EKSPOSISI 1 TIMOTIUS 3:1-7 (SYARAT-SYARAT BAGI PENILIK JEMAAT)

Pdt.Budi Asali, M.Div.
EKSPOSISI 1 TIMOTIUS 3:1-7 (SYARAT-SYARAT PENILIK JEMAAT)
1Timotius 3:1-7 - “(1) Benarlah perkataan ini: ‘Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.’ (2) Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, (3) bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, (4) seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. (5) Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? (6) Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (1 Timotius 3:7) Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis”.

1 Timotius 3: 1: “Benarlah perkataan ini: ‘Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.’”.

1) “Benarlah perkataan ini:”.

Ada yang mengatakan bahwa potongan kalimat ini seharusnya dihubungkan dengan kontext sebelumnya, dan menyatakan bahwa doktrin yang diajarkan dalam kontext sebelumnya itu benar. Tetapi Calvin, dan juga banyak penafsir lain, tak setuju dengan penafsiran ini.

2) “Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat”.

KJV/RSV: ‘bishop’ (= uskup).

NIV/NASB: ‘overseer’ (= pengawas).

Yunani: EPISKOPOS.

a) Banyak penafsir menentang penterjemahan ‘bishop’ (= uskup) oleh KJV/RSV.

Perlu diketahui bahwa pada jaman dulu ada jabatan ‘bishop’ (= uskup), sebagai seorang kepala dari semua pengawas / pendeta gereja dari suatu kota. Jadi, setiap kota mempunyai ‘bishop’ (= uskup). Tetapi karena Roma merupakan ibukota kekaisaran Romawi, maka ‘bishop’ (= uskup) Roma makin lama makin dianggap paling berkuasa. Ini akhirnya menjadi ‘universal bishop’ (= uskup seluruh dunia), yang mulai awal abad 7 disebut Paus. Ia dianggap sebagai pengganti rasul-rasul.

Barclay: “It will be seen that to translate EPISKOPOS by the word ‘bishop’ in the New Testament now gives the word a misleading meaning. It is better to translate it ‘overseer’ or ‘superintendent’.” (= Akan terlihat bahwa menterjemahkan EPISKOPOS dengan kata ‘bishop / uskup’ dalam Perjanjian Baru sekarang memberikan kata itu suatu arti yang menyesatkan. Adalah lebih baik untuk menterjemahkannya ‘pengawas’ atau ‘pemimpin / inspektur’) - hal 72.

Adam Clarke: “Our term ‘bishop’ comes from the Anglo-Saxon ‘birceop’, which is a mere corruption of the Greek EPISKOPOS, and the Latin EPISCOPUS; the former being compounded of EPI, ‘over’, and SKEPTOMAI, ‘to look or inspect’, signifies one who has the inspection or oversight of a place, persons, or business; what we commonly term a superintendent” (= Istilah kita ‘bishop’ datang dari kata Anglo-Saxon ‘birceop’, yang sekedar merupakan suatu perusakan dari kata Yunani EPISKOPOS, dan kata Latin EPISCOPUS; yang terdahulu itu merupakan gabungan dari EPI, ‘atas’, dan SKEPTOMAI, ‘melihat atau menginspeksi’, yang berarti seseorang yang menginspeksi atau mengawasi suatu tempat, orang-orang, atau kesibukan / bisnis; apa yang biasanya kita sebut ‘pengawas / pemimpin / inspektur’).

Albert Barnes mengatakan bahwa:

1. Kata EPISKOPOS ini tak pernah digunakan dalam Kitab Suci untuk menunjuk kepada rasul-rasul, kecuali kepada Yudas Iskariot dalam Kis 1:20 - “‘Sebab ada tertulis dalam kitab Mazmur: Biarlah perkemahannya menjadi sunyi, dan biarlah tidak ada penghuni di dalamnya: dan: Biarlah jabatannya (Yunani: EPISKOPEN) diambil orang lain”.

2. Kitab Suci tak pernah menggunakan kata EPISKOPOS untuk menunjuk pada kedudukan / jabatan yang lebih tinggi dari tua-tua / penatua atau pengganti / penerus jabatan rasul.

3. Kata itu digunakan dalam Kitab Suci untuk menunjuk pada pelayan Injil / pemimpin gereja, tanpa adanya tingkatan yang lebih tinggi atau lebih rendah.

b) Arti kata ini.

William Barclay membahas 2 kata bahasa Yunani yaitu:

1. PRESBUTEROS / elder / tua-tua / penatua.

Barclay mengatakan bahwa tua-tua sudah ada dalam jaman Perjanjian Lama, yaitu dalam Bil 11:16 - “Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Kumpulkanlah di hadapanKu dari antara para tua-tua Israel tujuh puluh orang, yang kauketahui menjadi tua-tua bangsa dan pengatur pasukannya, kemudian bawalah mereka ke Kemah Pertemuan, supaya mereka berdiri di sana bersama-sama dengan engkau”.

Barclay: “Every synagogue had its elders, and they were the real leaders of the Jewish community. They presided over the worship of the synagogue; they administered rebuke and discipline where these were necessary; they settled the disputes which other nations would have taken to the law-courts. Amongst the Jews the elders were the respected men who exercised a fatherly oversight over the spiritual and material affairs of every Jewish community” (= Setiap sinagog mempunyai tua-tuanya, dan mereka merupakan pemimpin-pemimpin yang sungguh-sungguh dari masyarakat Yahudi. Mereka memimpin atas ibadah dari sinagog; mereka memberikan peneguran dan disiplin dimana hal-hal itu diperlukan; mereka membereskan percekcokan, yang dalam bangsa-bangsa lain dibawa ke pengadilan. Di antara orang-orang Yahudi tua-tua adalah orang-orang yang dihormati, yang menjalankan pengawasan yang bersifat kebapakan atas urusan-urusan rohani dan materi dari setiap masyarakat Yahudi) - hal 70.

2. EPISKOPOS / overseer / penilik jemaat.

Dalam LXX (Perjanjian Lama yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani) kata ini digunakan dalam 2Tawarikh 34:17 - “Mereka telah mengambil seluruh uang yang terdapat di rumah TUHAN dan memberikannya ke tangan para pengawas dan para pekerja.’”.

Barclay: “The great question is: What was the relationship in the early Church between the elder, the PRESBUTEROS, and the overseer, the EPISKOPOS? Modern scholarship is practically unanimous in holding that in the early Church the PRESBUTEROS and the EPISKOPOS were one and the same” (= Pertanyaan yang besar / penting adalah ini: Apa hubungan dalam gereja mula-mula antara ‘tua-tua / penatua’, PRESBUTEROS, dan ‘penilik / pengawas’, EPISKOPOS? Penafsir-penafsir modern secara praktis sepakat dalam memandang bahwa dalam gereja mula-mula PRESBUTEROS dan EPISKOPOS adalah satu dan sama) - hal 71.

Dasar dari pandangan ini:

1. Di setiap gereja Paulus mengangkat tua-tua / menyuruh mengangkat tua-tua.

Kis 14:23 - “Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka”.

Titus 1:5 - “Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu”.

2. Persyaratan dari tua-tua (Tit 1:6-9) dan penilik jemaat (1Tim 3:2-7) sama.

Bandingkan 1Timotius 3:2-7 ini dengan Titus 1:6-9 - “(6) yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib. (7) Sebab sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, (8) melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri (9) dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”.

3. Dalam salamnya kepada gereja Filipi, Paulus memberi salam kepada penilik jemaat dan diaken (Fil 1:1), dan merupakan sesuatu yang mustahil kalau Paulus tak memberi salam kepada tua-tua, seandainya tua-tua bukanlah penilik jemaat.

Filipi 1:1 - “Dari Paulus dan Timotius, hamba-hamba Kristus Yesus, kepada semua orang kudus dalam Kristus Yesus di Filipi, dengan para penilik jemaat dan diaken”.

4. Dalam Kis 20:28 Paulus mengatakan kepada tua-tua (Kis 20:17) bahwa Allah telah menjadikan mereka penilik jemaat untuk menggembalakan Gereja Allah.

Kis 20:17,28 - “(17) Karena itu ia menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua jemaat datang ke Miletus. ... (28) Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya sendiri”.

Catatan: kata ‘Anak’ yang saya coret itu seharusnya tidak ada.

5. Pada waktu Petrus menulis suratnya, ia berbicara kepada mereka sebagai tua-tua kepada tua-tua, dan ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa mereka harus menggembalakan / menilik gereja Allah (1Pet 5:1-2). Kata Yunani yang ia gunakan untuk menggembalakan / menilik di sini adalah kata kerja EPISKOPEIN dari mana kata benda EPISKOPOS muncul.

1Petrus 5:1-2 - “(1) Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. (2) Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri”.

Kalau demikian, mengapa ada 2 kata, padahal menunjuk pada sesuatu yang sama?

William Hendriksen: “With respect to age and dignity its members were called presbyters or elders, ... With respect to the nature of their task they were called overseers or superintendents” (= Berkenaan dengan usia dan kewibawaan anggota-anggotanya disebut penatua atau tua-tua, ... Berkenaan dengan sifat dari tugas mereka, mereka disebut penilik atau pengawas) - hal 118.

c) Hal-hal lain berkenaan dengan tua-tua / penatua atau penilik jemaat.

1. Diaken masuk dalam majelis?

Dalam banyak gereja di Indonesia diaken masuk dalam majelis. Ini salah, karena Alkitab tidak pernah menganggap diaken sebagai tua-tua / penilik jemaat.

Lenski: “Deacons were never called PRESBYTEROI” (= Diaken-diaken tidak pernah disebut PRESBUTEROI / tua-tua / penatua) - hal 578.

2. Adanya masa jabatan bagi majelis / tua-tua.

Kitab Suci tidak pernah memberikan ‘masa jabatan’ untuk tua-tua / penilik jemaat. Juga dalam Kitab Suci hanya ada pengangkatan tua-tua / penilik jemaat, tetapi tidak pernah ada penurunannya. Karena itu, jelas bahwa adanya ‘masa jabatan’ bagi tua-tua / penilik jemaat di hampir semua gereja, adalah sesuatu yang salah dan tidak Alkitabiah. Disamping itu, adalah tidak logis kalau sebentar si A bisa membimbing si B, dan sebentar lagi sebaliknya.

3. Bagaimana dengan adanya ‘ketua majelis’?

a. Ini memang merupakan sesuatu yang tak terhindarkan, dan karena itu harus ada, demi keteraturan. Tetapi ketua itu hanyalah seorang pemimpin di antara orang-orang yang sederajat dengannya, dan karena itu ia tidak boleh bersikap otoriter.

b. Apakah ketua majelis harus gembala sidang / Pendeta?

Kitab Suci tak pernah memberikan peraturan dalam hal ini, tetapi menurut saya adalah logis kalau ketua majelisnya adalah gembala sidang atau pendeta. Merupakan sesuatu yang aneh dan bahkan tidak logis, kalau ketua majelisnya adalah jemaat awam, sedangkan pendeta / gembala sidangnya menjadi majelis biasa.

d) Mengapa Paulus tahu-tahu menulis kepada Timotius tentang penilik jemaat / penatua?

Matthew Henry menganggap bahwa Timotius adalah seorang penginjil yang ditinggal oleh Paulus di gereja Efesus untuk menjaga / memelihara para penatua di sana.

Gereja itu adalah gereja yang masih baru, sehingga para penatuanya masih membutuhkan bimbingan, dan Timotius ditugaskan untuk hal itu.

3) “menginginkan”.

a) Arti kata ‘menginginkan’ ini.

Barnes’ Notes: “The word rendered ‘desire’ here (OREGOO), denotes properly, ‘to reach’ or ‘stretch out’ - and hence to reach after anything, to long after, to try to obtain; Heb. 11:16” [= Kata yang diterjemahkan ‘menginginkan’ di sini (OREGOO), sebetulnya berarti ‘menjangkau’ atau ‘mengulurkan’ - dan lalu ‘menjangkau sesuatu, merindukan, berusaha untuk mendapatkan’; Ibr 11:16].

Ibrani 11:16 - “Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka”.

b) Tindakan menginginkan ini harus disertai motivasi yang benar.

Matthew Henry: “There ought to be an earnest desire of the office in those who would be put into it; if a man desire, he should earnestly desire it for the prospect he has of bringing greater glory to God, and of doing the greatest good to the souls of men by this means” (= Harus ada suatu keinginan yang sungguh-sungguh dalam diri mereka yang akan dimasukkan ke dalamnya; jika seseorang menginginkan, ia harus menginginkannya dengan sungguh-sungguh, dengan tujuan untuk membawa kemuliaan yang lebih besar bagi Allah, dan untuk melakukan kebaikan terbesar bagi jiwa-jiwa manusia melalui cara / jalan ini).

c) Hal-hal yang banyak ada, yang bertentangan dengan point ini:

1. Orang-orang yang menginginkan jabatan ini dengan motivasi yang salah.

a. Motivasi uang.

Orang-orang ini sering disebut sebagai orang-orang yang Cho Yesu / Cho gereja (bisnis Yesus / bisnis gereja)! Istilah ini memalukan, tetapi harus diakui bahwa hal ini benar dalam banyak kasus! Orang-orang seperti ini tujuannya adalah kekayaan diri sendiri, bukan kemuliaan Tuhan ataupun kebaikan dari jiwa-jiwa yang mereka layani. Ini tak terlalu berbeda dengan orang-orang yang jadi pendeta demi profesi. Mereka menganggap kalau sekolah sekuler, mahal dan susah, dan kalau sudah dapat gelar S1 pun gajinya rendah. Jadi, lebih enak kerja sebagai pendeta. Motivasi uang ini menyebabkan mereka sering rebutan jemaat, saling tuduh sebagai pencuri domba dan sebagainya.

b. Orang-orang yang mau menjadi tua-tua dengan tujuan supaya dihormati, dianggap sebagai orang Kristen yang aktif, dan sebagainya.

2. Banyak orang Kristen, yang entah karena rendah diri, atau memang karena malas / tidak mau memikul tanggung jawab, selalu menolak untuk menjadi majelis.

Seseorang hanya boleh menolak tawaran menjadi tua-tua, kalau ia yakin bahwa Tuhan tidak memanggilnya untuk menduduki jabatan tersebut.

Matthew Henry: “This is the question proposed to those who offer themselves to the ministry of the church of England: ‘Do you think you are moved by the Holy Ghost to take upon you this office?’” (= Ini adalah pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka yang menawarkan diri mereka sendiri pada pelayanan gereja di Inggris: ‘Apakah kamu berpikir / menganggap bahwa kamu digerakkan oleh Roh Kudus untuk mengambil jabatan ini bagimu?’).

4) “pekerjaan yang indah.’”.

a) Perhatikan situasi jaman itu.

Perlu diingat bahwa surat Paulus ini ditulis pada abad pertama, dimana gereja / orang Kristen dimusuhi oleh pihak Yahudi, Romawi, dan seadanya orang kafir lain. Karena itu, pada jaman itu, menjadi orang Kristen saja sudah sangat susah / menderita, apalagi kalau menjadi tua-tua / penilik jemaat. Karena itu, Paulus meninggikan jabatan itu, dengan menggunakan istilah ‘pekerjaan yang indah’ ini.

William Hendriksen mengatakan bahwa sampai sekarang ini merupakan pekerjaan yang indah, tetapi lebih-lebih pada jaman itu.

b) Perhatikan kata ‘pekerjaan’!

Matthew Henry menekankan kata ‘pekerjaan’ ini dan mengatakan bahwa jabatan tua-tua ini merupakan suatu pekerjaan, yang membutuhkan kerajinan / ketekunan. Karena itu, kalau kita mau menjadi tua-tua / penilik jemaat, kita tidak boleh menginginkannya karena memandang pada keuntungan ataupun kehormatan dari kedudukan ini. Kita harus menginginkannya karena kita memang mau bekerja bagi Tuhan.

Karena ini merupakan suatu pekerjaan, bahkan pekerjaan yang berat, maka seseorang harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh sebelum menerima jabatan ini.

Jadi, adanya kata ‘menginginkan’ di atas tidak berarti bahwa seseorang boleh menginginkannya secara sembarangan.

5) Ayat ini menunjukkan bahwa jabatan penatua / penilik jemaat dalam gereja mereka suatu jabatan yang memang ditetapkan oleh Tuhan sendiri.

Tetapi kalau dari sini ada gereja-gereja yang menganggap bahwa yang ada hanyalah penatua, bukan gembala, maka itu jelas salah, karena jabatan gembala juga ada.

Efesus 4:11 - “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”.

1 Timotius 3: 2-7: “(2) Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, (3) bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, (4) seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. (5) Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? (6) Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (7) Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis”.

Dalam ay 2-7 ini Paulus memberikan syarat-syarat dari seorang penilik jemaat / penatua. Sekalipun ini merupakan syarat dari seorang penilik jemaat / penatua, tidak berarti bagian ini tidak berguna untuk orang yang bukan penatua. Mengapa?

· karena siapa tahu ia akan menjadi penatua / penilik jemaat?

· karena bisa ia gunakan untuk melihat apakah seseorang sesuai atau tidak untuk menjadi seorang penatua / penilik jemaat.

· karena bisa ia gunakan untuk mengajar / menasehati seseorang yang mau menjadi atau adalah seorang penatua / penilik jemaat.

· karena bagian ini menunjukkan kesalehan seseorang, maka bagian ini tetap merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh setiap orang Kristen, apakah ia mau menjadi atau adalah seorang penatua / penilik jemaat atau orang awam.

Sekarang, mari kita mempelajari syarat-syarat ini satu per satu:

1) ‘Seorang yang tak bercacat’.

KJV: ‘blameless’ (= tak bersalah / bebas dari tuduhan).

RSV/NIV/NASB: ‘above reproach’ (= di atas celaan).

Jadi maksudnya, orang itu harus hidup sedemikian rupa sehingga ia ada di atas celaan, atau tidak bisa dicela.

Matthew Henry: “A minister must be blameless, he must not lie under any scandal” (= Seorang pendeta / pelayan harus tak bersalah, ia tidak boleh berada di bawah skandal apapun).

Adam Clarke: “blameless; ANEPILEEPTON, a person against whom no evil can be proved; one who is everywhere invulnerable; for the word is a metaphor, taken from the case of an expert and skillful pugilist, who so defends every part of his body that it is impossible for his antagonist to give one hit. So this Christian Bishop is one that has so conducted himself, as to put it out of the reach of any person to prove that he is either unsound in a single article of the Christian faith, or deficient in the fulfilment of any duty incumbent on a Christian. He must be irreprehensible; for how can he reprove that in others which they can reprove in him?” (= ‘tak bersalah’; ANEPILEEPTON, seseorang terhadap siapa tak ada kejahatan bisa dibuktikan; seseorang yang dimana-mana tak mudah diserang; karena kata ini merupakan suatu kiasan, diambil dari kasus dari seorang petinju yang ahli dan mahir, yang demikian rupa mempertahankan setiap bagian tubuhnya sehingga mustahil bagi musuhnya untuk memberinya satu pukulanpun. Demikianlah Uskup Kristen ini adalah seseorang yang bertingkah laku sedemikian rupa sehingga ia berada di luar jangkauan dari siapapun untuk membuktikan bahwa ia tidak sehat dalam satu bagian dari iman Kristen, atau kurang baik dalam memenuhi kewajiban manapun yang diwajibkan pada seorang Kristen. Ia haruslah tidak bisa dicela; karena bagaimana ia bisa menegur / mencela sesuatu dalam diri orang lain yang bisa mereka cela dalam dirinya?).

Barnes’ Notes: “The word here used does not mean that, as a necessary qualification for office, a bishop should be ‘perfect;’ but that he should be a man against whom no charge of immorality, or of holding false doctrine, is alleged. ... He should be a man of irreproachable character for truth, honesty, chastity, and general uprightness” (= Kata yang digunakan di sini tidak berarti bahwa, sebagai suatu persyaratan yang perlu untuk jabatannya, seorang uskup harus ‘sempurna’; tetapi bahwa ia haruslah seseorang terhadap siapa tak ada tuduhan ketidak-bermoralan, atau memegang / mempercayai ajaran sesat, bisa dinyatakan. ... Ia haruslah seseorang dengan karakter yang tidak bisa dicela dalam kebenaran, kejujuran, kesucian / kemurnian, dan kelurusan umum).

Saya lebih setuju dengan istilah ‘prove’ / ‘membuktikan’ yang digunakan oleh Clarke, dari pada istilah ‘charge’ / ‘tuduhan’ ataupun ‘alleged’ / ‘dinyatakan’ yang digunakan oleh Albert Barnes. Kalau itu hanya tuduhan yang dinyatakan, tetapi tanpa bukti / dasar yang kuat, tentu tidak perlu dipermasalahkan.

Juga orang Kristen / jemaat tak boleh sembarangan menerima tuduhan atas seorang penatua / penilik jemaat.

Bdk. 1Timotius 5:19 - “Janganlah engkau menerima tuduhan atas seorang penatua kecuali kalau didukung dua atau tiga orang saksi”.

Jangan lupa bahwa dengan kedudukan penatua / penilik jemaat apalagi pendeta / penginjil, seseorang pasti akan menjadi sasaran fitnah dari setan yang menggunakan anak-anaknya, bahkan yang kelihatannya adalah orang-orang kristen!

2) ‘suami dari satu isteri’.

Bagian ini kelihatannya sederhana, tetapi ternyata artinya banyak diperdebatkan. Ini beberapa arti yang diberikan oleh para penafsir:

a) Penatua / penilik jemaat itu haruslah seorang laki-laki.

Karena dikatakan sebagai ‘suami’ maka ia harus laki-laki. Ini menyebabkan gereja-gereja Presbyterian di Amerika banyak yang mengharuskan jenis kelamin laki-laki bagi penatua / penilik jemaat, apalagi pendeta / penginjil / pemberita Firman Tuhan.

Saya beranggapan bahwa sekalipun kelihatannya ditujukan untuk laki-laki, tetapi jelas berlaku untuk kedua jenis kelamin. Kebanyakan ayat, kecuali yang memang khusus untuk perempuan, biasanya ditujukan kepada laki-laki. Misalnya: Matius 5:28 kelihatannya ditujukan untuk laki-laki, tetapi tentu saja juga berlaku untuk perempuan.

b) Penatua / penilik jemaat itu harus sudah kawin, tak boleh yang belum kawin.

Adam Clarke termasuk yang mengharuskan pernikahan. Tetapi William Hendriksen menolak penafsiran seperti ini, dan ia mengatakan bahwa bagian ini memang mengasumsikan bahwa penatua / penilik jemaat itu sudah kawin, karena biasanya demikian. Tetapi tidak ada pengharusan mutlak.

Tetapi ada 2 hal yang perlu disoroti:

1. Jelas bahwa penatua / penilik jemaat (termasuk pendeta / penginjil) tidak dilarang untuk menikah. Lalu dari mana Gereja Roma Katolik bisa melarang ‘para hamba Tuhan’nya untuk menikah?

2. Adalah lebih baik kalau seorang penatua / penilik jemaat, apalagi pendeta / penginjil, menikah / mempunyai keluarga. Mengapa? Karena kalau ia tak menikah / mempunyai keluarga, ia tak akan pernah tahu problem istri / pernikahan / rumah tangga, sehingga sukar bisa mengerti dan menangani problem tersebut dalam jemaat.

c) Penatua / penilik jemaat hanya boleh menikah satu kali, dalam arti kalaupun pasangannya mati, ia tidak boleh menikah lagi.

Jamieson, Fausset & Brown termasuk yang memegang pandangan ini. Sebagai dasar ia mengatakan bahwa istilah itu di sini sama dengan dalam 1Tim 5:9 - “Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami”.

Tetapi beberapa penafsir justru mengatakan sebaliknya, karena dalam 1Tim 5:9 digunakan participle bentuk LAMPAU, tetapi tidak di sini.

1Timotius 5:9 (KJV): ‘having been the wife of one man’.

Baik Calvin maupun William Hendriksen menganggap bahwa kalau yang dimaksud oleh bagian ini adalah ‘hanya pernah menikah satu kali’, maka seharusnya digunakan bentuk lampau / perfect seperti dalam 1Tim 5:9 itu.

Argumentasi lain yang diberikan oleh penafsir-penafsir untuk menentang pandangan ini adalah: pernikahan lagi setelah pasangan mati memang diijinkan oleh Kitab Suci bagi orang Kristen, dan karena itu tidak mungkin dilarang bagi penatua / penilik jemaat.

Roma 7:2-3 - “(2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain”.

1Kor 7:8-9,39 - “(8) Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. (9) Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. ... (39) Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya”.

Catatan: jelas yang dimaksud dengan ‘janda’ dalam 1Kor 7:8 adalah istri yang ditinggal mati suaminya, karena tentang janda yang bercerai Paulus membicarakannya dalam 1Kor 7:11a - “Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya”.

d) Penatua / penilik jemaat tidak boleh merupakan seorang polygamist / mempunyai lebih dari 1 istri pada satu saat.

Adam Clarke dan Matthew Henry menambahkan: ia tidak boleh adalah orang yang menceraikan istrinya lalu menikah lagi.

Tetapi untuk pandangan ini juga ada keberatan, yaitu bahwa tak ada orang Kristen, baik itu penilik jemaat atau orang awam, yang diijinkan untuk melakukan polygamy. Lalu mengapa syarat ini ditekankan untuk seorang penilik jemaat?

Ada yang menganggap bahwa kalau seseorang sudah melakukan polygamy sebelum ia menjadi kristen, maka pada saat ia menjadi kristen, ia tak harus menceraikan istri-istrinya. Tetapi ia tidak boleh menjadi seorang penilik jemaat. Saya tidak setuju dengan pandangan ini.

Saya berpendapat karena polygamy pada saat itu merupakan suatu dosa yang membudaya, maka itu lebih ditoleransi pada saat itu. Jadi, untuk jemaat awam mungkin masih ditoleransi, tetapi untuk penatua / penilik jemaat tidak.

e) Ada lagi yang menafsirkan bahwa kata-kata ini artinya hanyalah bahwa seorang penilik jemaat harus menunjukkan teladan moral yang ketat (Donald Guthrie, Tyndale, hal 80).

Saya secara pasti memilih pandangan no d).

3) ‘dapat menahan diri’.

KJV: ‘vigilant’ (= waspada).

RSV/NIV/NASB: ‘temperate’ (= berkepala dingin / sabar).

Perbedaan arti ini kelihatannya muncul karena kata Yunaninya (NEPHALEON / NEPHALION) memang bisa diartikan bermacam-macam.

Barnes’ Notes: “‘Vigilant.’ ... It means, properly, ‘sober, temperate, abstinent,’ especially in respect to wine; then ‘sober-minded, watchful, circumspect. Robinson.’” (= ‘Waspada’. ... Kata ini sebetulnya berarti ‘sadar / waras / tidak mabuk, sabar, pantang / bisa menahan nafsu’, khususnya kerkenaan dengan anggur; lalu ‘berpikiran waras, berjaga-jaga, sangat berhati-hati, Robinson’).

Adam Clarke: “Instead of NEEPHALEON, many MSS. read NEEPHALION, this may be the better orthography, but makes no alteration in the sense” (= Banyak manuscripts yang menuliskan bukannya NEEPHALEON, tetapi NEEPHALION, ini mungkin merupakan ejaan yang lebih baik, tetapi tak membuat perubahan arti).

Adam Clarke: “He must be vigilant; NEEPHALEON, from NEE, ‘not’ and PINO, ‘to drink.’ Watchful; for as one who drinks is apt to sleep, so he who abstains from it is more likely to keep awake, and attend to his work and charge” (= Ia harus waspada: NEEPHALEON, dari NEE, ‘tidak’ dan PINO, ‘minum’. Berjaga-jaga; karena sebagai seseorang yang minum cenderung untuk tidur, demikian juga ia yang tidak minum lebih mungkin untuk tetap bangun, dan mengurusi pekerjaan dan tanggung jawabnya).

Matthew Henry: “He must be vigilant and watchful against Satan, that subtle enemy; he must watch over himself, and the souls of those who are committed to his charge, of whom having taken the oversight, ... A minister ought to be vigilant, because our adversary the devil goes about like a roaring lion, seeking whom he may devour, 1 Pet. 5:8.” (= Ia harus waspada dan berjaga-jaga terhadap setan, musuh yang licik itu; ia harus berjaga-jaga atas dirinya sendiri, dan jiwa-jiwa dari mereka yang dipercayakan / diserahkan kepadanya sebagai tanggung jawabnya, yang harus ia awasi, ... Seorang pendeta / pelayan harus waspada, karena lawan kita si Iblis berkeliling seperti singa yang mengaum-aum, mencari orang yang dapat ditelannya, 1Petrus 5:8).

4) ‘bijaksana’.

KJV: ‘sober’ (= tenang / sadar / waras / tidak mabuk).

RSV: ‘sensible’ (= bijaksana / berpikiran sehat).

NIV: ‘self-controlled’ (= menguasai diri).

NASB: ‘prudent’ (= hati-hati / bijaksana).

Yunani: SOPHRONA.

Adam Clarke: “SOOPHRONA, ... from SOOS, ‘sound’ (healthy), and PHREEN, ‘mind’, a man of a sound mind; having a good understanding, and the complete government of all his passions. A Bishop should be a man of learning, of an extensive and well cultivated mind, dispassionate, prudent, and sedate” (= SOOPHRONA, ... dari SOOS, ‘sehat’, dan PHREEN, ‘pikiran’, seseorang dengan pikiran sehat; mempunyai pengertian yang baik, dan pemerintahan sempurna / lengkap terhadap semua nafsunya. Seorang Uskup haruslah seorang yang terpelajar, yang mempunyai pikiran yang luas dan terlatih dengan baik, tenang, hati-hati / bijaksana, dan sabar).

Barnes’ Notes: “Properly, a man of ‘a sound mind;’ one who follows sound reason, and who is not under the control of passion. The idea is, that he should have his desires and passions well regulated. Perhaps the word ‘prudent’ would come nearer to the meaning of the apostle than any single word which we have” [= Secara tepat, seseorang dengan ‘pikiran yang sehat’; seseorang yang mengikuti akal sehat, dan yang tidak dikuasai oleh nafsu. Gagasan / artinya adalah, bahwa ia harus bisa mengatur keinginan dan nafsunya. Mungkin kata ‘prudent’ (hati-hati / bijaksana) lebih dekat pada arti dari sang rasul dari satu kata lain manapun yang kita punyai].

5) ‘sopan’.

KJV: ‘of good behaviour’ (= mempunyai kelakuan yang baik).

RSV: ‘dignified’ (= dihargai).

NIV/NASB: ‘respectable’ (= terhormat).

Adam Clarke: “He must be of good behaviour; KOSMION, orderly, decent, grave, and correct in the whole of his appearance, carriage, and conduct. The preceding term, SOOPHRONA, refers to the mind; this latter, KOSMION, to the external manners. A clownish, rude, or boorish man should never have the rule of the church of God; the sour, the sullen, and the boisterous should never be invested with a dignity which they would most infallibly disgrace” [= Ia harus mempunyai kelakuan baik; KOSMION, tertib, sopan, khidmat / serius, dan benar dalam seluruh penampilan, pembawaan / sikap diri, dan tingkah lakunya. Kata yang mendahuluinya, SOOPHRONA, menunjuk pada pikiran; kata setelahnya, KOSMION, menunjuk pada tingkah laku lahiriah. Seseorang yang seperti badut, kasar, atau tidak sopan tidak pernah boleh memerintah gereja Allah; orang yang masam, cemberut, dan ribut (cerawak?) tidak pernah boleh diberi suatu kewibawaan yang hampir pasti dipermalukannya].

6) ‘suka memberi tumpangan’ (ay 2b).

KJV: ‘given to hospitality’ (= suka memberi tumpangan).

Matthew Henry: “He must be given to hospitality, open-handed to strangers, and ready to entertain them according to his ability” (= Ia harus suka memberi tumpangan, terbuka bagi orang-orang asing, dan siap untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuannya).

Adam Clarke: “He must be given to hospitality; PHILOXENON, literally, a lover of strangers; one who is ready to receive into his house and relieve every necessitous stranger” (= Ia harus suka memberi tumpangan; PHILOXENON, secara hurufiah, ‘pecinta orang asing’; seseorang yang siap untuk menerima dalam rumahnya dan meringankan beban dari setiap orang asing yang membutuhkan).

Lenski: “It does not mean to entertain and to feast friends or even the poor but to take in Christian strangers or acquaintances when these are traveling, or when they are fleeing from persecutions and often are without means of any kind. ... There was much travel everywhere in the empire, which helped the spread of the gospel immensely. Christian travelers would want to lodge with Christians and to receive their trustworthy aid in whatever business they had. Christian hospitality was a great blessing to them. Persecution made fugitives who were often in great need. Then other cases such as poverty, sickness, the need of some widow and some orphan would afford opportunity for hospitality” [= Itu tidak berarti menjamu dan memestakan teman-teman atau bahkan orang-orang miskin, tetapi menerima orang-orang Kristen baik orang asing atau kenalan, pada waktu mereka sedang menempuh perjalanan, atau pada waktu mereka sedang lari dari penganiayaan dan sering tanpa harta apapun. ... Ada banyak perjalanan dimana-mana dalam kekaisaran (Romawi), yang sangat membantu penyebaran injil. Orang Kristen yang menempuh perjalanan menginginkan tempat penginapan bersama orang-orang kristen dan menerima bantuan yang dapat dipercaya dalam kesibukan / pekerjaan apapun yang mereka punyai. Pemberian tumpangan Kristen merupakan berkat yang besar bagi mereka. Penganiayaan membuat pelarian-pelarian sering berada dalam kebutuhan yang besar. Lalu kasus-kasus lain seperti kemiskinan, kesakitan, kebutuhan dari sebagian janda dan anak-anak yatim juga membuka kesempatan bagi pemberian tumpangan] - hal 583.

Memberi tumpangan memang merupakan sesuatu yang diperintahkan dan dipuji dalam banyak ayat Kitab Suci seperti:

Roma 12:13 - “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!”.

Roma 16:23 - “Salam kepada kamu dari Gayus, yang memberi tumpangan kepadaku, dan kepada seluruh jemaat. Salam kepada kamu dari Erastus, bendahara negeri, dan dari Kwartus, saudara kita”.

1Timotius 5:10 - “dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan - pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik”.

Titus 1:8 - “melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri”.

Filemon 1:22 - “Dalam pada itu bersedialah juga memberi tumpangan kepadaku, karena aku harap oleh doamu aku akan dikembalikan kepadamu”.

Ibrani 13:2 - “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”.

1Petrus 4:9 - “Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut”.

Juga tidak boleh dilupakan kata-kata / nubuat dari Kristus dalam Mat 25:35,38,40,43-45 - “(35) Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ... (38) Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? ... (40) Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. ... (43) ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. (44) Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? (45) Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku”.

Catatan: dalam jaman dimana banyak penjahat menyamar sebagai orang miskin atau bahkan sebagai orang Kristen yang membutuhkan bantuan, harus membuat kita SANGAT waspada / berhati-hati dalam menjalankan perintah ini. Jangan mempercayai seadanya orang, bahkan yang mengaku Kristen, atau mengaku sebagai orang yang diusir oleh keluarga gara-gara menjadi orang Kristen dsb! Sudah ada sangat banyak penipuan seperti itu! Jangan membiarkan kasih / keinginan kita untuk membantu orang lain dimanfaatkan orang-orang jahat yang ingin menipu. Kasih tidak harus bodoh atau membiarkan dirinya dimanfaatkan orang / ditipu orang!

7) ‘cakap mengajar orang’ (1 Timotius 3: 2).

KJV: ‘apt to teach’ (= cocok / suka untuk mengajar).

RSV: ‘an apt teacher’ (= seorang pengajar yang tepat / tangkas / cocok).

NIV/NASB: ‘able to teach’ (= bisa mengajar).

Bdk. 2Tim 2:24 - “sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar”.

Catatan: kata Yunani yang digunakan dalam 2Tim 2:24 sama persis dengan yang digunakan dalam 1Tim 3:2 ini, yaitu DIDAKTIKON.

Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa kata Yunani di sini seharusnya diterjemahkan ‘teachable’ (= bisa diajar), dan dengan demikian menunjukkan kerendahan hati yang harus ada dalam diri seorang penatua. Tetapi kebanyakan penafsir menganggap bahwa arti / terjemahan yang benar bukanlah ‘teachable’ (= bisa diajar), tetapi ‘able to teach’ (= bisa mengajar) seperti dalam terjemahan NIV/NASB. Tetapi perlu juga diingat bahwa kalau ia bukan seorang yang bisa diajar maka saya yakin ia juga tidak akan bisa mengajar, karena untuk bisa mengajar seseorang harus mau belajar. Apalagi untuk seorang pendeta, ia harus terus belajar kalau ia memang mau terus mengajar! Karena itu seorang pendeta / pengkhotbah / pengajar firman harus membatasi pelayanannya, supaya ia tetap mempunyai waktu yang cukup untuk belajar!

Pulpit Commentary: “The pastor must have the capacity to impart Christian knowledge, the ability to interpret Scripture, to explain its doctrine, to enforce its precepts, and to defend it against errorists of every class” (= Pendeta / gembala harus mempunyai kapasitas / kecakapan untuk memberikan pengetahuan Kristen, kemampuan untuk menafsirkan Kitab Suci, menjelaskan doktrin-doktrin / ajaran-ajarannya, memberi argumentasi untuk menguatkan peraturan-peraturan / perintah-perintah / ajaran-ajarannya, dan mempertahankannya terhadap orang-orang salah dari setiap golongan) - hal 58.

Catatan: bandingkan kata-kata ini dengan pendeta yang mengajar jemaatnya untuk tidak berdebat! Bdk. 1Petrus 3:15 - “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”.

Matthew Henry: “Apt to teach. Therefore this is a preaching bishop whom Paul describes, one who is both able and willing to communicate to others the knowledge which God has given him, one who is fit to teach and ready to take all opportunities of giving instructions, who is himself well instructed in the things of the kingdom of heaven, and is communicative of what he knows to others” (= ‘cocok / suka untuk mengajar’. Karena itu ini adalah seorang uskup yang berkhotbah yang digambarkan oleh Paulus, seseorang yang mampu dan mau untuk menyampaikan kepada orang-orang lain pengetahuan yang telah Allah berikan kepadanya, seseorang yang cocok untuk mengajar dan siap untuk mengambil semua kesempatan untuk memberikan instruksi / pengajaran, yang dirinya sendiri telah diajar dengan baik dalam hal-hal dari kerajaan surga, dan yang suka membicarakan apa yang ia ketahui kepada orang-orang lain).

Adam Clarke: “He should be apt to teach; DIDAKTIKON, one capable of teaching; not only wise himself, but ready to communicate his wisdom to others. One whose delight is, to instruct the ignorant and those who are out of the way. He must be a preacher; an able, zealous, fervent, and assiduous preacher. He is no Bishop who has health and strength, and yet seldom or never preaches; i. e. if he can preach - if he have the necessary gifts for the office” [= Ia harus orang yang cocok / suka untuk mengajar; DIDAKTIKON, seseorang yang mampu untuk mengajar; bukan hanya dirinya sendiri yang berhikmat, tetapi siap untuk menyampaikan hikmatnya kepada orang-orang lain. Seseorang yang kesenangannya adalah, untuk mengajar orang-orang yang tidak tahu dan mereka yang ada di luar jalan (kekristenan). Ia harus merupakan seorang pengkhotbah; seorang pengkhotbah yang mampu, bersemangat, bersungguh-sungguh dan rajin / tekun. Ia bukanlah seorang Uskup kalau ia hanya mempunyai kekayaan dan kekuatan tetapi jarang atau tidak pernah berkhotbah; yaitu jika ia bisa berkhotbah - jika ia mempunyai karunia-karunia yang dibutuhkan untuk tugas / jabatan itu].

Barnes’ Notes: “‘Apt to teach.’ ... that is, capable of instructing, or qualified for the office of a teacher of religion. As the principal business of a preacher of the gospel is to teach, or to communicate to his fellow-men the knowledge of the truth, the necessity of this qualification is obvious. No one should be allowed to enter the ministry who is not qualified to impart instruction to others on the doctrines and duties of religion; and no one should feel that he ought to continue in the ministry, who has not industry, and self-denial, and the love of study enough to lead him constantly to endeavor to increase in knowledge, that he may be qualified to teach others. A man who would teach a people, must himself keep in ADVANCE of them on the subjects on which he would instruct them” (= ‘Cocok / suka untuk mengajar’. ... yaitu mampu untuk mengajar, atau memenuhi syarat bagi tugas / jabatan dari seorang guru / pengajar agama. Karena kesibukan utama dari seorang pengkhotbah injil adalah mengajar, atau menyampaikan kepada sesamanya pengetahuan tentang kebenaran, perlunya persyaratan ini merupakan sesuatu yang jelas. Tak seorangpun boleh diijinkan masuk ke dalam pelayanan kalau ia tidak memenuhi syarat untuk memberikan pengajaran kepada orang-orang lain tentang doktrin-doktrin / ajaran-ajaran dan kewajiban-kewajiban dari agama; dan tak seorangpun boleh merasakan bahwa ia harus terus ada dalam pelayanan, kalau ia tidak mempunyai kerajinan, dan penyangkalan diri, dan kecintaan belajar yang cukup untuk membimbing dia secara terus menerus untuk berusaha meningkatkan pengetahuannya, sehingga ia bisa memenuhi syarat untuk mengajar orang-orang lain. Seseorang yang mau mengajar orang-orang, harus menjaga agar dirinya sendiri lebih maju dari mereka dalam hal tentang mana ia mau mengajar mereka).

Karena itu saya menganggap bahwa syarat tua-tua / penatua adalah rajin belajar Firman Tuhan / rajin ikut Pemahaman Alkitab. Perlu juga diingat bahwa tugasnya adalah membimbing jemaat, berarti mendorong jemaat untuk rajin belajar Firman Tuhan. Bagaimana ia bisa mendorong jemaat untuk rajin belajar Firman Tuhan, kalau ia sendiri tidak datang dalam Pemahaman Alkitab?

William Hendriksen: “though all the overseers must have this ability in a certain degree, so that they can counsel those who seek their advice, some have received greater or different talents than others. Hence, even in Paul’s day the work of the elders was divided, so that, while all took part in ruling the church, some were entrusted with the responsibility of laboring in the word and in teaching (1Tim 5:17). Accordingly the distinction arose between those overseers who today are generally called ‘ministers’ and those who are simply called ‘elders.’” [= sekalipun semua penilik jemaat harus mempunyai kemampuan ini dalam tingkat tertentu, sehingga mereka bisa membimbing orang-orang yang mencari nasehat dari mereka, sebagian telah menerima talenta-talenta yang lebih besar atau berbeda dari yang lain. Karena itu, bahkan pada jaman Paulus pekerjaan dari tua-tua dibagi, sehingga sementara semua ambil bagian dalam pemerintahan gereja, bebarapa dipercayai dengan tanggung jawab untuk berjerih payah dalam firman dan pengajaran (1Tim 5:17). Sesuai dengan hal itu muncul perbedaan antara penilik-penilik jemaat yang pada jaman sekarang biasanya disebut ‘pendeta-pendeta’ dan mereka yang hanya disebut ‘tua-tua’.] - hal 124.

1Timotius 5:17 - “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar”.

8) ‘bukan peminum’ (1 Timotius 3: 3).

KJV: ‘Not given to wine’ (= Tidak suka / cenderung pada anggur).

RSV: ‘no drunkard’ (= bukan pemabuk).

NIV: ‘not given to drunkenness’ (= tidak suka mabuk).

NASB: ‘not addicted to wine’ (= tidak mencandu pada anggur).

Yang dilarang bukan sekedar minum anggur. Itu tak pernah dilarang dalam Kitab Suci. Yang dilarang adalah minum berlebihan sehingga mabuk!

Barnes’ Notes: “It cannot be inferred, from the use of the word here, that wine was absolutely and entirely prohibited; for the word does not properly express that idea. It means that one who is in the HABIT of drinking wine, or who is accustomed to sit with those who indulge in it, should not be admitted to the ministry” (= Dari penggunaan kata di sini tidak bisa disimpulkan bahwa anggur dilarang secara mutlak dan sepenuhnya; karena kata itu tidak menyatakan gagasan itu. Itu hanya berarti bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan minum anggur, atau yang terbiasa untuk duduk dengan mereka yang menuruti keinginannya dalam hal itu, tidak seharusnya diterima dalam pelayanan).

Catatan: ini tentu bukan hanya berlaku untuk anggur tetapi seadanya minuman yang memabukkan / menghilangkan kesadaran / penguasaan diri. Dan saya setuju kalau ini juga diterapkan pada narkotika.

9) ‘bukan pemarah melainkan peramah, pendamai’ (ay 3).

RSV/NIV: ‘not violent but gentle, not quarrelsome’ (= tidak suka bertindak kasar tetapi lemah lembut, tidak suka bertengkar).

NASB: ‘or pugnacious, but gentle, uncontentious’ (= atau suka berkelahi, tetapi lemah lembut, suka bertengkar).

KJV: ‘no striker, not greedy of filthy lucre; but patient, not a brawler’ (= bukan seorang yang suka memukul, bukan seorang yang tamak pada uang yang kotor; tetapi sabar, bukan seorang yang suka bercekcok).

Catatan: Bagian yang saya garis-bawahi dalam KJV seharusnya tidak ada, dan kebanyakan penafsir menganggap kata-kata ini tidak asli. Clarke menduga bahwa ini diambil dari 1Tim 3:8 (yang merupakan persyaratan diaken). Mungkin mereka menganggap bahwa kalau diaken saja diberi persyaratan seperti ini, maka tua-tua tentu juga harus. Tetapi menambahi seperti ini sama sekali tidak perlu, karena dalam persyaratan berikutnya (ay 3 akhir) ada ‘bukan hamba uang’ dan itu tak terlalu berbeda dengan apa yang ditambahkan di sini dalam KJV. Dengan ditambahkan seperti dalam KJV, justru terjadi penumpukan 2 yang tidak perlu karena kedua persyaratan itu sebetulnya sama.

Ada 3 kata yang dipersoalkan dalam bagian ini. Kata yang pertama menunjuk pada gegeran secara fisik / berkelahi, sedangkan kata ketiga menunjuk pada gegeran dengan mulut. Kata yang kedua menunjukkan sifat yang seharusnya ada dalam diri penatua.

Ketiga hal di atas ini sudah jelas artinya, dan karena itu tak perlu diuraikan / dibahas lebih lanjut. Saya lebih ingin membahas hal yang berkebalikan, supaya hal-hal ini jangan ditekankan secara extrim. Perlu ditekankan bahwa ‘tak suka bertengkar’ tidak berarti orang Kristen / penatua / pendeta tidak boleh gegeran / marah sama sekali! Kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa orang Kristen / penatua / pendeta secara mutlak tak boleh bertengkar / gegeran, maka mereka harus memperhatikan fakta-fakta ini:

a) Yesus sendiri pernah marah, seperti:

1. Dalam kasus penyucian Bait Allah (Yoh 2:13-dst Matius 21:12-13).

2. Dalam kasus Ia ‘menyerang’ ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan kata-kata yang sangat keras dalam Mat 23.

3. Dalam Markus 3:5 - “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekelilingNya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu”.

4. Dan sebagainya.

b) Dalam kasus tertentu ‘tidak marah’ justru dikecam, dan ‘marah’ justru dipuji.

Wah 2:2 - “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta”.

2Korintus 11:4 - “Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima”.

c) Kebenaran harus diutamakan dari pada ‘damai’!

Yakobus 3:17 - “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik”.

Mari kita memperhatikan hanya 2 hal yang pertama saja.

1. Murni.

Murni berarti tidak ada campuran / kotoran. Campuran / kotoran itu bisa merupakan motivasi yang salah, atau keti­dakbenaran.

Dalam Yakobus 3:17 itu dikatakan ‘pertama-tama murni’, dan ini menunjukkan bahwa tanpa kemurnian, hal-hal yang lain di bawahnya tidak akan terjadi.

2. Pendamai.

Ini menunjuk pada orang yang:

a. Tak senang mencari gara-gara / permusuhan.

b. Tak senang membalas kejahatan dengan kejahatan.

c. Tak senang mengadu domba, tetapi sebaliknya senang mendamaikan.

Tetapi perlu diingat bahwa ‘pendamai’ ini bukannya orang yang lebih senang kompromi dari pada gegeran, pada saat dimana gegeran itu sebetulnya dibutuhkan. Misalnya pada saat kita melihat ada korupsi atau pengajaran sesat dalam gereja. Ingat bahwa yang dinomer-satukan adalah ‘murni’, dan karena itu, dalam mempertahankan kemurnian itu bisa saja kita terpaksa harus mengorbankan perdamaian!

Pada waktu Martin Luther melihat adanya begitu banyak ajaran dan praktek yang salah dari gereja Roma Katolik pada saat itu, apakah ia tetap memelihara perdamaian? Tidak, tetapi sebaliknya ia memakukan 95 thesisnya di pintu gereja Witten­berg, dan ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam gereja! Beranikah saudara menyalahkan Martin Luther dan menganggap­nya sebagai orang yang tidak cinta damai?

Thomas Manton: “If the chiefest care must be for purity, then peace may be broken in truth’s quarrel. It is a zealous speech of Luther that rather heaven and earth should be blended together in confusion than one jot of truth perish” (= Jika perhatian yang paling utama adalah untuk kemurnian, maka damai boleh dihancurkan dalam pertengkaran kebenaran. Merupakan suatu ucapan yang bersemangat dari Luther bahwa lebih baik langit dan bumi bercampur aduk menjadi satu dari pada satu titik kebenaran binasa).

Calvin (tentang Efesus 5:11): “But rather than the truth of God shall not remain unshaken, let a hundred worlds perish” (= Tetapi dari pada kebenaran Allah tergoncangkan, lebih baik seratus dunia binasa).

10) ‘bukan hamba uang’ (1 Timotius 3: 3).

KJV: ‘not covetous;’ (= tidak tamak).

RSV: ‘no lover of money’ (= bukan pecinta uang).

NIV: ‘not a lover of money’ (= bukan seorang pecinta uang).

NASB: ‘free from the love of money’ (= bebas dari cinta uang).

Calvin: “All covetous persons are wickedly desirous of gain; for, wherever covetousness is, there will also be that baseness of which the apostle speaks. “He who wishes to become rich wishes also to become rich soon.” The consequence is, that all covetous persons, even though this is not openly manifest, apply their minds to dishonest and unlawful gains” (= Semua orang tamak menginginkan keuntungan dengan jahat; karena dimanapun ada ketamakan, di sana juga ada kejelekan yang dibicarakan oleh sang rasul. ‘Ia yang ingin untuk menjadi kaya juga ingin untuk menjadi kaya dengan cepat’. Konsekwensinya adalah bahwa semua orang tamak, sekalipun ini tidak dinyatakan secara terbuka, menggunakan pikiran mereka pada keuntungan yang tidak jujur dan tidah sah).

Matthew Henry: “Not covetous. Covetousness is bad in any, but it is worst in a minister, whose calling leads him to converse so much with another world” (= ‘Tidak tamak’. Ketamakan itu buruk dalam diri siapapun, tetapi itu paling buruk dalam diri seorang pendeta, yang panggilannya membimbingnya untuk hidup begitu banyak dengan dunia yang lain).

Adam Clarke: “He must not be covetous; APHILARGURON, not a lover of money; not desiring the office for the sake of its emoluments. He who loves money will stick at nothing in order to get it. Fair and foul methods are to him alike, provided they may be equally productive. For the sake of reputation he may wish to get all honourably; but if that cannot be, he will not scruple to adopt other methods. A brother pagan gives him this counsel: ‘Get money if thou canst by fair means; if not, get it by hook and by crook.’” (= Ia tidak boleh tamak; APHILARGURON, bukan seorang pecinta uang; tidak menginginkan jabatan itu demi honorariumnya. Ia yang mencintai uang tidak akan terpancang pada apapun demi mendapatkan uang itu. Metode yang jujur / adil dan kotor baginya adalah sama, asal keduanya sama-sama menghasilkan. Demi reputasi / nama baik ia bisa berharap untuk mendapatkan semua itu dengan cara terhormat; tetapi jika itu tidak bisa, ia tidak akan keberatan untuk mengadopi metode-metode yang lain. Seorang kafir memberinya nasehat ini: ‘Dapatkanlah uang dengan cara yang jujur jika engkau bisa; jika tidak, dapatkanlah itu dengan cara yang bengkak-bengkok’).

Barnes’ Notes: “there is nothing that more certainly paralyzes the usefulness of a minister of the gospel than the love of money. There is an instinctive feeling in the human bosom that such a man ought to be actuated by a nobler and a purer principle. As avarice, moreover, is the great sin of the world - the sin that sways more hearts, and does more to hinder the progress of the gospel, than all others combined - it is important in the highest degree that the minister of religion should be an example of what men should be, and that he, by his whole life, should set his face against that which is the main obstruction to the progress of that gospel which he is appointed to preach” (= tidak ada apapun yang secara pasti lebih melumpuhkan kegunaan dari seorang pelayan injil dari cinta uang. Ada suatu perasaan yang bersifat naluri dalam dada manusia bahwa orang seperti itu seharusnya digerakkan oleh suatu prinsip yang lebih mulia dan lebih murni. Tetapi lebih lagi, karena ketamakan adalah dosa yang besar dari dunia - dosa yang mempengaruhi lebih banyak hati, dan lebih menghalangi kemajuan injil, dari semua dosa-dosa lain digabungkan - adalah hal yang terpenting bahwa seorang pelayan / pendeta dari agama harus menjadi seorang teladan tentang bagaimana manusia itu seharusnya, dan bahwa ia, oleh seluruh hidupnya, harus mengarahkan wajahnya menentang apa yang merupakan halangan utama bagi kemajuan injil yang ditetapkan baginya untuk dikhotbahkan).

Cinta uang ini bisa membawa ke dalam bermacam-macam dosa, dan bahkan bisa menyebabkan penatua / pendeta mengkomersialkan pelayanannya.

Bandingkan dengan 1Timotius 6:6-10 - “(6) Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (7) Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. (8) Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (9) Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. (10) Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.

Syarat ini bertentangan dengan ciri-ciri dari nabi-nabi palsu yang cinta uang. Tetapi jangan lupa bahwa nabi asli juga adalah manusia berdosa. Jadi bisa saja nabi asli juga mata duitan. Tetapi bagaimanapun, nabi asli tetap punya tujuan untuk memuliakan Tuhan. Tetapi kalau nabi palsu, ia betul-betul hanya peduli uang, dan tak peduli kemuliaan Tuhan sama sekali. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

Yeremia 8:10 - “Sebab itu Aku akan memberikan isteri-isteri mereka kepada orang lain, ladang-ladang mereka kepada penjajah. Sesungguhnya, dari yang kecil sampai yang besar, semuanya mengejar untung; baik nabi maupun imam, semuanya melakukan tipu”.

Titus 1:11 - “Orang-orang semacam itu harus ditutup mulutnya, karena mereka mengacau banyak keluarga dengan mengajarkan yang tidak-tidak untuk mendapat untung yang memalukan”.

2Petrus 2:3 - “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda”.

Roma 16:17-18 - “(17) Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka! (18) Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hatinya”.

Mikha 3:11 - “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: ‘Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!’”.

Yehezkiel 34:2-4 - “(2) ‘Hai anak manusia, bernubuatlah melawan gembala-gembala Israel, bernubuatlah dan katakanlah kepada mereka, kepada gembala-gembala itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? (3) Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. (4) Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman”.

Contohnya banyak terdapat dalam diri pendeta-pendeta yang memang menggunakan gereja menjadi bisnis! Ada pendeta-pendeta yang mematok tarif pada waktu mereka diundang, minta sekian juta dan sebagainya, masih ditambahi minta tidur di hotel bintang lima, minta dijemput dengan Mercy, dan sebagainya.

Contoh lain: pendeta yang bersikap baik (seperti mau berjerih payah memberikan counseling, mau mengunjungi dsb) kepada jemaat yang kaya, tetapi tidak kepada jemaat yang miskin! Memang sikap mata duitan ini biasanya menyebabkan ia punya ciri yang satu ini: ia baik / ramah kepada orang yang menguntungkannya secara materi, tetapi tidak kepada orang-orang yang tidak menguntungkannya.

Bdk. Mikha 3:5 - “Beginilah firman TUHAN terhadap para nabi, yang menyesatkan bangsaku, yang apabila mereka mendapat sesuatu untuk dikunyah, maka mereka menyerukan damai, tetapi terhadap orang yang tidak memberi sesuatu ke dalam mulut mereka, maka mereka menyatakan perang”.

11) ‘seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya’ (ay 4).

KJV: ‘One that ruleth well his own house, having his children in subjection with all gravity;’ (= Seseorang yang memerintah rumah / keluarganya dengan baik, yang anak-anaknya tunduk dengan semua kesungguhan / keseriusan).

RSV: ‘He must manage his own household well, keeping his children submissive and respectful in every way;’ (= Ia harus mengatur rumah tangganya dengan baik, menjaga anak-anaknya tunduk dan hormat dalam setiap cara / jalan).

NIV: ‘He must manage his own family well and see that his children obey him with proper respect’ (= Ia harus mengatur keluarganya sendiri dengan baik dan mengusahakan supaya anak-anaknya mentaatinya dengan hormat yang seharusnya).

NASB: ‘He must be one who manages his own household well, keeping his children under control with all dignity’ (= Ia haruslah seseorang yang mengatur rumah tangganya dengan baik, menjaga anak-anaknya di bawah kontrol dengan semua kewibawaan).

Lenski mengatakan (hal 586) bahwa ini tidak berarti bahwa seorang penatua harus mempunyai anak, tetapi kalau ia mempunyai anak, maka anak-anaknya harus tunduk kepadanya.

Alasan dari persyaratan ini diberikan dalam ay 5nya: ‘Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?’.

Catatan: kata ‘jemaat’ seharusnya adalah ‘gereja’.

Matthew Henry: “He must be one who keeps his family in good order: That rules well his own house, that he may set a good example to other masters of families to do so too, and that he may thereby give a proof of his ability to take care of the church of God: For, if a man know not how to rule his own house, how shall he take care of the church of God. Observe, The families of ministers ought to be examples of good to all others families. Ministers must have their children in subjection; then it is the duty of ministers’ children to submit to the instructions that are given them. - ‘With all gravity.’ The best way to keep inferiors in subjection, is to be grave with them. Not having his children in subjection with all austerity, but with all gravity” [= Ia haruslah seseorang yang menjaga / memelihara keluarganya dalam tata tertib yang baik: Yang memerintah keluarga / rumahnya sendiri dengan baik, sehingga ia bisa memberikan teladan yang baik kepada kepala keluarga yang lain untuk juga berbuat seperti itu, dan supaya dengan itu ia bisa memberi bukti tentang kemampuannya untuk mengurus gereja Allah: Karena, jika seseorang tidak tahu bagaimana memerintah rumah / keluarganya sendiri, bagaimana ia akan mengurus gereja Allah. Perhatikan, Keluarga dari pendeta / pelayan harus menjadi teladan kebaikan bagi semua keluarga-keluarga yang lain. Pendeta / pelayan harus mempunyai anak-anak yang tunduk kepadanya; dan karena itu maka merupakan kewajiban dari anak-anak pendeta / pelayan untuk tunduk pada instruksi-instruksi yang diberikan kepada mereka. - ‘dengan semua kesungguhan / keseriusan’ (KJV). Cara terbaik untuk menjaga orang-orang yang lebih rendah untuk tunduk adalah dengan bersikap sungguh-sungguh / serius terhadap mereka. Bukan membuat anak-anaknya tunduk dengan semua kekerasan, tetapi dengan semua kesungguhan / keseriusan].

Catatan:

a) Ini tak berarti bahwa seorang pendeta / penatua tidak boleh bergurau dengan anak-anaknya dan harus selalu bersikap serius. Dalam keadaan normal tentu boleh saja bergurau dengan anak-anak. Tetapi pada waktu mereka berbuat sesuatu yang salah, dan kita sebagai orang tua menegur / memarahi mereka, kita harus bersikap sungguh-sungguh / serius. Jangan menegur sambil tertawa / tersenyum, tak peduli kesalahan mereka itu kelihatan lucu!

b) Ini juga tidak berarti bahwa sikap keras sama sekali tidak boleh ada. Bandingkan dengan:

· Amsal 13:24 - “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya”.

· Amsal 23:13-14 - “(13) Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. (14) Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”.

· Amsal 29:15 - “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya”.

Dalam Kitab Suci kita melihat banyak tokoh yang betul-betul gagal dengan keluarga / anak-anaknya. Misalnya Eli dan anak-anaknya (1Sam 2:12-17,22-25), dan demikian juga Samuel dan anak-anaknya (1Samuel 8:1-5). Sekalipun Eli dan Samuel bukanlah penatua, tetapi jelas mereka adalah pemimpin gereja dalam Perjanjian Lama, dan karena itu, hal seperti itu tak seharusnya terjadi dalam diri mereka.

Juga Daud, orang yang begitu saleh, mempunyai banyak anak yang brengsek. Amnon (anak sulungnya) memperkosa adiknya tirinya sendiri, yaitu Tamar, lalu Absalom membunuh Amnon, dan Absalom memberontak terhadap Daud / bapaknya sendiri, dan melakukan hubungan sex dengan gundik-gundik Daud di depan seluruh Israel (2Sam 13-18).

Juga Yakub, mempunyai banyak anak yang brengsek, seperti Yehuda (bdk Kej 38), dan juga Simeon dan Lewi yang melakukan pembunuhan massal (bdk. Kej 34), dan juga Ruben yang melakukan incest dengan Bilha / ibu tirinya (Kej 35:22).

Saya percaya bahwa Eli, Samuel, Yakub, dan Daud mempunyai anak-anak yang brengsek karena kesalahan mereka sendiri. Ada yang karena tak bisa mendidik anak-anaknya, dan ada yang karena mereka melakukan polygamy.

Tetapi bisa saja seseorang mempunyai keluarga yang brengsek bukan karena kesalahan mereka. Sebagai contoh adalah Nuh, yang mempunyai anak yang brengsek, yaitu Ham (Kej 9:21-27). Juga Ayub, yang istrinya brengsek (Ayub 2:9-10). Dan demikian juga dengan Hosea, yang istrinya lari darinya dan melacur (Hos 1-3).

Lalu bagaimana dengan Paulus sendiri? Banyak orang menganggap Paulus tidak pernah menikah, dan karena itu tidak pernah mempunyai anak-anak / keluarga. Tetapi benarkah itu? Perhatikan komentar-komentar di bawah ini:

Barclay (tentang 1Korintus 7:3-7): “We may be as fairly certain that at some time Paul had been married. (i) We may be certain of that on general grounds. He was a Rabbi and it was his own claim that he had failed in none of the duties which Jewish law and tradition laid down. Now orthodox Jewish belief laid down the obligation of marriage. If a man did not marry and have children, he was said to have ‘slain his posterity,’ ‘to have lessened the image of God in the world.’ Seven were said to be excommunicated from heaven, and the list began, ‘A Jew who has no wife; or who has a wife but no children.’ God had said, ‘Be fruitful and multiply,’ and, therefore, not to marry and not to have children was to be guilty of breaking a positive commandment of God. The age of marriage was considered to be eighteen; and therefore it is in the highest degree unlikely that so devout and orthodox a Jew as Paul once was would remained unmarried. (ii) On particular grounds there is also evidence that Paul was married. He must have been a member of the Sanhedrin for he says that he gave his vote against the Christians. (Acts 26:10). It was a regulation that members of the Sanhedrin must be married men, because it was held that married men were more merciful. It may be that Paul’s wife died; it is even more likely that she left him and broke up his home when he became a Christian” [= Kita bisa hampir pasti bahwa ada saat dimana Paulus menikah. (i) Kita bisa pasti tentang hal itu berdasarkan beberapa hal. Ia adalah seorang rabi, dan merupakan claimnya sendiri bahwa ia tidak gagal dalam kewajiban apapun yang diberikan oleh hukum dan tradisi Yahudi. Kepercayaan orthodox Yahudi memberikan kewajiban untuk menikah. Jika seseorang tidak menikah dan mempunyai anak-anak, ia dikatakan telah ‘membunuh keturunannya’, ‘mengurangi gambar Allah dalam dunia’. Ada 7 orang yang dikucilkan dari surga, dan daftar itu dimulai dengan ‘Seorang Yahudi yang tak mempunyai istri; atau mempunyai istri tetapi tidak mempunyai anak-anak’. Allah telah berfirman, ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak’, dan karena itu, tidak menikah dan tidak mempunyai anak-anak merupakan suatu kesalahan yang melanggar perintah yang positif dari Allah. Usia dimana seseorang menikah adalah 18 tahun; dan karena itu sangat kecil kemungkinannya bahwa seorang Yahudi yang begitu berbakti dan orthodox seperti Paulus tidak pernah menikah. (ii) Berdasarkan hal-hal khusus / tertentu juga ada bukti bahwa Paulus pernah menikah. Ia pasti dulunya merupakan anggota dari Sanhedrin karena ia berkata bahwa ia memberikan suaranya menentang orang-orang kristen (Kis 26:10). Merupakan suatu peraturan bahwa anggota-anggota dari Sanhedrin harus adalah orang laki-laki yang menikah, karena dipercaya bahwa orang yang menikah itu lebih berbelas kasihan. Mungkin saja istri Paulus meninggal; lebih mungkin lagi bahwa ia meninggalkan Paulus dan menceraikan keluarganya pada waktu Paulus menjadi orang Kristen] - hal 60-61.

Kis 26:10 - “Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati”.

Kata-kata ‘aku juga setuju’ yang saya garis bawahi itu diterjemahkan secara agak berbeda dalam Kitab Suci bahasa Inggris.

KJV: ‘I gave my voice against them’ (= Aku memberikan suaraku menentang mereka).

RSV/NIV/NASB: ‘I cast my vote against them’ (= Aku memberikan suaraku menentang mereka).

Catatan: anehnya, kalau demikian Paulus seharusnya bukan hanya mempunyai istri tetapi juga harus mempunyai anak. Mengapa ia tak pernah cerita tentang hal itu?

F. F. Bruce: “granted that he was not married during his apostolic activity, had he ever been married? It may be pointed out that marriage was normal and, indeed, expected in pious Jews when they came of age. True, Jesus had spoken of certain exceptions - those who, as he said, had ‘made themselves eunuchs for the sake of the kingdom of heaven’ (Matthew 19:12) - among whom he may be included John the Baptist and himself. But Paul was not presumable influenced by considerations of this kind in his pre-Christian days. What then? Was he a widower? Perhaps he was: the question has received a positive answer from Joachim Jeremias, for example. Rather more probable is the view that his wife left him when he became a Christian: that when he ‘suffered the loss of all things’ for the sake of Christ he lost his wife too. This cannot be proved, of course, but if something like this did happen it might explain Paul’s specially sympathetic understanding of the domestic situation in which the unconverted partner walks out on the husband or wife who has become a Christian: ‘in such case the brother or sister is not bound’ (1Corinthians 7:15)” [= Diakui bahwa ia tidak menikah / tidak mempunyai istri selama aktivitas rasulinya, tetapi apakah ia pernah menikah sebelumnya? Perlu ditunjukkan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang normal dan memang diharapkan dalam diri seorang Yahudi yang saleh pada waktu mereka mencapai usia pernikahan. Memang, Yesus telah berbicara tentang perkecualian-perkecualian tertentu - mereka yang, seperti Ia katakan, telah membuat diri mereka sendiri orang kebiri / tak menikah demi kerajaan surga (Matius 19:12) - di antara siapa Ia mungkin mencakup Yohanes Pembaptis dan diriNya sendiri. Tetapi Paulus tidak bisa dianggap dipengaruhi oleh pertimbangan seperti ini pada masa sebelum ia menjadi orang Kristen. Jadi bagaimana? Apakah ia seorang duda? Mungkin ia memang seorang duda: pertanyaan ini telah mendapatkan jawaban positif, misalnya dari Joachim Jeremias. Tetapi lebih mungkin adalah pandangan bahwa istrinya meninggalkan dia pada saat ia menjadi orang Kristen: sehingga pada waktu ia ‘menderita kerugian / kehilangan segala sesuatu’ demi Kristus, ia kehilangan istrinya juga. Tentu saja ini tidak bisa dibuktikan, tetapi jika sesuatu seperti ini memang terjadi, itu bisa menjelaskan pengertian yang bersifat sipatik secara khusus dari Paulus tentang situasi rumah tangga dimana pasangan yang tidak beriman meninggalkan suami atau istri yang telah menjadi orang Kristen: ‘dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat’ (1Kor 7:15)] - ‘Paul Apostle of the Heart Set Free’, hal 269-270.

1Kor 7:13-15 - “(13) Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. (14) Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. (15) Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.

Sekarang mari kita perhatikan 1Kor 7:7, tetapi akan kita baca mulai 1Kor 7:1, supaya terlihat seluruh kontextnya.

1Korintus 7:1-7 - “(1) Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, (2) tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. (3) Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. (4) Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. (5) Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak. (6) Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah. (7) Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu”.

A. T. Robertson (tentang 1Korintus 7:7): “‘Even as I myself.’ ... This clearly means that Paul was not then married and it is confirmed by 1 Cor. 9:5. Whether he had been married and was now a widower turns on the interpretation of Acts 26:10 ‘I cast my vote.’ If this is taken literally (the obvious way to take it) as a member of the Sanhedrin, Paul was married at that time. There is no way to decide” [= ‘seperti aku’. ... Ini secara jelas berarti bahwa pada saat itu Paulus tidak menikah / tidak mempunyai istri, dan itu diteguhkan oleh 1Korintus 9:5. Apakah ia dulunya pernah menikah dan sekarang adalah seorang duda tergantung pada penafsiran dari Kis 26:10 ‘aku memberikan suaraku’. Jika ini diartikan secara hurufiah (cara yang paling wajar untuk mengartikannya) sebagai seorang anggota Sanhedrin, Paulus menikah pada saat itu. Tidak ada cara untuk memutuskan].

1Korintus 9:5 - “Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas?”.

Vincent (tentang 1Korintus 7:7): “‘As I myself.’ Not unmarried, but continent. It is not necessary to assume that Paul had never been married. Marriage was regarded as a duty among the Jews, so that a man was considered to have sinned if he had reached the age of twenty without marrying. The Mishna fixed the age of marriage at seventeen or eighteen, and the Babylonish Jews as early as fourteen. A rabbinical precept declared that a Jew who has no wife is not a man. It is not certain, but most probable, that Saul was a member of the Sanhedrim (Acts 26:10). If so, he must have been married, as marriage was a condition of membership. From 1 Cor. 7:8 it is plausibly inferred that he classed himself among widowers” [= ‘seperti aku’. Bukannya tidak menikah, tetapi menahan diri / bertarak / tidak menikah lagi. Tidak perlu diasumsikan bahwa Paulus tidak pernah menikah. Pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban di antara orang-orang Yahudi, sehingga seseorang dianggap telah berdosa jika ia telah mencapai usia pernikahan tanpa menikah. Mishna menentukan usia pernikahan pada 17 atau 18 tahun, dan orang-orang Yahudi Babilonia pada usia sedini 14 tahun. Suatu peraturan rabi menyatakan bahwa seorang Yahudi yang tidak mempunyai istri bukanlah seorang laki-laki. Memang tidak pasti, tetapi sangat mungkin, bahwa Saulus adalah seorang anggota dari Sanhedrin (Kis 26:10). Jika demikian, ia pasti pernah menikah, karena pernikahan merupakan suatu persyaratan keanggotaan. Dari 1Kor 7:8 bisa disimpulkan secara masuk akal bahwa ia menggolongkan dirinya sendiri di antara duda-duda].

1Korintus 7:8 - “Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku”.

Kalau Paulus memang pernah menikah, mengapa ia tidak pernah bercerita tentang istrinya? Ini membuat saya lebih condong bahwa istrinya bukannya mati (karena kalau demikian, tak perlu ada keseganan untuk bercerita tentang istrinya), tetapi menceraikannya pada waktu ia menjadi orang Kristen (dalam hal ini ia tidak mau bercerita tentang istrinya karena tidak mau menjelekkan istrinya).

Sekarang mari kita bandingkan 1Timotius 3:4 ini dengan Tit 1:6, yang juga merupakan persyaratan penatua.

Titus 1:6 - “yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib”.

Kalau dalam 1Timotius 3:4 hanya ditekankan supaya anak-anak itu tunduk dan hormat / taat kepada orang tuanya, maka di sini ditekankan anak-anak itu harus beriman dan tidak hidup secara brengsek.

Taylor (tentang Titus 1:6): “But is it in the power of any minister or man to have faithful children? May not a good man, even a minister, have most graceless children? Every man must endeavour that his children may have the grace of faith, though it is outside of his power; but every good man has within his power to instruct his children in the doctrine of faith, and also in outward order to make them conformable, in some measure, to that profession, as long as they abide under his roof. And if the Lord afterwards (for some secret and unknown reason) shows by leaving them that he has no delight in them, such a father may comfort his conscience in that he has used the best means for their good” [= Tetapi apakah itu ada dalam kuasa dari pendeta manapun untuk mempunyai anak-anak yang setia / beriman? Tidak bisakah seorang yang baik / saleh, bahkan seorang pendeta, mempunyai anak-anak yang brengsek? Setiap orang harus berusaha supaya anak-anaknya mempunyai kasih karunia dari iman, sekalipun itu berada di luar kekuasaannya, tetapi setiap orang yang baik / saleh bisa mengajar anak-anaknya dalam ajaran iman, dan juga dalam keteraturan lahiriah untuk membuat mereka sesuai, dalam ukuran tertentu, dengan pengakuan itu, selama mereka tinggal di rumanya. Dan jika Tuhan setelah itu (karena alasan yang rahasia dan tak diketahui) menunjukkan bahwa Ia tidak berkenan kepada mereka dengan meninggalkan mereka, maka bapa seperti itu bisa menghibur hati nuraninya dalam hal dimana ia telah menggunakan cara-cara yang terbaik untuk kebaikan anak-anaknya] - ‘Exposition of Titus’, hal 97-98.

Saya berpendapat bahwa kata-kata di atas ini harus sangat dipertimbangkan. Di satu sisi memang kita melihat adanya orang tua yang sama sekali tidak bisa mendidik anak secara kristen. Yang seperti itu memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi penatua. Tetapi di sisi lain, sebagai orang-orang Reformed yang mempercayai doktrin tentang predestinasi, kita tahu bahwa anak-anak kita bisa beriman atau tidak, bukan tergantung kita ataupun anak-anak itu sendiri, tetapi tergantung Tuhan. Bandingkan dengan Ishak (dan Ribka), yang sementara anak-anak kembarnya masih ada dalam kandungan, sudah mendapatkan Firman Tuhan bahwa anak yang satu, yaitu Esau, ditolak oleh Tuhan (bdk. Ro 9:10-13). Tidak peduli Ishak dan Ribka menjadi orang tua sebaik apa, tidak peduli bagaimana tekunnya mereka menginjili dan mendoakan Esau, semua itu tidak akan mengubah ketetapan Allah itu. Memang tak ada penatua yang bisa tahu anak-anak mereka termasuk orang-orang pilihan atau tidak. Tetapi kalau ternyata anak-anak mereka bukanlah orang-orang pilihan Allah, maka bagaimanapun baiknya mereka melakukan pendidikan kristen terhadap anak-anak mereka, termasuk mendoakan dan memberikan teladan yang baik kepada anak-anak itu, anak-anak itu tetap tidak akan menjadi orang percaya yang sungguh-sungguh.

Sebaliknya, ada kemungkinan ada orang tua yang sebetulnya tidak terlalu nggenah dalam mendidik anak-anaknya, tetapi karena anak-anak itu adalah orang-orang pilihan Allah, maka anak-anak itu menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. Ini terlihat dari misalnya raja Abiam yang jahat bisa mempunyai anak raja Asa yang saleh (1Raja 15:1-15).

Kalau kita harus memilih antara 2 orang tua ini, yang seperti Ishak / Ribka, atau yang terakhir (yang seperti Abiam), untuk menjadi tua-tua, kita memilih yang mana?

Jadi, menurut saya, yang lebih penting adalah apakah orang tua itu sudah melakukan yang terbaik untuk menjadikan anak-anak mereka orang Kristen yang baik atau tidak.

Penerapan: Persyaratan ini harus diperhatikan bukan hanya di rumah atau pada saat bepergian, tetapi juga harus diperhatikan dalam gereja / kebaktian / acara gereja apapun. Semua jemaat, tetapi khususnya penatua / penginjil / pendeta, harus bisa mengendalikan anak-anaknya supaya tidak ribut dalam gereja / kebaktian / acara gereja tersebut!

12) ‘Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis’ (1 Timotius 3: 6).

a) Ia tak boleh adalah orang baru, karena hal itu bisa menyebabkan dia menjadi sombong.

Homer A. Kent Jr.: “The overseer must not be a new convert. Maturity in the faith is essential. The Ephesian church at this time had been in existence at least twelve years, and spiritually mature men could be found. In the case of Crete, such a qualification was not given Titus (Titus 1) because it was apparently a new work and the ideal could not be insisted upon. Today, there is scarcely any excuse for placing a novice in situations of such responsibility, inasmuch as Christianity has spread to an extent that qualified men are more readily available” [= Penilik jemaat tidak boleh orang yang baru bertobat. Kematangan dalam iman merupakan sesuatu yang hakiki. Gereja Efesus pada saat ini telah ada selama sedikitnya 12 tahun, dan orang-orang yang matang secara rohani bisa didapatkan. Dalam kasus dari Kreta, persyaratan seperti itu tidak diberikan kepada Titus (Titus 1) karena itu jelas merupakan suatu pekerjaan yang baru dan keadaan ideal tidak bisa dipaksakan. Jaman sekarang, hampir tidak ada alasan untuk menempatkan orang baru dalam situasi dari tanggung jawab seperti itu, karena kekristenan telah tersebar sampai pada tingkat dimana orang-orang yang memenuhi syarat tersedia dengan lebih mudah] - ‘The Pastoral Epistles’, hal 130.

Catatan:

1. Saya tak terlalu yakin dengan bagian yang saya beri garis bawah tunggal! Jaman sekarang mayoritas gereja-gereja tidak mempunyai Injil yang benar, sehingga jangankan mencari ‘orang Kristen yang dewasa dalam iman’, mencari yang ‘asal kristen yang sungguh-sungguh’ saja sudah sukar sekali!

2. Yang ingin saya tekankan dari kutipan di atas ini adalah bagian yang saya beri garis bawah ganda. Kalau kata-kata Kent ini memang benar, itu berarti syarat-syarat dari penatua ini memang tidak mutlak, karena dalam kasus Kreta, dimana Titus melayani, karena gereja itu masih baru, maka persyaratan yang diberikan kepada Timotius ini ditiadakan.

Matthew Henry: “He must not be a novice, not one newly brought to the Christian religion, or not one who is but meanly instructed in it, who knows no more of religion than the surface of it, for such a one is apt to be lifted up with pride: the more ignorant men are the more proud they are: ‘Lest, being lifted up with pride, he fall into the condemnation of the devil.’ The devils fell through pride, which is a good reason why we should take heed of pride, because it is a sin that turned angels into devils” (= Ia tidak boleh adalah seorang baru, bukan seseorang yang baru dibawa pada agama Kristen, atau bukanlah seseorang yang hanya diajar secara buruk dalam agama Kristen, yang mengetahui tentang agama tidak lebih dari permukaannya saja, karena orang seperti itu adalah orang yang condong untuk diangkat dengan kesombongan: makin orang-orang tidak tahu apa-apa, makin sombong mereka: ‘agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis’. Iblis jatuh melalui kesombongan, yang merupakan alasan yang baik mengapa kita harus berhati-hati dengan kesombongan, karena itu adalah dosa yang mengubah malaikat-malaikat menjadi setan-setan).

Saya setuju dengan kata-kata Matthew Henry ini, yang bukan hanya menekankan bahwa orang itu bukan orang yang baru bertobat, tetapi juga menekankan bahwa orang itu harus tahu banyak tentang kekristenan / Firman Tuhan.

Wycliffe Bible Commentary: “Pride. Puffed up by too rapid advancement” (= Sombong. menjadi bengkak / gembung / sombong oleh kemajuan yang terlalu cepat).

Banyak gereja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan persyaratan ini, seperti:

1. Mengangkat orang yang baru bertobat atau bahkan belum bertobat untuk menjadi tua-tua, KARENA IA ADALAH ORANG KAYA / berkedudukan tinggi. Ini adalah gereja yang tidak peduli pada Alkitab dan hanya peduli dengan uang!

2. Kalau ada seorang kyai bertobat, misalnya seperti Jusuf Rony, maka orang itu langsung dijadikan pengkhotbah / pendeta, sekalipun ia baru bertobat!

Perlu diingat bahwa kyai itu, sekalipun mengerti banyak tentang Islam, tetapi tidak mengerti apa-apa tentang kekristenan. Jadi, ia harus belajar dulu sebelum diangkat menjadi tua-tua, apalagi pengkhotbah / pendeta! Ini sama seperti seorang dokter yang pindah ke bagian hukum, tentu tidak bisa dijadikan pengacara tanpa sekolah hukum.

3. Juga kalau ada seorang paranormal yang terkenal, atau seorang penyanyi terkenal, atau bintang film terkenal, yang bertobat, lalu terjadi hal yang sama. Ingat bahwa ketenaran seseorang tak ada hubungannya dengan dunia Kristen, khususnya dalam pelayanan dan pemberitaan Firman Tuhan! Kalau orang itu hanya diminta untuk mensharingkan pertobatannya, maka itu tentu saja tidak apa-apa. Tetapi kalau ia dijadikan seorang pemberita Firman, maka itu merupakan suatu kegilaan!

b) ‘dan kena hukuman Iblis’.

1. Kata ‘Iblis’ berasal dari kata Yunani DIABOLOS.

Barclay: “The word DIABOLOS has two meanings. It means ‘devil,’ and that is the way in which the Revised Standard Version has taken it here; but it also means ‘slanderer.’ It is in fact the word used for ‘slanderer’ in verse 11, where the women are forbidden to be slanderers” (= Kata DIABOLOS mempunyai dua arti. Itu berarti ‘Iblis’, dan itu adalah arti yang diambil oleh Revised Standard Version di sini; tetapi kata itu juga berarti ‘pemfitnah’. Dalam faktanya, itu merupakan kata yang digunakan untuk ‘pemfitnah’ dalam ay 11, dimana perempuan-perempuan dilarang untuk menjadi pemfitnah) - hal 74.

Merupakan sesuatu yang menarik bahwa kata DIABOLOS bisa diterjemahkan sebagai ‘Iblis’ maupun ‘pemfitnah’. Ini perlu diperhatikan oleh orang-orang yang suka memfitnah, dan juga oleh orang-orang yang suka mendengarkan fitnahan! Orang-orang yang suka memfitnah tak berbeda dengan Iblis sendiri, dan orang-orang yang suka mendengarkan fitnahan adalah sama dengan orang-orang yang suka mendengarkan Iblis!

Adanya kemungkinan untuk menterjemahkan kata DIABOLOS sebagai ‘pemfitnah’ menyebabkan ada kemungkinan untuk tidak menterjemahkan ‘kena hukuman Iblis’ tetapi ‘kena hukuman pemfitnah’. Dan lalu muncul penafsiran sebagai berikut:

Barclay: “So then this phrase may mean that the recent convert, who has been appointed to office, and has acquired, as we say, a swelled head, gives opportunity to the slanderers. His unworthy conduct is ammunition for those who are ill-disposed to the Church” (= Maka ungkapan ini bisa berarti bahwa petobat baru itu, yang telah ditetapkan pada jabatan, dan telah mendapatkan, seperti kita katakan, kepala yang membengkak, memberikan kesempatan pada pemfitnah-pemfitnah. Tingkah lakunya yang tidak layak merupakan amunisi bagi mereka yang mempunyai kecondongan buruk / jahat kepada Gereja) - hal 74.

Tetapi jarang, kalau ada, penafsir lain yang menganggap bahwa di sini kata DIABOLOS harus diterjemahkan ‘pemfitnah’. Boleh dikatakan semua mengambil terjemahan ‘Iblis’. Kalau demikian, maka ini merupakan salah satu dari sangat sedikit ayat yang berbicara tentang kejatuhan setan / Iblis.

Adam Clarke: “From these words of the apostle we are led to infer that pride or self-conceit was the cause of the Devil’s downfall” (= Dari kata-kata sang rasul ini kita dibimbing untuk menyimpulkan bahwa kesombongan atau kecongkakan adalah penyebab kejatuhan Iblis).

Memang Yes 14 dan Yeh 28 sering dianggap membicarakan kejatuhan Iblis, tetapi sebetulnya kedua text itu sama sekali tidak berurusan dengan kejatuhan Iblis tersebut! Yes 14 membicarakan raja Babel, sedangkan Yeh 28 membicarakan raja Tirus!

2. Kata-kata ‘hukuman Iblis’ menunjuk pada ‘hukuman dari Iblis’, atau ‘hukuman Allah kepada Iblis’?

Pulpit Commentary (hal 52) mengambil pandangan pertama, dan ia menafsirkan bahwa ‘hukuman Iblis’ berarti ‘the condemnation or accusation of the devil’ (= penghukuman atau tuduhan dari Iblis).

Tetapi Lenski (hal 588-589) mengambil pandangan kedua, karena ia berkata bahwa penghukuman / penghakiman tidak pernah diberikan kepada Iblis. Allahlah yang menghakimi / menghukum! Saya setuju dengan Lenski.

Penerapan: Bandingkan ini dengan kesaksian banyak orang Kristen yang pergi ke neraka dan mengatakan bahwa di sana mereka melihat setan menyiksa orang-orang yang masuk ke neraka! Ini jelas bertentangan dengan Kitab Suci, dan karena itu atau ini merupakan bualan murahan, atau ini adalah penglihatan dari setan!

3. Arti kata-kata ini.

Lenski: “The devil’s judgment is specific: God’s judgment on his pride. Into that very judgment which has long ago been pronounced upon the devil the conceited novice might easily fall in his pride” (= Penghukuman Iblis itu spesifik: penghukuman Allah terhadap kesombongannya. Ke dalam penghukuman yang telah diumumkan pada jaman dulu kepada Iblis itulah orang baru itu bisa dengan mudah jatuh dalam kesombongannya) - hal 589.

13) ‘Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis’ (1 Timotius 3: 7).

Kalau ia mempunyai nama buruk, maka Iblis pasti akan menggunakan hal itu sebagai jerat / bahan untuk menyerang orang itu dan gerejanya, dan bahkan seluruh kekristenan.

Ada penafsir-penafsir, seperti Adam Clarke, dan Jamieson, Fausset & Brown, yang menganggap bahwa dalam kehidupan orang itu sebelum ia menjadi Kristenpun tidak boleh ada skandal atau hal-hal buruk yang memalukan. Kalau hal buruk itu pernah ada, bahkan sebelum ia menjadi Kristen, maka sekalipun ia boleh melayani Tuhan, tetapi ia tidak boleh menjadi tua-tua / pendeta.

Saya berpendapat ini adalah penafsiran yang tolol. Kalau memang demikian, bagaimana dengan Paulus sendiri? Dia dulunya adalah seorang penganiaya gereja, seorang penghujat dan sebagainya. Tetapi ia bukan hanya menjadi penatua / pendeta, tetapi bahkan menjadi rasul.

Saya berpendapat bahwa orang yang dulunya brengsek sekali, kalau ia menjadi Kristen dan bisa mempunyai kehidupan yang sungguh-sungguh dikuduskan, akan merupakan seorang saksi yang baik sekali bagi Tuhan!
EKSPOSISI 1 TIMOTIUS 3:1-7 (SYARAT-SYARAT BAGI PENILIK JEMAAT)
Tetapi kalau ada orang Kristen yang mempunyai nama buruk, harus diperiksa apakah orang itu mempunyai nama buruk karena ia memang buruk, atau karena fitnahan. Paulus juga mempunyai nama buruk sebagai seorang pengacau, tetapi itu terjadi karena fitnahan.

Kis 16:19-21 - “(19) Ketika tuan-tuan perempuan itu melihat, bahwa harapan mereka akan mendapat penghasilan lenyap, mereka menangkap Paulus dan Silas, lalu menyeret mereka ke pasar untuk menghadap penguasa. (20) Setelah mereka membawa keduanya menghadap pembesar-pembesar kota itu, berkatalah mereka, katanya: ‘Orang-orang ini mengacau kota kita ini, karena mereka orang Yahudi, (21) dan mereka mengajarkan adat istiadat, yang kita sebagai orang Rum tidak boleh menerimanya atau menurutinya.’”.

Kis 17:5-7 - “(5) Tetapi orang-orang Yahudi menjadi iri hati dan dengan dibantu oleh beberapa penjahat dari antara petualang-petualang di pasar, mereka mengadakan keributan dan mengacau kota itu. Mereka menyerbu rumah Yason dengan maksud untuk menghadapkan Paulus dan Silas kepada sidang rakyat. (6) Tetapi ketika mereka tidak menemukan keduanya, mereka menyeret Yason dan beberapa saudara ke hadapan pembesar-pembesar kota, sambil berteriak, katanya: ‘Orang-orang yang mengacaukan seluruh dunia telah datang juga ke mari, (7) dan Yason menerima mereka menumpang di rumahnya. Mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan Kaisar dengan mengatakan, bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus.’”.

BACA JUGA: 7 CIRI HAMBA TUHAN YANG BAIK (2 KORINTUS 4:1-2)

Juga nama buruk bisa terjadi, justru karena orang Kristen itu tidak mau berkompromi dengan dunia, atau karena orang Kristen itu memberitakan Injil, dan sebagainya. Ini bisa menyebabkan ia dianggap sebagai fanatik, picik, dan sebagainya.

Catatan: tidak ada persyaratan kaya, tetapi ini merupakan persyaratan yang disenangi banyak gereja / pendeta dalam memilih tua-tua! Juga banyak gereja memilih tua-tua dari antara jemaat yang tidak aktif, dengan tujuan supaya setelah dipilih, mereka menjadi aktif. Semua ini jelas salah dan sangat tidak Alkitabiah.

Sesuatu yang perlu dibedakan adalah: gereja yang dengan terpaksa memilih orang-orang yang tak terlalu memenuhi syarat untuk menjadi tua-tua, karena memang tak ada yang memenuhi syarat yang bisa dipilih, dan karenanya gereja itu berusaha memilih orang-orang yang sedekat mungkin dengan yang memenuhi persyaratan ini. Kasus ini harus dibedakan dengan gereja yang dalam memilih tua-tua, betul-betul tak mempedulikan persyaratan-persyaratan ini!. EKSPOSISI 1 TIMOTIUS 3:1-7 (SYARAT-SYARAT BAGI PENILIK JEMAAT)

-o0o-
Next Post Previous Post