KEHIDUPAN BERSAMA DALAM KELUARGA KRISTEN (1 TAWARIKH 17:27)

Pdt.Samuel T.Gunawan, M.Th.
KEHIDUPAN BERSAMA DALAM KELUARGA KRISTEN (1 TAWARIKH 17:27)
gadget, bisnis, tutorial
“Kiranya Engkau sekarang berkenan memberkati keluarga hamba-Mu ini, supaya tetap ada di hadapan-Mu untuk selama-lamanya. Sebab apa yang Engkau berkati, ya TUHAN, diberkati untuk selama-lamanya." (1 Tawarikh 17:27)

Keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yakni keluarga Adam (Kejadian 1:27-29). Adam sebagai suami Hawa sekaligus ayah dari Kain dan Habel; Hawa sebagai istri Adam sekaligus sebagai ibu Kain dan Habel; Kain dan Habel sebagai anak-anak dari Adam dan Hawa; Inilah keluarga ini pertama yang dibentuk oleh Allah. Keluarga merupakan lembaga yang fenomenal dan universal. Di dalamnya terdapat anak-anak yang dipersiapkan untuk bertumbuh. 

Keluarga adalah lembaga masyarakat paling kecil tetapi paling penting. Namun, kata keluarga terlalu banyak dipakai berbagai orang dari berbagai kelompok sehingga menjadi hilang makna yang sesungguhnya.

Sebuah film yang berjudul “The Godfather”, Vito Corleone menggambarkan kelompok pembunuh berdarah dingin yang ia pimpin sebagai keluarga. Begitu juga dengan kelompok-kelompok yang lain, entah bertujuan baik atau buruk, menamakan para pengikut mereka sebagai keluarga. Bahkan dibanyak gereja kita sering mendengar atau menyanyikan nyanyian tentang persekutuan umat Allah sebagai “keluarga Allah”. Lalu, apakah yang dimaksud Alkitab dengan keluarga itu?

ISTILAH KELUARGA DALAM ALKITAB

Istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk keluarga adalah kata Yunani “patria”, yang berarti “keluarga dari sudut pandang relasi historis, seperti garis keturunan”. Dalam pengunaannya, kata “patria” ini lebih menekankan asal-usul keluarga dan lebih menunjukkan kepada bapak leluhur suatu keluarga. Kata “patria” disebutkan hanya 3 kali dalam Perjanjian Baru.

Kata ini digunakan dalam Lukas 2:4, di mana disebutkan bahwa Yusuf berasal dari keluarga dan keturunan (patria) Daud, yaitu garis keturunannya secara biologis. Kisah Para Rasul 3:25 juga menggunakan istilah ini untuk menerjemahkan janji Allah kepada Abraham. Dijanjikan bahwa semua bangsa (patria) di muka bumi akan diberkati. Paulus di dalam Efesus mengatakan, “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari padaNya semua turunan (patria) yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namaNya” (Efesus 3:14-15).

Kata Yunani lainnya untuk keluarga adalah “oikos” (bentuk tunggal; bentuk jamaknya “oikeia”). Kata ini lebih umum daripada kata “patria”. Kata ini dimengerti sebagai keluarga dalam arti rumah tangga. Dalam arti ini, kata “oikos” searti dengan kata Ibrani “bayit” dalam Perjanjian Lama. Dalam dunia Yunani-Romawi, “oikos” dipahami sebagai sebuah unit sosial yang lebih luas. Unit sosial itu tidak hanya mencakup sanak keluarga sedarah, tetapi juga orang lain yang tidak sedarah seperti para budak, pekerja, dan orang-orang yang bersandar pada seorang kepala rumah tangga.

PENGERTIAN KELUARGA KRISTEN

Keluarga manusia dibentuk oleh Tuhan dengan mengikut citra Allah! Karena itu, keluarga diarahkan, diatur, dan dikembangkan menurut citra Allah tersebut (Kejadian 2:7,18). Tuhan Yesus Kristus sendiri bertumbuh di dalam keluarga. Ia menjadi anak yang patuh kepada orangtuaNya. Bahkan, Ia masih sempat memperhatikan ibuNya ketika Ia disalibkan (Yohanes 19:25-27). Dari catatan Alkitab kita dapat melihat tingginya nilai yang diletakkan orang Yahudi terhadap Kitab Suci, khususnya hukum Taurat yang diajarkan oleh Musa.

Hukum Taurat inilah yang diajarkan oleh orang-orang tua Yahudi kepada anak-anak mereka baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kita juga dapat yakin, itulah yang dialami oleh Yesus dalam kemanusiaan. Yesus pastilah terdidik dalam keluarga yang demikian. Jadi, Tuhan memandang pentingnya keluarga, sehingga selalu ditekankan berulang-ulang dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama dan Baru, kita dapat temukan banyak petunjuk untuk kehidupan berkeluarga.

Keluarga adalah persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak. Inilah yang disebut dengan keluarga kecil atau keluarga inti. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pustaka Phoenix) mengartikan keluarga sebagai: (1) Kaum kerabat atau sanak saudara; (2) Satuan kekerabatan dasar dalam suatu masyarakat; (3) Bagian kecil dari masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapa dan anak-anaknya. Dengan demikian yang kita maksudkan dengan keluarga adalah persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak. Inilah yang disebut dengan “keluarga batih”, yaitu keluarga kecil atau keluarga inti.

Selain keluarga batih atau keluarga inti, ada juga yang disebut “keluarga gabungan”, atau keluarga besar, yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga (kekerabatan) suami maupun istri. Keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yakni keluarga Adam (Kejadian 1:27-29). Adam sebagai suami Hawa, sekaligus ayah dari Kain dan Habel; Hawa sebagai istri Adam sekaligus sebagai ibu Kain dan Habel; Kain dan Habel sebagai anak-anak dari Adam dan Hawa; Inilah keluarga ini pertama yang dibentuk oleh Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga Kristen adalah persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak yang telah percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat secara pribadi serta meneladani hidup dan ajaran-ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini dibangun dari pengertian Kristen itu sendiri. Kristen artinya menjadi pengikut Kristus, yang meneladani hidup dan ajaran-ajaran Kristus.

PENTINGNYA KELUARGA

Tuhan Yesus Kristus sendiri bertumbuh di dalam keluarga. Ia menjadi anak yang patuh kepada orangtua-Nya. Bahkan, Ia masih sempat memperhatikan ibu-Nya ketika Ia disalibkan (Yohanes 19:25-27). Menurut penulis-penulis Yahudi yang hidup se zaman dengan Yesus, orang tua Yahudi mendidik anak-anak mereka dalam hukum Taurat, Seorang penulis yang tidak dikenal pada abad pertama menuliskan “Ajarkanlah huruf-huruf kepada anak-anakmu juga, supaya mereka memiliki pemahaman sepanjang hidup mereka pada saat mereka membaca Taurat Allah tanpa henti”.

Flavious Josephus, seorang ahli sejarah Yahudi abad pertama mengatakan “di atas semuanya kami membanggakan diri kami sendiri dalam bidang pendidikan kepada anak-anak kami dan memandang pengamalan hukum Taurat dan praktik kesalehan yang dibangun darinya, yang kami warisi, sebagai tugas penting dalam kehidupan”. Selanjutnya Yosephus juga mengatakan “(Hukum Taurat) memerintahkan agar (anak-anak) diajar membaca supaya dapat belajar hukum Taurat maupun perbuatan nenek moyang mereka”.

Dari catatan sejarah di atas, kita dapat melihat tingginya nilai yang diletakkan orang Yahudi terhadap Kitab Suci, khususnya hukum Taurat yang diajarkan oleh Musa. Hukum Taurat inilah yang diajarkan oleh orang-orang tua Yahudi kepada anak-anak mereka baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kita juga dapat yakin, itulah yang dialami oleh Yesus dalam kemanusiaan; Yesus yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dan tradisi Yahudi. Karena dikalangan keluarga-keluarga Yahudi begitu mementing nilai pendidikan, maka Yesus pastilah terdidik dalam keluarga yang demikian.

Jadi, Tuhan memandang pentingnya keluarga, sehingga selalu ditekankan berulang-ulang dalam Akitab, baik di dalam Perjanjian Lama dan Baru, kita dapat temukan banyak petunjuk untuk kehidupan berkeluarga.

Dr. Kenneth Chafin dalam bukunya Is There a Family in the House? memberi gambaran tentang maksud keluarga dalam lima identifikasi, sebagai berikut:

(1) Keluarga merupakan tempat untuk bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi, hubungan sosial, kasih dan rohani. Manusia diciptakan menurut gambar Allah sehingga mempunyai potensi untuk bertumbuh. Keluarga merupakan tempat memberi energi, perhatian, komitmen, kasih dan lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh dalam segala hal ke arah Yesus Kristus;

(2) Keluarga merupakan pusat pengembangan semua aktivitas. Dalam keluarga setiap orang bebas mengembangkan setiap karunianya masing-masing. Di dalam keluarga landasan kehidupan anak dibangun dan dikembangkan;

(3) Keluarga merupakan tempat yang aman untuk berteduh saat ada badai kehidupan. Barangkali orang lain sering tidak memahami kesulitan hidup yang kita rasakan tetapi di dalam keluarga kita mendapat perhatian dan perlindungan;

(4) Keluarga merupakan tempat untuk mentransfer nilai-nilai, laboratorium hidup bagi setiap anggota keluarga dan saling belajar hal yang baik;

(5) Keluarga merupakan tempat munculnya permasalahan dan penyelesaiannya. Tidak ada keluarga yang tidak menghadapi permasalahan hidup. Sering kali permasalahan muncul secara tidak terduga. Misalnya, hubungan suami istri, masalah yang dihadapi anak belasan tahun, dan masalah ekonomi. Namun, keluarga yang membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka pasti dapat menyelesaikan semua permasalahan.

KEBERSAMAAN DALAM KELUARGA

Sebuah keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak. Persekutuan bersama dalam keluarga bersifat dinamis dan harus dijaga keharmonisannya. Karena itu, untuk menjaga kebersamaan dalam keluarga maka perlu memperhatikan dan mengembangkan hal-hal sebagai berikut:

(1) Menyembah dan melayani Tuhan bersama-sama di gereja lokal;

(2) Berdoa bersama-sama atau mezbah keluarga dalam ketekunan;

(3) Mengatur keuangan bersama-sama;

(4) Mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah bersama;

(5) membuat dan menetapkan rencana untuk masa depan bersama-sama;

(6) Membiasakan makan bersama-sama, terutama di pagi atau di malam hari;

(7) Melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik-baiknya;

(8.) Komunikasi yang baik dengan tegur sapa;

(9) Kejujuran dengan menceritakan apa adanya;

(10) Rasa saling mempercayai dengan tidak mengatakan kebohongan;

(11) Senyum dan tertawa dalam kebersamaan;

(12) Menjalin persahabatan dengan semua anggota keluarga;

(13) Saling memaafkan kesalahan;

(14) Menyatakan cinta dan kasih sayang dengan perkataan dan perbuatan yang baik;

(15) Saling menghargai ketika ada yang telah melakukan sesuatu untuk kebaikan;

(16) Lembut dan tidak kasar terhadap semua anggota keluarga.

Secara khusus waktu yang disediakan untuk mezbah keluarga sangat penting dan indah. Karena pada saat itu semua anggota keluarga berkumpul bersama. Hal ini merupakan sarana untuk membangun iman, kerohanian, pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan dan firman-Nya, mengembangkan kasih dan komunikasi dengan Tuhan dan sesama anggota keluarga. Karena Tuhan dan keluarga kita penting, mengapa kita tidak memulai mezbah keluarga di dalam keluarga kita segera mungkin? Jadi, bertekad dan komitmenlah seperti Yosua yang berkata, “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15b).

KEBUTUHAN KELUARGA KRISTEN SAAT INI

Memperhatikan penting dan strategisnya peranan keluarga, Paul Meier seorang psikiater Kristen Amerika mengusulkan beberapa aspek yang harus terus bertumbuh dalam kehidupan sebuah keluarga, yaitu:

1. Kasih di antara suami istri dan di antara orang tua terhadap anak harus terus meningkat (1 Korintus 13:4-7). Apakah kasih itu? Menurut Meier, kasih mencakup komitmen, perhatian, perlindungan, pemeliharaan, pertanggungjawaban, dan kesetiaan. Kasih yang seharusnya berlanjut dalam relasi suami istri tidak lagi sebatas ketertarikan secara fisik. Kasih itu harus diungkapkan dalam perbuatan nyata, saling berkomunikasi dan berelasi. Kasih itu juga diaktualisasikan ketika menghadapi masalah, memikul tugas dan tanggung jawab hidup. Ketiadaan kasih di antara orang tua dapat dirasakan oleh anak, akibat selanjutnya adalah mengganggu pertumbuhan watak mereka.

2. Harus ada disiplin yakni tegaknya keseimbangan hukuman dan pujian yang dinyatakan orang tua bagi anak mereka. Disiplin itu sendiri merupakan kebutuhan dasar anak pada masa pembentukannya. Disiplin tidaklah identik dengan hukuman saja. Disiplin sebenarnya berarti pemberitahuan, penjelasan, dan pelatihan dalam hal-hal kebajikan. Melalui disiplin anak di mampukan mengenali dan memilih serta mewujudkan pilihannya dalam kebaikan itu. 

Disiplin orang tua bagi anak-anaknya juga berkaitan dengan pembentukan iman anak melalui pengajaran, percakapan, komunikasi formal, dan non formal. Alkitab mengajarkan bahwa orang tualah yang paling bertanggung jawab mengajari anak-anaknya dalam iman dan moral secara berulang-ulang dengan berbagai cara kreatif supaya mereka bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan (Baca: Ulangan 6:6-9; Matius 18:5-14).

3. Pentingnya konsistensi yaitu aturan yang dianggap benar, terus menerus dinyatakan dan diterapkan orang tua. Aturan tersebut tidak boleh hanya penuh semangat diterapkan satu minggu atau beberapa hari saja kemudian tidak dilaksanakan lagi, melainkan terus menerus dan konsisten. Penetapan aturan yang harus diikuti anak semestinya mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan anak. Perlu dipahami bahwa cara anak menanggapi aturan berbeda-beda sesuai tingkat usia dan tahap perkembangan mereka.

4. Mendesaknya keteladanan orang tua di hadapan anak-anak, termasuk dalam segi perkataan, sikap, penampilan dan perbuatan (Baca: Efesus 6:4; Kolose 3:20-21). Para ahli psikologi dan pendidikan menyatakan bahwa anak kecil belajar dengan melihat, mendengar, merasakan dan meniru. 

Selanjutnya mereka mengolah dalam pikirannya apa yang didengar dan dilihat, seiring dengan perkembangan kognitifnya. Jika anak mendapatkan contoh sikap dan perilaku yang buruk, ia memandang itu sebagai yang “benar” untuk diteladani. Yesus sendiri memang telah mengingatkan para orang tua supaya menjaga anggota tubuhnya sedemikian rupa agar tidak membawa anak-anak mereka bertumbuh dengan kekecewaan, lalu pada akhirnya jauh dari atau menolak kasih dan rahmat Tuhan (Matius 18:6-9).

KELUARGA KRISTEN SEBAGAI TELADAN PERBUATAN-PERBUATAN BAIK

Semua anggota keluarga Kristen wajib berbuat baik. Kenapa setiap orang Kristen wajib berbuat baik? Karena Tuhan telah berbuat baik kepada kita terlebih dahulu. Dengan cara apa Tuhan berbuat baik kepada manusia?

(1) Karena Tuhan telah menciptakan alam semesta untuk dikelola manusia;

(2) Karena Tuhan telah mencipta dan memberi kehidupan kepada kita;

(3) Karena Tuhan telah menebus kita dari kuasa dosa; 

(4) Karena Tuhan telah menyediakan kehidupan yang kekal untuk kita. Demikianlah perbuatan baik Tuhan yang Ia berikan kepada manusia. Hal inilah yang menyebabkan setiap anggota keluarga Kristen wajib berbuat baik dan menjadi teladan dalam hal perbuatan baik ini.

Setiap perbuatan baik yang kita lakukan kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun adalah sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan yang telah berbuat baik kepada kita (Kolose 3:23). Perbuatan baik apa pun yang kita lakukan bukanlah untuk mendapat pujian atau penghargaan, melainkan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Sebagai contoh. Suami berbuat baik kepada istri dan anak-anaknya, istri berbuat baik kepada suami dan anak-anaknya, anak-anak berbuat baik kepada orang tua dan saudara-saudaranya dan setiap anggota keluarga Kristen berbuat baik kepada setiap orang. Tuhan Yesus mengatakan, “Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 

Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Matius 5:14b-15). Hal ini dikatakannya untuk menegaskan kepada para murid-Nya fungsi mereka sebagai terang. Melalui perbuatan-perbuatan baik orang-orang yang tidak percaya akan melihat terang Kristus di dalam kita. Itulah sebabnya Yesus menegaskan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." (Matius 5:16). 

Kata Yunani “kalá erga” menunjuk kepada perbuatan baik dalam pengertian moral, kualitas dan manfaat. Perbuatan baik adalah cermin dari kualitas hidup seseorang. Kehidupan yang baru dalam Kristus dimaksudkan untuk menghasilkan perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan.

Pernyataan klasik tentang keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman”, langsung diikuti oleh pernyataan “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). 

Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yang “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”. 

Jadi perbuatan baik (agothos) dapat didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam Allah seperti yang dinyatakan dalam Yohanes 3:21. Perbuatan-perbuatan itu bisa juga dikategorikan sebagai pekerjaan iman (1 Tesalonika 1:3). Namun harus diingat, sekalipun iman yang sejati pasti diikuti oleh adanya perbuatan baik, pengudusan dan ketaatan tetapi yang menyebabkan kita diselamatkan adalah karena anugerah oleh iman, dan sama sekali bukan perbuatan-perbuatan baik itu.

Lawan dari perbuatan baik (agathos) adalah perbuatan tidak baik (phaulos), yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak ada harganya dihadapan Tuhan. Perbuatan-perbuatan semacam itu bisa juga disebut perbuatan-perbuatan yang mati atau perbuatan kedagingan. 

Bahaya menghasilkan perbuatan kedagingan adalah kesia-siaan (1 Korintus 15:58), kehampaan (1 Timotius 6:20; 2 Timotius 2:16), dan tidak berguna (Galatia 4:9; Titus 3:9; Yakobus 1:26). Perbuatan-perbuatan jahat tidak memenuhi standar, dan karena itu dikarakterisasi sebagai kayu, jerami, dan limbah kayu, benda-benda yang kecil nilainya maupun kegunaannya. Perbuatan-perbuatan semacam itu dihasilkan oleh tenaga kedagingan, bukan dari kuasa Roh. 

Menurut George E. Ledd, cara hidup yang tidak boleh dikompromikan oleh orang-orang percaya dikemukakan dalam beberapa daftar tentang perbuatan jahat (Roma 1:29-32; 1 Korintus 3:5-11; 6:9; 2 Korintus 12:20; Galatia 5:19-21; Efesus 4:31; 5:3-4; Kolose 3:5-9). 

Dosa-dosa ini terdiri dari lima kelompok, yaitu: (1) Dosa-dosa seksual: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, perzinaan, sodomi, dan homoseksual; (2) Dosa mementingkan diri sendiri: ketamakan dan keserakahan; (3) Dosa perkataan: gosip, fitnah, perkataan kotor, perkataan sia-sia, kelakar dan mengumpat; (4) Dosa sikap dan hubungan pribadi: Permusuhan, pertikaian, kegeraman, iri hati, percekcokan, bidat, dan dengki; (5) Dosa kemabukan: mabuk, pesta pora, maupun penyembahan berhala.

Kristus berkata, “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik” (Matius 7:17-18). 


Ketika kita diselamatkan, Allah mengubah kita dari orang berdosa menjadi orang benar, dari orang jahat menjadi orang kudus, dari musuh Allah menjadi anak-anak Allah. Ia memberi kita hidup yang kekal yang menghasilkan buah-buah yang baik dan memuliakan-Nya. Hidup baru dalam Kristus adalah akar sedang perbuatan-perbuatan baik adalah buah-buahnya. Karena terang menurut rasul Paulus “hanya berbuah kan kebaikan dan keadilan dan kebenaran” (Efesus 5:9).

PERBUATAN BAIK ORANG KRISTEN AKAN DIPERHITUNGKAN SEBAGAI PAHALA DI MASA YANG AKAN DATANG

Di dalam Kekristenan dikenal apa yang disebut dengan pahala. Namun pemberian pahala bukan untuk menentukan apakah orang-orang percaya akan masuk surga atau neraka, dengan kata lain pahala bukan untuk keselamatan karena keselamatan itu semata-mata anugerah (Efesus 2:8). 

R.C. Sproul mengatakan demikian, “Meskipun perbuatan-perbuatan baik kita tidak menghasilkan keselamatan, tetapi hal itu merupakan dasar bagi janji Allah untuk memberi upah kepada kita di surga. Masuknya kita ke kerajaan Allah hanya berdasarkan iman tetapi upah kita di dalam kekekalan adalah sesuai dengan perbuatan-perbuatan baik kita”. 

Sementara itu Mark L. Bailey mengatakan, “Masalah utama pada Tahta Pengadilan Kristus bukanlah apakah kita orang-orang percaya atau bukan, atau apakah kita akan masuk surga atau tidak. Faktanya adalah, siapa pun yang harus menghadap Tahta Pengadilan Kristus sudah berada di surga. 

Pengampunan sudah digenapkan selamanya melalui penebusan, dan pendamaian dengan Allah yang Maha kudus sudah dijamin. Karena itu apa pun yang dinilai di hadapan Tahta Pengadilan Kristus bukanlah masalah dosa dan hubungannya dengan hukuman kekal. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah karya orang-orang percaya itu berharga atau tidak berharga dimata-Nya. Itulah kebenaran hakiki dalam pemberian upah atas karya masing-masing”.

Pahala dihubungkan dengan tanggung jawab dalam Kekristenan yaitu penilaian atas kehidupan dan pelayanan orang percaya di hari pemahkotaan. Paulus mengingatkan, “Demikianlah setiap orang di antara kita (semua orang percaya yang sudah diselamatkan) akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah” (Roma 14:12). 


Inilah tujuan hidup dan pelayanan Kristen, yaitu memperoleh pahala dan mahkota pada hari pemahkotaan di Tahta Pengadilan Kristus. Karena itu Paulus mengingatkan, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. 

Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:24-27). KEHIDUPAN BERSAMA DALAM KELUARGA KRISTEN (1 TAWARIKH 17:27)
Next Post Previous Post