KASIH ALLAH YANG MEMBAHAGIAKAN (1 YOHANES 4:7-12)

Pernahkah Anda mendengar nasihat untuk saling mengasihi? Mungkin terdengar klise, tetapi dalam 1 Yohanes 4:7-12, kita menemukan nasihat yang penuh makna yang sering kali kita abaikan.

Isi nasihat: saling mengasihi (1 Yohanes 4:7a)

Nasihat untuk saling menasihati (1 Yohanes 4:7a) mungkin terdengar begitu klise di telinga kita. Kita berkali-kali mendengarkannya. Walaupun demikian, ayat 7a mengajarkan beberapa poin sederhana yang sering kali kita abaikan.
KASIH ALLAH YANG MEMBAHAGIAKAN (1 YOHANES 4:7-12)
Hal yang menarik dari isi nasihat di ayat 7a adalah sapaan “saudara-saudaraku yang kekasih” (agapētoi). Sapaan ini memang berkali-kali muncul dalam Alkitab (Roma 12:19; 1 Korintus 10:14; 15:58; 2 Korintus 7:1; 12:19; Filipi 2:12; 4:1; Ibrani 6:9; Yakobus 1:16, 19; 1 Petrus 2:11; 4:12; 2 Petrus 3:1, 8, 14, 17; 1 Yohanes 2:7; 3:2, 21; 4:1, 7, 11; Yudas 1:3, 17, 20), tetapi pemunculannya di 1 Yohanes 4:7a terasa begitu sesuai. Sebelum memberikan nasihat kepada orang lain untuk saling mengasihi, Yohanes terlebih dahulu memberikan sebuah teladan sederhana. Ia menyapa pembacanya dengan sapaan yang penuh kasih.

Ini mungkin terlihat sepele, namun tidak banyak orang yang mampu melakukannya. Sebagian orang cenderung cuek dengan orang lain. Mereka tidak mau mengambil inisiatif untuk menyapa atau memulai pembicaraan dengan orang lain. Marilah kita mulai dengan sebuah langkah kecil: menyapa orang lain dengan penuh kasih!

Ada hal lain lagi yang menarik dari nasihat Yohanes yang sederhana di 1 Yohanes  4:7a. Nasihat untuk saling mengasihi mengajarkan bahwa kasih bersifat resiprokal (“saling”). Kasih yang ideal bersifat dua arah. Setiap pihak belajar untuk memberi dan mengambil (take and give).

Sifat resiprokal ini tidak membuat kasih menjadi bersyarat. Yohanes tidak mengatakan: “hendaklah kamu mengasihi orang lain yang lebih dahulu mengasihi kamu.” Maksudnya, tidak ada “syarat dan ketentuan berlaku” dalam hal kasih. Walaupun orang lain belum dan tidak mengasihi kita, nasihat untuk mengasihi tetap mengikat kita. Kita tidak boleh menunda atau membatalkan kasih kita kepada orang lain.

Alasan-alasan untuk mengasihi

Motivasi dalam melakukan suatu tindakan sering kali lebih penting daripada tindakan itu sendiri. Motivasi menentukan apakah suatu tindakan kebaikan benar-benar merupakan tindakan yang penuh kasih. Sebagai contoh, kita dengan mudah membedakan bantuan sosial dan suap dari sisi motivasi. Walaupun dua tindakan ini sama-sama melibatkan pemberian materi kepada orang lain, namun keduanya berbeda: yang pertama disebut kasih, yang kedua disebut manipulasi.

Ironisnya, banyak tindakan “kasih” justru bersifat manipulatif. Seorang pemudi menggunakan seks untuk mendapatkan cinta sementara si pemuda menggunakan cinta untuk mendapatkan seks. Jemaat memperalat persembahan dan persepuluhan sebagai cara jitu untuk diberkati Tuhan lebih banyak lagi.

Jika demikian, alasan-alasan apa yang membuat kasih Kristiani menjadi begitu unggul dan unik jika dibandingkan dengan yang lain?

1. Pertama, kita mengasihi karena kasih berasal dari Allah (1 Yohanes 4:7b-8). 

Alasan ini secara indah dimulai dengan “kasih berasal dari Allah” (1 Yohanes  4:7b) dan diakhiri dengan “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8b). Yohanes tampaknya ingin menegaskan bahwa Allah bukan hanya sebagai sumber kasih (1 Yohanes 4:7a), tetapi Allah sendiri adalah kasih. Artinya, Hakekat Allah tidak dapat terpisahkan dari kasih. 

Membayangkan Allah pernah eksis tanpa kasih merupakan sebuah kebodohan. Bahkan sebelum segala sesuatu ada, Allah tetap kasih. Doa Tuhan Yesus menunjukkan hal ini. Dalam doa-Nya kepada Bapa, Ia berkata: “Ya Bapa, Aku mau supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17:24).

Kebenaran teologis bahwa kasih berasal dari Allah (1Yohanes 4:7a) dan bahwa Allah adalah kasih (1 Yohanes  4:8b) menjadi tolok ukur apakah seseorang berasal dari Allah dan mengenal Dia ( 1Yohanes 4:7b-8a). Siapa saja yang mengakui berasal dari Allah dan mengenal Allah, maka orang itu harus membuktikannya melalui kasih. Logika di balik pernyataan ini tidak sukar untuk ditangkap.

Asal seseorang menentukan perilaku orang itu. Sebagai contoh, seseorang yang berasal dari sebuah desa kecil di Yogyakarta akan mudah dikenali melalui logat dan tata kramanya. Filsafat Jawa pun sangat mengental pada pikirannya. Demikian juga dengan orang yang mengaku berasal dari Allah.

Hal yang sama berlaku bagi mereka yang mengaku mengenal Allah. Dalam Alkitab, mengenal Allah tidak pernah hanya secara teoritis. Pengenalan terhadap Allah bersifat pribadi. Ada pertemuan dan pengalaman. Siapa saja yang pernah mengalami Allah secara pribadi pasti akan memiliki kasih untuk dibagikan, karena Allah adalah kasih dan sumber segala kasih.

2. Kedua, kita mengasihi karena Allah sudah mengasihi kita begitu rupa (1 Yohanes 4: 9-11). 

Kasih Allah bukanlah sebuah spekulasi filosofis yang abstrak dan teoritis. Pernyataan “kasih berasal dari Allah” atau “Allah adalah kasih” didukung oleh bukti yang faktual, yaitu inkarnasi Kristus ke dalam dunia. Kasih ilahi tidak menggantung di awan-awan atau terngiang-ngiang dalam pikiran filsuf. Kasih itu telah dimanifestasikan atau dinyatakan; bukan hanya sekadar dibuktikan, tetapi hal itu terjadi di tengah-tengah kita (1 Yohanes 4:9a).

Kehebatan kasih ilahi dalam teks ini dipertegas dengan tiga hal: harga yang dibayar (1 Yohanes 4:9b), inisiatif kasih (1 Yohanes 4:10a), dan obyek kasih (1 Yohanes 4:10b). Kekuatan sebuah cinta sering kali dinilai berdasarkan kualitas pengorbanan yang dilakukan. Dalam hal ini kasih Allah seharga Anak-Nya yang tunggal (1 Yohanes 4:9b). Ia kehilangan Anak-Nya yang tunggal supaya kita bisa menjadi anak-anak-Nya.

1 Yohanes 4:10a menekankan bahwa inisiatif kasih ada pada pihak Allah. Kalau pun sekarang kita bisa mengasihi Allah dan sesama, hal itu hanya dimungkinkan karena kita sudah lebih dahulu menerima kasih dari Allah. Tanpa kasih-Nya kita tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan. Karena itulah perjumpaan pribadi dengan Allah di dalam pertobatan memegang peranan penting bagi relasi sosial orang Kristen. Hanya mereka yang sudah mengalami kasih Allah yang mampu meneladani dan membagikan kasih itu.

Kehebatan kasih Allah semakin kentara apabila kita mempertimbangkan siapa yang Ia kasihi (1 Yohanes  4:10b). Obyek kasih-Nya adalah orang-orang berdosa yang membutuhkan pendamaian dengan diri-Nya. Mereka adalah seteru atau musuh Allah dan berada di bawah murka Allah. Justru untuk orang-orang semacam inilah kasih Allah diberikan. Ia rela kehilangan Anak-Nya yang tunggal supaya musuh-musuh-Nya bisa menjadi anak-anak-Nya. What a wonderful love! What an amazing grace!

3. Ketiga, kita mengasihi karena orang lain melihat Allah melalui kasih kita (1 Yohanes 4:12). 

Di awal ayat ini Yohanes menandaskan sebuah sifat Allah yang penting, yaitu ketidakbisaan untuk dilihat (the invisibility of God). Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah, karena Allah memang tinggal di dalam terang yang tidak ter hampiri (1 Timotius 6:16). Pernyataan ini sama dengan yang Ia ajarkan di awal Injil Yohanes (1:18 “Tidak seorang pun pernah melihat Allah”).

Jika Allah sebagai sumber kasih tidak dapat dilihat, bagaimana orang bisa mengetahui hal itu? Keberadaan Allah bisa terlihat melalui kasih yang di praktikkan oleh orang-orang Kristen. Dengan saling mengasihi, kita telah menunjukkan dari mana kita berasal, yaitu dari Allah yang adalah kasih (1 Yohanes 4:7-8). Dengan saling mengasihi pula kita sudah menunjukkan bahwa kasih Allah ada di dalam diri kita (1 Yohanes 4:9-10). Pendeknya, kasih dalam diri kita membuktikan bahwa Allah diam di dalam kita (1 Yohanes 4:12a).

Kasih kita bukan hanya sebagai bukti bagi keberadaan Allah. Kasih kita juga menyempurnakan kasih Allah (1 Yohanes 4:12b “dan kasih-Nya sempurna di dalam kita”; versi Inggris “his love is perfected in us”). Apa artinya?

Ayat ini mengajarkan sebuah kebenaran penting: titik akhir dari aliran kasih ilahi adalah orang lain. Kasih ilahi tidak hanya ada dalam diri Allah dan berhenti sampai di situ saja. Kasih ilahi tidak dimaksudkan untuk berhenti pada saat kita menerima kasih itu dalam diri kita. Kasih itu harus terus mengalir ke sekeliling kita. Dalam kalimat lain kita dapat meringkas aliran kasih Allah sebagai berikut: dari Allah, melalui Yesus Kristus, kepada kita, untuk orang lain.

Karakteristik kasih Allah (1 Yohanes 4:8b-10)

Untuk memudahkan pemahaman, karakteristik kasih Allah di bagian ini dapat diwakili oleh tiga kata kunci. Yang pertama adalah hakikat (1 Yohanes 4:8b). Ungkapan “Allah adalah kasih” sekilas terdengar sangat klise dan sederhana. Namun, jika kita tidak berhati-hati untuk merenungkannya, kita akan terjebak pada beberapa kekeliruan.

Yohanes tidak mengatakan “kasih adalah Allah” (love is God). Walaupun kasih memang sangat penting, kita tidak sepatutnya memberhalakan kasih. Ada berapa banyak orang yang mengatasnamakan kasih atau cinta lantas melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Demi mendapatkan cinta, sebagian orang rela meninggalkan Allah dan kebenaran-Nya. Bukan ini maksud Yohanes.

Yohanes juga tidak sedang mengatakan “Allah adalah pengasih” (God is loving), seolah-olah kasih adalah salah satu sifat Allah. Walaupun Allah memang pengasih dan penyayang (Keluaran 22:27; 34:6), tetapi bukan itu yang sedang ditekankan di sini. Ada hal yang lebih mendalam di sini.

1 Yohanes 4:8b mengajarkan tentang kasih sebagai bagian tak terpisahkan dari hakikat Allah. Ini berbicara tentang sesuatu yang begitu melekat dalam esensi ilahi. Sama seperti panas tidak mungkin terpisahkan dari matahari, demikian pula kasih tak terceraikan dari Allah. Sama seperti esensi dari sebuah es adalah dingin, demikian pula dengan esensi ilahi adalah kasih.

Konsep ini terbilang cukup unik. Beberapa agama atau aliran kepercayaan mengajarkan keberadaan ilahi yang tidak Ber pribadi (impersonal). Allah hanya dipahami sebagai sebuah sumber keberadaan atau sebuah pemikiran universal. Beberapa aliran filsafat tertentu dalam budaya Yunani-Romawi juga mengadopsi pandangan seperti ini. Konsep seperti ini cenderung sangat abstrak dan kering.

Dengan mengatakan “Allah adalah kasih,” Yohanes sedang menegaskan keberadaan Allah yang ber- pribadi (personal). Tanpa kepribadian tidak mungkin ada kasih, karena sesuatu yang tidak Ber-pribadi tidak memiliki kapasitas untuk mengasihi maupun menghargai kasih.

Bahkan sebelum ada segala sesuatu, Allah tetap adalah kasih. Kejamakan Pribadi dalam keesaan Allah memungkinkan sebuah kasih yang kekal. Bapa telah mengasihi Yesus Kristus sebelum dunia dijadikan (Yohanes 17:24).

Kata kunci kedua yang menggambarkan karakteristik kasih Allah adalah bukti (ayat 9). Yohanes bukan berhenti pada hakikat Allah di dalam kekekalan. Ia juga menandaskan kasih Allah di dalam sejarah. Allah yang kekal tersebut sudah diwujudkan di dalam kesementaraan.

Kata “dinyatakan” (ephanerōthē) memiliki kata dasar phaneroō, yang mengandung makna menyingkapkan atau memperlihatkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi. Sesuatu yang dinyatakan tersebut sebelumnya sudah ada, hanya saja belum terlihat secara jelas. Jadi, “nyata” di sini bukan lawan dari “semu”. Mungkin terjemahan yang lebih tepat dan jelas adalah “menunjukkan” (NIV) atau “memanifestasikan” (mayoritas versi Inggris).

Kasih yang sejak kekekalan sudah ada dalam diri Allah Tritunggal telah ditunjukkan melalui sebuah peristiwa sejarah. Kasih itu sudah terbukti secara nyata. Penambahan kata “di tengah-tengah kita” (en hēmin) mempertegas historisitas pembuktian tersebut. Kedatangan Kristus ke dalam dunia bukan sebuah dongeng yang tak bisa ditelusuri kebenarannya. Rasul Yohanes tampaknya sangat memperhatikan aspek ini. Di awal kitab Injilnya, ia menyatakan “Firman itu telah menjadi daging…kita telah melihat kemuliaan-Nya” (Yohanes 1:14). Di awal suratnya pun ia berkali-kali menandaskan bahwa ia dan rasul-rasul lain telah mendengar, melihat, dan mengalami sendiri kehidupan Yesus Kristus (1 Yohanes 1:1-3).

Untuk membuktikan kasih-Nya, Allah rela membayar harga yang sedemikian mahal. Ia telah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk memberikan kehidupan kekal bagi kita (1 Yohanes 4:9b). Dalam teks Yunani, kita dapat dengan jelas melihat bahwa titik berat dalam bagian ini terletak pada harga pembuktian. Secara hurufiah, teks ini berbunyi “bahwa Anak-Nya, yang tunggal itu, Allah telah utus ke dalam dunia”.

Istilah “tunggal” (monogenēs) memang bisa merujuk pada jumlah yang hanya satu. Kata ini kadangkala digunakan untuk anak satu-satunya (Lukas 7:12; 8:42; 9:38). Walaupun demikian, kata monogenēs memiliki makna lebih daripada sekadar jumlah. Kata ini lebih mengarah pada relasi yang intim dan unik. Sebagai contoh, walaupun Abraham memiliki beberapa anak, tetapi yang disebut monogenēs Abraham hanyalah Ishak (Ibrani 11:17). Ishak adalah anak perjanjian dan anak kesayangan. Berdasarkan pertimbangan ini, penerjemah NIV lebih memilih “one and only”.

Harga mahal yang dibayar oleh Allah demi kasih-Nya kepada kita adalah Anak-Nya sendiri, satu-satunya, yang intim dan unik bagi Dia. Ini adalah bukti terbesar dari kesempurnaan kasih Allah. Kasih-Nya bukan sekadar sebuah konsep yang abstrak, melainkan sudah diwujudkan dalam sebuah tindakan konkrit. Kasih Allah bukan hanya diketahui dari nama atau sifat-Nya, tetapi juga dari kerelaan-Nya dalam mengutus Anak-Nya ke dalam dunia demi orang yang berdosa.

Karakteristik terakhir dari kasih Allah juga tercermin dalam kata kunci inisiatif (1 Yohanes 4:10). Sama seperti awal  1 Yohanes  4:9, ayat 10 juga dimulai dengan en toutō (lit. “dalam hal ini”). Kali ini penekanan lebih diletakkan pada inisiatif Allah dalam mengasihi kita.

Untuk memperjelas hal tersebut, Yohanes telah meletakkan kata “bukan” (ouch) di depan (semua versi Inggris “not that we loved God”). Penerjemah LAI:TB pun secara tepat menangkap makna ini (“bukan kita yang telah mengasihi Allah”). Yohanes juga secara khusus menambahkan subjek eksplisit “kita” (hēmeis), sehingga kata “kita” di 1 Yohanes  4:10a muncul dua kali (hēmeis ēgapēkamen, lit. “kita, kita telah mengasihi”). Bukan kita, kita yang telah mengasihi Allah, melainkan Allah yang telah mengasihi kita. Kata “Allah” (dalam teks Yunani “Ia”) juga muncul dua kali sebagai penekanan (autos ēgapēsan hēmas, lit. “Ia, Ia telah mengasihi kita”).

Inisiatif ini merupakan salah satu karakteristik doktrin Kristiani. Secara konsisten Alkitab selalu meletakkan Allah sebagai inisiator kasih dan kebaikan. Bukan kita yang memilih Allah, tetapi Ia yang lebih dahulu memilih kita (Yohanes 15:16). Bukan kita yang mencari Allah, melainkan Allah yang datang untuk mencari dan menyelamatkan kita (Lukas 19:10). Demikian pula bukan kita yang mengasihi Allah, namun Ia yang lebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:10).

Perintah untuk mengasihi (1 Yohanes 4:11-12)

Apa yang dilakukan oleh Allah kepada kita seharusnya menjadi pedoman bagaimana kita memperlakukan orang lain (1 Yohanes 4:11). Yohanes sekali lagi menandaskan kualitas kasih ilahi melalui kata “sedemikian” (houtōs). Jika kita meyakini dan merasakan bahwa kasih Allah begitu melimpah dalam kehidupan kita, kita seharusnya membagi kasih itu kepada orang lain. Kasih-Nya tidak mungkin dapat dihabiskan seorang diri saja. Kehidupan pribadi kita adalah wadah yang terlalu kecil bagi kasih ilahi yang melimpah ruah.

Berbagi kasih bukanlah sebuah pilihan. Kata “harus” (opheilō) di 1 Yohanes  4:11b memiliki makna dasar “berhutang” (Matius 18:28; Lukas 7:41; Roma 13:8). Sama seperti membayar hutang bukanlah sebuah pilihan, demikian pula mengasihi orang lain bukan sekadar nasihat atau dorongan, melainkan keharusan atau kewajiban. Kegagalan dalam melakukannya merupakan sebuah hutang yang belum terbayar.

Selanjutnya Yohanes mengaitkan kasih kita kepada orang lain dengan pernyataan diri Allah (1 Yohanes 4:12). Ia memulai dengan fakta yang sudah sedemikian umum, yaitu tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah (1 Yohanes 4: 12a; Keluaran 33:20; Yohanes 1:18; 1 Timotius 6:16-17). Kemuliaan dan kekudusan ilahi menghalangi manusia berdosa untuk memandang wajah Allah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak dapat diketahui keberadaan-Nya atau dikenali hakikat-Nya.

Allah yang tidak terlihat menjadi terlihat pada saat kita mengasihi orang lain (1 Yohanes 4: 12b). Melalui kasih kepada orang lain, kita telah menunjukkan bahwa Allah tetap di dalam kita. Ia tidak hanya diam di dalam kekekalan dengan segala kemuliaan dan kebesaran-Nya. Dalam anugerah-Nya, Ia berkenan diam di dalam kita dan mewarnai kehidupan kita dengan kasih-Nya.

Bukan hanya kasih kita merupakan bukti bahwa Allah berdiam di dalam kita. Kasih kita juga membuat kasih Allah menjadi sempurna (1 Yohanes 4:12c). Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa kasih Allah sebelumnya tidak sempurna. Kata dasar “sempurna” (teleioō) dalam konteks ini berarti “mencapai tujuan”. Tujuan akhir dari kasih Allah bukanlah diri kita sendiri, melainkan orang lain. Kita bukan sekadar objek kasih, melainkan saluran kasih.

Kesimpulan

1 Yohanes 4:7-12 mengajarkan kita tentang pentingnya mengasihi sesama dengan tulus. Kasih bukan hanya nasihat moral, tetapi juga cerminan dari karakter Allah sendiri. Dalam kasih, kita dapat menyatakan keberadaan Allah dalam hidup kita dan membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Allah yang mengasihi sesama.

Jadi, marilah kita selalu mengingat nasihat sederhana ini: "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah." Dengan mengasihi sesama, kita mencerminkan kasih Allah yang telah kita terima, dan kita dapat menjadi saksi kasih-Nya kepada dunia. Kasih adalah tanda bahwa kita hidup sesuai dengan hakikat-Nya, yang adalah kasih.
Next Post Previous Post