FINALITAS ALKITAB DALAM PERSPEKTIF KHARISMATIK

Pdt. Samuel T. Gunawan, M,Th.

Finalitas Alkitab berarti bahwa Alkitab kanonik yang kita miliki saat ini dipercayai berasal dari dan diilhamkan Allah pada naskah autographnya serta diakui sebagai yang berotoritas mutlak atas ajaran dan perilaku gereja dan orang Kristen. Dengan demikian ada empat hal yang ditekankan dalam definisi tersebut, yaitu: 
FINALITAS ALKITAB DALAM PERSPEKTIF KHARISMATIK
otomotif, asuransi
(1) Alkitab berasal dari Allah, hal ini menjelaskan keunikan Alkitab sebagai wahyu Allah yang khusus. 

(2) Alkitab kanonik yang diilhami Allah hanya mengacu pada manuskrip autographnya. Pada saat kanon ditutup kita sudah memiliki daftar final dari kitab-kitab otentik yang merupakan salinan dari naskah autographnya. 

(3) Alkitab dipercayai dan diakui sebagai yang berotoritas mutlak. Hal ini dikaitkan dengan kredibilitas Alkitab yang tanpa salah dan tanpa kekeliruan. 

(4) Semua ajaran dan perilaku Kristen tunduk kepada otoritas Alkitab. Artinya, semua ajaran dan perilaku gereja secara umum dan orang Kristen secara khusus harus tunduk kepada otoritas Alkitab. 

Mengapa? Karena Alkitab berisi semua Firman Allah yang dibutuhkan oleh gereja dan orang percaya untuk keselamatannya dan untuk hidup di dalam keselamatan itu, sehingga tidak diperlukan lagi tambahan pernyataan lain di luar Alkitab yang setara dengan Alkitab. (Gunawan, Samuel T. “Finalitas Alkitab” dalam Moderasi Teologi Kristen. [Jakarta: STT Hagiasmos Mission, 2020], 138-139).

Namun perlu ditegaskan bahwa pernyataan dalam kalimat terakhir di atas “tidak diperlukan lagi tambahan pernyataan (wahyu) lain di luar Alkitab yang setara dengan Alkitab” sama sekali tidak kontradiktif dengan teologi Kharismatik yang mengakui bahwa Allah masih berbicara hari ini kepada umatNya, baik sebagai pribadi maupun persekutuan. 

Alasannya adalah bahwa ketika mengatakan dan mengajarkan “God speaking today (Allah masih berbicara hari ini)”, maka para penganut Kharismatik tidak pernah menganggap apa yang mereka dengar atau yang didengar oleh orang lain itu setara dengan Alkitab atau memiliki tingkat otoritas yang sama dengan Alkitab. 

Sebaliknya, teologi Kharismatik mengakui bahwa apa yang Allah bicarakan kepada kita sekalipun tidak tertulis dalam Alkitab, tetapi tidak boleh menyimpang atau kontradiktif dengan Alkitab. (Gunawan, Samuel T. Apologetika Kharismatik. Edisi Revisi, [Palangka Raya: Diterbitkan Bintang Fajar Ministries, 2020], 378-411).

Jadi saat mengakui bahwa Allah masih berbicara hari ini, teologi Kharismatik bukan bermaksud menggantikan Alkitab dengan wahyu baru ataupun menambah wahyu baru kepada Alkitab. Teologi Kharismatik meyakini bahwa Tuhan tidak hanya menuntun melalui Alkitab, tetapi juga berkomunikasi dan menuntun orang-orang percaya melalui berbagai cara, sama langsungnya dan seringnya seperti pada zaman rasul-rasul. 

Faktanya, meskipun bukan dalam rangka menciptakan Alkitab baru, Roh Kudus masih terus berbicara (berkomunikasi) kepada orang-orenag percaya sampai sekarang hari ini. Dengan demikian merupakan cacat logika “strawman” apabila memaksakan tuduhan bahwa Kharismatik telah menambah wahyu baru kepada Alkitab.

DalIas Willard seorang professor filsafat di The University of Southern California di Los Angeles mengatakan: “bahwa mereka yang meragukan bahwa Allah bertindak dan berbicara hari ini seperti yang dia lakukan di dalam Alkitab adalah semacam ‘Deist Alkitab.’ Sementara para Deis mula-mula berpikir bahwa Allah memulai alam semesta dan kemudian menarik diri dari keterlibatan aktif, beberapa orang Kristen saat ini bertindak seakan-akan Allah menarik diri segera setelah Alkitab diselesaikan” (Keener, Craig S. Gift and Giver: The Holy Spirit for Today. [Grand Rapids: Baker Academic: 2002], 91).

Perlu dipahami, bahwa ketika mengatakan dan mengajarkan “Allah masih berbicara saat ini”, penganut Kharismatik tidak pernah menganggap apa yang mereka dengar atau yang didengar oleh orang lain itu sejajar dengan Alkitab yang tertulis. Kharismatik mengakui bahwa apa yang Allah bicarakan kepada kita sekalipun tidak tertulis dalam Alkitab, tetapi tidak boleh sama sekali bertentangan (kontradiktif) dengan Alkitab. 

Sebagai contoh, misalnya karunia nubuat dan hubungannya dengan otoritas Alkitab, J. Rodman William teolog Kharismatik dan profesor Teologi Sistematika menegaskan bahwa karunia nubuat yang melampaui pernyataan Alkitab bukanlah nubuat yang sejati karena itu karunia nubuat haarus diuji berdasarkan Alkitab. (Williams, J. Rodman. Renewal Theology: Salvation, The Holy Spirit, and Christian Living. [Grand Rapids: Zondervan Publising House, 1990], 386).

Hal yang sama ditegaskan oleh C. Peter Wagenr, teolog Kharismatik dan Profesor Misiologi Pertumbuhan Gereja bahwa semua pernyataan yang diberikan melalui karunia nubuat atau bahasa roh harus selalu diperiksa atau diuji dari segi firman Allah yang tertulis. Ujian pertama yang menentukan benarnya suatu nubuat adalah kesesuaiannya dengan ayat-ayat Alkitab. 

Wagner kemudian memberikan contoh seorang pria yang menjalankan mobilnya dengan kecepatan 125 km per jam melewati jalan-jalan yang ramai di sebuah kota, dan akhirnya menabrak tiga orang hingga mereka tewas. Saat, diwawancarai, pria tersebut mengatakan bahwa ia berbuat demikian karena di suruh oleh Tuhan. Tentu saja kita mengetahui bahwa ini adalah suatu nubuat palsu karena tidak sesuai dengan ajaran etis dari Alkitab. (Wagner, C. Peter. Manfaat Karunia-Karunia Rohani Untuk Pertumbuhan Gereja. Terjemahan, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1988], 229).

Bahkan lebih tegas lagi Wayne A. Grudem teolog Kharismatik dari Third Wave Movement dan profesor teologi Sistematika dan Riset Alkitab menyatakan, “Ketika kita tidak menemukan jawaban yang spesifik atas suatu pertanyaan yang spesifik di dalam Alkitab, kita tidak bisa bebas untuk menambah perintah-perintah Alkitab yang kita temukan benar secara pragmatis. 

Hal yang pasti adalah bahwa Allah akan memberikan bimbingan khusus dalam berbagai situasi sehari-hari, tetapi kita tidak diizinkan untuk menulis dalam buku dan menyejajarkananya dengan Alkitab bagi setiap pernyataan-pernyaan modern, pimpinan, atau wujud-wujud bimbingan lain yang kita percayai berasal dari Allah. 

Demikian juga kita seharusnya tidak memaksakan bimbingan semacam itu kepada orang-orang Kristen lain pada umumnya ataupun orang-orang Kristen di gereja local kita karena kita bisa saja salah mengenai bimbingan semacam itu dan Allah tidak pernah menghendaki kita memberi bimbingan tersebut dengan status sama seperti firmanNya di dalam Alkitab”. (Grudem, Wayne A. &Elliot Grudem (editor). Christian Belief: Twenty Basics Every Christian Should Know. [Grand Rapids: Zondervan Publising House: 2005], 19).

Hingga saat ini sebagai seorang teolog Kharismatik, saya masih tetap meyakini dan berpegang teguh bahwa wahyu Allah yang dinyatakanNya dalam gereja saat ini bukan untuk menambahkan Alkitab baru, atau otoritas dari wahyu tersebut melebihi Alkitab. Justru pernyataan-pernyataan itu diuji sesuai kebenaran Alkitab. Saya tetap memegang keyakinan bahwa setelah konsili karthago pada tahun 397 M bahwa kanon Alkitab telah dianggap selesai dan ditutup. Artinya tidak ada lagi penambahan buku pada 66 kitab dalam Alkitab. 

Kita yakin, bahwa tidak ada lagi buku-buku yang ditulis setingkat dengan Alkitab aslinya dalam hal pewahayuan dan inspirasi Allah. Tetapi, pewahyuan Allah itu sendiri masih tetap dinyatakan sampai saat ini, atau dengan kata, Allah masih mewahyukan dirinya sampai hari ini. Pewahyuan itu diantaranya melalui alam semesta, melalui Alkitab, melalui Kristus, melalui gereja, dan melalui mujizat-mujizat, dan melalui pengalaman-pengalaman pribadi dengan Allah.

Bahkan menarik untuk memperhatikan pandangan Henry C. Thiessen, teolog Dispensasional dan profesor Teologi Sistematika yang menempatkan pengalaman-pengalaman pribadi sebagai salah satu dari wahyu khusus Allah, bersama dengan mujizat, nubuat, inkarnasi Kristus dan Alkitab. Thiessen mengatakan, ”Allah menyatakan diriNya dalam pengalaman pribadi. 

Tokoh-tokoh sepanjang segala zaman telah mengakui memiliki persekutuan dengan Allah sendiri. Mereka menyatakan bahwa mereka mengenal bahwa mereka mengenal Dia, bukan hanya melalui alam, sejarah, dan hati nurani, juga bukan sekedar melalui mujizat dan nubuat, tetapi juga melalui pengalaman pribadi”. (Thiessen, Hennry C. Lectures in Systematic Theology. Revised by Vernon D Doerksen. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2000], 35).

Signifikansi apologetik terhadap Alkitab bukan hanya bertujuan membela doktrin Kharismatik saja, tetapi juga sebagai respon atas gugatan terhadap Alkitab itu sendiri oleh para kritikus openan Kristen. Sebagai contoh misalnya, tuduhan yang digemakan oleh Yahya Waloni bahwa Alkitab telah dipalsukan yang sempat viral di media sosial di Indonesia pada akhir tahun 2019. 

Walaupun tuduhan seperti itu sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, namun respon apologetik yang edukatif harus tetap diberikan sebagai bentuk pertanggungjawaban iman. Kelihatannya, dua isu utama yang dipakai untuk menyebarkan hoaks Alkitab telah dipalsukan adalah: (1) terkait naskah/manuskrip asli Alkitab; dan (2) terkait hal-hal yang dituduh sebagai kontradiktif di dalam Alkitab.

Banyak orang keliru Ketika berpikir bahwa orang Kristen memiliki banyak Alkitab. Sebenarnya orang Kristen hanya memiliki satu Alkitab saja dengan banyak versi atau terjemahan. Karena itu satu-satunya Alkitab yang kita pahami saat kita berbicara tentang Alkitab adalah teks asli (autograph) yang terdapat dalam tulisan tangan para penulis-penulis yang diilhami Allah. Manuskrip asli ini ditulis pada perkamen (kulit binatang) atau pada papirus (semacam kertas) dengan huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat dalam bahasa Ibrani (PL) dan Yunani Koine (PB). 

Teks ini dalam keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak mengandung kesalahan (infalibility) dan tidak mengandung kekeliruan (inerransity). Tetapi sebagaimana telah di jelaskan di atas, saat ini kita tidak lagi memilki perkamen Maupin papyrus yang di dalamnya tertulis teks ilahi itu untuk pertama kalinya. Saat ini kita tidak memiliki dokumen yang diilhamkan Allah sehingga sempurna dalam segalanya. Dengan menggunakan fakta ini, para kritikus yang menolak ineransi Alkitab beragumen bahwa Kekristen tidak memiliki Alkitab yang sempurna untuk dijadikan dasar pegangan.

Walaupun kita saat ini kita sudah tidak memiliki teks asli namun melalui pemeliharaan Allah yang khusus, Ia menjaga sehingga teks asli ini tetap murni (authentic). Berikut ini memberikan gambaran yang menujukkan cara kerja dari providensia Allah dalam memelihara teks asli Alkitab sehingga tetap murni dan bagaimana proses Alkitab itu sampai kepada kita. 

Bruce M. Metzger professor Bahasa Yunani dan ahli Kritik Teks Perjanjian Baru dari Princenton Theological Seminary dan muridnya professor Bart Ehrman dalam buku mereka The Text of the New Testament menjelaskan: “Selain bukti tekstual yang berasal dari manuskrip Yunani Perjanjian Baru dan dari versi awal, kritikus tekstual telah menyediakan banyak kutipan tulisan suci yang disertakan dalam tafsiran, khotbah, dan risalah lain yang ditulis oleh para bapa Gereja awal. 

Sungguh, begitu luasnya kutipan-kutipan ini sehingga jika semua sumber lain untuk pengetahuan kita tentang teks Perjanjian Baru dihancurkan, kutipan-kutipan itu saja sudah cukup untuk merekonstruksi secara praktis seluruh Perjanjian Baru”. (Metzger, Bruce M & Bart Ehrman. The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. 4th edition [Oxford: Oxford University Press, 2005], 126).

Karena itu, Profesor Norman L. Geisler tepat Ketika memberikan alasan mengapa kita saat ini dapat mempercayai kredibilitas Alkitab salinan yang kita miliki saat ini sebagai berikut: “Para ahli Alkitab sangat berhati-hati dalam hal bagaimana mereka menyalin Alkitab. Pengukuran keabsahan keseluruhan Alkitab telah dilakukan dalam beberapa cara. 

Pertama, berkenaan dengan doktrin utama di dalam Alkitab, tidak ditemukan adanya kehilangan sedikitpun. Setiap kebenaran Kitab Suci dari teks aslinya telah dipertahankan dalam manuskrip Perjanjian Lama Ibrani dan Perjanjian Baru Yunani. 

Kedua, kesalahan yang ada dalam penyalinan adalah dalam hal yang tidak signifikan, seperti angka-angka yang tidak mempengaruhi doktrin besar maupun kecil di dalam Alkitab. Biasanya kita mengetahui kesalahan-keasalahan ini menurut akal sehat teks, konteksnya, atau bagian-bagian lain untuk mengetahui yang mana yang benar. 

Ketiga, tidak hanya 100 persen dari seluruh kebenaran utama dan berbagai kebenaran non utama dari Kitab Suci dipertahankan dalam manuskrip yang kita miliki (dan dalam terjemahan yang didasarkan kepadanya), namun lebih dari 99 persen dari teks aslinya dapat direkonstruksi ulang dari manuskrip yang kita miliki. 

Ada 2 alasan mengenai hal ini. 

(1) Kita memiliki ribuan manuskrip; dan 

(2) kita memiliki manuskrip awal. Rentang waktu yang begitu dekat dengan teks aslinya dan banyak salinan dari manuskrip yang ada membuat para sarjana tekstual dapat merekonstruksi teks aslinya secara akurat dengan lebih dari 99 persen keakuratan.” (Zacharian, Ravi & Norman Geisler. Who Made God ? Terjemahan, Bandung: Penerbit Pionir Jaya, 2009], 140-141).

Isu lainnya yang dilontarkan oleh kelompok Yahweisme bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani bukan bahasa Yunani juga akan diberi respon apologetik. Alasan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani adalah karena pengaruh helenisasi pada masa itu. Helenisasi adalah istilah teknis untuk menggambarkan proses perubahan kultural yang terjadi sekitar abad ke-2 SM hingga pertengahan abad ke 1 M, dimana pengaruh kebudayaan Yunani (termasuk dalam hal cara hidup) sangat dominan. 

Dominasi kebudayaan Yunani ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung pada Abad ke 3 SM. kita sudah mengetahui bahwa sejak abad ke 5 SM (zaman Ezra, Nehemia 8:9), bahasa Ibrani yang terdiri hanya huruf-huruf konsonan sudah tidak dimengerti oleh umumnya orang Yahudi, dan sebagai bahasa percakapan kemudian digantikan oleh bahasa Aram. (Tenney, Merril C. New Testament Survey . Terjemahan, [Malang: Penerbit Gandum 2014], 67).

Bahasa Aram ini sebagai bahasa utama ini kemudian digantikan oleh Bahasa Yunani. Paulu Barnett menjelaskan, “Bahasa Aram adalah lingua franca (Bahasa komunikasi aantar kelompok masyarakat yang berlainan Bahasa) dari Kekaisaran Persia, termasuk Palestina. Tetapi sejak zaman penaklukan Iskandar Agung tiga ratus tahun sebelumnya, Bahasa Yunani telah menjadi lingua franca”. (Barnett, Paul. The Birth of Christianity. Terjemahan, [Malang: Penerbit Gandum 2012], 122). 

Alexander raja Yunani yang menguasai kawasan dari Yunani, Asyur, Media, Babilonia, sampai Mesir, menyebabkan pengaruh helenisasi menguasai Palestina, lebih-lebih dibawah wangsa Ptolomeus dan Seleucus helenisasi khususnya bahasa Yunani makin tertanam di Palestina sehingga kitab Tanakh Ibrani pun harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta di Aleksandria (abad ke 2 - 3 SM). Raja Ptolomeus II memerintahkan agar kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani untuk kepentingan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria (Wahono, S. Wismoady. Disini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. [Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2011], 268).


Walau dapat dipastikan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya yang tinggal di daerah Yudea-Samaria (daerah Palestina) berbahasa Aram (bukan bahasa Ibrani) sebagai bahasa ibu, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Yesus hidup pada zaman dan masyarakat yang sudah terpengaruh bahasa dan budaya Yunani. Dengan demikian, bahasa Aram sebagai bahasa ibu diiringi bahasa Yunani Koine digunakan oleh Yesus Kristus dan para Rasul dalam pemberitaan Injilnya, dan bukan Tanakh Ibrani melainkan Septuaginta Yunanilah yang digunakan oleh umat pada saat awal kekristenan. 

Jadi, septuagintalah Alkitab yang digunakan oleh Yesus dan para rasul. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip langsung dari Septuaginta (sekalipun itu berbeda dengan teks Masoret), dan sisanya dari berbagai naskah Ibrani. 

Merril C. Tenney menuliskan, “Septuaginta ... Pada masa Kristus, kitab tersebut telah tersebar luas di antara para Perserakan di wilayah Timur Tengah dan menjadi Kitab Suci Jemaat Kristen yang mula-mula”. (Tenney, Merril C. New Testament Survey . Terjemahan, [Malang: Penerbit Gandum 2014], 23-24, 29).
Next Post Previous Post