Penolakan Kristen Protestan terhadap Kitab-kitab Apokrifa
Pengantar:
Secara sepintas memang terlihatnya pengajaran iman Kristen dan pengajaran iman Katolik Roma terlihat sama, itu jika kita melihat kedua agama ini sama-sama mengimani kitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Namun dengan adanya upaya memasukkan kitab-kitab Apokrifa ke dalam kanonisasi Alkitab, maka muncullah berbagai penolakan khususnya dari kalangan Kristen Protestan.
(10). Kebijaksanaan Yosua (atau Yesus) bin Sirakh.
Secara sepintas memang terlihatnya pengajaran iman Kristen dan pengajaran iman Katolik Roma terlihat sama, itu jika kita melihat kedua agama ini sama-sama mengimani kitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Namun dengan adanya upaya memasukkan kitab-kitab Apokrifa ke dalam kanonisasi Alkitab, maka muncullah berbagai penolakan khususnya dari kalangan Kristen Protestan.
Mengapa kalangan Kristen Protestan menolak kitab-kitab Apokrifa itu ke dalam kanoniasi Alkitab? Kita perlu terlebih dahulu mengenal apa dan bagaimana pengajaran kitab-kitab Apokrifa itu, menurut sudut pandang Kristen Protestan. Hal ini penting untuk menghindari kesalah-pahaman orang mengenai pengajaran iman Kristen Protestan dan pengajaran iman Katolik Roma.
Istilah “apokrifa” diturunkan dari bentuk jamak netral kata sifat Yunani “apokrufos”, artinya “tersembunyi”. Kata ini dipakai sebagai istilah teknis mengenai kaitan beberapa kitab tertentu dengan PL. Artinya, kitab-kitab tertentu itu tidak dibenarkan untuk bacaan umum di gereja, tapi dianggap berharga untuk studi pribadi dan nilai rohani.
Apokrifa meliputi sejumlah tambahan atas kitab-kitab pada Alkitab dalam bentuk LXX (Septuaginta), yaitu Ester, Daniel, Yeremia dan Tawarikh, dan kitab-kitab lainnya. Yang disebut terakhir meliputi buku-buku cerita purba-kala, sejarah atau teologi, yang aslinya banyak ditulis dalam bahasa Ibrani atau bahasa Aram, tapi dipelihara atau diketahui dalam suatu kurun waktu hanya dalam bahasa Yunani.
Semua kitab Apokrifa terdapat dalam Kanon LXX (Septuaginta) yg 'lunak', tapi dikeluarkan dari Kanon PL Ibrani oleh Sinode Yamnia. Pemakaian dan pendirian masyarakat Kristen tentang Apokrifa ini agak terombang-ambing hingga abad ke-16, ketika 12 karya dimasukkan ke dalam Kanon Alkitab Katolik Roma oleh Konsili di Trent. Umat Protestan menerimanya hanya untuk 'manfaat rohani yg pribadi' saja, bukan sebagai bagian dari Kanon.
Karya-karya lain di luar ke-12 karya yg diperbincangkan di sini, biasanya disebut “pseudepigrapha”. Ini pun dengan bebas dipakai sebelum abad ke-16 di gereja-gereja Timur Tengah yg terpencil, dan telah dipelihara hanya dalam bahasa-bahasa yg mereka pakai (misalnya bahasa Etiopia, Armenia dan Slavia).
𝐈𝐒𝐈 𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁-𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁 𝐀𝐏𝐎𝐊𝐑𝐈𝐅𝐀.
(1). 1 Edras.
Istilah “apokrifa” diturunkan dari bentuk jamak netral kata sifat Yunani “apokrufos”, artinya “tersembunyi”. Kata ini dipakai sebagai istilah teknis mengenai kaitan beberapa kitab tertentu dengan PL. Artinya, kitab-kitab tertentu itu tidak dibenarkan untuk bacaan umum di gereja, tapi dianggap berharga untuk studi pribadi dan nilai rohani.
Apokrifa meliputi sejumlah tambahan atas kitab-kitab pada Alkitab dalam bentuk LXX (Septuaginta), yaitu Ester, Daniel, Yeremia dan Tawarikh, dan kitab-kitab lainnya. Yang disebut terakhir meliputi buku-buku cerita purba-kala, sejarah atau teologi, yang aslinya banyak ditulis dalam bahasa Ibrani atau bahasa Aram, tapi dipelihara atau diketahui dalam suatu kurun waktu hanya dalam bahasa Yunani.
Semua kitab Apokrifa terdapat dalam Kanon LXX (Septuaginta) yg 'lunak', tapi dikeluarkan dari Kanon PL Ibrani oleh Sinode Yamnia. Pemakaian dan pendirian masyarakat Kristen tentang Apokrifa ini agak terombang-ambing hingga abad ke-16, ketika 12 karya dimasukkan ke dalam Kanon Alkitab Katolik Roma oleh Konsili di Trent. Umat Protestan menerimanya hanya untuk 'manfaat rohani yg pribadi' saja, bukan sebagai bagian dari Kanon.
Karya-karya lain di luar ke-12 karya yg diperbincangkan di sini, biasanya disebut “pseudepigrapha”. Ini pun dengan bebas dipakai sebelum abad ke-16 di gereja-gereja Timur Tengah yg terpencil, dan telah dipelihara hanya dalam bahasa-bahasa yg mereka pakai (misalnya bahasa Etiopia, Armenia dan Slavia).
𝐈𝐒𝐈 𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁-𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁 𝐀𝐏𝐎𝐊𝐑𝐈𝐅𝐀.
(1). 1 Edras.
Kitab ini menceritakan kembali kejadian-kejadian yang dicatat dalam Taw-Ezr-Neh dengan tambahan besar. Tambahan itu, disebut 'Perdebatan Tiga Pemuda', merupakan pinjaman dari sebuah cerita Persia, yang aslinya masih dapat ditelusuri dalam rincikannya: cerita tersebut menerangkan bagaimana Zerubabel, pengawal istana Darius, dengan memenangkan perdebatan mengenai yang mana kekuasaan yang paling besar (anggur, wanita atau kebenaran) memperoleh kesempatan mengingatkan raja Persia akan kewajibannya untuk mengizinkan Bait Suci dibangun kembali.
Membandingkan 1 Esdras secara rinci dengan Ezra dalam LXX, jelas bahwa kedua-duanya merupakan terjemahan yg berdiri sendiri dari naskah Ibrani, 1 Esdras mungkin lebih tua di antara keduanya. Ada beberapa perten-tangan, bukan hanya mengenai isi naskah tapi juga mengenai urutan peristiwa dan raja Persia. Masih sering timbul keragu-raguan tentang kitab mana yg catatannya benar. Dalam beberapa hal 1 Esdras menyajikan bukti yg baik mengenai naskah Ibrani Ezra. 1 Esdras merupakan terjemahan bebas dan lancar, dan dikenal oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.
(2). 2 Esdras.
Membandingkan 1 Esdras secara rinci dengan Ezra dalam LXX, jelas bahwa kedua-duanya merupakan terjemahan yg berdiri sendiri dari naskah Ibrani, 1 Esdras mungkin lebih tua di antara keduanya. Ada beberapa perten-tangan, bukan hanya mengenai isi naskah tapi juga mengenai urutan peristiwa dan raja Persia. Masih sering timbul keragu-raguan tentang kitab mana yg catatannya benar. Dalam beberapa hal 1 Esdras menyajikan bukti yg baik mengenai naskah Ibrani Ezra. 1 Esdras merupakan terjemahan bebas dan lancar, dan dikenal oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.
(2). 2 Esdras.
Kitab ini seperti yang ada sekarang dalam bahasa Latin kuno, merupakan perluasan yang dilakukan oleh penulis Kristen dari sebuah karya apokaliptik Yahudi, yang aslinya terdapat dalam pasal 4-14. Pasal-pasal lainnya, yakni tambahan-tambahan oleh penulis-penulis Kristen, tidak terdapat pada beberapa terjemahan dalam bahasa-bahasa Timur Tengah. Bagian asli terdiri dari penglihatan.
Dalam penglihatan pertama (3:1-5:19), pelihat meminta penjelasan mengenai penderitaan Sion, yg dosanya tidaklah lebih besar dibandingkan dosa penindasnya. Malaikat Uriel menjawab, bahwa hal ini tidak dapat dimengerti oleh manusia, tapi bahwa zaman baru yang segera datang akan membawa keselamatan.
Penglihatan kedua (5:20-6:34), mempertanyakan soal yang sama, mengapa Israel, yang dipilih oleh Allah, telah ditaklukkan oleh bangsa-bangsa asing. Hal ini pun dikatakan tak dapat dipahami manusia. Zaman yang akan datang akan menyusuli zaman ini tanpa perhentian, didahului oleh tanda-tanda akhir zaman dan oleh suatu waktu pertobatan dan keselamatan. Hal ini memberi penghiburan kepada pelihat.
Penglihatan ketiga (6:35-9:25), mempertanyakan mengapa orang Yahudi tidak memiliki dunia ini. Jawaban yang diberikan ialah, bahwa mereka akan mewarisinya pada zaman yang akan datang. Bermacam hal mengenai zaman yang akan datang dan kehidupan di dalamnya, termasuk betapa sedikitnya orang pilihan, juga dibicarakan.
Penglihatan keempat (9:26-10:59), mengenai seorang wanita yang berduka-cita yang menceritakan kesusahannya, dan kemudian diubah bentuknya menjadi sebuah kota yang mulia. Ini merupakan lambang Yerusalem.
Penglihatan kelima (10:60-12:51), mengenai burung rajawali yang bersayap 12 dan berkepala 3 (lambang Roma); malaikat yang menafsirkannya menerangkan secara gamblang bahwa Roma ialah kerajaan ke-4 yang disebut dalam Daniel 7, yang akan dimusnahkan oleh Mesias. Sangat mungkin bahwa penglihatan ini ditulis pada masa pemerintahan Kaisar Domitianus.
Penglihatan ke-enam (13:1-58), mengenai seorang laki-laki yg timbul dari taut, memusnahkan banyak orang yg memusuhinya. Penglihatan ini meminjam dari penglihatan dalam Daniel 7 mengenai Anak Manusia.
Penglihatan terakhir (pasal 14), mengenai pokok perbaikan kitab-kitab suci Ibrani oleh Ezra, dengan bantuan suatu penglihatan dan penulis-penulis yg memperoleh pertolongan ilahi. Ada 94 kitab seperti itu, yakni 24 kitab dari Kanon Ibrani (PL) dan 70 karya yang bersifat rahasia atau apokaliptis.
(3). Tobit.
Dalam penglihatan pertama (3:1-5:19), pelihat meminta penjelasan mengenai penderitaan Sion, yg dosanya tidaklah lebih besar dibandingkan dosa penindasnya. Malaikat Uriel menjawab, bahwa hal ini tidak dapat dimengerti oleh manusia, tapi bahwa zaman baru yang segera datang akan membawa keselamatan.
Penglihatan kedua (5:20-6:34), mempertanyakan soal yang sama, mengapa Israel, yang dipilih oleh Allah, telah ditaklukkan oleh bangsa-bangsa asing. Hal ini pun dikatakan tak dapat dipahami manusia. Zaman yang akan datang akan menyusuli zaman ini tanpa perhentian, didahului oleh tanda-tanda akhir zaman dan oleh suatu waktu pertobatan dan keselamatan. Hal ini memberi penghiburan kepada pelihat.
Penglihatan ketiga (6:35-9:25), mempertanyakan mengapa orang Yahudi tidak memiliki dunia ini. Jawaban yang diberikan ialah, bahwa mereka akan mewarisinya pada zaman yang akan datang. Bermacam hal mengenai zaman yang akan datang dan kehidupan di dalamnya, termasuk betapa sedikitnya orang pilihan, juga dibicarakan.
Penglihatan keempat (9:26-10:59), mengenai seorang wanita yang berduka-cita yang menceritakan kesusahannya, dan kemudian diubah bentuknya menjadi sebuah kota yang mulia. Ini merupakan lambang Yerusalem.
Penglihatan kelima (10:60-12:51), mengenai burung rajawali yang bersayap 12 dan berkepala 3 (lambang Roma); malaikat yang menafsirkannya menerangkan secara gamblang bahwa Roma ialah kerajaan ke-4 yang disebut dalam Daniel 7, yang akan dimusnahkan oleh Mesias. Sangat mungkin bahwa penglihatan ini ditulis pada masa pemerintahan Kaisar Domitianus.
Penglihatan ke-enam (13:1-58), mengenai seorang laki-laki yg timbul dari taut, memusnahkan banyak orang yg memusuhinya. Penglihatan ini meminjam dari penglihatan dalam Daniel 7 mengenai Anak Manusia.
Penglihatan terakhir (pasal 14), mengenai pokok perbaikan kitab-kitab suci Ibrani oleh Ezra, dengan bantuan suatu penglihatan dan penulis-penulis yg memperoleh pertolongan ilahi. Ada 94 kitab seperti itu, yakni 24 kitab dari Kanon Ibrani (PL) dan 70 karya yang bersifat rahasia atau apokaliptis.
(3). Tobit.
Kitab Tobit merupakan cerita pendek yang saleh mengenai seorang Yahudi yang adil dan anaknya dari kerajaan utara yang turut dibuang ke Asyur. Mereka ialah Tobit dan putranya, Tobias. Tobit menderita kesusahan dan serba kekurangan sebab ia membantu orang-orang Israel yang tertindas di bawah pemerintahan Esarhadon yg lalim. Akhirnya secara kebetulan ia menjadi buta. Dan merupakan pukulan baginya karena istrinya terpaksa harus menyokongnya. Ia berdoa kalau boleh mati saja. Pada waktu yg sama, doa yg serupa dipanjatkan oleh Sarah, seorang wanita muda Yahudi di Ekbatana, yg kerasukan setan Asmodeus, yg telah membunuh 7 calon suaminya pada malam pengantin mereka.
Malaikat Rafael diutus menyembuhkan keduanya. Tobias disuruh oleh ayahnya untuk mengambil 10 talenta perak yang ditinggalkan di Media. Rafael menyamar sebagai Azaria, yang disewa sebagai teman seperjalanan. Di sungai Tigris mereka menangkap seekor ikan. Atas saran Azaria, Tobias mengawetkan jantung, hati dan empedu ikan itu. Tobias tiba di Ekbatana lalu bertunangan dengan Sarah, yg ternyata kemudian adalah saudara sepupunya.
Pada malam pengantin Tobias membakar jantung dan hati ikan tadi. Bau busuknya mengusir setan itu ke Mesir. Keluarganya menganggap Tobias sudah mati. Tapi sewaktu ia pulang (didahului oleh anjingnya) ia mengolesi mata ayahnya dengan empedu ikan dan memulihkan daya lihatnya.
Cerita ini rupanya berasal dari Zaman Pembuangan ke Babel atau Persia, dan bahasa aslinya mungkin bahasa Aram. Tiga resensi kitab dalam bahasa Yunani telah diketahui, dan serpihan-serpihan dalam bahasa Ibrani dan bahasa Aram telah ditemukan di antara Gulungan Laut Mati.
(4). Yudit.
Malaikat Rafael diutus menyembuhkan keduanya. Tobias disuruh oleh ayahnya untuk mengambil 10 talenta perak yang ditinggalkan di Media. Rafael menyamar sebagai Azaria, yang disewa sebagai teman seperjalanan. Di sungai Tigris mereka menangkap seekor ikan. Atas saran Azaria, Tobias mengawetkan jantung, hati dan empedu ikan itu. Tobias tiba di Ekbatana lalu bertunangan dengan Sarah, yg ternyata kemudian adalah saudara sepupunya.
Pada malam pengantin Tobias membakar jantung dan hati ikan tadi. Bau busuknya mengusir setan itu ke Mesir. Keluarganya menganggap Tobias sudah mati. Tapi sewaktu ia pulang (didahului oleh anjingnya) ia mengolesi mata ayahnya dengan empedu ikan dan memulihkan daya lihatnya.
Cerita ini rupanya berasal dari Zaman Pembuangan ke Babel atau Persia, dan bahasa aslinya mungkin bahasa Aram. Tiga resensi kitab dalam bahasa Yunani telah diketahui, dan serpihan-serpihan dalam bahasa Ibrani dan bahasa Aram telah ditemukan di antara Gulungan Laut Mati.
(4). Yudit.
Kitab Yudit menceritakan tentang seorang janda muda Yahudi yang berani, dan bagaimana tentara Nebukadnezar kalah oleh kelihaiannya. Penduduk Betulia dikepung oleh Holofernes, salah seorang jenderal Nebukadnezar. Sang janda mengunjungi jenderal di tenda penginapan, dengan tipu muslihat akan membocorkan rahasia militer kepada jenderal itu. Kemudian ia menggoda jenderal itu dengan rayuan kecantikannya yg memikat. Akhirnya, sedang ia melayani sang jenderal pada tengah malam, ia dapat memenggal kepala jenderal itu. Kemudian ia kembali ke kota dengan kepala itu, disambut dengan riang gembira.
Pasukan Asyur (demikian aslinya!) mundur seketika mengetahui bahwa jenderal mereka dibunuh. Yudit dan para wanita Betulia bergembira, menyanyikan mazmur kepada Allah. Cerita ini memang fiksi, kalau bukan, ketidak-tepatannya tak masuk akal. Ditulis pada abad 2 sM. Bahasa aslinya bahasa Ibrani, dan terjemahannya ke dalam bahasa Yunani (ada 4 resensinya) telah melestarikan dongeng ini untuk kita.
(5). Tambahan pada kitab Daniel.
Pasukan Asyur (demikian aslinya!) mundur seketika mengetahui bahwa jenderal mereka dibunuh. Yudit dan para wanita Betulia bergembira, menyanyikan mazmur kepada Allah. Cerita ini memang fiksi, kalau bukan, ketidak-tepatannya tak masuk akal. Ditulis pada abad 2 sM. Bahasa aslinya bahasa Ibrani, dan terjemahannya ke dalam bahasa Yunani (ada 4 resensinya) telah melestarikan dongeng ini untuk kita.
(5). Tambahan pada kitab Daniel.
Pada pasal 3 ditambahkan 'Doa Azaria' yang diucapkan di perapian, dan Nyanyian Tiga Anak Suci yang dinyanyikan untuk memuji Allah, sewaktu ketiganya berjalan dalam perapian. Bahasa asli kedua tambahan ini nampaknya bahasa Ibrani. Pada kata pendahuluan Kitab Daniel dalam terjemahan Teodotion, kemudian dalam LXX, terdapat cerita tentang Susana, istri yang cantik dan baik hati dari seorang hartawan Yahudi di Babel.
Dua tua-tua umat yang mendambakan wanita itu, menjumpai dia ketika mandi dan menyodorkannya pilihan: menyerah memenuhi keinginan mereka, atau menghadapi tuduhan palsu berbuat zinah. Susana memilih yang terakhir, penuduh dipercayai, dan Susana dihukum menyangkal tak bersalah. Daniel, walaupun remaja belaka, memprotes keras ketidakadilan ini. Dalam pemeriksaan kedua di pengadilan dan di hadapannya, tuduhan dusta itu terungkap. Susana dinyatakan benar.
Cerita-cerita Bel dan Ular Naga jelas ditulis untuk mencemoohkan penyem-bahan berhala. Daniel menunjukkan bahwa para imam Bel menelan persembahan makanan yang dipersembahkan setiap malam, jadi bukan berhala itu: karena itu raja membinasakannya. Sam naga keramat yg disembah di Babel dihancurkan oleh Daniel. Ia dilemparkan ke dalam tempat singa dan terlindung hidup selama 6 hari.
Cerita-cerita Bel dan Ular Naga jelas ditulis untuk mencemoohkan penyem-bahan berhala. Daniel menunjukkan bahwa para imam Bel menelan persembahan makanan yang dipersembahkan setiap malam, jadi bukan berhala itu: karena itu raja membinasakannya. Sam naga keramat yg disembah di Babel dihancurkan oleh Daniel. Ia dilemparkan ke dalam tempat singa dan terlindung hidup selama 6 hari.
Pada hari ke-6 nabi Habakuk secara ajaib diangkut dari Yudea untuk memberi makanan kepadanya. Pada hari ke-7 Daniel dibebaskan oleh raja. Kedua cerita ini mungkin diterjemahkan dari cerita asli Semit, tapi belum pasti. Tambahan-tambahan pada Daniel ini merupakan contoh cerita-cerita saleh yang ditambahkan kepada cerita Daniel kira-kira pada 100 sM.
(6). Tambahan pada Ester.
(6). Tambahan pada Ester.
Hal ini menambah besarnya kitab itu dalam terjemahan Yunani. Enam bagian ditambahkan. Pertama, mimpi Mordekhai dan makar mendongkel Raja yg dicegahnya. Ini mendahului pasal 1. Bagian ke-2, yaitu maklumat raja untuk membinasakan semua orang Yahudi dalam wilayahnya. Ini mengikuti pasal 3:13 dari kitab bh Ibrani. Bagian ke-3, terdiri dari doa-doa Ester dan Mordekhai mengikuti pasal 4. Bagian ke-4, menggambarkan pertemuan Ester dengan raja, tambahan pada 5:12. Bagian ke-5, memuat maklumat raja yang mengizinkan bangsa Yahudi membela diri, meng-ikuti 8:12. Bagian ke-6 termasuk tafsiran mimpi Mordekhai; dan catatan tentang tarikh terjemahan Yunani dibawa ke Mesir.
Mayoritas ahli berpendapat, semua bagian tersebut di atas merupakan tambahan kepada Kitab Ester yang singkat dalam Kanon Ibrani, dan bahwa sebagian, kalau tidak semua, ditulis dalam bahasa Yunani. Namun demikian, beberapa ahli Katolik Roma RK dan beberapa ahli lain (termasuk C. C Torrey) berpendapat, bahwa Ester dalam bahasa Ibrani merupakan singkatan dari suatu karya yang lebih besar dalam bahasa Ibrani atau Aram, dan versi Yunani diterjemahkan dari sumber itu. Tanda penerbit menunjukkan bahwa karya itu diterjemahkan di Palestina, beberapa tahun sebelum 114 sM, oleh Lisimakhus, putra Ptolemeus, orang Yerusalem.
(7). Doa Manasye,
(7). Doa Manasye,
Doa ini sama dengan doa yang disebut dalam 2 Taw 33:11-19. Menurut pandangan mayoritas ahli, doa ini dikarang oleh seorang Yahudi dalam bahasa Ibrani. Bagaimanapun juga, karya ini terdapat dalam Didascalia dari Siria (abad ke-3 M) dan dalam Nyanyian (yang dikumpulkan dari PL dan PB, dan dipakai dalam ibadah Kristen) yang ditambahkan kepada Kitab Masmur dalam beberapa naskah dari LXX, misalnya Kodeks Aleksandrinus.
(8). Surat Yeremia.
(8). Surat Yeremia.
Surat Yeremia ini merupakan contoh serangan Yunani-Ibrani yang biasa terhadap pemujaan berhala, dengan berkedok sepucuk surat dari Yeremia kepada orang-orang buangan di Babel. Mirip dengan yg disebut dalam Yeremia 29, Berhala ditertawakan; kejahatan dan kebodohan yg terkait dengannya disingkapkan. Orang-orang Yahudi yang ditawan dihimbau untuk tidak memuja ataupun takut kepadanya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Yunani yang baik. Aslinya mungkin bahasa Aram.
(9). Kitab Barukh.
(9). Kitab Barukh.
Kitab untuk menyamar sebagai karya teman dan sekretaris Yeremia. Karya itu singkat. Menurut banyak ahli merupakan suatu gabungan, karya dari 2, 3 atau 4 penulis. Bagian-bagiannya sbb:
a. 1: 1-3:8. Sesuai keadaan Babel tahun 597, Barukh dilukiskan berbicara kepada orang-orang buangan, mereka mengakui dosa-dosa mereka lalu berdoa mohon pengampunan dan keselamatan.
b. 3:9-4:4. Bagian ini mengemukakan pujian atas kebijaksanaan yang dapat ditemukan dalam Taurat. Tanpa Taurat orang kafir tak dapat mencapai apa-apa, tapi dengan Taurat orang Israel akan diselamatkan.
c. 4:5-5:9. Ratapan dari Yerusalem karena orang-orang buangan, diikuti oleh suatu desakan ke Yerusalem untuk menerima hiburan, karena anak-anaknya akan dibawa pulang ke rumahnya. Bagian pertama jelas ditulis dalam bahasa Ibrani, dan meskipun bahasa Yunani dalam bagian-bagian berikut cukup lancar, namun ada kemungkinan bahwa aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani.
(10). Kebijaksanaan Yosua (atau Yesus) bin Sirakh.
Dalam LXX, kitab ini disebut Ecclesiasticus. Yosua atau Yesus bin Sirakh, orang Palestina, tinggal di Yerusalem, dan beberapa bagian dari karyanya dalam bahasa Ibrani terdapat dalam naskah-naskah dari Geniza di Kairo. Kitab ini terdapat antara Kitab-kitab Apokrifa dalam terjemahan Yunani yang dibuat oleh cucu Yesus bin Sirakh. Terlengkap dalam hal rincian tentang kronologi yang ada dalam Pendahuluan. Tarikh yang paling sesuai untuk Yesus bin Sirakh ialah sekitar 180 sM, karena cucunya ternyata pindah ke Mesir ketika peme-rintahan Ptolemeus VII Euergetes (170117 sM).
Penulis menyusun karyanya dalam dua bagian, yakni: pasal 1-23 dan pasal 24-50, dengan sebuah tambahan singkat, pasal 51. Seperti kitab-kitab Kebijaksanaan lainnya, Kitab Yesus bin Sirakh merupakan nasihat untuk mencapai kehidupan yg berhasil, dipahami dalam arti yang seluas-luasnya; takut akan Tuhan dan ketaatan pada Hukum-Nya dihubungkan dalam pengalaman dan ajaran penulis dengan “kebijaksanaan” praktis yang ditimbanya dari pengamatan dan kehidupannya sendiri. Kesalehan pribadi akan terungkap dalam ketaatan pada hukum Taurat, di mana Kebijak-sanaan menampakkan diri; dalam seluruh segi kehidupan sehari-hari sikap yg paling baik ialah sikap yg tidak berlebih-lebihan.
Bagian kedua diakhiri dengan pujian terhadap “orang-orang termasyhur”, suatu daftar orang-orang Israel yg paling berjasa, yg berakhir dengan Simon II, Imam Agung kira-kira pada 200 sM, yang juga terkenal dari Misyna (Aboth 1:2) dan Yosefus (Ant Ibrani 12:2-24). Dalam kitab ini terlihat gambaran ideal seorang ahli Taurat, seperti Yesus bin Sirakh sendiri, yang kemudian menjadi cita-cita golongan Yahudi ortodoks. Orang ini taat kepada Allah, taat kepada hukum Taurat, sederhana dalam kehidupan, dan nilainya yang paling tinggi ialah mencapai pengetahuan akan Taurat.
Kitab ini sangat disenangi oleh orang Kristen, seperti nampak pada judulnya dalam bahasa Yunani, yaitu Ecclesiasticus, yang berarti ”Kitab Gereja”. Orang Yahudi, walaupun tidak pernah menerimanya ke dalam Kanon Alkitab, namun sangat menghormatinya, dan kadang-kadang para nabi mengutipnya seolah-olah itu Alkitab. Terjemahan Siria dibuat orang Yahudi dan langsung berdasarkan naskah Ibrani.
(11). Kebijaksanaan Salomo.
Penulis menyusun karyanya dalam dua bagian, yakni: pasal 1-23 dan pasal 24-50, dengan sebuah tambahan singkat, pasal 51. Seperti kitab-kitab Kebijaksanaan lainnya, Kitab Yesus bin Sirakh merupakan nasihat untuk mencapai kehidupan yg berhasil, dipahami dalam arti yang seluas-luasnya; takut akan Tuhan dan ketaatan pada Hukum-Nya dihubungkan dalam pengalaman dan ajaran penulis dengan “kebijaksanaan” praktis yang ditimbanya dari pengamatan dan kehidupannya sendiri. Kesalehan pribadi akan terungkap dalam ketaatan pada hukum Taurat, di mana Kebijak-sanaan menampakkan diri; dalam seluruh segi kehidupan sehari-hari sikap yg paling baik ialah sikap yg tidak berlebih-lebihan.
Bagian kedua diakhiri dengan pujian terhadap “orang-orang termasyhur”, suatu daftar orang-orang Israel yg paling berjasa, yg berakhir dengan Simon II, Imam Agung kira-kira pada 200 sM, yang juga terkenal dari Misyna (Aboth 1:2) dan Yosefus (Ant Ibrani 12:2-24). Dalam kitab ini terlihat gambaran ideal seorang ahli Taurat, seperti Yesus bin Sirakh sendiri, yang kemudian menjadi cita-cita golongan Yahudi ortodoks. Orang ini taat kepada Allah, taat kepada hukum Taurat, sederhana dalam kehidupan, dan nilainya yang paling tinggi ialah mencapai pengetahuan akan Taurat.
Kitab ini sangat disenangi oleh orang Kristen, seperti nampak pada judulnya dalam bahasa Yunani, yaitu Ecclesiasticus, yang berarti ”Kitab Gereja”. Orang Yahudi, walaupun tidak pernah menerimanya ke dalam Kanon Alkitab, namun sangat menghormatinya, dan kadang-kadang para nabi mengutipnya seolah-olah itu Alkitab. Terjemahan Siria dibuat orang Yahudi dan langsung berdasarkan naskah Ibrani.
(11). Kebijaksanaan Salomo.
Kitab ini dapat disebut puncak dari sastra Kebijaksanaan Yahudi. Akarnya terdapat dalam sastra Kebijaksanaan PL dan Apokrifa. Tapi karena pengaruh pemikiran Yunani, kitab itu mencapai bentuk dan ketelitian yg lebih baik dibandingkan contoh-contoh sastra sejenis. Kitab Kebijaksanaan merupakan dorongan untuk mencari kebijaksanaan. Pasal 1-5 menyatakan berkat-berkat yang bertambah-tambah atas orang Yahudi yang mencari kebijaksanaan; pasal 6-9 memuji Kebijaksanaan yang ilahi, yang dipandang sebagai makhluk wanita sorgawi, yang terutama dari makhluk-makhluk dan pelayan-pelayan Allah; pasal 10-19 meninjau sejarah PL untuk menun-jukkan bahwa Kebijaksanaan telah senantiasa membantu teman-temannya orang Yahudi, dan telah menjatuhkan hukuman dan kutukan kepada lawan-lawannya.
Karena itu kebijaksanaan dapat ditafsirkan sebagai dorongan kepada orang Yahudi untuk tidak meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya. Tapi dalamnya terdapat juga motif penginjilan kepada masyarakat non-Yahudi, yg mencolok dalam Yudaisme Helenistis. Penulis memakai sumber-sumber Ibrani. Tapi nampak jelas bahwa Kebijaksanaan itu sebagaimana adanya, ditulis dalam bh Yunani, karena ilmu persajakan dan istilah-istilah filsafat yg dipakainya bersifat Yunani dan tergantung pada PL terjemahan Yunani.
Ketergantungan penulis pada pemikiran Yunani paling jelas dalam hal ia memakai istilah Stois dan Platonis untuk menggambarkan Kebijaksanaan, dan dalam hal ia yakin akan kekekalan jiwa. Menurut pendapat mayoritas ilmuwan, tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa kitab ini karya satu orang saja, tapi berbagai sumber yg dipakainya dapat ditelusuri. Penulis kitab Kebijaksanaan ini tidak diketahui, tapi sangat mungkin seorang dari Aleksandria.
(12). Kitab-kitab Makabe.
Karena itu kebijaksanaan dapat ditafsirkan sebagai dorongan kepada orang Yahudi untuk tidak meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya. Tapi dalamnya terdapat juga motif penginjilan kepada masyarakat non-Yahudi, yg mencolok dalam Yudaisme Helenistis. Penulis memakai sumber-sumber Ibrani. Tapi nampak jelas bahwa Kebijaksanaan itu sebagaimana adanya, ditulis dalam bh Yunani, karena ilmu persajakan dan istilah-istilah filsafat yg dipakainya bersifat Yunani dan tergantung pada PL terjemahan Yunani.
Ketergantungan penulis pada pemikiran Yunani paling jelas dalam hal ia memakai istilah Stois dan Platonis untuk menggambarkan Kebijaksanaan, dan dalam hal ia yakin akan kekekalan jiwa. Menurut pendapat mayoritas ilmuwan, tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa kitab ini karya satu orang saja, tapi berbagai sumber yg dipakainya dapat ditelusuri. Penulis kitab Kebijaksanaan ini tidak diketahui, tapi sangat mungkin seorang dari Aleksandria.
(12). Kitab-kitab Makabe.
Ada beberapa kitab diberi judul Makabe, yakni 1 dan 2 Makabe, yang di muat dalam Apokrifa. 1 Makabe meliputi kejadian-kejadian dari 175 s/d 134 sM, yakni perjuangan dengan Antiokhus Epifanes, peperangan kaum Hasmon, dan pemerintahan Yohanes Hirkanus. Kitab ini diakhiri dengan pujian terhadap Yohanes, dan terang ditulis sesudah ia meninggal pada tahun 103 sM. Aslinya tertulis dalam bahasa Ibrani. Tapi disadur ke dalam gaya sastra dari bagian tertentu LXX (Septuaginta). Tujuannya ialah untuk memuliakan keluarga Makabe yang dilihat sebagai unggulan Yudaisme.
Sedangkan 2 Makabe berbeda, yakni mencakup sejarah yg sama seperti dalam 1 Makabe, tapi tidak dilanjutkan sesudah kampanye dan kekalahan Nikanor. Penulisnya yang tak dikenal kadang-kadang disebut 'Penyunting', karena bagian besar dari bukunya dikutip dari karya yang tak dikenal lagi oleh Yason dari Kirene. Terdapat sejumlah ketidak-sesuaian mengenai waktu dan angka antara 1 dan 2 Makabe. Biasanya 1 Makabe dianggap lebih dapat dipercaya. Ada orang yang meragukan kesejatian surat-surat dan maklumat-maklumat yang dimuat dalam kedua karya ini. Namun kedua-nya masih dapat diterima sebagai sumber pengetahuan tentang sejarah zamannya.
(13). 3 dan 4 Makabe.
Sedangkan 2 Makabe berbeda, yakni mencakup sejarah yg sama seperti dalam 1 Makabe, tapi tidak dilanjutkan sesudah kampanye dan kekalahan Nikanor. Penulisnya yang tak dikenal kadang-kadang disebut 'Penyunting', karena bagian besar dari bukunya dikutip dari karya yang tak dikenal lagi oleh Yason dari Kirene. Terdapat sejumlah ketidak-sesuaian mengenai waktu dan angka antara 1 dan 2 Makabe. Biasanya 1 Makabe dianggap lebih dapat dipercaya. Ada orang yang meragukan kesejatian surat-surat dan maklumat-maklumat yang dimuat dalam kedua karya ini. Namun kedua-nya masih dapat diterima sebagai sumber pengetahuan tentang sejarah zamannya.
(13). 3 dan 4 Makabe.
Dalam kitab 3 Makabe menceritakan pembunuhan dan balasan pembunuhan di bawah pemerintahan Ptolemeus IV (221-204 sM). Agak mirip dengan Kitab Ester dalam nada dan suasana. Sewdangkan kitab 4 Makabe bukanlah cerita, tapi tulisan tentang pemerintahan akal budi atas nafsu-nafsu, dijelaskan dari cerita-cerita Alkitab dan cerita-cerita mengenai martir dalam 2 Makabe pasal 6 dan 7. Penulis berusaha untuk meningkatkan hukum Taurat, walaupun ia sangat dipengaruhi oleh filsafat Stoa.
𝐀𝐋𝐀𝐒𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐍𝐎𝐋𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐊𝐑𝐈𝐒𝐓𝐄𝐍 𝐏𝐑𝐎𝐓𝐄𝐒𝐓𝐀𝐍 𝐓𝐄𝐑𝐇𝐀𝐃𝐀𝐏 𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁-𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁 𝐀𝐏𝐎𝐊𝐑𝐈𝐅𝐀.
Kalangan Kristen Protestan sejak semula memang menolak keberadaan kitab-kitab Apokrifa, apalagi dimasukkan ke dalam kanonisasi Alkitab, dan menganggap kitab-kitab itu bukanlah Firman Allah. Ada 4 (empat) alasan penolakan itu, yakni:
1. Pertama, karena dari sisi tradisi, orang-orang Yahudi tidak pernah memperlakukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah. Kitab-kitab itu ditulis sebagian besar antara masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Di dalam rentang waktu empat ratus tahun itu ada beberapa kitab kuno yang ditulis dan selanjutnya diakui oleh orang-orang Katolik Roma sebagai firman Allah dan mereka sebut sebagai Deuterokanonika.
Tetapi orang-orang Yahudi tidak pernah memperlakukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah. Berbeda dengan cara mereka memperlakukan Kejadian sampai Maleakhi, mereka mengakui dan memperlakukannya sebagai firman Allah. Juga para pemikir Kristen awal tidak pernah meng-akui kitab-kitab Apokrifa sebagai firman Allah. Mereka tidak memperlaku-kan kitab-kitab itu sebagaimana mereka memperlakukan kitab-kitab dalam PL.
Dari sisi tradisi Yahudi maupun dari tradisi awal Kekristenan, kita bisa melihat gambaran yang umum bahwa kitab-kitab itu diperlakukan berbeda dengan kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Lama. Tentu saja pengecualian kecil di sana sini pasti ada. Tetapi kitab-kitab itu secara umum tidak diperlakukan sebagai firman Allah. Para penulis Alkitab pun tidak pernah mengutip itu sebagai firman Allah. Memang ada beberapa kitab dalam Perjanjian Lama yang tidak pernah dikutip di dalam Perjanjian Baru, misalnya Kitab Ester. Tetapi secara umum, kalau kita memper-hatikan tradisi, ada perbedaan dalam hal penerimaan, baik oleh orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen awal, terhadap kitab-kitab Apokrifa dan terhadap kitab-kitab Perjanjian Lama.
2. Kedua, karena kitab-kitab Apokrifa tidak mengandung wibawa Apostolik maupun Profetik. Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah itu berbicara kepada umat-Nya melalui para nabi atau para rasul. Dalam 2 Petrus 1:20-21 kita sudah lihat bahwa oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. Para nabi bernubuat juga oleh dorongan Roh Kudus. Konsep ini tidak ada di dalam kitab-kitab Apokrifa. Misalnya di dalam kitab Barukh, penulisnya mengatakan bahwa kalau terjadi kesalahan di dalam kitab ini, maka harap pembaca memakluminya. Gaya penulisan semacam ini tidak pernah kita temukan di dalam kitab-kitab di Alkitab, karena penulisnya sangat yakin bahwa apa yang mereka tulis berasal dari Roh Kudus. Apa yang mereka tulis tidak mungkin mengandung kesalahan.
3. Ketiga, karena terdapat kesalahan secara geografis maupun historis. Misalnya di dalam salah satu kitabnya, kitab Yudit 1:5, dikatakan bahwa Nebukadnezar adalah raja Asyur, padahal kita tahu bahwa ia adalah raja Babel. Kemudian di dalam kitab Barukh 6:2 dikatakan bahwa bangsa Israel dibuang ke Babel selama tujuh generasi, padahal mereka di Babel selama tujuh puluh tahun (Yeremia 25:11). Apakah satu generasi hanya dipahami selama 10 tahun? Bagaimana memahami hal ini? Ini merupakan isu yang kompleks. Tetapi secara umum kita dapat melihat ada beberapa catatan historis yang membuat kita berpikir apakah ini benar dari firman Tuhan? Karena catatan historis yang ada ternyata tidak terlalu akurat.
4. Keempat, karena ada begitu banyak ajaran atau doktrin yang bertentangan dengan bagian Alkitab yang lain. Misalnya doa untuk orang-orang mati diajarkan di salah satu kitab Apokrifa. Sedangkan di dalam Alkitab diajarkan bahwa manusia mati satu kali dan setelah itu dihakimi. Jadi tidak perlu mendoakan orang-orang yang sudah mati, karena tidak mungkin akan mengubah nasib mereka. Juga di dalam kitab Tobit dicatat tentang pengusiran setan yang dilakukan dengan sangat mistis sekali, yaitu dengan cara membakar bagian dalam dari ikan, lalu kemudian dibakar dan asapnya dapat mengusir roh-roh jahat. Konsep-konsep sema-cam ini jelas tidak pernah ada di dalam Alkitab.
Selain itu diajarkan juga tentang keselamatan melalui pahala, sedekah, dan sebagainya, ini semua bertentangan dengan ajaran Alkitab. Contoh yang lain adalah permohonan kepada orang-orang kudus di surga atas doa dan sedekah mereka untuk mendapatkan rahmat atau penebusan dosa; menyetujui untuk mendoakan orang yang sudah mati. Karena itu Kristen Protestan menolak Apokrifa sebagai kitab suci atau firman Allah. Namun kita perlu membaca dan mempelajarinya sebagai kitab-kitab kuno untuk memahami latar belakang Yahudi dan latar belakang Alkitab, tetapi kita tidak menerimanya sebagai firman Allah.
Demikianlah, kitab-kitab Apokrifa yang dikenal dengan Deuturokanonika, memang diterima “secara mutlak,” sebagai bagian dari kanon Alkitab oleh Gereja Katolik Roma pada Konsili di Trente pada tahun 1546. Saat ini, kitab Apokrifa bisa saja dimasukkan ke dalam Alkitab, jika memang ada bukti-bukti bahwa naskah ini memang benar-benar diilhamkan Allah. Sayangnya, bukti-bukti yang ada tampaknya tidak cukup kuat untuk menegaskan bahwa naskah-naskah itu memang diilhamkan Allah.
Di dalam Alkitab, kita dapat melihat pesan nabi-nabi Allah dipertegas dengan adanya mukjizat atau nubuatan-nubuatan yang tergenapi. Pesannya juga dengan segera diterima oleh orang-orang (Ulangan 31:26; Yosua 24:26; 1 Samuel 10:25; Daniel 9:2; Kolose 4:16; 2 Petrus 3:15-16). Namun, yang kita temukan di kitab-kitab Apokrifa justru adalah kebalikannya. Tidak ada satupun naskah dalam kitab Apokrifa ini yang ditulis oleh seorang nabi. Bahkan, salah satu naskah secara tegas menyatakan kalau tulisannya sama sekali tidak diilhamkan (1 Makabe 9:27)!
Tidak ada satupun tulisan dalam kitab ini yang dianggap termasuk dalam Kitab Suci Yudaisme. Tidak ada satupun pembuktian terhadap siapa penulis-penulis kitab Apokrifa ini. Tidak ada satupun tulisan dalam kitab Apokrifa yang dinyatakan berkuasa oleh para penulis Alkitab lainnya. Tidak ada nubuatan dalam kitab ini yang tergenapi. Yesus, yang selalu mengutip dari setiap bagian di Perjanjian Lama, tidak sekalipun pernah mengutip kitab Apokrifa. Begitu juga dengan murid-murid-Nya.
Sejauh ini, Alkitab telah menyisihkan setiap sumber lain yang bersaing untuk dianggap sebagai pewahyuan dari Allah. Jika Alkitab tidak dipandang sebagai Firman Allah, mustahil sepertinya untuk menerima kitab-kitab lainnya sebagai Firman Allah. Jika Alkitab bukan benar-benar Firman Allah, maka kita tidak lagi punya kriteria yang jelas mengenai kitab mana yang sungguh-sungguh adalah Firman Allah
𝐀𝐋𝐀𝐒𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐍𝐎𝐋𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐊𝐑𝐈𝐒𝐓𝐄𝐍 𝐏𝐑𝐎𝐓𝐄𝐒𝐓𝐀𝐍 𝐓𝐄𝐑𝐇𝐀𝐃𝐀𝐏 𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁-𝐊𝐈𝐓𝐀𝐁 𝐀𝐏𝐎𝐊𝐑𝐈𝐅𝐀.
Kalangan Kristen Protestan sejak semula memang menolak keberadaan kitab-kitab Apokrifa, apalagi dimasukkan ke dalam kanonisasi Alkitab, dan menganggap kitab-kitab itu bukanlah Firman Allah. Ada 4 (empat) alasan penolakan itu, yakni:
1. Pertama, karena dari sisi tradisi, orang-orang Yahudi tidak pernah memperlakukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah. Kitab-kitab itu ditulis sebagian besar antara masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Di dalam rentang waktu empat ratus tahun itu ada beberapa kitab kuno yang ditulis dan selanjutnya diakui oleh orang-orang Katolik Roma sebagai firman Allah dan mereka sebut sebagai Deuterokanonika.
Tetapi orang-orang Yahudi tidak pernah memperlakukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah. Berbeda dengan cara mereka memperlakukan Kejadian sampai Maleakhi, mereka mengakui dan memperlakukannya sebagai firman Allah. Juga para pemikir Kristen awal tidak pernah meng-akui kitab-kitab Apokrifa sebagai firman Allah. Mereka tidak memperlaku-kan kitab-kitab itu sebagaimana mereka memperlakukan kitab-kitab dalam PL.
Dari sisi tradisi Yahudi maupun dari tradisi awal Kekristenan, kita bisa melihat gambaran yang umum bahwa kitab-kitab itu diperlakukan berbeda dengan kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Lama. Tentu saja pengecualian kecil di sana sini pasti ada. Tetapi kitab-kitab itu secara umum tidak diperlakukan sebagai firman Allah. Para penulis Alkitab pun tidak pernah mengutip itu sebagai firman Allah. Memang ada beberapa kitab dalam Perjanjian Lama yang tidak pernah dikutip di dalam Perjanjian Baru, misalnya Kitab Ester. Tetapi secara umum, kalau kita memper-hatikan tradisi, ada perbedaan dalam hal penerimaan, baik oleh orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen awal, terhadap kitab-kitab Apokrifa dan terhadap kitab-kitab Perjanjian Lama.
2. Kedua, karena kitab-kitab Apokrifa tidak mengandung wibawa Apostolik maupun Profetik. Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah itu berbicara kepada umat-Nya melalui para nabi atau para rasul. Dalam 2 Petrus 1:20-21 kita sudah lihat bahwa oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. Para nabi bernubuat juga oleh dorongan Roh Kudus. Konsep ini tidak ada di dalam kitab-kitab Apokrifa. Misalnya di dalam kitab Barukh, penulisnya mengatakan bahwa kalau terjadi kesalahan di dalam kitab ini, maka harap pembaca memakluminya. Gaya penulisan semacam ini tidak pernah kita temukan di dalam kitab-kitab di Alkitab, karena penulisnya sangat yakin bahwa apa yang mereka tulis berasal dari Roh Kudus. Apa yang mereka tulis tidak mungkin mengandung kesalahan.
3. Ketiga, karena terdapat kesalahan secara geografis maupun historis. Misalnya di dalam salah satu kitabnya, kitab Yudit 1:5, dikatakan bahwa Nebukadnezar adalah raja Asyur, padahal kita tahu bahwa ia adalah raja Babel. Kemudian di dalam kitab Barukh 6:2 dikatakan bahwa bangsa Israel dibuang ke Babel selama tujuh generasi, padahal mereka di Babel selama tujuh puluh tahun (Yeremia 25:11). Apakah satu generasi hanya dipahami selama 10 tahun? Bagaimana memahami hal ini? Ini merupakan isu yang kompleks. Tetapi secara umum kita dapat melihat ada beberapa catatan historis yang membuat kita berpikir apakah ini benar dari firman Tuhan? Karena catatan historis yang ada ternyata tidak terlalu akurat.
4. Keempat, karena ada begitu banyak ajaran atau doktrin yang bertentangan dengan bagian Alkitab yang lain. Misalnya doa untuk orang-orang mati diajarkan di salah satu kitab Apokrifa. Sedangkan di dalam Alkitab diajarkan bahwa manusia mati satu kali dan setelah itu dihakimi. Jadi tidak perlu mendoakan orang-orang yang sudah mati, karena tidak mungkin akan mengubah nasib mereka. Juga di dalam kitab Tobit dicatat tentang pengusiran setan yang dilakukan dengan sangat mistis sekali, yaitu dengan cara membakar bagian dalam dari ikan, lalu kemudian dibakar dan asapnya dapat mengusir roh-roh jahat. Konsep-konsep sema-cam ini jelas tidak pernah ada di dalam Alkitab.
Selain itu diajarkan juga tentang keselamatan melalui pahala, sedekah, dan sebagainya, ini semua bertentangan dengan ajaran Alkitab. Contoh yang lain adalah permohonan kepada orang-orang kudus di surga atas doa dan sedekah mereka untuk mendapatkan rahmat atau penebusan dosa; menyetujui untuk mendoakan orang yang sudah mati. Karena itu Kristen Protestan menolak Apokrifa sebagai kitab suci atau firman Allah. Namun kita perlu membaca dan mempelajarinya sebagai kitab-kitab kuno untuk memahami latar belakang Yahudi dan latar belakang Alkitab, tetapi kita tidak menerimanya sebagai firman Allah.
Demikianlah, kitab-kitab Apokrifa yang dikenal dengan Deuturokanonika, memang diterima “secara mutlak,” sebagai bagian dari kanon Alkitab oleh Gereja Katolik Roma pada Konsili di Trente pada tahun 1546. Saat ini, kitab Apokrifa bisa saja dimasukkan ke dalam Alkitab, jika memang ada bukti-bukti bahwa naskah ini memang benar-benar diilhamkan Allah. Sayangnya, bukti-bukti yang ada tampaknya tidak cukup kuat untuk menegaskan bahwa naskah-naskah itu memang diilhamkan Allah.
Di dalam Alkitab, kita dapat melihat pesan nabi-nabi Allah dipertegas dengan adanya mukjizat atau nubuatan-nubuatan yang tergenapi. Pesannya juga dengan segera diterima oleh orang-orang (Ulangan 31:26; Yosua 24:26; 1 Samuel 10:25; Daniel 9:2; Kolose 4:16; 2 Petrus 3:15-16). Namun, yang kita temukan di kitab-kitab Apokrifa justru adalah kebalikannya. Tidak ada satupun naskah dalam kitab Apokrifa ini yang ditulis oleh seorang nabi. Bahkan, salah satu naskah secara tegas menyatakan kalau tulisannya sama sekali tidak diilhamkan (1 Makabe 9:27)!
Tidak ada satupun tulisan dalam kitab ini yang dianggap termasuk dalam Kitab Suci Yudaisme. Tidak ada satupun pembuktian terhadap siapa penulis-penulis kitab Apokrifa ini. Tidak ada satupun tulisan dalam kitab Apokrifa yang dinyatakan berkuasa oleh para penulis Alkitab lainnya. Tidak ada nubuatan dalam kitab ini yang tergenapi. Yesus, yang selalu mengutip dari setiap bagian di Perjanjian Lama, tidak sekalipun pernah mengutip kitab Apokrifa. Begitu juga dengan murid-murid-Nya.
Sejauh ini, Alkitab telah menyisihkan setiap sumber lain yang bersaing untuk dianggap sebagai pewahyuan dari Allah. Jika Alkitab tidak dipandang sebagai Firman Allah, mustahil sepertinya untuk menerima kitab-kitab lainnya sebagai Firman Allah. Jika Alkitab bukan benar-benar Firman Allah, maka kita tidak lagi punya kriteria yang jelas mengenai kitab mana yang sungguh-sungguh adalah Firman Allah