EKSPOSISI TENTANG SANG FIRMAN DALAM INJIL YOHANES

EKSPOSISI TENTANG SANG FIRMAN DALAM INJIL YOHANES
otomotif, gadget
Berikut ini  5 (lima) ulasan, siapakah sang Firman dalam Injil Yohanes melalui eksposisi ayat-ayat dalam Injil Yohanes. 

1.Firman Ada Sejak Kekal.

Injil Yohanes dimulai dengan ayat-ayat Kristologi yang sangat jelas di dalam Alkitab. Yohanes memulai Injilnya dengan sang Firman, yaitu Kristus: “Pada mulanya adalah Firman”(Yohanes1:1). Hanya Yohanes yang mengatakan Yesus sebagai Firman (logos). 

Dalam prolog Injil Yohanes istilah “Firman”(logos) muncul dua kali yaitu: “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (1:1). “Firman itu telah menjadi manusia (sarks) dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaanNya”(Yohanes 1:14). Untuk mengerti keberadaan “Firman (logos) dalam ayat 1 ini, sangat penting untuk mengerti kata Ἐν ἀρχῇ (en arche, “Pada mulanya”) yang mendahuluinya.

Harris menjelaskan tentang penggunaan kata Ἐν ἀρχῇ (en arche, “Pada mulanya”) oleh Yohanes yang nampaknya mengulangi kata pertama dari kitab Kejadian, יתִ ֖אשֵׁרְבּ) beresyit, “Pada mulanya”).

Perbedaan antara kata “pada mulanya” dalam Kejadian dan dalam Injil Yohanes adalah, jika kata pertama dalam Kejadian mengacu kepada penciptaan dunia atau menandai adanya permulaan dunia dan ciptaan, kata pertama dalam injil Yohanes mengacu pada keberadaan sang Firman yang lebih dahulu ada sebelum “pada mulanya” terjadi. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata penghubung Ἐν ἀρχῇ dan ἦν (en) yang menyatakan pra-eksistensi kekal dari sang Firman

Menurut Ridderbos, prolog Injil Yohanes, secara khusus ayat 1-5 yang merupakan eksposisi dari Kejadian 1:1-5, memberi dasar pada peristiwa kedatangan Kristus ke dunia, dan bahwa kata “pada mulanya” dalam Yohanes 1 memiliki arti yang lebih luas dari pada kata “pada mulanya” dalam Kejadian 1.

“Pada mulanya,” itu berarti waktu yang lampau. Tetapi pada waktu lampau itu, Yesus sudah ada, secara duratif (terus menerus). Pra-eksistensi Firman ditekankan oleh Yohanes. Pra-eksistensi ini memang sesuai dengan pengajaran Yesus mengenai diriNya sendiri: “sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yohanes 8:58, 7:5). Pengakuan dari Tuhan Yesus ini mengacu pada PL yakni dalam Keluaran 3:14, dimana Allah mengatakan tentang diri-Nya sendiri: “Aku adalah Aku

2.Hubungan Antara Firman Dengan Bapa

Hubungan antara Firman dengan Bapa dapat dilihat pada penggunaan kata πρὸς (pros), “bersama-sama,” dalam Yohanes 1:1. Henry Alford menyatakan: bahwa kata pros (“bersama- sama”) memberikan pengertian bahwa ada satu pribadi yang berbeda yaitu sang Firman (logos), tetapi sang Firman tersebut satu substansi-Nya dengan Allah (Bapa). Lebih lanjut Alford menegaskan: “The former is distinctly repeated in the next words. καὶ ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, … he had distinguished God from the Word.” Sang Firman bersama dengan Allah (Bapa) karena mereka memiliki satu substansi tetapi merupakan pribadi yang dapat dibedakan

Kanagaraj dan Kemp memberi penjelasan di sini bahwa secara literal pros berarti berhadapan muka dengan Allah atau berbicara dengan Allah. Hal itu menunjukkan adanya hubungan pribadi yang intim atau sangat dekat dengan Allah. Maka hubungan yang ditunjukkan oleh kata pros ini menandakan secara langsung bahwa Logos adalah pribadi yang berbeda. 

Dengan demikian Yohanes menolak pengajaran Gnostik di abad pertama bahwa Logos adalah sebuah emanasi Allah, juga menolak pengajaran Panteisme bahwa segala sesuatu adalah Allah, dan pengajaran Unitarianisme yang meneruskan ajaran Arianisme bahwa Allah hanya memiliki satu pribadi.

Donald Guthrie menyatakan bahwa dalam prolog Injil Yohanes, “Firman” diberi sifat-sifat Allah, yang menunjukkan keberadaan pra-eksistensi-Nya. Tetapi dalam bagian berikut dikatakan secara langsung bahwa “Firman itu adalah Allah” καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος, (kai theos en ho logos). Artinya bukan ‘seorang Allah’ (atau ilahi), tetapi bahwa Firman memiliki sifat Allah. 

Jika yang dimaksudkan oleh Yohanes di sini bahwa Firman adalah ‘ilahi’ maka dia pasti akan menggunakan istilah θεὶὸς (theios). Juga bila yang Yohanes maksudkan bahwa Allah dan Firman adalah satu dan tidak ada bedanya sama sekali, maka dia akan memakai kata sandang sebelum istilah Allah (ὁ θεὸς, ho theos). 

Tetapi dengan demikian pengajarannya menjadi serupa dengan pengajaran Sabellius yang tidak mau mengakui bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga pribadi dalam Allah. Hal ini tidak benar karena dalam kalimat sebelumnya Yohanes mengatakan bahwa Firman bisa menghadapi Allah: “Firman itu bersama-sama dengan Allah” (ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, ho logos en pros ton theon ). Lebih lanjut, Guthrie menyatakan bahwa: “Seharusnya pernyataan ini berarti bahwa walaupun Firman itu adalah Allah, namun pengertian tentang Allah mencakup lebih dari pada Firman

Sang Firman adalah Allah sama halnya dengan sang Bapa adalah Allah. Dia ada dalam persekutuan yang sangat dekat dengan Allah dan hidup dengan Allah. Kanagaraj dan Kemp menegaskan: “The Logos is theos, because he is exist in the closest union of being and life with ho theos. As Bruce puts it, “The Word shared the nature and being of God, or … was an extension of the personality of God.” Maka apabila membicarakan Logos, yang Yohanes maksudkan bukanlah suatu pribadi yang lebih rendah dari Allah, sebagaimana yang Kanagaraj dan Kemp tegaskan: “In speaking of personal distinctions John does not wish to suggest that the Logos is any less than God.

Kesatuan antara sang Firman dengan Bapa dengan tegas dikemukakan Yesus dalam Yohanes 10:30, “Aku dan Bapa adalah satu.” Kata “satu” dalam bahasa Yunani adalah dalam bentuk neuter, bukan bentuk maskulin. Menurut Morris hal ini menunjukkan bahwa Yesus ingin menegaskan suatu kesatuan dasar yang mendalam, sekalipun yang dimaksudkan Yesus bukanlah dua pribadi yang identik. 

Kesatuan antara Bapa dan Yesus diikat dengan ikatan kasih seperti yang nampak dalam Yohanes 17:23. C. K. Barrett, sebagaimana yang dikutip Morris bahkan menegaskan bahwa kesatuan itu nampak dari adanya kasih, ketaatan dan bahkan kesatuan esensi antara Bapa dan Anak: “…the oneness of Father and Son is a oneness of love and obedience even while is it a oneness of essence

Ketaatan Yesus kepada Bapa menunjukkan adanya kesatuan kasih antara Yesus dan Bapa, dan sebaliknya, kesatuan kasih-Nya dengan Bapa terwujud dalam tindakan ketaatan-Nya akan perintah Bapa. Kesatuan Yesus dan Bapa juga terlihat dalam fungsi Yesus dalam menyatakan Bapa kepada manusia. Hal tersebut makin ditegaskan oleh adanya kesatuan keberadaan kedua pribadi tersebut dalam semua tindakan penciptaan dan pemeliharaan ciptaan-Nya.

Berhubungan dengan kesatuan yang menunjukkan keberadaan Trinitas, lebih lanjut Kanagaraj dan Kemp menegaskan bahwa: “There is in fact, more to God than Father alone or than Son alone, not that the Father and the Son are together more God than the Father alone, or than the Son alone, but that together (with the Spirit) there is one Godhead, each person being equally God.”

Di sini Kanagaraj dan Kemp menegaskan suatu hubungan keallahan bahwa Allah yang memiliki tiga pribadi, ketiganya seimbang ke-Allahan-Nya. Bapa sendiri tidak lebih Allah dari Anak sendiri, atau Bapa bersama-sama dengan Anak menjadi lebih Allah dari Bapa sendiri atau Anak sendiri, tetapi ketiganya (dengan Roh Kudus) secara bersama-sama adalah satu Allah

3.Hubungan Antara Firman Dan Dunia

Yohanes 1:3 mengajarkan hubungan antara Firman dan dunia melalui frase “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” “Segala sesuatu” (πάντα, panta) menunjukkan pengertian yang luas, menunjuk pada dunia, yaitu alam semesta dari hal-hal yang diciptakan (the universe of created things).

Segala sesuatu yang diluar Allah telah jadi; dan segala hal yang telah dijadikan tersebut, dijadikan oleh Logos. Frasa “segala sesuatu” dalam ayat 3a yang ditambahkan dengan frase “tidak ada suatu pun” dalam Yohanes 1: 3b menunjukkan penekanan bahwa “tidak ada suatupun” merupakan pengecualian dari yang diciptakan sang Firman, sebagaimana ditegaskan Ridderbos: “The emphatic position that ‘all things’ has in vs.3 and the addition that ‘nothing’ is excepted from what has been made by the Word.” Dalam konteks ini, πάντα (“segala sesuatu”) lebih kuat kedudukannya dari οὐδὲ ἕν (“tidak ada suatupun”), hal ini tidak hanya menunjukkan totalitas “segala sesuatu” tetapi juga keragaman dari “segala sesuatu” yang diciptakan itu.

Selanjutnya Yohanes menyatakan “segala sesuatu dijadikan oleh Dia.” Kata depan “oleh” (dari kata Yunani διά, dia) mengimplikasikan pengantara dan mengacu pada beberapa teks seperti 1 Korintus 8:6; Kolose 1:16 dan Ibrani 1:2 yang menggambarkan Kristus sebagai perantara dari ciptaan. Tetapi bukan hanya kata depan “oleh” tersebut yang menunjukkan pengantara, tetapi sang agen (Firman) juga adalah pengantara. Sekalipun demikian, sang Firman bukanlah sekedar alat atau instrumen saja, tetapi hal itu menggambarkan tindakan opera ad extra dari Trinitas dalam tindakan penciptaan

Alford, mengutip Olshausen menegaskan juga bahwa hubungan antara Firman dan Bapalah yang menghasilkan penciptaan. Sang Bapa tidak menciptakan dari diri-Nya sendiri, tetapi melalui sang Anak (Firman) dan sang Anak tidak menciptakan melainkan sang Bapa melalui diri-Nya. Hal ini menyangkal pengajaran semi-Arianisme bahwa sang Anak diperanakkan melalui kehendak sang Bapa

Kanagaraj dan Kemp menyebut sang Firman sebagai “the originator and sustainer of the creation (pemula dan penopang ciptaan). Dia menyatakan bahwa sang Firmanlah yang memulai dan menopang ciptaan.

Sang Firman adalah agen pribadi Allah dalam menciptakan segala sesuatu. Apakah tindakan tersebut masih dalam rancangan atau telah dilaksanakan semuanya jadi melalui sang Firman. Sang Firman telah ada sebelum ciptaan ada dan Dia menciptakan segala sesuatu dari sama sekali tidak ada. Tidak ada material apapun yang telah ada sebelum Allah menciptakannya, atau tidak ada suatupun yang telah ada pada mulanya di samping Allah. 

John Calvin menegaskan: “All things were made by him, having declared that the Word is God and proclaimed His divine essence, he goes on to prove His divinity from His works.” Bahwa frase “segala sesuatu dijadikan oleh Dia” menunjukkan bahwa sang Firman adalah Allah dan telah menyatakan esensi keilahian- Nya, dan sang Firman membuktikan keilahianNya itu melalui karya-Nya.

4.Inkarnasi Sang Firman


Pokok yang paling bertentangan baik dengan pengajaran Yahudi maupun dengan filsafat Yunani ialah inkarnasi. Doktrin inkarnasi merupakan doktrin keyakinan yang menjadikan Kekristenan unik di antara agama-agama lain di dunia. Doktrin ini mengekspresikan keyakinan Kristen bahwa: “Allah membuat diri-Nya diketahui secara utuh, secara spesifik, dan secara pribadi, dengan mengambil natur manusia untuk diri- Nya, dengan datang di antara kita sebagai manusia biasa, namun tanpa berhenti menjadi Allah yang kekal dan tidak terbatas.”

Dalam teks Injil Yohanes ini, inkarnasi dikalimatkan dengan frase: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Sekarang Yohanes mengajarkan natur datangnya Yesus Kristus yang menurutnya mengenakan tubuh (daging) manusia, dan menampilkan diri-Nya bagi dunia.

“Firman itu telah menjadi manusia,” (ὁ λόγος σὰρξ ἐγένετο, ho logos sarks egeneto). Kata Firman (logos) diulangi Yohanes dalam pengertian: “sesuatu yang sama yang sebelumnya adalah Firman, adalah Hidup dan Terang, sekarang telah menjadi daging.

”Kanagaraj dan Kemp menegaskan: “Became flesh is incarnation, which means quite literally en-fleshment (menjadi daging adalah inkarnasi, yang secara literal berarti “pendagingan”).” “Daging” (sarks) menunjukkan tubuh manusia atau dalam pengertian pembahasan ini adalah manusia Yesus sebagaimana ditegaskan Bengel: “Flesh … denotes the human body , or as here, the man himself, named from his visible part. …(and viewed especially on the side of his weakness and mortality.” 

Selanjutnya Bengel mengutip Luther menjelaskan bahwa dengan menjadi daging maka (sang Firman): “he has assumed our pitiable mature, as it now is; and hence, with it, all human infirmities and accidents, and even the necessity of death.” Jadi pengertian “daging” menunjuk pada semua keberadaan manusiawi dengan segala kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia dan tubuh yang pasti binasa (mati). 

Tubuh Kristus adalah tubuh yang nyata, lahir dari perawan Maria, bukan sekedar kenampakan daging sebagaimana yang diajarkan Doketisme. Meskipun demikian, tubuh-Nya tersebut merupakan tubuh yang tidak berdosa, karena pengertian “daging” tersebut hanya menggambarkan natur manusia, tidak termasuk dosa. Lenski menegaskan: “…while the Word became flesh, he did not become sinful flesh; for the word flesh itself, as describing our nature, does not include sin

Baca Juga: Eksposisi Yohanes 1:1 (Keilahian Yesus Kristus)

Sementara itu, kata “menjadi” (ἐγένετο, egeneto) secara literal dapat diartikan dengan: “a person or thing changes its property and enters into a new condition, becomes something that it was not before (suatu pribadi atau hal merubah sifatnya dan memasuki sebuah kondisi yang baru, menjadi sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya).

”Pemakaian bentuk aorist pada kata Yunani ini menunjukkan bahwa ini menjadi satu-satunya peristiwa yang menentukan dalam sejarah, tetapi juga mengandung arti: “a temporary sojourn” (berdiam sementara). Lenski menegaskan bahwa: “the Logos remained σὰρξ only until his redemptive work was finished, then not to discard the tent of his flesh but to transfer his human nature into the Holy of Holies above by the miracle of his glorification and ascension (sang Firman tinggal di antara kita hanya sampai pekerjaan penebusannya selesai, kemudian tanpa membuang tenda dagingnya tersebut tetapi merubah sifat manusianya menjadi yang Kudus melalui mujizat pemuliaan dan kenaikanNya)

Bentuk yang sama (aorist) juga digunakan pada frase berikutnya: “dan diam di antara kita” (καὶ ἐσκήνωσεν ἐν ἡμῖν, kai eskenosen en humin). Kata σκηνόω berarti sojourned (telah berdiam) atau tabernacled (telah berkemah). 

Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani pikirannya mengacu pada tabernakel dalam Perjanjian Lama, sebuah kemah (skene) dimana Allah berkata bahwa Dia akan berdiam di antara mereka pada tempat yang paling pusat dari perkemahan orang Israel (Keluaran 25:8). Kemp menegaskan: “John says that this is what has happened now in the incarnation, but instead of coming to dwell in any tent or temple, God has now taken up his dwelling in human being; he has become just like one of us

Sebagaimana konsep Perjanjian Lama bahwa Allah berdiam ditengah-tengah orang Israel, maka dengan mengatakan “diam di antara kita”, Yohanes menyatakan apa yang kini terjadi dengan inkarnasi, Allah tidak hanya diam dalam kemah atau bait Allah tetapi Dia berdiam di antara manusia, menjadi manusia.

Menjadi daging bukan berarti sang Firman secara total dan seterusnya berubah/berganti menjadi daging, tetapi yang dimaksud di sini bahwa sang Firman tanpa berhenti menjadi apa adanya Dia sebelumnya, sekarang menjadi daging yaitu apa yang sebelumnya belum pernah Dia alami, hal ini ditegaskan Lenski: “From the start the thought must be rejected that σὰρξ here means a transformation of the Logos into flesh. The Word did not cease to be what it was before; but it became what it was not beforeflesh.

Untuk menegaskan kenyataan sejarah dari inkarnasi, Yohanes memberikan kesaksiannya bahwa dia dan orang-orang percaya lainnya benar-benar telah melihat keberadaan inkarnasi tersebut dengan mata mereka sendiri, sebagaimana yang Yohanes nyatakan dalam 1 Yohanes 1:1, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” Apa yang telah mereka saksikan adalah kemuliaan-Nya, sebuah kata yang dekat hubungannya dengan berdiamnya Allah dalam tabernakel atau kemah dalam Perjanjian Lama, dimana padanan kata skene (Yunani) dalam bahasa Ibrani adalah shekinah yang juga berarti berdiam. 

Dalam konteks tabernakel di padang gurun, kata shekinah adalah kemuliaan Allah yang membuat diri-Nya hadir di sana. Awan yang menunjukkan kehadiran Allah, dan kemuliaan Tuhan, tinggal baik pada tabernakel dan rumah Tuhan (Keluaran 24:16; 40:34; 1 Raja-raja 8:10,11). Di zaman Perjanjian Baru kemuliaan shekinah (shekinah glory) menjadi istilah yang menunjukkan manifestasi yang kelihatan dari Allah, sebagaimana yang dinyatakan Yohanes mengenai Logos.

Dengan demikian, orang Kristen menggunakan kata inkarnasi untuk mengekspresikan keyakinannya bahwa lahirnya Yesus Kristus menandai masuknya Anak Allah yang kekal dan ilahi kedalam kehidupan umat manusia. Yesus bukan manusia biasa. Juga tidak benar bila mengatakan bahwa Yesus itu mirip Allah. Pendirian Kristen secara menyejarah adalah Yesus Kristus sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia.John Stott menyatakan bahwa Yesus Kristus memiliki relasi esensial dan kekal dengan Allah. Tetapi Dia bukanlah Allah yang menyamar, juga bukan manusia yang mempunyai kualitas ilahi, tetapi sebagai Allah-manusia.

5.Kesetaraan Firman Dengan Bapa

Kesetaraan Firman dengan Bapa nampak dalam perkataan Yesus pada Yohanes 5 :17 bahwa: ”BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (ὁ πατήρ μου ἕως ἄρτι ἐργάζεται κἀγὼ ἐργάζομαι, ho pater mu heos arti ergazetai, kago ergazomai). Ayat ini tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya tentang pekerjaan penyembuhan yang Yesus lakukan terhadap seorang yang sakit lumpuh selama tiga puluh delapan tahun dan terbaring di kolam Betesda. 

Pada Yohanes 5: 16 disebutkan bahwa “orang-orang Yahudi berniat menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat.” Hari Sabat bagi orang Yahudi adalah hari yang khusus yang ditetapkan Allah bagi mereka, dimana setiap orang tidak diperkenankan melakukan pekerjaan apapun, sekalipun itu pekerjaan yang baik

Leon Morris menyatakan tentang hari Sabat: “in the Misnah tractate Shabbath, we read of thirty-nine classes of work forbidden on the Sabbath (Shabbath 7:2).” Masalah yang terjadi dalam Yohanes 5:1-15 ini adalah Yesus melakukan penyembuhan dan menyuruh orang lumpuh tersebut mengangkat tilamnya. Walaupun orang-orang Yahudi secara langsung tidak melihat tindakan penyembuhan Yesus tersebut, akan tetapi mereka menyaksikan bahwa orang lumpuh tersebut mengangkat tilamnya, dan dengan demikian mendapat bukti untuk menyalahkan dia atau orang yang menyuruh dia mengangkat tilamnya.

Peraturan Sabat memungkinkan orang dapat melakukan tindakan tertentu (untuk kebaikan orang lain) pada hari Sabat, sebagaimana yang tercantum dalam peraturan Sabat 10:5 tentang orang yang diangkat dengan tilam. Tetapi mengangkat tilam itu sendiri dengan jelas dilarang dilakukan pada hari Sabat. Hal inilah yang dilakukan oleh orang lumpuh itu sesuai dengan perintah Yesus

Pembelaan diri Yesus terhadap keberatan-keberatan orang Yahudi sangat menarik, karena Yesus tidak menunjuk secara langsung pada hari Sabat itu tetapi pada sang Bapa dalam ayat 17, “BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.”Lenski menyatakan bahwa: “this brief word is like a shot into the center of the target … It absolutely and completely refutes the Jewish authorities.” Yesus tidak berkata “Bapa kita,” yang dengan demikian akan menempatkan diri-Nya sederajat dengan orang-orang Yahudi dan dengan semua orang lainnya, tetapi Dia menyebut: “BapaKu.” Hal ini adalah: “a claim to a special intimacy, and the Jews recognized it as such.”

Dengan berkata: “BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga,” Yesus menegaskan bahwa pekerjaan-Nya adalah refleksi dari pekerjaan Bapa. Sebutan Yesus terhadap Allah dengan “BapaKu,” bagi orang-orang Yahudi mempunyai arti bahwa Yesus menjadikan Allah ikut mengambil bagian dalam “kejahatan” Yesus melanggar hari Sabat.

Kenyataan bahwa Yesus adalah Allah dan setara dengan Bapa nampak dalam otoritas-Nya atas hari Sabat. Dia adalah sang Anak tunggal dari Bapa yang melakukan tindakan-tindakan keallahan dalam hubungan dengan hari Sabat

Morris menghubungkan hukum Sabat dengan berhentinya Allah dari tindakan penciptaan pada hari ketujuh dalam Kejadian 2:2-3

Allah memang berhenti mencipta pada hari yang ketujuh, tetapi tidak berarti Allah berhenti melakukan segala sesuatu. Allah berhenti mencipta, tetapi Dia tetap melakukan tindakan aktivitas menopang dan memelihara dunia dan isinya. Peraturan tentang hari Sabat berasal dari tindakan beristirahatnya Allah dari mencipta pada hari ketujuh ini. Sikap Yesus pada hari Sabat itu berdasarkan pada kesadaran-Nya akan keallahan-Nya: “he claims a special closeness to God. In the synoptic Gospels he justifies what he does on the Sabbath with words: ‘so the Son of Man is Lord even of the Sabbath’(Markus2:28)

Hal ini menekankan otoritas Yesus atas apa yang ditetapkan Allah. Allah menetapkan Sabat bagi manusia; dan tidak seharusnya Yesus yang adalah Allah tunduk atas ketetapan yang Dia keluarkan

Yesus mempunyai hubungan yang khusus dengan Bapa, yaitu sebagai sang Anak Manusia, dan juga mempunyai posisi yang khusus yang memungkinkan Dia melakukan apa yang telah dilakukan-Nya itu. Hubungan khusus tersebut membenarkan apa yang Dia lakukan. Alford menyatakan bahwa hal ini merupakan sebuah pernyataan yang paling penting dari salah satu ajaran Kristen yang tertinggi dan terkudus. EKSPOSISI TENTANG SANG FIRMAN DALAM INJIL YOHANES
Next Post Previous Post