CARA CARI UANG YANG MEMBUAT YESUS MURKA (YOHANES 2:14)

Pdt. Budi Asali, M.Div.

Apa yang Yesus dapati di Bait Allah di Yerusalem (Yohanes 2:14).

Yohanes 214: “Dalam Bait Suci didapatiNya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ.”.
CARA CARI UANG YANG MEMBUAT YESUS MURKA (YOHANES 2:14)
gadget, bisnis, otomotif
1) “Dalam Bait Suci”.

Ay 14 mengatakan bahwa orang-orang itu berjualan dalam Bait Suci.

Ini tentu tidak berarti bahwa mereka berjualan dalam Ruang Suci atau Ruang Maha Suci.

Alasannya:

a) Sekalipun ay 14 mengatakan ‘dalam Bait Suci’, tetapi perlu diingat bahwa kata Yunani yang diterjemahkan ‘Bait Suci’ dalam ay 14,15 adalah HIERON yang bukan hanya menunjuk pada Ruang Suci dan Ruang Maha Suci saja, tetapi juga mencakup pelataran Bait Suci.

b) Hanya imam yang boleh masuk ke Ruang Suci, dan hanya imam besar yang boleh masuk ke Ruang Maha Suci, itupun hanya setahun sekali, sehingga tidak mungkin orang berjualan disana.

Karena itu harus disimpulkan bahwa mereka berjualan di pelataran / halaman Bait Suci [bdk. ay 14 (NIV): ‘In the temple courts’ {= dalam pelataran-pelataran Bait Suci}].

Perhatikan kata bentuk jamak ‘courts’ [= pelataran-pelataran]. Memang ada beberapa pelataran.

William Barclay (tentang Matius 21:12-14): “There are in the New Testament two words which are translated as ‘Temple,’ and rightly so; but there is a clear distinction between them. The Temple itself is called the NAOS. It was a comparatively small building, and contained the holy place and the Holy of Holies into which only the high priest might enter, and he only on the great Day of Atonement. But the NAOS itself was surrounded by a vast space which was occupied by successive and ascending courtyards. First there was the ‘Court of the Gentiles,’ into which anyone might come, and beyond which it was death for a Gentile to penetrate. Then there came the ‘Court of the Women,’ entered by the Beautiful Gate of the Temple, into which any Israelite might come. Next there came the ‘Court of the Israelites,’ entered by the gate called Nicanor’s Gate, a great gate of Corinthian bronze which needed twenty men to open and shut it. It was in this court that the people assembled for the Temple services. Lastly there came the Court of the Priests, into which only the priests might enter; in it there stood the great altar of the burnt offering, the altar of the incense, the seven-branched lamp stand, the table of the shewbread, and the great bronze bowl for ablutions; and at the back of it there stood the NAOS itself. This whole area, including all the courts, is also in the Revised Standard Version called the ‘Temple;’ the Greek is HIERON. It is better to keep a distinction between the two words - to retain the word ‘Temple’ for the Temple proper, that is the NAOS, and to use the term the ‘Temple precincts’ for the whole area, that is the word HIERON.” [= Dalam Perjanjian Baru ada dua kata yang diterjemahkan sebagai ‘Bait Allah’, dan secara benar demikian; tetapi disana ada suatu perbedaan yang jelas di antara mereka. Bait Allah itu sendiri disebut NAOS. Itu dalam perbandingan adalah suatu bangunan yang kecil, dan mencakup Ruang Suci dan Ruang Maha Suci ke dalam mana hanya imam besar boleh masuk, dan ia hanya boleh masuk pada hari raya Pendamaian. Tetapi NAOS itu dikelilingi oleh suatu daerah / tempat yang luas yang ditempati oleh pelataran-pelataran berturut-turut dan makin meningkat. Pertama disana ada ‘Pelataran orang-orang non Yahudi’, ke dalam mana siapapun boleh masuk, dan melampaui mana adalah kematian bagi seorang non Yahudi untuk masuk. Lalu disana ada ‘Pelataran Perempuan’, dimulai oleh Pintu Gerbang Indah dari Bait Allah, ke dalam mana orang Israel yang manapun boleh masuk. Setelah itu ada ‘Pelataran orang-orang Israel’, dimulai oleh pintu gerbang yang disebut Pintu Gerbang Nikanor, suatu pintu gerbang besar dari perunggu Korintus yang membutuhkan 20 orang untuk membuka dan menutupnya. Di pelataran inilah orang-orang / bangsa itu berkumpul untuk kebaktian-kebaktian Bait Allah. Yang terakhir disana ada Pelataran Imam-imam, ke dalam mana hanya imam-imam boleh masuk; di dalamnya disana terletak mezbah besar dari korban bakaran, mezbah ukupan, kaki dian bercabang tujuh, dan meja roti sajian, dan cawan untuk persembahan curahan; dan di belakangnya terletak NAOS itu sendiri. Seluruh daerah ini, termasuk semua pelataran-pelataran, dalam RSV juga disebut ‘Bait Allah’; dalam bahasa Yunaninya adalah HIERON. Adalah lebih baik untuk menjaga suatu perbedaan di antara dua kata itu - untuk mempertahankan kata ‘Bait Allah’ untuk Bait Allah yang sebenarnya, yaitu NAOS, dan untuk menggunakan istilah ‘daerah-daerah Bait Allah’ untuk seluruh tempat itu, itu adalah kata HIERON.].

Lihat “Diagram of the temple in Jesus’ day” di Google.

William Barclay: “The Temple consisted of a series of courts leading into the Temple proper and to the Holy Place. There was first the Court of the Gentiles, then the Court of the Women, then the Court of the Israelites, then the Court of the Priests. All this buying and selling was going on in the Court of the Gentiles, which was the only place into which a Gentile might come. Beyond that point, access to him was barred. So then if there was a Gentile whose heart God had touched, he might come into the Court of the Gentiles to meditate and pray and distantly touch God. The Court of the Gentiles was the only place of prayer he knew. The Temple authorities and the Jewish traders were making the Court of the Gentiles into an uproar and a rabble where no man could pray. The lowing of the oxen, the bleating of the sheep, the cooing of the doves, the shouts of the traders, the rattle of the coins, the voices raised in bargaining disputes - all these combined to make the Court of the Gentiles a place where worship became impossible.” [= Bait Allah terdiri dari suatu seri pelataran yang mengarah kepada Bait Allah yang sebenarnya dan kepada Ruang Suci. Disana pertama-tama ada Pelataran orang-orang non Yahudi, lalu Pelataran Perempuan, lalu Pelataran orang-orang / bangsa Israel, lalu Pelataran Imam-imam. Semua jual beli ini terjadi di Pelataran orang-orang non Yahudi, yang adalah satu-satunya tempat ke dalam mana seorang non Yahudi bisa masuk. Melampaui titik itu, akses dilarang baginya. Jadi jika disana ada seorang non Yahudi yang hatinya telah disentuh oleh Allah, ia bisa datang / masuk ke dalam Pelataran orang-orang non Yahudi untuk bermeditasi dan berdoa dan menyentuh Allah dari jauh. Pelataran orang-orang non Yahudi adalah satu-satunya tempat berdoa yang ia kenal / tahu. Penguasa-penguasa Bait Allah dan pedagang-pedagang Yahudi membuat Pelataran orang-orang non Yahudi menjadi suatu gangguan / keributan dan suatu kumpulan peribut dimana tak seorangpun bisa berdoa. Lenguhan lembu-lembu jantan, embikan domba-domba, suara dari merpati-merpati, teriakan-teriakan dari pedagang-pedagang, suara gemerincing dari koin-koin, suara-suara yang ditinggikan dalam perdebatan penawaran - semua ini bergabung untuk membuat Pelataran dari orang-orang non Yahudi suatu tempat dimana ibadah / penyembahan menjadi mustahil.].

Jadi, jangan samakan pelataran / halaman Bait Allah dengan pelataran / halaman gereja!

Dalam Bait Allah pelataran yang digunakan untuk berjualan dsb ini adalah TEMPAT ORANG NON YAHUDI BERBAKTI, sehingga dengan adanya orang berjualan di sana, maka orang non Yahudi tidak bisa berdoa / berbakti di Bait Allah.

William Barclay (tentang Matius 21:12-14): “The scene of this incident was the Court of the Gentiles into which anyone might come. It was always crowded and busy; but at Passover, with pilgrims there from all over the world, it was thronged to capacity.” [= Kancah / suasana dari peristiwa ini adalah Pelataran orang-orang non Yahudi ke dalam mana siapapun boleh masuk. Tempat itu selalu penuh dengan orang dan kesibukan; tetapi pada Paskah, dengan peziarah-peziarah disana dari seluruh penjuru dunia, itu penuh secara maximum.].

The Bible Exposition Commentary: “The tragedy is that this business was carried on in the court of the Gentiles in the temple, the place where the Jews should have been meeting the Gentiles and telling them about the one true God. Any Gentile searching for truth would not likely find it among the religious merchants in the temple.” [= Tragedinya adalah bahwa bisnis ini dilaksanakan di Pelataran orang-orang non Yahudi di Bait Allah, tempat dimana orang-orang Yahudi seharusnya menemui orang-orang non Yahudi dan memberitahu mereka tentang satu Allah yang benar. Orang-orang non Yahudi manapun yang mencari kebenaran tidak akan menemukannya di antara pedagang-pedagang relijius di Bait Allah.].

Dari sini bisa kita menarik kesimpulan bahwa kalau kita melakukan hal-hal yang menghalangi / mengganggu orang lain dalam berdoa atau berbakti kepada Tuhan, maka itu menyebabkan kemarahan Tuhan! Pernah datang terlambat dalam kebaktian pada waktu sedang berdoa???

William Barclay: “The conduct in the Temple court shut out the seeking Gentile from the presence of God. ... Jesus was moved to the depths of his heart because those who were seeking God were being shut out from his presence. Is there anything in our church life - a snobbishness, an exclusiveness, a coldness, a lack of welcome, a tendency to make the congregation into a closed club, an arrogance, a fastidiousness - which keeps the seeking stranger out? Let us remember the wrath of Jesus against those who made it difficult and even impossible for the seeking stranger to make contact with God.” [= Tingkah laku di Pelataran Bait Allah menghalangi orang-orang non Yahudi yang mencari kehadiran Allah. ... Yesus digerakkan sampai hatiNya yang terdalam karena mereka yang sedang mencari Allah sedang dihalangi dari kehadiranNya. Apakah disana ada apapun dalam kehidupan gereja kita - suatu kecenderungan untuk bergaul dengan golongan tertentu saja, suatu sikap eksklusif, suatu sikap yang dingin, kurangnya penyambutan, suatu kecenderungan untuk membuat jemaat menjadi suatu perkumpulan yang tertutup, suatu kesombongan / sikap arogan, suatu sikap sangat kritis / cerewet / rewel - yang menjaga orang-orang asing yang mencari Allah tetap di luar? Hendaklah kita mengingat murka Yesus terhadap mereka yang membuat sukar dan bahkan mustahil bagi orang-orang asing yang mencari Allah untuk berkomunikasi dengan Allah.].

2) “didapatiNya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ.”.

a) Penjualan binatang dan penukaran uang yang bersifat ‘memeras rakyat’.

1. Penjualan binatang.

a. William Barclay mengatakan bahwa harga merpati di Bait Allah hampir 15 x lipat di luar. William Hendriksen bahkan mengatakan 80 x lipat.

(1) Mengapa butuh merpati?

William Barclay (tentang Mat 21:12-14): “The selling of doves was worse. For most visits to the Temple, some kind of offering was essential. Doves, for instance, were necessary when a woman came for purification after childbirth, or when a leper came to have a cure attested and certified (Leviticus 12:8, 14:22, 15:14, 15:29).” [= Penjualan merpati-merpati lebih buruk lagi. Untuk kebanyakan kunjungan ke Bait Allah, beberapa jenis korban adalah perlu. Merpati-merpati, sebagai contoh, diperlukan pada waktu seorang perempuan datang untuk pentahiran setelah melahirkan anak, atau seorang penderita kusta datang untuk mendapatkan suatu penyembuhan disahkan (Imamat 12:8, 14:22, 15:14, 15:29).].

(2) Harga merpati yang jauh lebih mahal dari harga normal.

William Barclay (tentang Mat 21:12-14): “No great harm would have been done if the prices had been the same inside and outside the Temple, but inside the Temple a pair of doves could cost as much as fifteen times the price charged for them outside.” [= Tak ada kesalahan yang dilakukan seandainya harga-harga adalah sama di dalam dan di luar Bait Allah, tetapi di dalam Bait Allah sepasang merpati bisa berharga 15 x lipat harga di luar Bait Allah.].

William Hendriksen: “Of course, the dealers in cattle and sheep would be tempted to charge exorbitant prices for such animals. They would exploit the worshippers. And those who sold pigeons would do likewise, charging, perhaps, $4 for a pair of doves worth a nickel.” [= Tentu saja, pedagang-pedagang ternak dan domba digoda untuk meminta harga yang jauh lebih tinggi dari normal untuk binatang-binatang itu. Mereka memeras para penyembah itu. Dan mereka yang menjual merpati-merpati melakukan hal yang sama, meminta harga, mungkin, 4 dolar untuk sepasang merpati yang harganya 5 sen.].

Catatan kaki: A. Edersheim, The Life and Times of Jesus the Messiah, New York, 1897, vol. I, p. 370.

(3) Padahal orang yang mempersembahkan merpati biasanya adalah orang yang miskin. Tetapi mereka tidak segan-segan memeras orang-orang miskin sekalipun.

Imamat 5:5-7 - “(5) Jadi apabila ia bersalah dalam salah satu perkara itu, haruslah ia mengakui dosa yang telah diperbuatnya itu, (6) dan haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salah karena dosa itu seekor betina dari domba atau kambing, menjadi korban penghapus dosa. Dengan demikian imam mengadakan pendamaian bagi orang itu karena dosanya. (7) Tetapi jikalau ia tidak mampu untuk menyediakan kambing atau domba, maka sebagai tebusan salah karena dosa yang telah diperbuatnya itu, haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN dua ekor burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati, yang seekor menjadi korban penghapus dosa dan yang seekor lagi menjadi korban bakaran.”.

Imamat 12:6-8 - “(6) Bila sudah genap hari-hari pentahirannya, maka untuk anak laki-laki atau anak perempuan haruslah dibawanya seekor domba berumur setahun sebagai korban bakaran dan seekor anak burung merpati atau burung tekukur sebagai korban penghapus dosa ke pintu Kemah Pertemuan, dengan menyerahkannya kepada imam. (7) Imam itu harus mempersembahkannya ke hadapan TUHAN dan mengadakan pendamaian bagi perempuan itu. Demikianlah perempuan itu ditahirkan dari leleran darahnya. Itulah hukum tentang perempuan yang melahirkan anak laki-laki atau anak perempuan. (8) Tetapi jikalau ia tidak mampu untuk menyediakan seekor kambing atau domba, maka haruslah ia mengambil dua ekor burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati, yang seekor sebagai korban bakaran dan yang seekor lagi sebagai korban penghapus dosa, dan imam itu harus mengadakan pendamaian bagi perempuan itu, maka tahirlah ia.’”.

(4) Jelas bahwa harga yang luar biasa mahal ini juga berlaku untuk binatang-binatang yang lain.

b. Tetapi bukankah orang-orang itu bisa membeli binatang-binatang yang diperlukan di luar?

Secara teoretis itu memang bisa, tetapi dalam prakteknya tidak bisa. Mengapa? Karena binatang-binatang untuk persembahan selalu harus tanpa cela / cacat (sekalipun syarat ini kadang-kadang tidak disebutkan, seperti dalam Imamat 4:14).

Keluaran 12:5 - “Anak dombamu itu harus jantan, tidak bercela, berumur setahun; kamu boleh ambil domba atau kambing.”.

Imamat 4:3 - “maka jikalau yang berbuat dosa itu imam yang diurapi, sehingga bangsanya turut bersalah, haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN karena dosa yang telah diperbuatnya itu, seekor lembu jantan muda yang tidak bercela sebagai korban penghapus dosa.”.

Bdk. Imamat 4:23,28,32 Imamat 5:15,18 Imamat 6:6 1Petrus 1:18-19.

Untuk memastikan keadaan ‘tanpa cela / cacat’ ini maka para penguasa Bait Allah menetapkan pemeriksa-pemeriksa untuk binatang-binatang yang akan dijadikan korban.

Dan para pemeriksa ini akan menolak semua binatang yang tidak dibeli di Bait Allah (dengan alasan yang dicari-cari), sehingga orang terpaksa membelinya di Bait Allah dengan harga yang sangat mahal.

William Barclay: “But the law was that any animal offered in sacrifice must be perfect and unblemished. The Temple authorities had appointed inspectors (MUMCHEH) to examine the victims which were to be offered, and a fee was charged for this inspection. If a worshipper bought a victim outside the Temple, it was to all intents and purposes certain that it would be rejected after examination.” [= Tetapi hukumnya adalah bahwa binatang yang dipersembahkan sebagai korban haruslah sempurna dan tidak bercacat. Penguasa-penguasa Bait Allah telah menetapkan pemeriksa-pemeriksa (MUMCHEH) untuk memeriksa korban-korban yang akan dikorbankan, dan suatu biaya / ongkos dibebankan untuk pemeriksaan ini. Jika seorang penyembah membeli korban di luar Bait Allah, dalam prakteknya adalah pasti bahwa itu akan ditolak setelah pemeriksaan.].

2. Penukar-penukar uang.

Untuk apa harus ada penukar-penukar uang?

William Barclay: “There was a tax that every Jew over nineteen years of age must pay. That was the Temple tax. It was necessary that all should pay that tax so that the Temple sacrifices and the Temple ritual might be carried out day by day. The tax was one half-shekel. It was equivalent to almost two days’ wages. For all ordinary purposes in Palestine, all kinds of currency were valid. Silver coins from Rome and Greece and Egypt and Tyre and Sidon and Palestine itself all were in circulation and all were valid. But the Temple tax had to be paid either in Galilaean shekels or in shekels of the sanctuary. These were Jewish coins, and so could be used as a gift to the Temple; the other currencies were foreign and so were unclean; they might be used to pay ordinary debts, but not a debt to God. Pilgrims arrived from all over the world with all kinds of coins. So in the Temple courts there sat the money-changers. If their trade had been straightforward they would have been fulfilling an honest and a necessary purpose. But what they did was to charge a commission for every half-shekel they changed, and to make a second charge on every half-shekel of change they had to give if a larger coin was tendered. So, if a man came with a coin the value of which was two shekels, he had to pay to get it changed, and again to get his change of three half-shekels. In other words, the money-changers made considerable capital out of him - on such a transaction the equivalent of one day’s wage.” [= Di sana ada suatu pajak yang harus dibayar oleh setiap orang Yahudi yang berusia di atas 19 tahun. Itu adalah pajak Bait Allah. Adalah perlu / harus bahwa semua harus membayar pajak itu sehingga korban-korban Bait Allah dan upacara-upacara Bait Allah bisa dilaksanakan hari demi hari. Pajak itu adalah setengah syikal. Itu hampir setara dengan upah dua hari. Untuk semua tujuan biasa di Palestina, semua jenis mata uang adalah sah. Koin-koin perak dari Roma dan Yunani dan Mesir dan Tirus dan Sidon dan Palestina sendiri semua ada dalam peredaran dan semua adalah sah. Tetapi pajak Bait Allah harus dibayar atau dalam syikal Galilea atau dalam syikal dari Bait Allah. Ini adalah koin-koin Yahudi, dan karena itu bisa digunakan sebagai suatu pemberian kepada Bait Allah; mata uang yang lain adalah asing dan karena itu najis; mereka bisa digunakan untuk membayar hutang-hutang biasa, tetapi tidak hutang kepada Allah. Peziarah-peziarah tiba dari seluruh dunia dengan segala jenis koin. Karena itu dalam Pelataran Bait Allah duduk penukar-penukar uang. Seandainya bisnis / penukaran mereka adalah jujur, maka mereka sudah memenuhi suatu tujuan yang jujur dan perlu / dibutuhkan. Tetapi apa yang mereka lakukan adalah menarik suatu komisi untuk setiap setengah syikal yang mereka tukarkan, dan membuat tarikan yang kedua pada setiap setengah syikal yang merupakan uang kembali (susuk) yang harus mereka berikan jika sebuah koin yang lebih besar diberikan. Jadi, jika seseorang datang dengan sebuah koin yang nilainya 2 syikal, ia harus membayar untuk menukarkannya, dan membayar lagi untuk mendapatkan uang kembali (susuk) tiga syikal. Dengan kata lain, penukar-penukar uang mendapat banyak uang dari dia - dalam transaksi seperti itu setara dengan upah satu hari.].

Pulpit Commentary: “No coin bearing the image of Cæsar, or any foreign prince, or any idolatrous symbol then so common, would be allowed in the sacred treasury.” [= Tak ada koin yang menggunakan gambar Kaisar, atau pangeran / raja asing manapun juga, atau simbol yang bersifat penyembahan berhala apapun, yang pada saat itu begitu umum, diizinkan dalam perbendaharaan kudus.].

Keluaran 30:13-16 - “(13) Inilah yang harus dipersembahkan tiap-tiap orang yang akan termasuk orang-orang yang terdaftar itu: setengah syikal, ditimbang menurut syikal kudus--syikal ini dua puluh gera beratnya--; setengah syikal itulah persembahan khusus kepada TUHAN. (14) Setiap orang yang akan termasuk orang-orang yang terdaftar itu, yang berumur dua puluh tahun ke atas, haruslah mempersembahkan persembahan khusus itu kepada TUHAN. (15) Orang kaya janganlah mempersembahkan lebih dan orang miskin janganlah mempersembahkan kurang dari setengah syikal itu pada waktu dipersembahkan persembahan khusus itu kepada TUHAN untuk mengadakan pendamaian bagi nyawa kamu sekalian. (16) Dan haruslah engkau memungut uang pendamaian itu dari orang Israel dan menggunakannya untuk ibadah dalam Kemah Pertemuan; supaya itu menjadi peringatan di hadapan TUHAN untuk mengingat kepada orang Israel dan untuk mengadakan pendamaian bagi nyawa kamu sekalian.’”.

Perhatikan bahwa dasar Alkitab dari persembahan ½ syikal itu ada, tetapi bahwa itu harus dari mata uang tertentu, sama sekali tidak ada!

Praktek yang tidak mempunyai dasar Alkitab seperti ini bukan hanya ada dahulu tetapi juga sekarang dalam gereja-gereja zaman ini!

Leon Morris (NICNT): “Those ‘exchanging money’ plied their trade because it was permitted to make money offerings in the Temple only in the approved currency. People from other countries would bring all sorts of coinage with them and this had to be changed into acceptable coins. An astonishing number of commentators affirm that the reason for the unacceptability of other currencies was that the coins bore the Emperor’s image or some heathen symbol. But, as Israel Abrahams pointed out long ago, Tyrian coinage was not only permitted but expressly prescribed (Mishnah, Bekh. 8:7), and this bore heathen symbols. He thinks that the reason for the prescription was that this coinage was ‘of so exact a weight and so good an alloy.’ Whatever the reason, people had to change their money before making their offerings and this required that money changers should be at work somewhere.” [= ‘Penukaran uang’ itu terus melaksanakan bisnis mereka karena dalam Bait Allah persembahan uang hanya diizinkan dalam mata uang yang disetujui. Orang-orang dari negara-negara lain membawa segala jenis koin bersama mereka dan ini harus diubah menjadi koin-koin yang bisa diterima. Suatu jumlah yang mengherankan dari para penafsir menegaskan bahwa alasan untuk tidak bisa diterimanya mata uang lain adalah bahwa koin-koin itu mempunyai gambar Kaisar atau suatu simbol kafir. Tetapi seperti ditunjukkan oleh Israel Abraham dari dulu, koin Tirus bukan hanya diizinkan tetapi secara explicit ditetapkan (Mishnah, Bekh. 8:7), dan ini mempunyai simbol kafir. Ia pikir bahwa alasan untuk tradisi yang sudah lama ditetapkan ini adalah bahwa koin ini adalah ‘dari berat yang begitu tepat dan campuran logam yang begitu baik’. Apapun alasannya, orang-orang harus menukar uang mereka sebelum membuat persembahan mereka dan ini mengharuskan bahwa penukar-penukar uang harus bekerja di suatu tempat.].

Penukaran uang ini menghasilkan kekayaan yang luar biasa besarnya!

William Barclay: “The wealth which accrued from the Temple tax and from this method of money-changing was fantastic. The annual revenue of the Temple from the Temple tax has been estimated to run to the equivalent of £100,000. The money-changers themselves made a tidy profit running into thousands. When Crassus captured Jerusalem and raided the Temple treasury in 54 bc, he took from it the equivalent of several millions without coming near to exhausting it.” [= Kekayaan yang dikumpulkan dari pajak Bait Allah dan dari metode penukaran uang ini adalah sangat besar. Penerimaan tahunan dari Bait Allah dari pajak Bait Allah telah diperkirakan mencapai jumlah yang setara dengan £ 100.000. Penukar-penukar uang itu sendiri membuat suatu keuntungan yang besar yang mencapai ribuan. Pada waktu Crassus merebut Yerusalem dan menjarah perbendaharaan Bait Allah pada tahun 54 S. M., ia mengambil darinya jumlah yang setara dengan beberapa juta tanpa mendekati untuk menghabiskannya.].

Catatan: kalau saudara mau tahu siapa Crassus itu lihat di link ini: https://id.wikipedia.org/wiki/Marcus_Licinius_Crassus

William Barclay: “What enraged Jesus was that pilgrims to the Passover, who could ill afford it, were being fleeced at an exorbitant rate by the money-changers. It was a rampant and shameless social injustice - and what was worse, it was being done in the name of religion.” [= Apa yang membuat membuat Yesus marah adalah bahwa peziarah-peziarah yang datang pada Paskah, yang sangat sukar untuk mengusahakannya, dirampas uangnya melalui pemerasan dengan suatu biaya yang tidak masuk akal oleh penukar-penukar uang itu. Itu adalah suatu ketidak-adilan sosial yang menyebar luas secara tak terkendali dan tak tahu malu - dan apa yang lebih buruk adalah bahwa itu dilakukan atas nama agama.].

b) Dari mana semua pemerasan ini dimulai?

William Barclay: “Besides the money-changers there were also the sellers of oxen and sheep and doves. Frequently a visit to the Temple meant a sacrifice. Many a pilgrim would wish to make thank-offering for a favourable journey to the holy city; and most acts and events in life had their appropriate sacrifice. It might therefore seem to be a natural and helpful thing that the victims for the sacrifices could be bought in the Temple court. It might well have been so.” [= Disamping penukar-penukar uang di sana juga ada penjual-penjual lembu-lembu jantan dan domba-domba dan merpati-merpati. Seringkali suatu kunjungan ke Bait Allah berarti suatu korban. Banyak peziarah ingin membuat korban syukur untuk suatu perjalanan yang baik ke kota kudus; dan kebanyakan tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan membutuhkan korban mereka yang tepat. Karena itu bisa kelihatan sebagai hal yang wajar dan membantu bahwa korban-korban untuk pengorbanan bisa dibeli di Pelataran Bait Allah. Itu memang bisa seperti itu.].

William Barclay (tentang Matius 21:12-14): “The whole matter was not necessarily an abuse; but the trouble was that it lent itself to abuse. It lent itself to the exploitation of the pilgrims who had come to worship, and there is no doubt that the Temple money-changers made large profits out of it.” [= Seluruh persoalan / urusan ini tidak harus merupakan suatu penyalah-gunaan; tetapi problemnya adalah bahwa itu cocok untuk suatu penyalah-gunaan. Itu cocok untuk suatu pemerasan terhadap peziarah-peziarah yang datang untuk beribadah, dan disana tidak ada keraguan bahwa penukar-penukar uang Bait Allah mendapatkan keuntungan besar darinya.].

Jamieson, Fausset & Brown: “‘Those that sold oxen and sheep and doves.’ - for the convenience of those who had to offer them in sacrifice.” [= ‘Mereka yang menjual lembu-lembu jantan dan domba-domba dan merpati-merpati’. - demi kenyamanan dari mereka yang harus mengorbankan binatang-binatang itu.].

Bible Knowledge Commentary: “The buying and selling of animals in the area was probably rationalized as a convenience for the pilgrims coming into Jerusalem. But abuses developed, and the pilgrim traffic became a major source of income for the city. With money to be made, worship easily became corrupted.” [= Pembelian dan penjualan binatang-binatang di daerah itu mungkin dirasionalisasikan sebagai suatu kenyamanan untuk peziarah-peziarah yang datang ke Yerusalem. Tetapi penyalah-gunaan berkembang, dan perdagangan / bisnis peziarah menjadi sumber penghasilan utama untuk kota itu. Dengan uang yang dihasilkan, penyembahan / ibadah dengan mudah menjadi rusak / bejat.].

The Bible Exposition Commentary: “The priests had established a lucrative business of exchanging foreign money for Jewish currency, and also selling the animals needed for the sacrifices. No doubt, this ‘religious market’ began as a convenience for the Jews who came long distances to worship in the temple; but in due time the ‘convenience’ became a business, not a ministry.” [= Imam-imam telah menetapkan suatu bisnis yang sangat menguntungkan / menghasilkan kekayaan dari penukaran uang asing untuk mata uang Yahudi, dan juga penjualan binatang-binatang yang dibutuhkan untuk korban-korban. Tak diragukan, ‘pasar agamawi’ ini dimulai sebagai suatu kenyamanan untuk orang-orang Yahudi yang datang dari jarak yang jauh untuk beribadah di Bait Allah; tetapi akhirnya ‘kenyamanan’ menjadi suatu bisnis, bukan suatu pelayanan.].

c) Mengapa imam-imam membiarkan semua pemerasan ini?

William Barclay (tentang Matius 21:12-14): “Further, these stalls where the victims were sold were called the Bazaars of Annas, and were the private property of the family of the high priest of that name.” [= Lebih jauh, kandang-kandang dimana korban-korban ini dijual disebut Bazar-bazar dari Hanas, dan merupakan milik pribadi dari keluarga imam besar dengan nama itu.].

The Biblical Illustrator: “The abuse consisted in making God’s house a house of merchandise, in which the priests themselves profited.” [= Penyalah-gunaan yang terdiri dari pembuatan / pengubahan rumah Allah menjadi suatu rumah perdagangan, dalam mana imam-imam itu sendiri mendapatkan keuntungan.].

The Biblical Illustrator: “It seems strange that the priests should have permitted it, but the explanation throws light on Christ’s conduct. The priests made pecuniary profit of it. The sale of doves was almost wholly in their hands, and the rent for the rest was very large. The money-changers were usurers and tricksters, and augmented the priests’ revenue out of their unlawful gains.” [= Kelihatannya aneh bahwa imam-imam telah mengizinkannya, tetapi penjelasannya memberi terang pada tingkah laku Kristus. Imam-imam mendapatkan keuntungan uang darinya. Penjualan merpati-merpati hampir sepenuhnya ada dalam tangan mereka, dan uang sewa untuk sisanya adalah sangat besar. Penukar-penukar uang adalah orang-orang yang membungakan uang dan penipu-penipu, dan memperbesar / menambah penghasilan imam-imam dari keuntungan-keuntungan mereka yang tidak sah.].

William Barclay (tentang Mat 21:12-14): “Here, again, there was not necessarily abuse. There must have been many honest and sympathetic traders. But abuse readily and easily crept in. The New Testament scholar F. C. Burkitt can say that ‘the Temple had become a meeting place of scamps’, the worst kind of commercial monopoly and vested interest. George Adam Smith, the biblical scholar, can write: ‘In those days every priest must have been a trader.’” [= Di sini, lagi-lagi, di sana tidak harus terjadi penyalah-gunaan. Di sana pasti ada banyak pedagang-pedagang yang jujur dan bersimpati. Tetapi penyalah-gunaan dengan mudah merangkak masuk. Sarjana Perjanjian Baru F. C. Burkitt bisa berkata bahwa ‘Bait Allah telah menjadi suatu tempat pertemuan dari bajingan-bajingan’, jenis terburuk dari monopoli komersial dan hak kepemilikan mutlak. George Adam Smith, sarjana Alkitab, bisa menulis: ‘Pada zaman itu setiap imam pasti telah menjadi seorang pedagang’.].

J. C. Ryle: “The tendency of the whole custom was evidently most profane. It was no doubt connived at by the priests from covetous motives. They were either connected with those who sold animals and changed money, and shared in their profits; or else they received a rent for the privilege of carrying on business within the sacred walls. No doubt they would have pleaded that all was done with a good intention! Their end was to provide facilities for worshipping God! But good intentions cannot sanctify unscriptural actions. As Dyke says on the passage, ‘No pretence of good ends can justify that which is forbidden by God.’” [= Kecondongan dari seluruh kebiasaan itu jelas adalah sangat sekuler / tidak hormat terhadap hal-hal keramat. Itu tak diragukan diizinkan secara diam-diam oleh imam-imam dari motivasi yang tamak. Mereka atau berhubungan dengan orang-orang yang menjual binatang-binatang dan menukar uang, dan mendapat bagian dari keuntungan mereka, atau mereka menerima suatu biaya sewa untuk hak untuk melaksanakan bisnis di dalam tembok-tembok yang keramat. Tak diragukan mereka telah menegaskan sebagai pembelaan bahwa semua dilakukan dengan maksud yang baik! Tujuan mereka adalah untuk menyediakan fasilitas untuk penyembahan kepada Allah! Tetapi maksud yang baik tidak bisa menyucikan tindakan-tindakan yang tidak Alkitabiah. Seperti Dyke mengatakan tentang text itu, ‘Tidak ada kepura-puraan tentang tujuan yang baik bisa membenarkan apa yang dilarang oleh Allah’.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

d) Penerapan.

Ada gereja-gereja yang kalau ada acara besar menjual tiket. Makin dekat mimbar makin mahal tiketnya. Ibarat nonton tinju, harga tiket untuk ringside pasti sangat mahal. Tidak masalah kalau ini diberlakukan untuk sesuatu yang sifatnya sekuler, seperti pertandingan tinju, sepak bola, konser dan sebagainya. Tetapi pada waktu ini dilakukan oleh sebuah gereja, dalam acara rohani, ini merupakan suatu kegilaan, yang jelas bertujuan mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal! Dan merupakan suatu kebodohan kalau jemaat mau membeli tiket itu. Seharusnya mereka membiarkan acara itu kosong!

Gereja besar membuat ruangan khusus untuk pemberkatan pernikahan. Tetapi ini lalu disewakan. Semua yang mau diberkati di sana harus membayar harga sewa itu!!!

Gereja memanggil pendeta untuk berkhotbah, lalu memberi dia HR adalah sesuatu yang wajar. Tetapi pendeta-pendeta yang populer / laris, lalu pasang tarif khotbah, dan minta dijemput mobil mewah, dan minta ditidurkan di hotel bintang lima!!! Hanya gereja bodoh yang mau menuruti permintaan hamba Mammon seperti ini!

Pendeta-pendeta yang menjadi Youtuber. Buat khotbah sebanyak mungkin, tak peduli isinya bagaimana, yang penting topiknya disenangi orang. Beri iklan sebanyak mungkin, bahkan di tengah-tengah firman! Ini jelas merupakan suatu sikap kurang ajar / tidak hormat terhadap firman!!!

JANGAN MENGUNDANG KEMURKAAN YESUS DENGAN CARI UANG DENGAN CARA YANG TIDAK HALAL!

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Next Post Previous Post