada dalam Kitab-nabi-nabi baik Zakharia maupun Yeremia. Namun, karena Yeremia adalah yang lebih menonjol di antara dua nabi tersebut maka dia memprioritaskan nama Yeremia daripada nama nabi kecil itu.
Cara yang sama diikuti oleh Markus 1:2-3 yang hanya menyebutkan Yesaya sebagai sumber dari kutipan gabungan dari Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dalan kasus itu juga, yang disebut namanya ialah yang lebih terkenal di antara dua nabi tersebut. Oleh karena hal semacam itu merupakan praktik yang lazim dalam kesusastraan abad pertama Masehi, yaitu ketika Kitab-kitab Injil di tulis, maka pra penulisnya tidak mungkin dapat dipersalahkan karena tidak mengikuti kebiasaan zaman modern untuk memberikan identifikasi serta pencantuman catatan kaki secara persis (yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan mudah sebelum dibuat penyalinan dari gulungan kitab menjadi kodeks dan setelah ditemukannya percetakan)”. [27]
Jadi, apa yang dianggap sebagai kesalahan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA sebenarnya hanyalah kesulitan. Dan konyolnya, bukannya mencari jawaban yang benar atas kesulitan itu Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA malah menggunakan kesulitan itu untuk membangun opini bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani.
Jadi, apa yang dianggap sebagai kesalahan oleh Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA sebenarnya hanyalah kesulitan. Dan konyolnya, bukannya mencari jawaban yang benar atas kesulitan itu Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th.,MA malah menggunakan kesulitan itu untuk membangun opini bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani.
Perlu diketahui, ada banyak kesulitan-kesulitan di dalam Alkitab seperti contoh tersebut diatas. Ahli filsafat dan pakar teologi Norman Geisler mendaftarkan sejumlah 800 hal yang dianggap kontradiksi Alkitab oleh para kritikus dalam bukunya yang berjudul The Big Book of Bible Difficulties: Clear and Concise Answer From Genesis to Revelation, dan ia meunjukkan bahwa tidak satupun diantaranyanya terbukti benar.[28]
Karena itu saya menyarankan agar Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th, MA belajar lagi prinsip-prinsipe hermeneutika dan eksegesis agar dapat menafsirkan Alkitab dengan tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis kitab dalam Alkitab.
Karena itu saya menyarankan agar Rev. DR. Yakub Sulityo, S.Th, MA belajar lagi prinsip-prinsipe hermeneutika dan eksegesis agar dapat menafsirkan Alkitab dengan tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis kitab dalam Alkitab.
DAFTAR PUSTAKA: BENARKAH PERJANJIAN BARU DITULIS DALAM BAHASA IBRANI ?
[1] Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th adalah teolog Protestan Kharismatik, Pendeta dan Gembala di Bintang Fajar Ministries Palangka Raya; Dosen Filsafat dan Apologetika Kharismatik; Penulis buku Apologetika Kharismatik. Menyandang dua gelar Magister of Theology dari STT Trinity, M.Th (Christian Leadership) dan M.Th (Systematic Theology and Apologetics).
[2] Rev. Dr. Yakub Sulistyo, S.Th.,MA adalah teolog Yahweisme di Indonesia, Pendiri Utama dan Pendeta di Gereja Pemulihan Firman GPF). Doktor Teologi dalam Bidang Misiologi dari STT Apostolic dan Haggai Institute Hawaii.
[3] Khotbah lihat di : https://www.youtube.com/watch?v=IZ16diztngw
[4] Noorsena, Bambang., 2001. Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam. Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 76.
[5] Asali, Budi., 2008. Keharusan Menggunakan Nama Yahweh dan Larangan Menggunakan Kata Allah, pdf 1, hal. 6-7.
[6] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 60.
[7] Alasanya mengapa kita tidak diwajibkan memakai nama YAHWEH adalah : (1) Orang Yahudi tidak menyebut nama YAHWEH tetapi menggantinya dengan Adonay; (2) Di dalam Septuguinta (Perjanjian Lama berbahasa Yunani) yang diterjemahkan dari Tanakh (Perjanjian Lama berbahasa Ibrani) oleh 70 imam Yahudi atas perintah Imam Besar Eliaser sama sekali tidak menggunakan kata YAHWEH, tetapi menerjemahkannya dengan Kurios. Septaguinta ini diterjemahkan sekitar 200 tahun sebelum Kristus; (3) Yesus dan para rasul dalam Perjanjian Baru tidak menggunakan nama YAHWEH dan Elohim, tetapi menggunakan kata Kurios untuk YAHWEH dan Theos untuk Elohim. Alasannya : (a) mereka membaca dan memakai Septaguinta; dan (b) bahasa Yunani Koine merupakan bahasa umum yang diwajibkan untuk digunakan pada masa itu. (4) Semua manuskrip Perjanjian Baru (sebanyak sekitar 5000 manuskrip) dari abad I - IV membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis memakai bahasa Yunani koine dan tidak satupun memakai kata Elohim dan Yahweh, tetapi Theos dan Kurios.
[8] Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 177.
[9] Geisler, Norman & Ron Brooks., 2010. Ketika Alkitab Dipertanyakan. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal. 187.
[10] Pecker, J.I, Merril C. Tenney & William White, Jr., 2014. Ensiklopedi Fakta Alkitab. Bible Almanac 2, terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang, hal. 1051.
[11] MacGregor, Jerry & Marie Prys., 2017. Suprising Things Aboaut God and the Bible. Terjemahan, Penerbit Andi : Yogyakarta, hal.19.
[12] Tenney, Merril C., 1985. New Testament Survey. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 68.
[13] Bahasa Aram adalah bahasa utama di Timur Dekat. Paulus berbicara pada orang-orang di Yerusalem dalam bahasa Aram (Kisah Para Rasul 22:2) ketika ia menyampaikan pembelaannya dari atas anak tangga istana Anthonius. Begitu pula beberapa kutipan ucapan Yesus menunjukkan bahwa bahasa inilah yang biasa dipakai oleh Yesus (Yohanes 1:42); Markus 7:34; Matius 27:46). Ia juga muncul pada ungkapan-ungkapan keagamaan dalam masa awal gereja, seperti Abba (Roma 8:15) dan Maranatha (1 Korintus 16:22), sehingga dapat disimpulkan bahwa jemaat Kristus pertama berbicara dalam bahasa aram. Bahasa Ibrani kuno, yang sangat erat kaitannya dengan bahasa Aram, sudah tidak digunakan lagi sejak zaman nabi Ezra, kecuali diantara para rabi yang mempelajari dan menggunakannya sebagai media pemikiran teologi. Bahasa ini tidak dikenali oleh orang banyak. (Tenney, Merril C., New Testament Survey, hal. 67).
[14] Septuaginta adalah terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, kemungkinan dilakukan antara 250 -150 SM di Aleksandria namun dengan revisi tiga orang Yahudi (Akwila, Symmachus, Theodotiaon) dan tiga orang Kristen (Hesychian, Hexaplaric, Lucianic). (Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. .....). Raja Ptolomeus II memerintahkan agar kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani untuk kepentingan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria (Wahono, S. Wismoady., 2011. Disini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 268).
[15] Wahono, S. Wismoady, Disini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, hal. 268.
[16] Sekalipun helenisasi sejenak tertunda pada masa pemberontakan Makabe (170-160 SM), helenisasi bahasa berjalan lancar, bahkan Josephus, sejarahwan Yahudi yang pro Romawi juga menulis buku-bukunya dalam bahasa Yunani. Helenisasi telah berjalan 4 abad ketika abad ke 1 M diisi dengan kehadiran Yesus dan ditulisnya Perjanjian Baru. Kala itu bahasa Yunani dan Aram menjadi bahasa percakapan umum di Palestina (bilingual).
[17] Tenney, Merril C., New Testament Survey, hal. 23-24, 29)
[18] Norman Geisler mengatakan, “Septuaginta adalah Alkitab yang digunakan oleh Yesus dan para rasul. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip langsung dari Septuaginta, sekalipun itu berbeda dengan teks Masoret.” (A General Introduction to the Bible, hal. 254).
[19] Tenney, Merril C., hal. 32.
[20] Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 390.
[21] Ibid.
[22] Lihat: McDowell, Josh., 2007. Apologetika: Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 87-92; Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit, Literatur SAAT : Malang, hal 187. Susanto, Hasan., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT: Malang, 233.
[23] Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 12.
[24] Noorsena, Bambang., 2001. Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam. Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 76.
[25]Apa yang dianggap kesalahan dan kontradiksi oleh para kritikus sebenarnya adalah kesulitan, misteri dan paradoksi. Kontradiksi tidak dapat dijelaskan dan melanggar hukum logika, tetapi kesulitan, misteri dan paradoksi tidak melanggar hukum logika. Kesulitan bisa dicari solusinya. Misteri adalah hal-hal yang belum ditemukan jawabannya tetapi suatu saat pada masa yang akan datang akan disingkapkan dan ditemukan jawabannya. Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya.
[26] Geisler, Norman dan David Geiler., 2010. Coversational Evangelism. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta, hal. 255
[27] Archer, Gleason, L., 2009. Encyclopedia Of Bible Difficulties. Terjemahan, Penebit Gandum Mas : Malang, hal. 587-588.
[28] Geisler, Norman dan David Geiler, hal. 255.
https://teologiareformed.blogspot.com/