Allah Tritunggal - Pdt.Stephen Tong
Pdt. DR. Stephen Tong.
PRAKATA
Salah satu keunikan Kekristenan adalah kepercayaan terhadap Allah Tritunggal, yang tidak ada pada agama-agama lain. Doktrin yang begitu jelas diajarkan dalam Alkitab ini selalu menjadi kesulitan yang besar bagi orang Kristen maupun orang bukan Kristen. Memang secara terminologi istilah ini tidak muncul dalam Alkitab. Namun seluruh Alkitab mengandung ajaran yang penting ini. Melalui penganiayaan dan tantangan dari ajaran, baik filsafat maupun bidat-bidat, mengakibatkan selama beratus-ratus tahun gereja abad permulaan mengintrospeksi ke dalam iman yang sudah dimiliki sehingga menemukan pengertian Allah Tritunggal yang sedalam-dalamnya. Doktrin yang sudah diteguhkan pada zaman Agustinus untuk menjadi dasar pengajaran gereja segala abad.
Meskipun dalam sejarah gereja selalu timbul pula pemikir-pemikir yang tidak menyetujuinya, mulai dari zaman Gnostik dan Arius – khususnya pada awal Kekristenan – dan sesudah timbulnya liberalisme pada zaman modern, yang berciri khas membuat kepercayaan terhadap keilahian Kristus dan hanya memegang kemoralan-Nya, maka dengan sendirinya doktrin AllahTritunggal secara otomatis dibuangnya. Dalam hal ini liberalisme tidak banyak bedanya dengan Saksi Yehovah, bahkan lebih parah, karena Saksi Yehovah masih percaya Yesus adalah allah yang dicipta oleh Allah Tertinggi, sedangkan hal inipun ditolak oleh teolog-teolog liberal.
Penting bagi saudara seiman untuk memperdalam kepercayaan kita bersama, serta bersaksi bagi Kristus. Kiranya kemuliaan kembali kepada Allah Tritunggal. Amin.
Jakarta, 9 Februari 1990
Pdt. DR. Stephen Tong
----------------------------------------------------
PENDAHULUAN
Istilah Tritunggal belum pernah muncul di Perjanjian Lama. Istilah ini juga belum pernah muncul di Perjanjian Baru. Jadi istilah ini tidak pernah muncul di seluruh Alkitab. Agama Kristen mempunyai konsep Tritunggal yang tidak dimiliki oleh agama lain. Agama Hindu mempunyai tiga ilahi yang paling tinggi, yaitu Brahma, Wisnu dsan Syiwa. Tetapi konsep ini sama sekali berbeda dari konsep Allah Tritunggal Kristen. Ketiga Oknum Allah dalam Allah Tritunggal tidak dicipta. Ketiganya berada dari kekal sampai kekal. Kristus selaku Oknum Kedua Allah Tritunggal, tidak lebih rendah dari Allah Bapa yang adalah Oknum Pertama Allah Tritunggal. Roh Kudus, bukanlah suatu Kuasa atau Hukum Alam yang dipakai oleh Allah di dalam segala karya-Nya, melainkan Diri Allah itu sendiri, yaitu Allah Oknum Ketiga. Kristus bukanlah sebutan bagi Allah Oknum Pertama pada saat datang ke dunia, sehingga Ia menjadi Oknum Kedua. Juga salah jika kita mengerti bahwa setelah Kristus kembali ke sorga, Ia turun lagi ke dunia sebagai Oknum Ketiga, yaitu Roh Kudus. Roh Kudus bukanlah Kristus, dan Kristus bukanlah Allah Bapa.
KEESAAN ALLAH
(Yesaya44:6-8; 45:20-22; 46:8-10)
Allah Tritunggal merupakan doktrin, ajaran yang sedemikian unik di dalam Kekristenan. Doktrin ini merupakan suatu konsep yang tidak ada pada agama-agama lain, bukan suatu konsep yang ditarik sebagai kesimpulan dari hasil pikiran manusia melalui kemampuan rasio yang diciptakan oleh Allah, tetapi hal ini adalah suatu konsep yang tidak dapat dihindari oleh manusia karena Allah telah demikian menyatakan Diri, memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia.
A) Pentingnya mengerti Teologi
Mengapa kita sangat mementingkan dan menitik-beratkan teologi atau doktrin? Mengapa Doktrin sedemikian penting? Karena teologi merupakan pengenalan terhadap Allah, merupakan ilmu Ketuhanan. Teologi berasal dari kata Yunani: Theos dan Logos. Theos berarti Allah, sedangkan Logos berarti Firman. Berarti melalui Firman, kita mengenal Allah. Inilah ilmu Ketuhanan yang asli.
Adakah yang lebih penting daripada pengertian mengenai Allah (Ilmu Ketuhanan)? Adakah yang lebih berharga daripada pengenalan akan Allah? Mungkinkah seseorang menjadi manusia yang baik tanpa mengenal Allah? Dapatkah pemerintah suatu bangsa memerintah dengan baik tanpa pengertian akan Allah yang benar?
Agustinus, seorang Bapa Gereja, pernah berkata: “Jikalau aku ditanya, “Apakah yang ingin kau ketahui dalam dunia ini?”, maka aku akan menjawab, “Hanya dua hal yang ingin aku ketahui sedalam-dalamnya seumur hidupku, yaitu yang pertama mengenal Allah, dan yang kedua mengenal jiwa manusia. Dan jika aku ditanya lagi, “adakah yang lainnya yang ingin kau ketahui?, maka aku akan menjawab, “Tidak ada, bahkan mutlak tidak ada lagi hal lain yang ingin aku ketahui.” Aku ingin mengenal Allah, siapakah Dia?”
Pengenalan terhadap Allah menjadi titik tolak atau pangkalan bijaksana yang sejati. Pengenalan akan Allah menjadi suatu dasar dari segala kepandaian di dalam dunia ini (band. Amsal 1:7; Mazmur111:10). Dan kedua, pengenalan terhadap Allah muncul daripada keinginan jiwa. Tetapi mengapa jiwa mempunyai keinginan seperti ini? Karena jiwa adalah jiwa yang dicipta menurut perta dan teladan Allah. Kalau demikian, siapakah aku? Aku mau mengenal diriku sendiri, mengenal jiwaku? Maka mengenal Allah dan mengenal jiwa terkait satu dengan yang lain. Melalui pengenalan akan Allah, jiwa kita mempunyai suatu dasar, arah, prinsip hidup dan bijaksana yang sesungguhnya. Pengenalan akan Allah dan takut akan Allah merupakan suatu pangkalan atau titik tolak dari segala kepandaian dan bijaksana.
Filsafat Sokrates menuntut pengenalan akan diri sendiri, tetapi ia tidak pernah memberikan kepada kita kunci rahasia bagaimana mengenal diri. Maka jawaban dari Wahyu Tuhan jauh lebih tuntas dan lebih sempurna, yaitu: Mengenal Allah sebagai dasar pengenalan akan diri. Pengenalan terhadap Allah merupakan suatu hal yang sangat penting, sehingga dimana ada pengenalan akan Allah, di sana ada pengenalan akan diri juga. Konsep ini sedemikian penting, sehingga John Calvin di dalam permulaan bukunya yang terkenal Institutio (The Institute of Christian Religion) menuliskan: “Dua hal paling penting yang perlu kita kenal adalah mengenal Allah dan mengenal diri sendiri. Ketika ditanya, yang mana lebih dulu, ia menyatakan bahwa hal itu sangat sulit ditentukan, sebab di dalam mengenal diri, kita menemukan keberadaan Allah; dan di dalam mengenal Allah, kita mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya.
a). Teologi adalah pengenalan akan Allah yang sejati
Teologi berarti mengenali Allah, memahami, mengalami serta hidup di dalam Dia. Teologi bukanlah sekedar suatu teori yang pernah terlintas di dalam rasio manusia, bukan sekedar pelajaran yang dipelajari melalui tulisan di atas kertas. Teologi adalah pengenalan akan Allah, yang didalamnya kita menghayati atau mengalami hidup yang sejati. Di dalam berteologi kita perlu menjelajahi perkataan-perkataan, janji-janji, realita dan kesungguhan Allah itu sendiri. Di dalam berteologi juga berarti kita menghayati cinta kasih-Nya terhadap kita dan cinta kita kepada-Nya.
Dalam hal ini, Blaise Pascal, seorang filsuf, ahli matematika dan fisika dari Perancis, berkata: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengenal Allah lebih daripada cintanya kepada Allah.” Teologi tidak seharusnya hanya dimonopili oleh Seminari-Seminari, Sekolah-sekolah Teologia atau Sekolah-sekolah Alkitab. Sekolah-sekolah yang melatih calon-calon Pendeta, dan sejenisnya. Teologi hendaknya dimiliki oleh setiap orang Kristen, karena berteologi merupakan hak setiap anak Tuhan atau setiap orang yang mengenal Tuhan, agar mengetahui mengapa kita harus mengenal Tuhan dan bagaimana mengenal Dia dengan tepat. Kita tidak mempelajari teologi di dalam otak, tetapi menerjunkan diri ke dalam cintaTuhan dan cinta kita kepada Tuhan. Sambil menikmati cinta-Nya, saat itu kita membalas cinta-Nya dengan cinta yang diberikan oleh Dia kepada kita. InilahTeologi.
b). Teologi mengharuskan kita mempermuliakan Allah
Berteologi juga berarti memuliakan Allah. Jika kita tidak mengenal Allah, bagaimana kita dapat memuliakan Dia? Sebaliknya, semakin kita mengenal Allah, kita akan semakin memuliakan Dia, dan menyebabkan semakin banyak orang memuliakan Dia karena kemuliaan-Nya yang mereka lihat melalui kita. Inilah teologi yang hidup dan yang baik. Jadi, berteologi bukan saja mengakibatkan pengenalan dan kasih kita kepada Allah, tetapi juga bakti dan sembah sujud kita kepada-Nya. Alkitab mencatat, pada waktu Allah menyatakan diri-Nya kepada nabi-nabi, rasul-rasul dan orang-orang saleh-Nya, hal itu menyebabkan mereka melihat akan kemuliaan Allah dan menjadikan mereka merebahkan diri dan bersembah sujud di hadapan-Nya (Ayub 42:1-6; Daniel 2:19-20; Yesaya 6; Matius 14:22-33; Wahyu 1:17, dll.). Bakti atau sembah sujud kepada Allah timbul dari pengertian yang sejati akan keagungan Allah. Siapakah yang bisa sembah sujud dan berbakti kepada Allah jika ia tidak mengetahui keagungan Allah sedemikian tinggi, melampaui segala ciptaan? Maka celakalah kita jika kita mengetahui teologi di dalam otak, sehingga kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan agama, mendapatkan nilai tinggi di sekolah, tetapi hati kita belum bersembah sujud dan tidak berbakti dihadapan Allah. Alangkah bahayanya jika seseorang mempunyai banyak pengetahuan tentang Allah tetapi tidak berbakti kepada-Nya. Pengenalan dan penyembahan terhadap Allah tidak dapat dipisahkan. Pengenalan kita akan Allah menyebabkan kita mengetahui atau menyadari diri kita yang kecil dan hina, sehingga kita merendahkan diri dihadapan Allah seumur hidup. Istilah berbakti atau menyembah (Inggris:to worship) di dalam bahasa Ibrani mempunyai pengertian membungkukkan diri (to bend down), yaitu membungkukkan diri untuk berbakti dan bersembah sujud kepada Allah. Ini berarti pada saat kita di hadapan Allah, kita merasa perlu untuk berbakti, bersembah sujud kepada-Nya.
c). Teologi menyebabkan kita menjadi Saksi
Berteologi atau mengenal Allah juga menyebabkan kita menjadi saksi-saksi-Nya. Sebelum menjadi saksi-saksi Allah terlebih dahulu kita harus mempunyai pengenalan akan Dia, supaya kesaksian kita benar. Berbahaya sekali jika seorang bersaksi tentang Allah namun tidak mengenal Allah dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, jika seseorang sungguh-sungguh mengenal Allah, dia pasti akan terdorong untuk menyaksikan Allah yang dikenalnya kepada orang lain. Maka, bersaksi bagi Allah hendaknya setelah kita mengenal Dia.
Inilah sebabnya berteologi atau mengenal Allah itu penting sekali. Namun yang lebih penting: Mengenal Allah yang mana?Allah yang bagaimana sifat-sifat-Nya? Melalui apa dan dengan cara bagaimana kita mengenal-Nya? Bukankah di sepanjang sejarah kita melihat di dalam agama-agama orang-orang mengatakan bahwa mereka mengenal allah, dewa-dewa, atau yang supra-alami, dan dengan sekuat tenaga berusaha memperkenalkan allah yang mereka kenal itu kepada orang lain? Bukankah setiap denominasi, golongan, atau aliran, dan bidat-bidat juga mempunyai konsepnya sendiri tentang allah dan berusaha mengajarkannya atau memperkenalkan allahnya itu kepada orang lain? Sejak dahulu hingga sekarang pengajaran tentang Allah selalu simpang siur, bahkan saling bertentangan, sehingga ada sebagian orang menganggap lebih baik mereka tidak mengenal Alah daripada mereka mengenal allah yang salah. Itulah sebabnya kita perlu menegakkan prinsip dasar, atau kunci, bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar.
Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai Iman dan Wahyu Allah, kita melihat bahwa kecuali Allah mewahyukan atau menyatakan diri-Nya sendiri kepada manusia, tidak ada seorang pun bisa sampai kepada pengenalan akan Allah yang sejati. Inilah kunci pengenalan kepada Allah yang sejati. Jika Allah tidak rela memperkenalkan Diri, jika Allah tidak mewahyukan Diri, jika Allah tidak mau manusia mengenal Diri-Nya, bagaimana pun manusia berusaha, tidak mungkin manusia dapat sampai pada pengenalan yang sejati akan Allah. Wahyu adalah inisiatif Allah sebagai Inisiator yang mengkomunikasikan dan memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada kita. Ini bukan hasil fungsi rasio kita, sebab jika kita hanya melalui fungsi rasio, manusia tidak mungkin mencapai pengenalan akan Allah. Itulah sebabnya, di luar pengertian dan pengakuan akan Wahyu Allah tidak ada teologi yang sebenarnya. Kalau pun ada, itu hanyalah teologi antroposentris (teologi yang berpusat dan berdasar pada spekulasi manusia ) yang bersifat spekulatif. Teologi semacam itu bukanlah Teologi, melainkan Teologi yang palsu. Teologi yang sejati adalah Teologi pengertian akan Allah yang berdasarkan pewahyuan Allah sendiri, yang Allah berikan supaya dimengerti oleh manusia. Teologi semacam ini di sebut Teologi Teosentris (Teologi yang berpusat pada Allah). Inilah Teologi yang sejati, yang benar.
Sejak Fricdrich Schleiermacher menginterprestasikan kembali konsep “Wahyu Allah melalui inspirasi Roh Kudus” itu menjadi hanya semacam gejala atau emosi keagamaan akan kesadaran Kristus yang terdapat di dalam diri orang-orang yang mengalami perasaan agama, disitulah awal atau mulainya kejatuhan teologi dari yang berdasarkan pada Alkitab (Firman Allah) kepada yang berdasarkan perasaan manusia saja. Apakah agama hanyalah suatu perasaan jiwa seseorang? Apakah sekedar merupakan perasaan harus bergantung yang mutlak kepada sesuatu yang mutlak itu? Dalam aspek yang tertentu, hal ini ada benarnya, tetapi sebenarnya Alkitab memberikan pengertian yang lebih dari itu.
B. Kristus sebagai Dasar Pengenalan Akan Allah
Allah orang Kristen adalah Allah yang dikenal di dalam diri Yesus Kristus sebagai puncak Wahyu Allah. Wahyu Allah yang ada di dalam alam saja tidak cukup. Wahyu Allah yang terdapat di dalam Kitab Suci bersifat lebih tinggi. Klimaks atau puncak Wahyu Allah terdapat di dalam diri Kristus, Pribadi Kedua dari Allah yang turun ke dunia. Di dalam diri Kristus kita mengenal Allah secara konkrit; di dalam diri Kristus kita mengenal Allah secara sempurna; dan di dalam diri Kristus kita mengenal Allah secara benar dan tepat. Keakuratan itu hanya bisa dicapai melalui pengenalan terhadap Kristus, dan yang memberikan kesaksian yang benar tentang Kristus adalah Firman yang tertulis di dalam Alkitab. Itulah sebabnya Alkitab merupakan saksi bagi Kristus, yang menyaksikan tentang Kristus, dan melalui Kristus kita datang kepada Allah Bapa.
Namun dari manakah kita dapat mengerti Alkitab? Dari Roh Kudus. Roh Kudus memimpin kita ke dalam arti yang sesungguhnya dari Alkitab. Melalui Alkitab kita dipimpin seluruhnya ke dalam pengenalan akan Yesus Kritus. Melalui Kristus kita mengenal Allah Bapa yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, kunci kita mengenal Alkitab adalah Roh Kudus; Kunci kita mengenal Yesus Kristus adalah Alkitab; dan kunci kita mengenal Allah Bapa adalah Yesus Kristus. Dengan demikian kita mengenal Allah melalui Kristus; kita mengenal Kristus melalui Firman-Nya, dan kita mengerti Firman melalui Roh Kudus.
C. Roh Kudus menyebabkan kita mengenal Kristus
Kunci mengenal Allah hanya ada di dalam Yesus Kristus sendiri yang berkata, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6). Tetapi, bagaimanakah orang dapat datang kepada Kristus? Mereka ditarik oleh Allah Bapa (Yohanes 6:44), dan mereka mengenal Kristus melalui Kitab Suci (Yohanes 6:45). Sebelumnya Yesus juga pernah menantang orang-orang Yahudi, yang tidak percaya kepada-Nya, “Kamu menyelidiki Kitab Suci, sebab engkau anggap di dalamnya ada hidup yang kekal. Tetapi, walaupun Kitab Suci memberi kesaksian tentang Aku, kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu.” (Yohanes 5:39).
Jadi, melalui Kitab Suci yang menyaksikan tentang Kristus barulah kita dapat datang kepada-Nya. Tetapi, bagaimanakah kita dapat mengerti Kitab Suci? Melalui Roh Kudus, karena Roh Kudus adalah Roh Kebenaran yang telah mewahyukan kebenaran, dan yang memimpin orang Kristen masuk ke dalam kelimpahan kebenaran yang sempurna (Yohanes 14:26, 16:13).
Dengan demikian, melalui Alkitab, FirmanTuhan, kita datang kepada pekerjaan Allah Tritunggal: Roh Kudus (Pribadi Ketiga) melalui Kitab Suci membawa kita kepada Kristus (Pribadi Kedua); Kristus melalui karya penebusan-Nya membawa kita kepada Allah Bapa (Pribadi Pertama), sehingga manusia yang dicipta oleh Allah kembali kepada Pencipta-Nya. Allah Tritunggal berkarya, namun demikian, apakah artinya Allah Tritunggal? Bagaimana penjelasannya?
D. Sikap yang benar untuk mempelajari Doktrin Allah Tritunggal
Sebelumnya, kita juga telah membahas bahwa tidak mungkin Tritunggal dimengerti seluruhnya oleh rasio manusia. Ini tidak mungkin dimengerti oleh manusia secara sempurna, karena Allah adalah Allah yang tidak terbatas, sedangkan manusia sangat terbatas. Memang, doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin yang paling sulit dimengerti, paling sulit dijelaskan, paling sulit diterima dan sulit dipercaya, diungkapkan dengan kata-kata atau istilah-istilah manusia. Doktrin ini bagaikan doktrin yang tidak dapat sesuai dengan rasio manusia. Namun, apakah karena demikian sulit kita tidak perlu mengajarkan atau tidak perlu mengabarkannya? Tidak! Betapa pun sulitnya doktrin ini, tidak berarti kita tidak perlu mengerti, tidak berarti kita tidak perlu menjelaskan, tidak berarti kita perlu percaya, tidak berarti kita tidak perlu memakai rasio untuk memikirkan.
Dari dasar prinsip Teologi Reformed yang saya pegang dengan teguh menyatakan bahwa orang Kristen bukanlah orang yang rasionalis, tetapi orang Kristen harus menjadi orang yang rasionil. Maksudnya ialah, rasio kita tidak mungkin mencapai keseluruhan pengetahuan firman, tetapi harus secara maksimal dipergunakan untuk mengerti firman Tuhan. Meskipun kita tidak mungkin mencapai kesempurnaan yang mutlak karena kita bukan Allah, kita harus semaksimal mungkin sebagai yang dicipta mempergunakan segala alat yang diciptakan Tuhan di dalam diri kita untuk mengenal firman Allah.
Apa bedanya rasional dan rasionalis? Rasional berarti seseorang yang mempergunakan fungsi rasionya secara maksimal tanpa menyembah rasio sebagai Allah, tidak memperdewakan dan tidak memutlakkan rasio. Kita perlu selalu sadar bahwa rasio hanyalah merupakan suatu ciptaan saja. Kita hanya bersyukur kalau Tuhan tidak meletakkan rasio pada kucing, atau pada gajah.
Pertama, karena Allah Tritunggal adalah Allah yang benar, Allah yang terbesar, yang tidak terbatas, maka jika kita menemukan kesulitan besar di dalam mempelajari dan mengajarkan doktrin ini, hal itu adalah wajar (normal). Namun, yang sulit dimengerti bukan berarti tidak mungkin dimengerti. Kita harus tetap mempelajari, mengertinya dan mengajarkannya.
Kedua, pada waktu kita mempelajari Allah Tritunggal, maka kita bukan hanya menyelidiki konklusi dogma yang didiskusikan selama berabad-abad, melainkan kita menyelidiki Allah itu sendiri. Pada waktu kita menyelidiki doktrin Allah Tritunggal, kita juga sedang belajar dari Dia yang mengawasi serta memimpin kita. Kita bukan mempelajari tentang Dia, tetapi mempelajari Dia dan Dia sedang berada untuk mengajar saya. Allah bukan sekedar Obyek penyelidikan kita, melainkan Subyek).
Ini berbeda dengan kalau kita mempelajari seseorang tokoh, misalnya Sokrates. Sokrates sudah tidak ada lagi sejak berpuluh-puluh abad yang lalu. Maka, untuk menyelidiki tentang dirinya, kita harus mencari buku-buku mengenai Sokrates. Sokrates tidak pernah menulis buku mengenai dirinya sendiri. Tetapi dari murid-muridnya, Plato dan Kroton,dan lainnya, kita dapat belajar tentang Sokrates. Berbeda halnya dengan waktu kita sedang mempelajari Allah. Allah yang sedang kita pelajari ini, pada saat ini juga sedang mengawasi kita di sini. Itulah sebabnya hati kita harus jujur dan murni.
Ketiga, doktrin Allah Tritunggal memang sulit dipelajari karena melampaui rasio manusia (supra-rasional). Ini bukan berarti bertentangan dengan rasio (kontra rasional). Kontra rasional berarti tidak logis, berlawanan dengan jalan pikiran dan segala prinsip untuk mendatangkan konklusi yang logis. Tetapi doktrin Allah Tritunggal merupakan suatu fakta yang melampaui rasio (supra-rasional)
E. Kesulitan Mengerti Allah Tritunggal
Kebenaran doktrin Allah yang supra rasional ini menjadi sulit diterima dan dimengerti oleh rasio karena beberapa sebab:
(1). Kebenaran ini bersifat Wahyu
Kebenaran ini adalah kebenaran yang bersifat dan berdasarkan Wahyu Allah sendiri. Ini bukan kebenaran spekulasi, bukan hasil spekulasi pikiran manusia. Terhadap yang diwahyukan atau dinyatakan Allah kita hanya bisa menerimanya dengan rasa kagum dan syukur sebagai fakta yang tidak dapat dibantah. Banyak hal yang terima sebagai anugerah dari Allah yang tidak bisa kita mengerti, juga tidak bisa kita bantah (tolak), hanya bisa kita terima.
Pada permulaan abade ke-20, ilmu dianggap sudah mencapai posisi yang tertinggi, sedangkan agama diletakkan diperingkat yang rendah sekali. Segala sesuatu yang dianggap takhyul disingkirkan dari Ilmu Agama, supaya sisanya yang sedikit bisa diterima oleh orang yang mengaku kaum intelektual. Tetapi pada pertengahan abad ke-20 muncul hal-hal yang tidak bisa dimengerti maupun dianalisa dari sudut ilmu, dan manusia harus menerima fakta ini. Adanya kuasa yang melampaui dalil atau metode ilmiah ini mendorong para ilmuwan di barat menandatangani pernyataan bahwa memang ada kuasa-kuasa yang tidak dapat dimengerti melalui ilmu (misalnya, kuasa membengkokkan besi hanya dengan memandangnya terus). Demikian juga Doktrin Allah Tritunggal. Doktrin ini juga melampaui rasio dan melampaui pengertian. Kita hanya dapat mengatakan: “Kita tidak mengerti, tetapi memang faktanya demikian.” Ini adalah unsur wahyu dan sistem iman kepercayaan orang Ibrani.
Yunani dan Ibrani merupakan dua sumber yang merupakan pondasi pembentukan seluruh kebudayaan Barat dan seluruh pengembangannya. Dari Ibrani, dunia Barat menemukan iman, dan dari Yunani, mereka menemukan rasio; dan keduanya saling bertentangan di sepanjang abad dalam sejarah. Di dalam sumber yang pertama, yaitu sistem kepercayaaan orang Ibrani, merupakan kekaguman terhadap apa yang diberikan melalui Wahyu Allah, sehingga manusia melihat fakta yang tidak dapat mereka tolak, dan mereka hanya dapat menerima, dan pada akhirnya menyebabkan manusia memuji dan berbakti kepada-Nya. Dan sumber yang kedua, yaitu sistem berpikir (filsafat) orang Yunani, mendorong manusia menyelidiki dan menganalisa, serta mencatat penemuan-penemuan mereka secara sistematis, sehingga mengakibatkan perkembangan ilmu di dunia Barat.
Sebenarnya, keduanya bersumber dari Allah sendiri. Kalau orang Yunani menggali pengertian dari Wahyu Umum (dalam alam), maka orang Ibrani menerima Wahyu Khusus; jika keduanya digabung menjadi satu, maka kita akan mengetahui bagaimana menggunakan rasio dengan sebaik-baiknya dan sesudah itu mengetahui bagaimana memuji Allah. Ketimpangan akan terjadi jika kita memuji Allah tanpa mengerti apa-apa, tanpa menyelidiki atau mempelajari doktrin, hanya percaya. Sebaliknya juga, jika kita hanya mempelajari segala doktrin tanpa mengetahui Allah, dan tidak percaya akan Wahyu Allah. Dua pola ini merupakan pola dari banyak orang Kristen pada saat ini. Banyak orang Kristen yang belajar dan belajar terus, bahkan belajar teologi, tetapi pada akhirnya tidak percaya kepada Allah, tidak percaya akan Wahyu Allah, karena mereka menjadikan Alkitab sebagai obyek rasio mereka. Segolongan orang lainnya menolak segala pemikiran teologi, yang dianggap mematikan iman, dan hanya mementingkan memuji Tuhan, tanpa mengerti secara benar Wahyu Allah.
Kebenaran Allah Tritunggal adalah kebenaran Wahyu, itu sebab kebenaran ini bukan akibat spekulasi dan penyelidikan analisa rasio manusia. Dalam perkembangan di Yunani, segala pikiran manusia dalam filsafat dan agama, tidak pernah ditemukan istilah atau konsep Allah Tritunggal, kecuali sebagai hasil penggalian dari Alkitab saja.
(2). Kebenaran ini Kebenaran Sang Pencipta
Kebenaran ini dari dalam Diri Sang Pencipta sendiri, bukan kebenaran yang ada di dalam alam ciptaan. Menyelidiki dan menganalisa buatan manusia, misalnya sebuah termos, jauh lebih mudah daripada mengerti yang membuatnya, yaitu manusia itu sendiri. Demikian pula, ketika kita menyelidiki kebenaran-kebenaran alam semesta, kita bisa mendapatkan pengertian sistematis mengenai yang dicipta itu. Tetapi pada waktu kita datang untuk menyelidiki Sang Pencipta, hal itu jauh lebih tinggi dan jauh lebih sulit.
Doktrin Tritunggal adalah doktrin mengenai Pencipta, bukan doktrin mengenai yang dicipta. Ada perbedaan kualitatif atau perbedaan sifat dasar antara Pencipta dan yang dicipta (the qualitative difference between The Creator and creatures). Segala yang dicipta hanya menjadi bayang-bayang Yang Mencipta, dan bayang-bayang bukanlah realita; bayang-bayang itu merefleksikan yang asli. Penciptalah yang merupakan Realita di atas segala realita yang dicipta. Di dalam bayang-bayang, kita melihat apa yang terjadi di dalam dua dimensi, tetapi yang menjadi sumber bayang-bayang, realita itu sendiri, mempunyai lebih dari dua dimensi. Bayang-bayang dari benda tiga dimensi bisa menyerupai bentuk benda aslinya, tetapi bayang-bayang itu tidak bisa loncat dari dua dimensi menjadi tiga dimensi; sedangkan sumber bayang-bayang itu, realita itu sendiri, adalah tiga dimensi. Demikian pula, jika bagaimana pun yang dicipta hanya bisa sampai tiga dimensi, maka Yang Mencipta pasti lebih dari tiga dimensi. Apakah ini berarti Allah berada di dalam dunia empat dimensi? Tidak! Allah berada di dalam dimensi tidak terhingga. Jika kita mengenal Allah hanya di dalam empat dimensi, maka Allah sedemikian masih dalam wilayah alam. Einstein melihat waktu sebagai dimensi ke empat.
(3). Doktrin merupakan Doktrin tentang Yang Satu-satunya
Doktrin Tritunggal ini adalah doktrin atau kebenaran mengenai Allah yang Satu-satunya, Allah Yang Maha Esa (The Only One God). Karena Allah satu-satunya, maka Dia tidak ada bandingan-Nya, tidak ada yang menyamai-Nya. Tidak ada yang bisa mewakili Allah sepenuhnya. Kalau tidak ada yang dapat dipersamakan dengan Allah, bagaimana kita dapat mengerti Dia? Biasanya kita mengerti sesuatu karena sesuatu itu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain, sehingga melalui persamaan itu kita menemukan analoginya. Karena ada persamaan kita mempunyai jembatan analogis untuk pengertian kita, sehingga dari sesuatu yang sudah dimengerti kita loncat ke sesuatu yang belum kita mengerti, akhirnya kita mengerti semuanya. Tetapi hal ini tidak dapat diterapkan di dalam usaha mengenal Allah, karena Allah adalah Yang Satu-satunya. Di dalam kita ingin mengerti Allah, kita tidak menemukan pembanding-Nya, tidak ada persamaan-Nya, sehingga kita bisa mengerti dengan rasio sepenuhnya. Di dalam Pemahaman Iman Reformed Injili, di bagian pertama mengenai Allah, dicantumkan,“Kami percaya kepada satu-satunya Allah….” Dialah satu-satunya Allah yang benar, yaitu Allah di dalam Yesus Kristus.
Misalkan kita mencari makanan tahu dipelosok Afrika, di mana belum ada orang tahu apa itu tahu. Kemudian kita berusaha menjelaskan apa itu tahu: “Yang berwarna putih, bentuknya kotak(persegi).” Lalu orang di sana memberi secarik kertas. Kita berusaha menjelaskan lagi, “Bukan itu. Yang agak tebal dan empuk.” Lalu diberi sepotong karet busa berwarna putih. Ditambah penjelasan lagi, “Yang bisa dimakan.” Orang di sana semakin bingung, makin dijelaskan makin kacau pikiran mereka. Kita kehabisan akal menjelaskan apa yang dimaksud dengan tahu, karena di sana memang tidak ada konsep mengenai tahu; sepanjang sejarah dan tradisi mereka tidak ada tahu. Sampai pada suatu ketika kalau kita berusaha membawa tahu ke sana, dan memperlihatkannya kepada mereka, barulah mereka mengerti. Pada saat itu ia akan berkata, “Ooooh, sekarang saya tahu.” Sekarang segala penjelasan tidak diperlukan lagi. Pada saat ia berkata, “Ooooh…” itu berarti semua konsep yang tadinya sulit ia mengerti sekalipun sudah berusaha dipikirkan dengan begitu berat, sekarang telah bertemu dengan faktanya. Maka, “Ooohhh” berarti melampai rasio. Dari contoh di atas kita bisa mengerti bertapa sulitnya menjelaskan tentang tahu kepada orang-orang di pedalaman Afrika, karena di sana tidak ada tahu, tidak ada konsep tahu seperti di Indonesia. Pada saat seorang sudah mengetahui, maka berhentilah ia dari segala macam spekulasi pikirannya yang ingin menebak dan ingin mengetahui sesuatu, tetapi kini ia sudah ditaklukkan dibawah fakta.
Demikian pula, betapa sulit lagi menjelaskan Doktrin Allah Tritunggal, karena konsep ini tidak ada persamaannya di dalam segala ciptaan. Tidak ada jembatan analogis apapun yang bisa dipakai untuk melukiskan (nanti akan dibahas lagi dalam Bab berikutnya). Doktrin ini makin dijelaskan mungkin makin membingungkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang pendeta didalam bukunya yang menyarankan agar Doktrin Allah Tritunggal ini tidak usah diajarkan kepada jemaat. Pendapat ini tidak bisa kita terima, sebab betapa pun sulitnya menjelaskan konsep Tritunggal yang tidak ada analoginya ini, kita harus tetap mengajarkannya.
Allah sendiri sudah mengatakan, “Siapakah yang sama seperti Aku? Tidak ada Allah selain daripada-Ku.” Allah yang benar tidak ada pembanding-Nya, tidak ada persamaan-Nya, sehingga tidak ada jembatan analogis untuk mengerti-Nya. Itulah sebabnya di dalam mempelajari Doktrin Allah Tritunggal ini kita harus kembali kepada Wahyu Tuhan. Karena Allah itu Pencipta, karena Allah itu Esa, dan karena Allah itu melampaui dunia dan segala ciptaan, maka mengerti Allah yang sedemikian itu mengakibatkan kita bisa bersikap terbuka di dalam menyelidiki ilmu. Kalimat ini sangat dalam dan sangat penting bagi kaum cendekiawan. Karena Allah melampaui segala ciptaan, maka Dia tidak berada didalam ciptaan. Kalau Allah berada di dalam ciptaan, hal itu karena kehendak dan kuasa-Nya yang melampaui segala sesuatu. Allah tidak diikat di dalam ciptaan; Allah tidak terbatas di dalam keterbatasan ciptaan-Nya. Dia adalah Allah yang mutlak. Itulah sebabnya jika kita mengenal Allah yang demikian, kita akan memandang dunia ini sebagai ciptaan yang terbatas, yang tidak mutlak.
Salah satu prinsip yang paling penting didalam Teologi Reformed ialah bagaimana kita menanggapi atau memandang dunia; bagaimana kita mengerti dan menginterpretasi alam semesta ini (Jerman: weltanschauung; Inggris: world-view; yang artinya: Pandang Semesta). Orang Yunani yang tidak diberi Wahyu Khusus Allah yang melampaui alam semesta, menyelidiki alam semesta di dalam segala bidang ilmu pengetahuan berdasarkan konsep dasar bahwa dunia ini tertutup. Kalau dunia tertutup berarti dunia ini mempunyai kecukupan didalam dirinya sendiri (self-sufficient) untuk menjelaskan segala sesuatu. Sedangkan orang yang percaya kepada Doktrin Allah Tritunggal akan terbuka didalam menyelidiki alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Di hadapan Allah kita harus mengakui bahwa di dalam dunia ini tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan segala sesuatu, kecuali terbuka kepada Yang mencipta. Dengan terbuka di hadapan Tuhan, barulah kita dapat memandang segala sesuatu dengan tepat, karena kita melihat segala sesuatu melalui mata Tuhan.
BAB I : PENGENALAN AKAN ALLAH
Apakah Allah mempunyai Anak? Banyak orang tidak menerima konsep bahwa Allah mempunyai Anak. Tidak mungkin dapat dimengerti bahwa Allah mempunyai Anak. “Allah tidak memperanakkan dan Allah tidak diperanakkan”, tegas satu pandangan agama tertentu. Ajaran Allah mempunyai Anak, adalah ajaran yang tidak bisa diterima oleh rasio.
Tetapi ajaran ini bukanlah ajaran yang direkayasa atau dikarang oleh orang Kristen. Ajaran ini sudah ditegaskan sejak dari zaman Perjanjian Lama. Rahasia yang ajaib ini sudah tersembunyi di dalam Alkitab sejak zaman Perjanjian Lama. “Tahukah Saudara nama Dia yang menciptakan alam semesta ini? Tahukah Engkau akan nama Anak-Nya?” Di dalam kitab Yesaya sudah dinyatakan bahwa,“Seorang Anak akan dilahirkan bagi kita.” (Yesaya 9). Seolah-olah ini hal yang biasa.
Jika seorang sedang menantikan anak, maka ketika anaknya lahir, ia akan bersukacita, karena pada saat anak itu lahir, ia dengan sendirinya menjadi bapa. Namun, kejadian dalam Yesaya sangat berbeda, karena di dalam Yesaya 9 ini disebutkan bahwa Anak ini memiliki nama dan status yang sangat tidak biasa. Ia disebutkan sebagai Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal, dan Raja Damai. Di dalam bagian ini, istilah “Bapa” menunjuk kepada pengertian sebagai “Sumber yang Kekal” yang juga dimiliki oleh Kristus, tidak seperti pandangan Saksi Yehovah yang menganggap bahwa ini adalah Bapa yang di sorga. Kata “Allah yang Perkasa” dapat juga diterjemahkan sebagai “Yang Perkasa”, sehingga kembali orang-orang Saksi Yehovah menuntut bahwa Yesus bukanlah Allah.
Konsep yang benar adalah bahwa memang kalimat ini harus dinyatakan sebagai “Allah yang Perkasa”, sehingga Yesus memang adalah Allah, namun Ia tidak menuntut hak kesetaraan dengan Allah, sebaliknya dengan rela memberikan diri untuk diutus dan dibatasi, sehingga Ia disebut sebagai “Yang Perkasa”. Selama di dunia ini Ia adalah manusia biasa, tetapi juga sekaligus memiliki kuasa yang luar biasa, yaitu kuasa Allah sendiri. Dan Ia juga disebut sebagai Raja Damai. Bayi manakah atau anak siapakah yang boleh disebut dengan nama-nama sedemikian? Inilah Tritunggal yang tersembunyi di dalam Perjanjian Lama.
Yesus berkata, “Bapa (Ia) yang mengutus Aku” dan “Roh Tuhan ada pada-Ku, sebab Ia telah mengurapi Aku.” (Lukas 4:18), yang merupakan kutipan Tuhan Yesus atas kitab Yesaya (Yesaya 61:1-2), yang kemudian dikonfirmasikan-Nya untuk diterapkan pada diri-Nya sendiri (ayat 21), sehingga dengan demikian menyatakan bahwa Perjanjian Lama sudah menyembunyikan doktrin Allah Tritunggal ini.
Masih ingatkah Saudara di dalam beberapa peristiwa Perjanjian Lama, ada Malaikat dengan huruf “M” (besar) yang menyebut diri sebagai Yehovah dan menerima sembah sujud orang-orang. Malaikat ini dikirim oleh Allah dari atas. Maka Yehovah yang diutus oleh Allah ke dalam orang-orang seperti Abraham, sehingga boleh terjadi dialog antara Abraham dengan Yehovah itu (Kejadian 18). Bahkan di dalam Kejadian 19 dicatat bahwa Yehovah (Tuhan) telah menurunkan api dan belerang dari Yehovah (TUHAN) yang di atas (ayat 24). Di sini kita melihat Dua Oknum yang berbeda di dalam peristiwa ini. Maka dengan begitu jelas kita melihat tersembunyinya doktrin Tritunggal di dalam Perjanjian Lama.
Bukan saja demikian, bahkan dalam Kejadian1, ketika Allah menyebut diri-Nya dengan kalimat: “Mari kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Kita,” Mengapa Allah tidak memakai kata “Aku” atau “Saya” (dalam bentuk tunggal), tetapi memakai “Kita”? Memang ada pandangan dalam agama-agama Timur bahwa tidak boleh menyebut nama Allah di dalam bentuk tunggal, tetapi memakai bentuk jamak untuk memberikan gambaran keagungan (pluras mayestatis). Memang ini suatu bentuk sastra khusus. Tetapi Saudara perlu ingat bahwa hal sedemikian bukanlah kebiasaan manusia menyebutkan dewa-dewa mereka, tetapi justru di sini Allah menyebut atau menjuluki diri-Nya sendiri. Allah memperkenalkan diri bukan dengan bentuk tunggal tetapi jamak. Lebih lagi, Perjanjian Lama ditulis dengan bahasa Ibrani, yang mempunyai kerumitan tertentu dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa Ibrani tidak saja mengenal bentuk tunggal atau jamak, tetapi juga bentuk ganda, tetapi memakai bentuk jamak.
Lalu, mengapa bentuk jamak itu dilihat tiga, bukan empat atau lima atau lainnya? Hal ini tergantung dan tersirat di dalam seluruh Kitab Suci, dengan melihat kata: “Suci, suci dan suci” Tidak ditambah “sudi” satu lagi. Juga Bapa, Anak dan Roh, tidak ada tambahan lainnya. Hal ini akan secara lebih detail dibahas dalam Bab berikutnya.
B. Problema Analogi Tritunggal
Allah berkata : ” Allah (bentuk jamak) itu Esa (tunggal).” (Ul 6:4). Di sini kita kembali melihat bentuk Tritunggal. Bagaimana kita bisa mengerti hal seperti ini? Tiga tetapi satu, satu tapi tiga. Jika dipaksa, kita bisa gila untuk mengertinya. Memang tidak ada analogi, tidak ada rasionalisasi untuk menjelaskan hal itu. Saya pernah diserang dengan pertanyaan yang sangat menyakitkan : “Engkau adalah orang yang bodoh sekali, 1+1+1=3, bukan 1 seperti yang kau ajarkan.” Saya jawab : “Saya memang tahu bahwa 1+1+1=3, itu saya pelajari di kelas 2 SD, tetapi pada kelas 3 SD saya belajar juga 1x1x1=1.” Mengapa kita harus selalu mengerti konsep Tritunggal dengan 1+1+1? Tidak bolehkah kita mengertinya juga dengan 1x1x1 ? Matematika memang kebenaran yang sangat pasti, sehingga ia disebut sebagai ilmu pasti. Tetapi kita tidak mungkin boleh mengurung Allah dengan rasio 1+1+1. Adajuga orang melihatnya sebagai ~ + ~ + ~ = ~ ( tak terhingga + tak terhingga + tak terhingga = tak terhingga). Namun ini pun akan menghadapi kesulitan, yaitu yang tak terhingga tidak perlu ditambah dengan apapun yang lain. memang ini bisa dipakai untuk menjelaskan tentang Tritunggal, tetapi tetap akan mengalami kesulitan. Tidak mungkin kita mengertinya dengan pendekatan rasional atau analogi tertentu.
1. Air, Uap dan Es
Ada orang yang berusaha menjelaskan Tritunggal dengan menggunakan ilustrasi air. Jika air didinginkan ia menjadi es, kalau dipanaskan menjadi uap. Air, Es, Uap bukankah kehendak berbeda, tetapi ketiganya mempunyai kode kimia yang sama yaitu H2O. Itulah Tritunggal. Benarkah demikian? Apakah analogi seperti ini dapat dipakai? Analogi ini tidak tepat, karena hanya memaparkan sebagian saja dari pengertianTritunggal, yaitu hanya menunjukkan kesamaan esensinya saja, yaitu ketiga zat tersebut sama-sama memiliki esensi H2O. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, Roh Kudus adalah Allah. KetigaNya memiliki esensi yang sama, yaitu Allah yang Esa. Tetapi dalam perumpamaan ini, air bisa menjadi es, es bisa menjadi uap, sedangkan Bapa tidak bisa menjadi Anak, dan Anak tidak bisa menjadi Roh Kudus, dan Roh Kudus tidak bisa menjadi Bapa. Bapa adalah Bapa, Anak adalah Anak, Roh Kudus adalah Roh Kudus, tidak bisa ditukar-tukar. Maka teori air, es dan uap belum cukup untuk menjadi analogi Allah Tritunggal.
2. Bentuk, Bau dan Warna Bunga
Lalu ada orang mencari jalan lain. Mereka memakai analogi “bunga“. Paling tidak ada 3 elemen dasar pembentuk bunga, yaitu pertama, warna bunga; kedua, bau bunga; dan ketiga, bentuk bunga itu. Maka bentuk, warna dan bau merupakan sub-esensi dari esensi aslinya. Menurut filsafat John Locke dari Inggris, setiap materi mempunyai dua sifat. Natur yang pertamanya adalah elemen natur itu sendiri, dan yang kedua adalah bentuk, bau, warna dan yang lainnya. Maka keberadaan bunga ditentukan pertama-tama oleh elemen dasar natur bunga itu sendiri, lalu keberadaan bunga itu juga ditandai dengan ada bentuknya, warnanya, dan baunya. Maka ini dipakai sebagai esensi Allah Tritunggal, karena bentuk bunga adalah bunga, warna bunga adalah bunga, bau bunga adalah bunga, sehingga, Allah Bapa adalah Allah, Allah Anak adalah Allah, dan Allah Roh Kudus adalah Allah. Apakah ini benar? Itupun tidak benar. Bentuk bunga bukanlah bunga, bau bunga bukanlah bunga, warna bunga bukanlah bunga. Bulat bukan bunga, harum bukan bunga, dan merah bukan bunga. Maka perumpamaan ini juga tidak dapat dipakai.
3. Matahari, Sinarnya dan Panasnya
Perumpamaan ketiga yang sering dipakai untuk menggambarkan Allah Tritunggal adalah Matahari. Matahari berada jauh dari bumi, berjarak lebih dari 156 juta km. Sinar matahari membutuhkan 8 menit 13 detik untuk tiba di dunia. Dirinya matahari tidak bisa kita lihat, tetapi sinarnya dapat kita lihat; kehangatannya tidak bisa kita lihat tetapi bisa kita rasakan. Maka ini seperti Allah Bapa yang berada “disana”, sehingga kita tidak bisa lihat, sedangkan Allah Anak dapat kita lihat, lalu Allah Roh Kudus tidak bisa kita lihat, tetapi bisa kita rasakan pekerjaanNya. Maka banyak orang yang menganggap bahwa inilah cara yang terbaik untuk menjelaskan tentang Allah Tritunggal. Namun, saya tetap mengatakan bahwa ilustrasi inipun tidak dapat mencakup analogi Allah Tritunggal, karena sinar matahari bukanlah matahari, kehangatan matahari atau energi matahari bukanlah matahari. Tetapi memang di dalam analogi matahari ini sepertinya ada signifikansi tersendiri (band. Ibr 1:3 , yaitu Anak merupakan elemen Allah yang kelihatan dari Allah Bapa yang tidak kelihatan). Yesus Kristus merupakan cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah, juga dibandingkan Yoh. 1:18
4. Tubuh, Jiwa dan Roh Manusia
Jika perumpamaan yang manapun menjadi tidak cocok, lalu adakah kita melihat perumpamaan yang tepat? Maka muncul analogi yang keempat, yaitu mengatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Karena manusia adalah peta dan teladan Allah, maka benarlah jika kita mengerti Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus dengan perumpamaan ini. Mereka beranggapan bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah tiga di dalam satu Allah, demikian juga tubuh, jiwa dan roh dari StephenTong adalah Stephen Tong. Ini pun analogi yang salah. Sulit untuk bisa memisahkan tubuh, jiwa dan roh. Tetapi jika kita memaksakan untuk memisahkannya juga, maka roh manusia bukanlah manusia, tubuh manusia bukanlah manusia itu sendiri. Jika kita menunjuk dada kita lalu mengatakan : “Inilah aku,” maka itu bukanlah “aku” tetapi tubuhku. Jadi dimanakah “aku” Maka tanganku, kepalaku, badanku, bukanlah aku. Maka perumpamaan inipun tidak cocok.
5. Bapa, Sopir, dan Direktur
Maka timbullah pemikiran analogi Tritunggal yang sudah banyak diterima di seluruh Indonesia, yaitu : Waktu saya di rumah, saya adalah bapa; pada saat saya mengendarai mobil, saya adalah sopir; pada waktu saya di kantor, saya adalah direktur. Direktur, sopir, bapa menggambarkan Tritunggal. Maka tunggal itu menunjuk satu orang, tetapi satu orang yang tunggal ini bisa menunjukkan peranan sebagai bapa, sebagai sopir dan sebagai direktur. Maka Allah yang Esa, waktu di sorga sebagai Bapa ,datang ke dunia sebagai Anak, lalu naik ke sorga dan turun lagi di dalam diri umatNya sebagai Roh Kudus. Inilah Tritunggal. Analogi inipun sama sekali salah. Allah Bapa tidak pernah menjadi Allah Anak, Allah Anak tidak menjadi Allah Roh Kudus, dan Allah Roh Kudus bukanlah Allah Bapa.
Konsep teologi dan iman yang tidak beres seperti di atas perlu dikoreksi di seluruh Indonesia. Berapa banyak orang yang telah dengan berani mengajar tanpa belajar dengan baik, karena terlalu mudahnya kesempatan untuk bisa mengajarkan sesuatu. banyak sekali pendeta dan pengajar instant karena mudahnya ditahbiskan dan diberi hak untuk mengajar.
Suatu kali, ketika saya membicarakan hal-hal yang penting di suatu tempat, ada orang-orang yang tersinggung lalu memanggil pendeta mereka untuk melawan saya. Saya tidak tahu bahwa saya sudah menyinggung mereka. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya ia seorang hakim, yang kemudian meninggalkan profesinya untuk menjadi pendeta. Ia pikir saya akan terlalu hormat pada dia. Saya tidak akan sembarang berkhotbah kalauTuhan tidak mengutus saya dan saya tidak baik-baik belajar untuk hal itu. Saya bertanya kepada dia berapa lama ia belajar di Universitas untuk menjadi seorang hakim. Ia lalu sadar apa yang mau saya tanyakan. Saya tanyakan berapa lama ia sudah belajar firman Tuhan sebelum ia mengajar orang lain tentang kebenaran firman Tuhan. Banyak orang yang tidak berani mengajar teori-teori Einstein kalau mereka tidak belajar baik-baik; banyak orang tidak berani menjadi dosen kalau mereka tidak belajar baik-baik, tetapi begitu banyak orang di dalam Kekristenan yang tidak belajar namun berani mengajar. Kemanakah Kekristenan dan Gereja akan menuju? Kalau pemuda-pemudi tidak dididik dengan doktrin yang benar, Kekristenan mau kemana? Marilah kita bersehati untuk menggarap masa ini, menggarap dunia ini. Terlalu mudah bagi saya untuk melayani orang-orang kaya, lalu mendapatkan amplop dari mereka, tetapi itu bukan beban saya. Zaman kita sudah sampai pada suatu saat dimana kita tidak dapat bersantai lagi. Anak muda kita perlu dididik dengan doktrin yang benar. Saya mengajak Saudara untuk bekerja sama menjalankan kehendak Tuhan.
Jika semua analogi yang dipaparkan di atas tidak benar, maka mungkin kita dapat melihatnya dalam pemikiran-pemikiran seperti ini.
C. Relasi sebagai Ganti Analogi
Orang Kristen hanya memiliki Satu Kitab Suci, yaitu Alkitab yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi jika orang Kristen hanya memiliki satu Kitab, bagaimana semua orang Kristen membacanya, bukankah harus antri? Tidak perlu, kita bisa masing-masing membeli satu kitab. Apakah itu berarti orang Kristen mempunyai banyak kitab? Jawabannya : tidak. Orang Kristen tetap hanya mempunyai satu kitab. Memang kitab saya bukan kitab kamu, dan kitab kamu bukan kitab dia. Tetapi kita semua mempunyai hanya satu Kitab. Di sini saya memberikan suatu gambaran yang lebih tepat dari perumpamaan-perumpamaan yang sebelumnya. Tetapi ini bukan analogi, hanya merupakan relasi. Antara volume dan esensi. Tetapi tetap gambaran ini mempunyai kelemahan, yaitu mengapa harus berhenti pada tiga mungkin bisa empat atau lima, tetapi Allah Tritunggal hanya berhenti sampai tiga, tidak bisa dikurangi atau ditambah.
BAB II : PENGERTIAN TRITUNGGAL
Allah yang benar adalah Allah yang tidak terbatas. Allah yang melampaui segala sesuatu. Allah Yang Esa. Allah yang tidak ada bandingnya, dan Allah menyatakan diri sebagai Allah Tritunggal. IstilahTritunggal ini memang tidak ada di dalam Alkitab, baik Perjanjian lama maupun Perjanjian Baru. Yang tidak muncul di dalam Alkitab secara istilah bukan berarti bukan konsep Alkitab. Sebaliknya, istilah yang muncul di dalam Alkitab jika ditafsir secara keliru menjadi bukan kebenaran Firman Tuhan. Faktanya, konsep atau doktrin Tritunggal ini terus menerus muncul di dalam Alkitab.
Tritunggal berarti Tiga Pribadi di dalam Satu Allah, atau di dalam satu esensi diri Allah ada tiga Pribadi. Sebelum Abad Pertengahan, Gereja di Timur (Yunani Ortodox dan di Barat (Roma Katolik) mempunyai pengertian yang sangat berbeda dalam hal ini. Di Timur Gereja Ortodox banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani, di Barat Gereja Katolik banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Latin. Ini mengakibatkan adanya dua cara pendekatan yang berbeda, yang akhirnya menimbulkan dua pandangan ekstrim terhadap doktrin Allah Tritunggal : (1) Pandangan yang menganggap adanya tiga Allah, atau (2) Pandangan yang menganggap adanya satu Allah yang menyatakan diri dalam tiga keadaan yang berbeda.
Doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin Monotheisme (percaya hanya kepada Satu Allah), dan bukan Politheisme (percaya kepada banyak Allah). Doktrin Allah Tritunggal termasuk monotheisme, yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa. Dan Allah Yang Maha Esa itu mempunyai Tiga Pribadi, bukan satu: Pribadi Pertama adalah Allah Bapa, Pribadi Kedua adalah Allah Anak (Yesus Kristus), dan Pribadi Ketiga adalah Allah Roh Kudus. Tiga Pribadi bukan berarti tiga Allah, dan satu Allah tidak berarti satu Pribadi. Tiga Pribadi itu mempunyai sifat dasar atau esensi (Yunani: Ousia, Inggris: Substance) yang sama, yaitu Allah. Allah Bapa adalah Allah. Allah Anak adalah Allah, dan Allah Roh Kudus adalah Allah. Namun Ketiganya memiliki Satu Ousia, yaitu esensi Allah. Maka Ketiga Pribadi itu adalah Satu Allah.
Catatan: Untuk menambah wawasan tentang doktrin Allah Tritunggal lihat Vidio dari Dr. Deky H.Y. Nggadas.
Apakah Tritunggal merupakan konsep Yunani? Ataukah merupakan konsep filsafat abad pertama hingga ke-empat? Ataukah hasil kesimpulan Bapa-Bapa Gereja? Ataukah ini merupakan konsep murni dari Alkitab? Kalau kita mempelajari konsep filsafat-filsafat yang penting mulai dari Thales sampai kepada Sokrates, Plato dan Aristoteles, kita tidak akan menemukan konsep Allah Tritunggal di dalam filsafat mereka. Bahkan sebelum Sokrates, mereka percaya kepada banyak dewa. Sokrates-lah yang pertama di dalam sejarah Yunani yang mencetuskan: “Saya percaya kepada Allah yang tertinggi, dan Allah yang satu-satunya, yaitu Allah yang sejati.” Pikiran Sokrates ini baru merupakan sesuatu Wahyu Umum yang murni yang mungkin dimengerti oleh manusia. Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai Iman dan Wahyu Allah, telah diuraikan bahwa berdasarkan Roma 1:19-20, pengetahuan mengenai keberadaan Allah yang sejati sudah diberikan kepada setiap manusia ciptaan-Nya, baik Kristen maupun bukan. Tetapi, akibat distorsi dan pencemaran oleh dosa di dalam diri manusia, manusia tidak lagi mempunyai pengertian yang murni mengenai Allah, yang telah mewahyukan Diri secara umum dalam hati setiap manusia.
Di tengah-tengah pencemaran pengertian terhadap Wahyu Umum Allah ini, Sokrates merupakan salah seorang yang memiliki pengertian yang begitu murni mengenai Allah melalui Wahyu Umum. Namun, hal itu tidak cukup. Bukankah kita telah melihat bahwa Wahyu Umum hanya bisa dimengerti dengan murni melalui Wahyu Khusus? Kemungkinan sekali orang Yunani pada zaman Sokrates sudah dipengaruhi oleh konsep monotheisme dari orang Ibrani (bangsa Israel), karena sebelum kedatangan Kristus ke dunia, orang Ibrani sudah tersebar ke tiga tempat penting, yaitu:(1) ke Babilonia, semasa menjadi tawanan raja-raja Babel, seperti Nebukadnezar, (2) ke Alexandria, Mesir Utara, di mana Alkitab Perjanjian Lama sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta, dan (3) ke Daerah-daerah Roma-Yunani (Gracco-Roman), seperti Makedonia, tempat perdagangan yang ramai. Di tempat-tempat inilah orang-orang Ibrani sudah menerima Wahyu Khusus dan yang mengenal Allah yang Esa itu membawa kesaksian ini. Konsep monotheisme yang dibawa oleh orang-orang Ibrani inilah yang mungkin sekali sudah mempengaruhi Sokrates.
A. Konsep Allah Yang Esa
Tiga hal penting mengenai konsep Allah Yang Esa ini perlu kita perhatikan.
Pertama, konsep Allah Yang Esa ini merupakan sumbangsih terbesar dari orang-orang Israel (Ibrani) kepada dunia. Inilah konsep yang terbesar yang diberikan bangsa Israel kepada dunia. Jikalau kita mempelajari sejarah bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama, kita akan menemukan bahwa setiap suku bangsa yang tinggal di sekitar daerah Israel mempunyai dewa-dewa mereka sendiri, dan mereka menyembah lebih dari satu dewa. Mereka saling membandingkan dewa-dewa mereka, dan mereka dapat berpindah ke dewa yang mereka anggap lebih besar atau lebih hebat. Dewa-dewa yang terkenal pada waktu itu adalah Baal, Dagon, Asyera, Asytoret, dan banyak lagi lainnya. Dewa-dewa yang sangat banyak ini dianggap sebagai dewa-dewa pemelihara, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, militer (dalam peperangan), maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka bisa berpaling memuja dan menyembah dewa-dewa yang dianggap sesuai dengan kesejahteraan yang mereka butuhkan. Tetapi bangsa Israel tidak demikian ; mereka berbeda dari bangsa-bangsa disekitarnya.
Orang Israel tidak mempunyai konsep: Kita mempunyai Allah kita, mereka (bangsa-bangsa lain) mempunyai allah mereka; Allah kita adalah Allah Israel, allah mereka bukan Allah kita. Sebaliknya mereka mempunyai konsep Allah orang Israel adalah Allah seluruh alam semesta. Ini konsep yang sangat besar dan sangat penting. Konsep ini menerobos semua konsep agama yang ada pada saat itu.
Sejak permulaan Perjanjian Lama sudah tertulis ayat seperti demikian: “Allah yang mengadili seluruh bumi; bukankah Dia adil adanya?” (band. Kejadian 18:25). Konsep ini tidak terdapat pada suku-suku bangsa yang lain. Mereka hanya bersembah sujud kepada suatu dewa atau ilah yang berhubungan dengan lingkup kesejahteraan mereka yang kecil dan terbatas. Tetapi, di dalam bangsa Israel, konsep Allah Yang Esa merupakan konsep yang bersifat universal dan supra alamiah. Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini bukan Satu untuk satu suku, melainkan Satu untuk seluruh alam semesta. Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini diulangi terus-menerus, sampai sebelum Musa mati, dia mengulanginya lagi sekali di dalam satu ayat yang disebut sebagai Syamma, Ayat Mas, ayat kunci untuk mengerti seluruh Taurat, yaitu Ulangan 6:4-5 :
“Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.”
Ayat ini, “TUHAN itu Allah Yang Esa!” merupakan prinsip dasar untuk mengerti seluruh Taurat dan Wahyu Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Orang Israel mengetahui bahwa segala kebajikan di dalam iman kepercayaan dimulai dengan meletakkan iman mereka di atas dasar ini: Allah itu Esa. Sesudah itu Musa menuliskan:
“Haruslah engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
Orang Israel mengerti perintah ini secara hurufiah dan melaksanakannya, sehingga mereka betul-betul membuat kotak, lalu meletakkan suatu ayat yang indah ini di atas secarik kain dan mengikatkannya di kepala mereka. Padahal maksud Musa dengan Firman ini ialah Allah itu Esa harus senantiasa kamu ingat di dalam otakmu, di dalam segala pekerjaan dan tingkah lakumu, kemana pun engkau pergi, ingat: Allah itu Esa!
Kedua, konsep Allah Yang Esa merupakan penyataan Allah yang serius, sehingga Dia menuntut sesuatu dari orang-orang yang menerima Wahyu Khusus ini. Allah itu Esa berarti kita tidak bisa sembarangan berserah atau menyerahkan diri kita kepada yang lain; kita harus menyerahkan diri kita kepada Allah Yang Esa dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan serta akal budi kita untuk mengasihi Dia. Disinilah kita melihat perbedaannya dengan agama. Mengenal Allah Yang Esa mengakibatkan hidup yang bersifat totalitas; maksudnya, seluruh hidup kita harus merupakan kesatuan di hadapan Allah.
Ketiga, konsep Allah Yang Esa (tidak ada yang seperti Dia) ini menjadi dasar Teologi Tritunggal di dalam mengerti sifat Allah yang:
Transenden, artinya Dia lain dari yang lain, dan Dia melampaui segala sesuatu.
Kudus atau suci, artinya kesucian-Nya tidak ada bandingnya, sekaligus menjadi Sumber segala kesucian.
Mutlak, artinya hanya Dia satu-satunya yang melampaui segala sesuatu yang relatif.
Sempurna, artinya Dia adalah Satu-Satunya yang tidak berkekurangan, yang mencukupi diri sendiri, serta menjadi Sumber yang mencukupi yang lain.
Kekal, artinya hanya Dia yang tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, serta menjadi Sumber dari kekekalan.
Pada waktu Yesus di dunia, Dia mengajarkan Doa Bapa Kami dengan kata-kata, “Bapa kami yang di Sorga, dikuduskankanlah nama-Mu….” Allah Yang Esa adalah Allah yang harus dikuduskan, karena berbeda dengan yang lain. Pada waktu dewa-dewa dibandingkan dengan Allah, menjadi begitu nampak kepalsuan dan kenajisannya. Pada waktu Allah Yang Esa menyatakan diri-Nya, Dia selalu menggabungkan Keesaan-Nya ini dengan kekekalan-Nya, sehingga Dia berkata, “Siapakah yang dapat kau bandingkan dengan Aku? Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian. Siapakah yang mengatakan dari dahulu kala hal-hal yang akan datang? Bukankah Aku, Tuhan? Tidak ada lain, tidak ada Allah selain daripada-Ku.” (Yesaya 44:6-8; 45:20-22; 46:9-10). Pada waktu tuanya, Musa juga pernah menulis Mazmur dengan kalimat-kalimat: “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah. Engkaulah Allah yang melampaui segala ciptaan.” (Mazmur 90)
Allah itu Esa. Kalau Allah itu Esa, bagaimana kita bisa percaya bahwa di dalam Keesaan Allah itu mempunyai tiga Pribadi? Apakah ketiga Pribadi itu tidak bertentangan dengan Keesaan Allah? Sebaliknya, kalau Allah itu Tritunggal, mempunyai tiga Pribadi, bagaimana kita bisa percaya bahwa ketiga di dalam Ketritunggalan Allah itu tetap adalah Allah Yang Esa? Di dalam satu ada tiga dan di dalam tiga tetap mempunyai Keesaan; bagaimanakah kita menjelaskan hal ini? Apakah ini konsep yang terikat oleh hukum matematika dan hukum logika manusia? Tidak! Sebab Allah adalah Allah yang transenden; Dia melampaui rasio dan logika manusia, melampaui segala sesuatu. Karena Allah adalah Allah bukanlah merupakan refleksi dari pikiran manusia tentang yang supra alamiah, maka Allah tidak diikat oleh logika, tidak diikat oleh matematika, dan mempunyai sifat supra alamiah yaitu: transenden.
Doktrin Allah Tritunggal merupakan Wahyu Allah yang diberikan kepada manusia secara bertahap (bersifat progresif). Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai “Iman dan Wahyu Allah” kita membahas istilah Wahyu Progresif (Progresif Revelation), yaitu Wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas; semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Bagaikan sebuah bibit bunga, yang ketika ditanam di tanah, mula-mula timbul daunnya, lalu tangkai, lalu akhirnya keluarlah bunga yang indah. Demikianlah juga pada waktu Allah memberikan Wahyu pengenalan akan diri-Nya, langkah demi langkah semakin lama semakin jelas. Pertama-tama Allah memberikan konsep pengenalan terhadap diri-Nya yang paling mendasar, yaitu Allah Yang Esa. Kemudian maju terus dengan wahyu yang semakin lama semakin jelas sampai kepada pengenalan bahwa Allah Yang Esa itu adalah Allah yang berpribadi tiga, Allah Tritunggal.
Tetapi, mengapa tidak dari permulaan Allah menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang mempunyai tiga Pribadi? Mengapa Dia memperkenalkan diri-Nya dengan memakai cara memberikan Wahyu yang bersifat memaju? Karena Allah ingin mencegah segala kemungkinan dari permulaan manusia sudah menangkap kesan atau konsep yang salah, sehingga jatuh kepada konsep politheisme. Maka monotheisme harus ditegakkan terlebih dahulu. Kepercayaan yang benar bukan kepada tiga Allah, melainkan kepada Satu Allah yang mempunyai tiga Pribadi. Maka kepercayaan kepada Allah Yang Esa haruslah ditegakkan lebih dulu, baru setelah itu secara lambat laun manusia diajarkan bahwa Allah Yang Esa itu mempunyai tiga Pribadi di dalam esensi atau substansi (sifat dasar) yang sama dengan Esa itu.
Kita telah melihat, pengertian yang salah terhadap doktrin Tritunggal ini bisa mengakibatkan manusia jatuh ke dalam dua kutub ekstrim yang salah, yaitu: (1) Monotheisme yang percaya kepada satu Allah dengan satu Pribadi dan tidak bisa menerima konsep Oknum Allah yang lebih dari satu; dan (2) Politheisme yang percaya kepada tiga allah yang tidak mungkin Esa, tidak mungkin mempunyai substansi yang sama. Kedua pandangan itu sesat dan merusak pengenalan kita terhadap Allah yang benar.
Untuk mencegah konsep yang salah itulah, Allah terlebih dahulu menegakkan konsep dasar: Allah itu Esa. Allah yang Tunggal, Allah yang Satu-Satunya. Apakah ini berarti bahwa konsep Tritunggal tidak diwahyukan oleh Tuhan sejak permulaan? Apakah konsep Tritunggal baru muncul belakangan? Tidak! Konsep Tritunggal sudah diwahyukan sejak mula sekali, sejak di permulaan Kitab Kejadian.
B. Istilah Yang Mengindikasikan Keesaan Allah
1). Pemakaian kata “Kita” dalam Kitab Kejadian.
Pada waktu Tuhan Allah memberikan wahyu tentang diri-Nya di dalam Kejadian 1:26, 3:22, 11:7; Yesaya 6:8. Allah memakaikata ganti “Kita” untuk menyebut diri-Nya sendiri, bukan “Saya”. Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….”(Kejadian 1:26). Siapakah yang dimaksud Kita di dalam ayat ini? “Kita” bukan menunjukkan satu pribadi tunggal, melainkan jamak, lebih dari satu. Ada yang menafsirkan “Kita” di sini menunjukkan perundingan antara Allah dan malaikat. Benarkah Allah bersama-sama malaikat dalam menciptakan manusia? Ini sama sekali salah! Jikalau “Kita” disini menunjukkan perundingan Allah dengan malaikat, maka berarti manusia tidak diciptakan langsung oleh Allah, melainkan oleh Pencipta yang bekerja sama dengan yang dicipta, sebab di dalam Yehezkiel dikatakan malaikat-malaikat pun adalah makhluk (creatures) yang diciptakan Allah (Yehezkiel 1:5-14, 9:3,10:1-22, bandingkan Kejadian 3:24, disebut Kerub atau Kerubim).
Catatan: Ini vidio Eksposisi kata "Kita" dalam kejadian 1:26 oleh Dr. Deky H.Y. Nggadas.
Di dalam seluruh Alkitab tidak pernah dikatakan bahwa malaikat adalah pencipta. Belum pernah dikatakan bahwa malaikat mencipta atau mengambil bagian di dalam karya Allah yang pertama, yaitu mencipta. Karya atau pekerjaan Allah sangat banyak, dan yang pertama adalah mencipta. Dan Allah disebut Allah, karena, yang pertama, Dia adalah Pencipta. Dia menciptakan segala sesuatu dari tidak ada (creation ex nihilo). Menciptakan dari kekosongan atau dari ketidak-adaan ini adalah tindakan atau pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri. Betapa pun besarnya kuasa dan kemuliaan malaikat atau penghulu malaikat, tidak dapat membuat mereka loncat dari derajat yang dicipta menjadi Yang Mencipta. Mencipta adalah pekerjaan Allah sendiri. Lagi pula manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan menurut gambar dan rupa malaikat.
Pada waktu Allah Pencipta mengatakan, “Marilah Kita menciptakan manusia…” di sini Dia mewahyukan suatu pikiran yang penting, meskipun tidak terlalu jelas bahwa Allah itu lebih dari satu Pribadi. “Kita” di dalam Kejadian 1:26 ingin menunjukkan bahwa itu adalah perundingan di antara Pribadi-Pribadi yang berada di dalam Diri Allah Yang Esa. Di sini doktrin Tritunggal sudah dinyatakan, walaupun dalam bentuk yang tidak jelas.
2). Sebutan Elohim bagi Allah
Istilah atau sebutan Allah yang dipakai selalu dalam bentuk jamak, yaitu Elohim, bukan dalam bentuk tunggal, El. Di dalam tata bahasa Indonesia konsep ini tidak ada. Dalam bahasa Inggris kita masih melihat hal yang seperti demikian, misalnya bentuk tunggal ditambah“s” untuk menunjukkan jamak. (one boy, two boys, atau many boys). Tetapi didalam bahwa Ibrani selain bentuk tunggal (singular) dan jamak (plural) juga ada bentuk dua atau ganda (dual). Hal ini sangat unik dan tidak terdapat dalam bahasa Yunani, bahasa Inggris dan bahasa-bahasa di Eropa atau di dunia Barat lainnya, maupun bahasa-bahasa di Timur. Allah begitu teliti di dalam memilih bahasa yang akan dijadikan-Nya sebagai media untuk memperkenalkan diri melalui Wahyu-Nya. Dia memilih bahasa Ibrani yang mempunyai keajaiban tersendiri. Di dalam Alkitab, di dalam bahasa Ibrani, sebutan yang dipakai untuk Allah tidak memakai bentuk tunggal (singular) ataupun bentuk dua atau ganda (dual), melainkan bentuk jamak (plural).
Bukan saja sebutan TUHAN selalu muncul dalam bentuk jamak, namun juga seringkali sebutan TUHAN atau ucapan terhadap TUHAN muncul diulangi tiga kali. Misalnya: Setiap kali Musa dan Harun memberkati bangsa Israel mereka mengucapkan doa berkat, sebagaimana yang diperintahkan Tuhan Allah sendiri, sebagai berikut:
“TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberikan engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bilangan 6:24-26)
Demikian juga dalam penglihatan Yesaya, para Serafim memuji kepada Tuhan Allah:
“Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya.” (Yesaya 6:3)
Rupanya ada kebiasaan di antara orang-orang Israel menyebut Bait TUHAN juga tiga kali (Yeremia 7:4). Hal ini bukan sesuatu yang secara kebetulan muncul berkali-kali di dalam Alkitab, namun mengindikasikan bahwa konsep Allah Tritunggal sudah mulai diwahyukan dan ditanamkan khususnya kepada bangsa Israel, sejak mula-mula sekali.
Ada bantahan yang mengatakan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang umum dalam pembentukan bahasa-bahasa di Timur Tengah. Pada waktu mereka menyebut dewa atau ilah mereka, mereka juga tidak pernah memakai bentuk tunggal, melainkan bentuk jamak, sebagai indikasi yangmenunjukkan penghormatan mereka terhadap yang harus lebih dihormati dari manusia, yaitu dewa atau ilah mereka. (Di daerah-daerah tertentu di Indonesia ,penggunaan kata “kita” atau “kami” juga sering dipakai sebagai kata ganti orang dalam pengertian tunggal). Hal ini memang benar, namun bukan berarti kita bisa menyangkal bahwa Allah telah menyatakan diri dengan cara berbeda dari cara bangsa-bangsa lain menyebut dewa-dewa mereka. Lagipula, kebiasaan menyebutkan dewa atau ilah mereka dengan bentuk jamak ini baru muncul jauh sesudah Kitab Kejadian dituliskan melalui Musa.
Di dalam Alkitab, pada waktu Allah menyebut diri-Nya sendiri dengan sebutan “Kita”, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta (Creator), Penebus (Redeemer), dan Pewahyu (Revealer).
Inilah tiga karya yang hanya dapat dikerjakan oleh Allah sendiri: (1) Penciptaan (Creation), (2) Penebusan (Redemption), dan (3) Penyataan/Wahyu (Revelation). Hanya Allah sendiri yang dapat melakukan ketiga pekerjaan itu, dan di dalam ketiga karya itu tidak ada campur tangan dari pribadi atau oknum yang lain. Sebagai Pencipta, Allah bukan saja telah menciptakan segala sesuatu yang diciptakan-Nya sampai pada waktu yang ditetapkan menurut kehendak-Nya. Maksudnya, kalau segala sesuatu bisa ada, itu adalah karena kuasa penciptaan Allah; dan kalau yang ada itu bisa berada terus di dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Tuhan, itu adalah karena kuasa penopangan-Nya. Dan sebagai Pencipta, Dia juga akan menyempurnakan atau menggenapi segalanya. Segala yang ada akan disempurnakan menurut waktu dan rencana-Nya.
Allah Pencipta, Penebus, dan Pewahyu, yang menyebut diri dengan sebutan “Kita” inilah yang telah mewahyukan atau menyatakan diri kepada manusia bahwa Dia adalah Allah yang lebih dari satu Pribadi, bukan satu Pribadi juga bukan dua Pribadi, melainkan banyak Pribadi. Kalau banyak, mengapa kita harus berhenti pada tiga Pribadi? Mengapa bukan empat, lima, dan seterusnya? Karena selain Ketiga Pribadi yang tersembunyi dan dinyatakan di dalam Wahyu yang bersifat progresif ini, tidak ada pribadi lainnya lagi. Tiga menjadi angka eksklusif dan sempurna dari diri Allah. Tiga merupakan angka mutlak bagi Allah Tritunggal dan tidak dapat ditambahkan lagi.
Namun, satu hal yang perlu kita perhatikan di dalam ayat-ayat ini ialah bentuk kata kerja yang mengikuti sebutan Allah ini. Walaupun sebutan Allah ini selalu dalam bentuk jamak (Elohim), namun kata kerja yang mengikutinya selalu memakai kata kerja untuk bentuk tunggal. Biasanya subyek berbentuk jamak diikuti predikat kata kerja yang berbentuk jamak juga; demikian pula kalau subyek berbentuk tunggal memakai kata kerja berbentuk tunggal. Contoh di dalam bahasa Inggris: He (singular subject) does (singular verb) something. They (plural subject) do (plural verb) something. Sebenarnya hal ini berlaku juga dalam bahasa Ibrani. Namun, setiap kali Alkitab mencatat Elohim (bentuk jamak dari El) mengerjakan sesuatu, selalu memakai kata kerja bentuk tunggal.
C. Cara Allah Menyatakan Diri : Antropomorfe
Di dalam Perjanjian Lama beberapa kali dicatat Pribadi Oknum Kedua Allah yang menyatakan diri kepada manusia dalam bentuk Antropomorfe (Yunani: anthopos= manusia, morphe = bentuk); maksudnya dalam bentuk manusia. Misalnya: Di taman Eden, Adam dan Hawa bercakap-cakap dengan Tuhan Allah sampai manusia berdosa dan diusir dari sana (Kejadian2:15-3:21); Tuhan menampakkan diri dan mengunjungi Abraham beberapa kali didekat Sikhem, yakni di pohon terbantin di More (Kejadian 12:6-7), di kemahnya di Mamre (Kejadian 18); Tuhan menampakkan diri kepada Ishak di Gerar dan mengulangi janji-Nya dulu kepada Abraham (Kejadian 26:1-6); Yakub bergumul melawan Allah di sungai Yabok (Kejadian 32:22-32); Musa bertemu dan bercakap-cakap dengan Allah di gunung Horeb (Keluaran 3:1-4:17). Yosua bertemu dengan Tuhan di dekat Yerikho (Yosua 5:13-15). Tuhan menampakkan diri kepada Manoah dan kepada istrinya (Hakim-Haklim 13:1-18), dan lain-lainnya. Di dalam Perjanjian Lama tercatat lebih dari 40 kali Tuhan menampakkan diri kepada manusia.
Namun, Alkitab juga mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah (Yohanes 1:18a), dan Allah memang tidak dapat dilihat. Kalau Perjanjian Lama berkali-kali mencatat ada orang-orang yang bertemu dengan Allah, apakah ini berarti mereka bertemu dengan allah yang lain, karena Allah yang sejati tidak pernah, tidak dapat, dan tidak mungkin dilihat oleh manusia? Apakah ini hanya khayalan orang-orang itu yang kemudian menganggap dan mengatakan bahwa mereka sudah bertemu dengan Allah, seperti yang ditafsirkan oleh banyak psikolog modern?
Istilah atau sebutan yang dipakai di dalam ayat-ayat tadi sebenarnya adalah Utusan/Malaikat Allah (Yunani: Apostolos berarti Rasul yang diutus Allah; Inggris: The messenger of God). Di dalam Perjanjian Lama belum ada rasul, sehingga pada waktu itu Utusan Allah ini hanya dimengerti sebagai malaikat. Di antara malaikat-malaikat Allah atau utusan-utusan Allah itu ada satu Malaikat yang muncul dalam bentuk tunggal (LAI menggunakan huruf “M” besar), yang lain dari semua malaikat yang lain dan yang tidak berada di dalam tingkat malaikat melainkan melampaui semua malaikat. Siapakah Malaikat Allah yang satu ini? Di dalam Ibrani 1:5 dan seterusnya tertulis:
“Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan, “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?” dan “Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?” Dan ketika Ia membawa pula Anak-Nya yang sulung ke dunia, Ia berkata, “Semua malaikat Allah harus menyembah Dia.” Dan tentang malaikat-malaikat Ia berkata, “Yang membuat malaikat-malaikat-Nya menjadi badai, dan pelayan-pelayan-Nya menjadi nyala api.” Tetapi tentang Anak Ia berkata, “Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran.”
Di dalam ayat-ayat di atas kita melihat suatu konsep Kristologi yang sudah berkembang luar biasa dari penulis kitab Ibrani. Siapakah yang bisa dan layak menerima sembah sujud dari manusia kecuali Allah? Dan di sini, bukan manusia yang diperintahkan menyembah Dia, melainkan malaikat-malaikat. Mari, kita lihat, Malaikat Allah yang Tunggal ini berhak menerima sembah sujud dari malaikat-malaikat yang lain.
Di dalam salah satu syair yang teragung di sepanjang sejarah Inggris, di dalam “Paradise Lost” dari John Milton, terungkap suatu pikiran teologis yang luar biasa agungnya, yang berdasarkan Alkitab, jauh lebih agung dari pada teologis dari banyak dosen pengajar di sekolah-sekolah teologi, mengenai sebab malaikat diusir dari sorga. Malaikat jatuh menjadi iblis dan akhirnya dibuang adalah karena ia tidak taat pada perintah Allah yang satu ini, “Semua malaikat harus menyembah Dia (Anak).” Kalau Allah adalah satu-satunya Pribadi yang menjadi obyek sembah sujud segala makhluk yang lain, maka siapakah Dia ini, yang kepada-Nya Allah memerintahkan semua malaikat menyembah? Dia adalah Utusan Allah yang lain dari yang lain, bukan utusan yang menyembah Allah, melainkan Utusan yanga dalah Allah menerima sembah sujud malaikat-malaikat yang lain. Dia adalahKristus!
Pada waktu Yesus Kristus berinkarnasi berlaku: Semua malaikat harus bersembah sujud kepada Dia. Tetapi iblis, bukan saja tidak mau menyembah sujud kepada-Nya, malahan pada waktu mencobai Yesus dipadang gurun ia membalikkan kebenaran atau perintah ini, minta Yesus menyembah dia, “Segala kuasa itu (dunia) serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu,…. Jikalau Engkau menyembah aku…”(Lukas 4:6-7). Karena Kristus mengetahui di mana posisi atau status-Nya, Dia adalah Allah yang menerima sembah sujud dari oknum yang lain, maka Dia menolak hal itu. Dan Yesus menjawab, “…Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Lalu iblis meninggalkan Dia, dan malaikat-malaikat datang melayani Yesus (Lukas 4:8; Matius 4:11).
Di dalam Kejadian 19:24, kita mambaca, “Tuhan menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, yang berasal dari Tuhan yang berada di Sorga.” Di sini kita melihat dengan jelas ada dua Pribadi Allah, yaitu Pribadi Kedua yang menyatakan diri sementara dalam bentuk tubuh manusia yang bisa dilihat oleh manusia, yang menerima doa permohonan Abraham, menyatakan kuasa ilahi-Nya menurunkan api dari Allah Pribadi Pertama ke dunia.
Siapa bilang konsep Tritunggal tidak ada di Perjanjian Lama? Memang benar, istilah “Tritunggal” tidak muncul, namun konsep wahyu dan realita tentang Allah Tritunggal sudah tersedia baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Janganlah Saudara mudah dikacaukan oleh berbagai macam ajaran seperti Saksi Yehovah, Unification Church (Dr. Moon), dll.
Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal pernah menampakkan diri dalam bentuk secara sementara inilah yang dimaksud Antropomorfi. Antropomorfi ini berbeda dengan inkarnasi. Di dalam inkarnasi-Nya (Latin: in = di dalam, carne =daging), Allah Pribadi Kedua betul-betul mempunyai (bersalut dengan) daging dan darah, betul-betul dilahirkan menjadi anak dara Maria dan hidup ditengah-tengah manusia, sehingga disebut Immanuel (Allah beserta kita). Jadi, yang dilihat manusia di dalam Perjanjian Lama adalah Allah Pribadi Kedua, bukan Pribadi Pertama, yang dalam bentuk manusia untuk sebentar, sebelum inkarnasi; kemudian Dia kembali lagi ke Sorga.
Dengan demikian, orang-orang di Perjanjian Lama sudah melihat Kristus, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan Alkitab, bahwa tidak ada orang yang pernah melihat Allah. Maksudnya, Alllah Bapa, Pribadi Pertama, tidak pernah menyatakan diri dalam bentuk manusia, sehingga tidak pernah dilihat oleh manusia, tetapi Anak-Nya, Pribadi Kedua, pernah, dan juga di dalam inkarnasi-Nya, Pribadi Kedua secara konkrit menyatakan diri kepada manusia, sehingga manusia melihat Kristus yang masuk kedalam sejarah manusia. Sebagai manusia di dunia ini, Kristus tetap mempunyai sifat ilahi, disamping sifat manusia-Nya. Hal ini perlu kita tegaskan terus menerus.
BAB III : KRISTUS OKNUM KEDUA ALLAH TRITUNGGAL
A. Nubuat Mengenai Kristus
Di dalam nubuat-nubuat Perjanjian Lama mengenai Mesias yang akan datang, sudah ditegaskan sifat ilahi-Nya sebagai sifat dasar Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal ini. Yesus Kristus bukan manusia biasa, melainkan manusia sejati yang mempunyai sifat ilahi. Hal ini sudah dikatakan melalui nabi-nabi, misalnya :
“Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, daripadamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” (Mikha 5:1)
Yang lalu kita telah melihat bahwa Keesaan Allah menjadi dasar untuk kita mengerti kelima sifat Allah yang transenden, kudus, mutlak, sempurna, dan kekal, sebab Keesaan mengandung unsur transenden, kekudusan, kemutlakan, kesempurnaan, dan kekekalan. Kekal berarti melampaui waktu, sebelum waktu dicipta hingga sesudah waktu berakhir.
Waktu dicipta oleh Tuhan, sehingga waktu mempunyai permulaan dan akhir, menurut kehendak Allah, Pencipta waktu. Maka, waktu akan kembali kepada Allah dan sejarah harus bertanggung jawab kepada Dia yang menciptakannya. Karena Allah adalah Pencipta waktu dan sejarah, maka Allah tidak berada di dalam waktu, melainkan melampaui waktu. Dia tidak terikat oleh waktu dan Dia menguasai sejarah. Karena itu Allah berada di dalam kekekalan sebelum waktu dicipta hingga kekekalan sesudah waktu berhenti (setelah sejarah berakhir), karena Allah kekal adanya. Nubuat di dalam Mikha 5:1 mengenai Yesus ini mengatakan bahwa Dia akan bangkit dari Betlehem Efrata (kota kelahiran Yesus) ini mempunyai permulaan (akar) sudah sejak purbakala, dari kekekalan. Jadi, ini berarti Yesus Kristus yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai sifat ilahi, sebab Dia sudah ada sejak di dalam kekekalan.
“Sebab seorang Anak telah lahir untuk kita, seorang Putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahu-Nya, dan nama-Nya disebut orang: Ajaib (Wonderful), Penasihat (Counsellor), Allah Yang Perkasa (The Mighty God), Bapa yang kekal (The Everlasting Father), Putera Raja Damai (The Prince of Peace)” (Yesaya 9:6)
Pada waktu nabi Yesaya menuliskan nubuat mengenai Yesus Kristus yang akan diberikan bagi manusia, dia memang mengatakan bahwa yang akan diberikan itu adalah seorang anak, seorang bayi laki-laki. Namun, kemudian diberitahukan juga mengenai nama-Nya. Dari nama-nama yang diberikan kepada-Nya ini kita dapat mengetahui bahwa Anak itu bukanlah manusia biasa; Dia mempunyai sifat ilahi.
Pertama. Dia disebut Ajaib. Pada waktu Manoan menanyakan kepada Malaikat Tuhan (kita sudah melihat bahwa ini adalah Yesus Kristus sendiri, Allah Pribadi Kedua, yang menampakkan diri dalam bentuk Antropomorfi) mengenai nama-Nya, maka Dia menjawab, “Mengapa engkau juga menanyakan nama-Ku? Bukankah nama itu ajaib? (Hakim-hakim 13:18). Akar kata Ibrani untuk sebutan ini “pala” dapat berarti “agung” atau menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Di sini, mula-mula sekali, sudah ditanamkan konsep Dia adalah manusia yang tidak sama dengan manusia yang biasa. Dia adalah Pribadi yang Agung, yaitu Allah sendiri.
Kedua. Dia di sebut Penasehat, yaitu Pribadi yang maha-bijak; yang menjadi Sumber Bijaksana dan yang memberikan bijaksana kepada manusia. Kita telah mengetahui, Allah-lah yang menjadi Sumber Bijaksana bagi manusia. Di dalam Alkitab bahasa Indonesia, kedua sebutan ini digabung “Penasehat Ajaib”. Ini lebih sesuai dengan Yesaya 28:29 di mana dikatakan bahwa Allah ajaib di dalam keputusan-Nya dan agung dalam kebijaksanaan-Nya.
Ketiga. Yesus Kristus disebut Allah Yang Perkasa. Orang-orang dari bidat Saksi Yehovah telah mengambil ayat ini dan menafsirkan secara salah untuk menyangkal bahwa Yesus adalah Allah. Mereka mengatakan bahwa ayat ini tidak mengatakan Yesus adalah Allah Yang Maha Kuasa (The Almighty God), melainkan Allah Yang perkasa (The Mighty God). Memang benar sebutan Yesus yang dipakai di sini adalah Allah Yang Kuasa bukan Allah Yang Maha kuasa. Namun, ini adalah karena di dalam ayat ini dikatakan bahwa Dia menjadi bayi, hingga terbatas. Maksudnya, ayat ini melukiskan inkarnasi-Nya dimana Dia yang tadinya Allah yang tidak terbatas membatasi kuasa-Nya dan menjadi manusia, bahkan menjadi seorang bayi. Melalui inkarnasi Kristus masuk ke dalam keterbatasan, sehingga manusia pada umumnya tidak melihat Kemahakuasaan-Nya secara konkrit; hanya kadang-kadang saja Kemahakuasaan-Nya terlihat di dalam tindakan-tindakan-Nya seperti menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dan sebagainya. Tetapi di dalam kekekalan-Nya Yesus Kristus tidak terbatas. Yesus juga pernah berkata, “Bagaimanakah jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?” (Yohanes 6:62). Ini berarti bahwa mereka hanya melihat kuasa Yesus yang besar saja, tetapi kalau mereka pergi ke tempat asal-Nya, barulah mereka akan mengetahui bahwa Yesus adalah Allah Yang Mahakuasa.
Kita harus mengerti Kristus di dalam periode inkarnasi-Nya, dan juga di dalam kekekalan-Nya. Di dalam periode inkarnasi memang Kristus terbatas (membatasi diri-Nya), bukan saja di dalam kemahakuasaan-Nya, tetapi juga di dalam perkataan-Nya, bahasa-Nya, kemauan-Nya, dan pengetahuan-Nya. Inilah paradoks yang seringkali dianggap kontradiksi dan menimbulkan kesalah-mengertian di antara orang-orang yang tidak mengerti kebenaran dengan sungguh-sungguh. Yesus memang terbatas pada waktu periode inkarnasi-Nya, tetapi dari asal-Nya sejak kekekalan sampai kekekalan Dia miliki kemahakuasaan dan kemuliaan sama dengan Bapa.
Keempat. Yesus Kristus juga di sebut Bapa (yang) kekal atau Bapa Kekekalan (The Everlasting Father). Ini bukan berarti bahwa Dia adalah Pribadi Pertama, yakni Allah bapa. Meskipun di sini satu-satu kalinya Yesus Kristus disebut Bapa, tetapi seluruh Alkitab jelas mengajarkan Yesus Kristus yang diutus Bapa, tidak sama dengan Bapa. Bapa Kekekalan menunjukkan bahwa Dia adalah Sumber dari segala sesuatu. Istilah Bapa di sini jangan dimengerti dengan konsep manusia yang mengenal bapa di dalam hubungan dengan ibu dan anak secara genetika. Allah bukanlah manusia. Sebab itu, kita tidak boleh memakai konsep atau cara berpikir manusia di dalam mengerti Allah. Tetapi di sini terminologi Bapa berarti Sumber dari segala sesuatu, yang mengeluarkan (menciptakan) segala sesuatu yang lainnya.
Kelima. Di sini Yesus Kristus di sebut Putera Raja Damai (The Prince of Peace). Ini menunjukkan bahwa Dia adalah Sumber damai yang sejati, yang memberikan damai yang sesungguhnya kepada dunia. Dia adalah Raja keturunan Daud, Tunas Isai, yang memerintah sampai selama-lamanya, dan yang permulaan-Nya dari dahulu kala. Hanya melalui Kristus yang mewujudkan Kerajaan-Nya di dunia ini dengan kuasa ilahi-Nya, barulah dunia mencapai apa yang diidam-idamkan, yaitu perdamaian yang sejati. Semua ini menunjukkan sifat ilahi Kristus. “Dia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan…” “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Lukas1:32-35)
Sebelum kelahiran-Nya, malaikat datang memberikan nubuat mengenai Kristus yang akan datang kepada anak dara Maria yang akan mengandung-Nya. Di sini istilah kudus dipakai dalam pengertian yang khusus, sebagaimana yang sering muncul di dalam Kitab Yesaya, “Yang Mahakudus, Allah Israel!” (The Holy One of Israel), atau “Satu-satunya Yang Kudus, Allah Israel.” Kristus adalah Satu-satunya Yang Kudus, yang melampaui semua orang-orang kudus dan segala malaikat atau utusan Allah lainnya. Inimenunjukkan Kristus mempunyai kualitas sifat kesucian yang hanya ada pada Allah. Dia adalah Yang Kudus, Anak Allah.
Konsep Kristus sebagai Anak Allah ini sulit diterima oleh agama lain, termasuk yang muncul sesudah Kekristenan, karena mereka menganggap Allah tidak mermperanakkan dan tidak diperanakkan. Ada yangmenganggap keempat Injil yang mencatat Kristus adalah Anak Allah itu sebagai penyelewengan. Namun, sebenarnya konsep Allah memperanakkan Kristus dan Kristus adalah Anak Allah sudah muncul sejak di Perjanjian Lama, bukan mulai di keempat Injil. Dua ayat yang penting yang mencatat hal ini ialah pertama,
“Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepada-Ku, “AnakKu Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (Mazmur 2:7).
Di dalam kitab-kitab Mazmur banyak nubuat yang khusus ditulis dengan berfokus mengenai Kristus. Mazmur-mazmur semacam ini disebut Mazmur (Nubuat) Mesianis, misalnya Mazmur 2, 8, 16, 21, 22, 40 dan lain-lainnya. Di dalam Mazmur 2:7 konsep Anak, Yesus adalah Yang diperanakkan oleh Allah, pertama kali diwahyukan oleh Allah Bapa sendiri. Di sini Kristus mengumumkan bahwa pernah di dalam kekekalan dikatakan oleh Bapa, “Engkau anak-Ku! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Dia adalah Anak Allah Yang Tunggal, yang berbeda dengan kita yang disebut anak-anak Allah.
Apa artinya “Engkau telah Kuperanakkan (Kulahirkan) pada hari ini?” Kapankah yang dimaksud dengan hari ini di sini? Di dalam bahasa Inggris ada tense yang menunjukkan terus menerus demikian. Maksudnya, yang menunjukkan yang sediakala demikian, sekarang demikian, dan selamanya demikian. Misalnya: The sun rises(Matahari terbit); tidak perlu ditambahkan hari ini, sebab matahari terbit setiap hari. Tetapi Allah melampaui batasan waktu. Dia tidak perlu waktu. Dia bukan tidakmemiliki waktu, sebaliknya Dialah yang menciptakan waktu. Dan Allah yang tidak terikat oleh waktu itu mengatakan, hari ini, di dalam kekekalan, Kristus dilahirkan oleh Bapa, ini berarti kelahiran kekekalan yang selalu bersifat sekarang, yang melampaui proses waktu. Sedangkan istilah dilahirkan menunjukkan Dia bukan diciptakan. Dia bukan ciptaan. Sebutan Anak Allah Yang Tunggal bagi Yesus mengindikasikan bahwa Dia satu-satunya yang dilahirkan, bukan yang dicipta. Dia-lah satu-satunya yang berada di dalam sejarah tanpamelalui ciptaan. Sebutan Anak Allah Yang Tunggal ini juga membedakan Yesus Kristus dengan Roh Kudus, meskipun Roh Kudus bukan ciptaan. Roh Kudus adalah Allah, karena Roh Kudus bukan dilahirkan, melainkan Dia keluar (proceed) dari Bapa dan Anak. Maka kelahiran Kristus dalam kekekalan merupakan suatu keunikan mutlak yang hanya ada pada Yesus Kristus, Pribadi Kedua.
Doktrin Yesus Kristus sebagai Anak Allah telah terbukti dalam peristiwa sejarah yang paling agung, yaitu kebangkitan-Nya. Dalam sejarah, baik di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru, kita juga mengetahui ada orang-orang yang dibangkitkan, yaitu anak janda di Sarfat dibangkitkan oleh/melalui perantaraan nabi Elia (1 Raja-raja17:17-24), anak perempuan di Sunem oleh nabi Elisa (2 Raja-raja 4:18-37); Dorkas/Tabita oleh Rasul Petrus (Kisah Para Rasul 9:36-43)., Eutikhus oleh Rasul Paulus (Kisah Para Rasul 20:9-12). Kedua nabi dan kedua rasul ini boleh dianggap mewakili semua nabi dan rasul yang menerima Wahyu Tuhan dan menetapkan dasar iman Kristen di dalam Alkitab yang kita percaya. Ditengah-tengah antara kedua peristiwa kebangkitan di Perjanjian Lama dan kedua peristiwa kebangkitan di Perjanjian Baru itu, Alkitab mencatat tiga kali Yesus membangkitkan orang mati: anak Yairus, seorang kepala rumah ibadat (Markus5:35-43), anak muda, anak seorang janda, di Nain (Lukas 7:11-17), dan Lazarus (Yohanes 11:1-44). Namun di dalam peristiwa-peristiwa itu ada suatru perbedaan yang sangat jelas.
Semua kebangkitan yang dilakukan oleh (dengan perantaraan) nabi-nabi dan rasul-rasul itu adalah karena kuasa Allah. Mereka berdoa demi nama Allah dan memohon kuasa Allah, barulah kemudian membangkitkan. Kedua rasul membangkitkan demi nama Yesus Kristus. Namun, pernahkah sebelum membangkitkan orang mati Yesus berdoa terlebih dahulu kepada Allah Bapa,memohon kuasa agar dapat membangkitkan mereka? Tidak pernah! Setiap kali membangkitkan orang mati, Yesus langsung memakai kuasa-Nya dan berkata,“Bangkitlah engkau!” Pada waktu Dia berkata, “Talita kum” (Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah), anak perempuan Yairus itu langsung bangkit berdiri dan berjalan. Pada waktu Yesus berkata, “Bangkitlah engkau, hai anak muda!”, maka anak janda di Nain itu pun bangkit dan berkata-kata. Pada waktu Yesus berkata, “Lazarus, keluar!”, maka Lazarus yang sudah empat hari dikuburkan itu langsung keluar dari kuburnya. Siapakah Dia? Dia adalah Allah yang mempunyai kuasa ilahi pada diri-Nyasendiri. Lain dengan nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidakmempunyai kuasa ilahi, sehingga mereka perlu berdoa memohon kuasa itu sebelum membangkitkan orang mati. Dan pada waktu Yesus sendiri berada di dalam kubur-Nya, adakah nabi yang berkata, “Yesus, bangkitlah!”? Tidak! Yesus bangkit sendiri. Kebangkitan-Nya tidak perlu melalui nabi atau rasul; yang berdoa bagi-Nya. Pada waktu Alkitab memaparkan mengenai Kristus yang bangkit dengan kuasa kebangkitan yang memang ada pada-Nya, ini menunjukkan sifat ilahi-Nya; ini membuktikan Yesus dilahirkan oleh Allah Bapa.
Jadi konsep Anak Allah yang pertama kali muncul di dalam Perjanjian Lama di Mazmur 2:7 ini mengutarakan kelahiran yang kekal dari Yesus Kristus. Dia mempunyai sifat dan kedudukan sebagai Anak Allah sejak di dalam kekekalan. Tetapi di dalam proses sejarah hal itu dibuktikan pada waktu Dia bangkit. Meskipun ditinjau dari sudut kemanusiaan-Nya dikatakan Allah Bapa yang membangkitkan Dia (Kisah para Rasul 2:32; 3:15; 13:33-35;17:31), tetapi ditinjasu dari sudut keilahian-Nya Dia adalah Allah Yang Hidup. Yesus Kristus pernah berkata, “Akulah Kebangkitan dan Hidup.” (Yohanes 11:25).Karena Yesus Kristus adalah Allah Yang Hidup dan Yang Bangkit, maka Dia dapat menjadi Sumber yang memberikan hidup kepada manusia dan Sumber Kebangkitan yang memberikan kebangkitan kepada manusia. (Bandingkan Yohanes 5:19-29).
Ayat lainnya di Perjanjian Lama yang sudah memberikan konsep tentang Anak Allah ini ialah di dalam Amsal 30:4.
“Siapakah yang naik ke sorga lalu turun? Siapakah yang telah mengumpulkan angin dalam genggaman-Nya? Siapakah yang telah membungkus air dengan kain? Siapakah nama-Nya dan siapakah nama Anak-Nya? Engkau tentu tahu!”
B. Pernyataan Kristus Sendiri
Di dalam Wahyu yang diberikan oleh-Nya sendiri, Kristus sudah menyatakan bahwa Dia mempunyai sifat ilahi. Sebenarnya mengenai hal ini saja kita memerlukan uraian yang panjang lebar. Namun, salah satu yang paling penting tercantum di dalam Yohanes 8:56-59.
“…Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akanmelihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita. Maka kataorang-orang Yahudi itu kepada-Nya: “Umur-Mu belum sampai lima puluh tahundan Engkau telah melihat Abraham?” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkatakepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Lalu merekamengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkanBait Allah.”
Di dalam ayat ini terjadi suatu diskusi Kristologis yang sangat penting antara Kristus, yang berinkarnasi menjadi manusia, dengan mereka yang menganggap diri mengenal Alkitab. Di dalam percakapan itu, Yesus mengatakan, “Nenek moyangmu pernah bertemu Aku dan ia bersuka cita.” Sama halnya jika ada seorang di Indonesia, misalnya, berkata, “Pada waktu saya bertemu dengan GajahMada dan Hayam Wuruk; kami bersama-sama makan di restoran…” Orang yang berkata demikian tentu akan dianggap gila oleh orang-orang yang mendengarnya. Menurut logika manusia, bagaimana orang yang umurnya belum mencapai lima puluh tahun dapat mengatakan bahwa Dia sudah hidup sebelum Abraham? Namun Yesus tetap menjawab dengan tegas, dengan kalimat yang paling agung yang pernah keluar dari mulut manusia,“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, sebelum Abraham ada, Aku sudah ada.”
Kalimat ucapan Yesus itu di dalam bahasa aslinya (Yunani) sangat jelas. Di dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris dikatakan, “Verily, verily, I say unto you: Before Abraham was, I am.” (King James Version). Sebelum Abraham ada (Before Abraham was – past tense), Aku sudah ada (I am – present tense). Maksudnya: “Saya ada sekarang, tetapi keberadaan Saya sekarang ini mendahului keberadaan Abraham. Abraham adalah suatu eksistensi yang pernah terjadi di dalam sejarah, tetapi keberadaan Abraham adalah keberadaan yang bisa lewat, dan memang sudah lewat. Namun,keberadaan-Ku adalah keberadaan sebelum Abraham, dan sesudah keberadaan Abraham lewat dan sampai sekarang keberadaan-Ku tetap ada.” Ini suatu kesinambungan yang menunjukkan keberadaan yang transenden, yang tidak digeser oleh waktu dan yang melampaui proses waktu. Ini adalah suatu ousia yang hanya ada pada Allah. Apa artinya ucapan Yesus ini? “Aku adalah Allah; sudahkah kamu semua mengerti dengan jelas,bahwa Aku adalah Allah?” Karena mereka tidak bisa mengasosiasikan Allah berdaging (inkarnasi), maka mereka tidak bisa mengerti bahwa yang sedang berkata-kata mengucapkan kalimat seperti itu adalah Allah yang keberadaan-Nya melampaui keberadaan Abraham.
Selain itu, konsep I am hanya ada pada diri Allah dan tidak mungkin ada di luar diri Allah. Hanya Allah yang pernah memperkenalkan diri-Nya dengan AKU ADALAH AKU (Ibrani: Eheyeh asher Eheyeh,Inggris : I AM THAT I AM, Keluaran 3:14). Maksudnya: “Aku adalah yang berada pada diri-Ku sendiri, dan Aku adalah Yang Ada dari kekal sampai kekal.” Di dalam pemahaman Iman Reformen Injili tercantum,“ ….Allah yang hidup dan benar, yang kekal dan yang keberadaan-Nya bergantungpada diri-Nya sendiri….” (The self-dependent-God, The self-existent-God). Allah adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri, dan yang bergantung pada diri-Nya sendiri. Ini adalah ousia Allah, dan ini dimiliki oleh Kristus.
Orang Israel sangat peka mendengar dan menangkap istilah I AM, sebab mereka tahu jelas bahwa itu adalah suatu pernyataan diri Allah. Selain Allah tidak ada pribadi lain yang boleh mengatakan I AM THAT I AM, kerena itu berarti: “Aku adalah Yang Ada itu sendiri; Aku berada pada diri-Ku sendiri, sehingga semua keberadaan bersumber dari keberadaan-Ku yang berada pada diri-Ku sendiri ini.” Dengan demikian Dia adalah Pencipta, Sumber dari segala sesuatu yang berada. Dia bisa menciptakan dari tidak ada menjadi ada, karena Dia ada dari kekal sampai kekal. Dan Allah yang berada pada diri sendiri, bergantung pada diri sendiri, dan yang bereksistensi dari kekal sampai kekal pada diri-Nya sendiri itu adalah Allah yang benar. Kristus adalah Allah; bagi Allah, apa sulitnya melihat Abraham?
Pada waktu Tuhan Yesus berbicara dengan orang-orang Saduki (yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati), Dia berkata, “Allah adalah Allah Abraham, Alah Ishak, dan Allah Yakub. Allah bukanlah Allah orang mati, Allah adalah Allah orang hidup.” (Matius 22:23-32).Ini berarti: Ketiga nenek moyang mereka akan menerima kuasa kebangkitan dan hidup di hadapan Allah, sehingga Allah disebut Allah orang hidup. Ini sejajar dengan perkataan Yesus mengenai diri-Nya sendiri, I AM (AKU adalah ADA). Ini menunjukkan ousia, esensi, atau sifat dasar Allah itu sendiri. Semua ungkapan Yesus mengenai diri-Nya itu dianggap melawan pikiran (anti-rasio) atau tidak logis, bertentangan dengan segala epistemologi manusia. Maka, para pendengar-Nya itu melempari Yesus dengan batu. Mereka tidak sadar, bahwa pada waktu itu mnereka sedang menolak suatu pengumuman yang paling penting dan agung di sepanjang sejarah manusia.
Selanjutnya, kita akan melihat Yesus menyatakan diri bahwa Dia adalah yang disebut oleh orang Yahudi sebagai TUHAN.
Di dalam Alkitab Indonesia terjemahan baru, semua sebutan YEHOVAH ayau YAHWEH (YHWH) diganti TUHAN. Demikian pula dengan terjemahan Inggris (misalnya, King James Version), diganti dengan LORD. YAHWEH adalah nama di mana Allah menyatakan diri. “Aku adalah YAHWEH.” YAHWEH adalah Allah yang mengadakan perjanjian yang kekal dengan manusia; Dia-lah Allah Yang Kekal, yang tidak akan memungkiri janji-Nya sendiri, karena Dia setia sampai selama-lamanya.Orang Israel demikian menghormati dan mengagungkan Allah, sehingga setiap mereka bertemu dengan sebutan atau nama YHWH, mereka tidak berani menyebut YAHWEH atau YEHOVAH, dan mereka langsung mengganti sebutan itu dengan ADONAI (TUHAN).
Alkitab adalah satu-satunya buku yang ditulis dengan demikian teliti, ketat, dan serius. Penulis Alkitab menuliskan setiap titik, huruf dan kata dengan mengukirnya satu per satu di atas kulit hewan. Setelah mereka selesai menuliskan (mengukirnya), mereka memeriksa kembali, apakah ada kesalahan atau tidak. Apabila ada kesalahan, sekalipun hanya satu titik, harus diperbaiki. Kalau kurang bisa ditambah, tetapi kalau kelebihan tidak bisa dikoreksi lagi, maka seluruh kulit yang sudah ditulis penuh itu harus dibakar dan dimusnahkan, lalu diulangi sekali lagi, supaya FirmanTuhan yang murni tetap terpelihara, tidak ada kesalahan sedikit pun.
Pada waktu mereka menulis (menyalin) dan menemukan sebutan YAHWEH (YHWH), mereka tidak berani langsung menuliskannya. Mereka mencuci tangan terlebih dahulu, lalu menuliskan (mengukir) nama itu sambil berdiri. Setelah selesai mengukir ke-empat huruf itu, barulah mereka duduk kembali untuk melanjutkan mengukir yang lain. Kemungkinan masih dalam ayat yang sama mereka menemukan NAMA itu sekali lagi, maka mereka pun harus mengulangi hal di atas. Mereka tidak berani sembarangan menyebut dan menulis NAMA itu sesuai dengan Hukum Ketiga di dalam Dasa Titah, “Jangan menyebut NamaTuhan, Allahmu dengan sembarangan…” (Keluaran 20:7). Oleh sebab itulah, kemudian mereka mengganti sebutan itu dengan ADONAI (LORD atau ‘TUHAN’).
Di dalam Lukas 20:41-44 kita membaca perkataan Tuhan Yesus yang menyatakan diri-Nya adalah Allah:
“TetapiY esus berkata kepada mereka, “Bagaimana orang dapat mengatakan, bahwa Mesias adalah Anak Daud? Sebab Daud sendiri berkata dalam kitab Mazmur, Tuhan telah berfirman kepada Tuanku, “Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuh-Mu menjadi tumpuan kaki-Mu”. Jadi Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?” (bandingkan Mazmur 110:1)
Sebutan Tuan di dalam ayat 44 di atas sebenarnya adalah TUHAN di dalam kepercayaan Daud. Jadi, TUHAN telah berfirman kepada Tuan dari Daud. Siapakah Tuan Daud? Karena Daud adalah raja yang berkuasa atas seluruh bangsa Israel, maka Siapakah Tuan dari sang raja itu? Tuanku disini sebenarnya adalah Tuhan Yesus, Pribadi Kedua dari Allah, yang menerima perintah dari Pribadi Pertama: “Duduklah di sebelah kanan-KU” Hal ini menjadi lebih jelas jika dibandingkandengan apa yang tertulis di dalam Filipi 2:9-11:
“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku,“Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah Bapa!”
Setelah Yesus Kristus naik ke sorga, maka Dia duduk disebelah kanan Allah Bapa, dan di sana kelak Dia menerima sembah sujud dari segala makhluk, dan semua lidah akan mengaku dan memanggil Dia Tuhan.
Yesus menantang orang-orang Yahudi: Mengapa Mesias disebut Anak Daud? Apakah karena Dia adalah keturunan Daud? Namun, kalau Dia keturunan Daud, mengapa Daud menyebut Dia Tuanku? Kepada Siapakah pula dikatakan Allah, “Duduklah di sebelah kanan-Ku.”?
Di dalam seluruh Alkitab, kita melihat, didalam kekekalan, khsusnya setelah kebangkitan Kristrus, hanya kepada satu Pribadi Alah Bapa mengatakan, “Duduklah di sebelah kanan-Ku!” Sebutan itu hanya ditujukan kepada Kristus.Ini sesuai dengan Pengakuan Iman Rasuli yang setiap minggu di bacakan di gereja-gereja: “Yesus Kristus…. Duduk di sebelah kanan Allah, Bapa Yang Mahakuasa.” Hanya mengenai satu Nama, yaitu Yesus Kristus, Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal, dikatakan “Duduk disebelah kanan Allah.” Dialah yang disebut Tuhan atau Tuan oleh Daud. Dialah Yesus Kristus, Mesias, yang kepada-Nya kelak seluruh makhluk akan bersembah sujud dan menyebut-Nya, “Tuhan!” Dia adalah Allah.
Jadi, di dalam ayat di atas ini Yesus Kristus memberikan suatu rangsangan, inspirasi, untuk mencerahkan mereka dengan iluminasi yang sangat besar, yaitu “Tahukah, bahwa Aku adalah Allah?” Di sinilah sekali lagi kita melihat Wahyu yang bersifat maju (Progressive Revelation), yaitu Wahyu Allah yang makin lama makin jelas, memberikan arah panah dan menujukannya kepada suatu realita yang akan datang.
Pada waktu Yesus Kristus berada di dalam dunia, dengan susah payah Dia memberikan penjelasan kepada orang-orang sezaman-Nya bahwa Dia adalah Allah, namun mereka sulit mengerti semua penjelasan-Nya, sebab yang mereka lihat adalah tubuh Yesus yang bersifat daging yang kelihatan. Sangat sedikit di antara mereka yang dapat melihat dengan jelas keallahan-Nya di balik sifat kemanusiaan-Nya itu. Karena itu, terkadang Yesus Kristus mengucapkan kata-kata, seperti, “Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?” (Yohanes 6:62). Artinya: “Biarlah pengertian dan imanmu terhadap Aku menerobos batas sifat kemanusiaan-Ku yang bertubuh fisik, sehingga kamu semua melihat sifat keilahian-Ku dalam kekekalan diri-Ku.”
Orang yang mengenal Yesus Kristus dari Betlehem sebagai titik awal Golgota sebagai titik akhir saja, akan melihat Dia hanya sebagai moralis yang agung, seorang pemimpin agama yang besar, pahlawan yang penuh pengorbanan yang hidupnya dapat dijadikan contoh sepanjang zaman, seorang yang karena kasih-Nya rela menyerahkan diri-Nya bagi orang lain. Pengenalan semacam demikian tidaklah cukup. Mengenal Dia hanya sampai di situ berarti belum benar-benar mengenal Dia yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Kristus menantang kita, “Bagaimana kalau engkau melihat Aku pergi ke tempat asal-Ku?” Ini berarti: “Akulah yang akan duduk di sebelah kanan Allah Bapa.” Disini kita melihat keilahian Kristus sebelum inkarnasi (beyond the incarnation) dan sesudah penyaliban-Nya (beyond the crucxifixion). Sebalumn Dia lahir bukan berarti hanya di dalam zaman Perjanjian Lama, tetapi sejak dalam kekekalan-Nya dan sesudah penyaliban bukan berarti hanya di dalam zaman Perjanjian Baru,tetapi sampai selama-lamanya (kekekalan); di situlah sudah menunjukkan keilahian-Nya.
Semua pembahasan di dalam bab ini menunjukkan dengan jelas bahwa Konsep, Wahyu, dan Realita di mana Allah menyatakanh Diri sebagai Allah Tritunggal sudah ada sejak permulaan Alkitab, sekalipun istilah Tritunggal tidak pernah muncul di dalam Perjanjian lama dan Perjanjian Baru.
C. Kristologi Dalam Injil Yohanes
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Al;ah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yohanes 1:1-3)
Injil Yohanes dimulai dengan ayat-ayat Kristologi yang paling penting di dalam seluruh Alkitab. Ayat yang demikian singkat ini mengandung arti yang demikian dalam dan mulia: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” “Pada mulanya…” (Yunani: en arche…) di sini bukan berarti permulaan dari waktu, bukan permulaan ciptaan, melainkan permulaan yang melampaui waktu dan ciptaan, yaitu permulaan di dalam kekekalan. Mengapa demikian? Karena karya ciptaan baru disebutkan di dalam ayat 2. Maka Allah-lah yang menjadi permulaan yang melampaui waktu, tempat, serta segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Jadi, “Pada mulanya…” menunjuk kepada permulaan ciptaan.
Kita telah membahas mengenai “Yesus Kristus diperanakkan atau dilahirkan di dalam kekekalan (eternal generation) oleh Allah Bapa”. Pribadi Kedua lahir dari Pribadi Pertama melalui kelahiran. Ini tidak berarti keberadaan Pribadi Pertama lebih dahulu dari keberadaan Pribadi Kedua. Yesus Kristus sudah ada dari kekal bersama-sama Allah Bapa, dan pada waktu Dia dilahirkan adalah sebagaimana Firman keluar.
Sebagai contoh: Saya berdiri di sini untuk berkhotbahj dan saya mengeluarkan kata-kata (Istilah Firman ini sama dengan Kata). Kata-=kata keluar dari saya, sehingga mereka yang mendengarkan saya tidak perlu harus datang ke sini baru dapat berhubungan dengan perkataan yang ada di dalam pikiran saya ini. Cukup dengan saya berkata-kata saja, mereka yang duduk di sana, baik dekat maupun jauh, sudah dapat berhubungan dengan saya; dan pada waktu saya berkata-kata, bukan berarti kata-kata saya itu baru ada sesudah (pada waktu) saya berkata-kata. Kata-kata itu sudah ada sebelum keluar dari saya, sebelum saya berkata-kata, yakni ketika kata-kata itu masih ada di dalam pikiran saya.
Demikian juga kita dapat menjelaskan “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Pada waktu Firman itu keluar, kita mengetahui ada yang menjadi Sumber dan ada Yang keluar dari Sumber itu. Firman itu keluar dari Allah; sebelum keluar Firman itu bersama-sama dengan Allah di dalam kekekalan, dan Firman itu juga adalah Allah. Firman itu adalah Kristus, sebab itu Kristus bersifat ilahi. Kristus adalah Allah dan Kristus bersama-sama dengan Allah. Bagaimana mungkin “Allah bersama-sama dengan Allah”? Apakah ini berarti ada dua Allah? Bukan! Di sini yang Allah adalah esensi (sifat dasar)-Nya, berarti hanya ada satu Allah. Tetapi di sini memang kita melihat dua Pribadi, tetapi bukan dua Allah. Maksudnya, yang dua adalah keadaan Pribadi-Nya. Allah yang mengeluarkan Firman dan Firman yang dikeluarkan itu ada dua Pribadi yang berbeda. Pribadi Pertama mempunyai esensi Allah, dan Pribadi Kedua yang keluar atau dilahirkan oleh Pribadi Pertama, juga mempunyai sifat dasar Allah; tetapi Pribadi berbeda. Bandingkanh juga: Setelah saya berkata-kata, apakah kata-kata saya yang keluar dari mulut saya itu masih berada di dalam saya?
Dari sini kita boleh mengerti “Firman itu bersama-sama dengan Allah” berarti melampaui batas tempat. Ketika Allah berfirman, Allah bertindak sebagai Yang Berkata-kata (Pemfirman). Allah menyatakan diri-Nya melalui Firman yang dikeluarkan-Nya, dan Firman yang keluarmenjadi buah Wahyu Allah, sehingga yang mendengar Firman menerima Wahyu Penyataan Allah. Firman itu dikeluarkan dengan perantaraan kuasa Roh Kudus, seperti kita berkata-kata melalui nafas. Alkitab berkata bahwa Roh Kudus-lah Pewahyu Firman-Nya dalam bentuk kata-kata.
“Segala sesuatu dijadikan Dia dan tanpa Dia tidak ada satupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (ayat 3)
Pekerjaan kedua dari Pribadi Kedua yang ditetapkan oleh Pribadi Pertama ialah menciptakan dunia dan segala sesuatu. Oleh Dia dunia dan segala sesuatu diciptakan. Bandingkan dengan Kolose 1:16: “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu….segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Disini lebih jelas: Segala sesuatu bukan saja diciptakan melalui dan oleh Dia, tetapi juga bagi Dia. Segala sesuatu diciptakan oleh Kristus; ini berarti Pribadi Kedua mengerjakan pekerjaan Pribadi Pertama dan mengerjakannya bersama-sama. Jadi, kedua Pribadi bukan saja mempunyai esensi (ousia) ilahi yang sama, tetapi juga mempunyai pekerjaan yang sama. Siapakah yang dapat menciptakan kecuali Allah sendiri? Hanya Allah-lah yang dapat menciptakan! Jadi, kalau di sini dikatakan Firman itu (Kristus) menciptakan segala sesuatu, berarti Kristus adalah Pencipta dan Kristus adalah Allah.
Di dalam Yohanes 1:1 dikatakan Yesus Kristus adalah Allah, dan ini dipertegas di dalam 1:3 (dan Kolose 1:16) di mana dikatakan Dia melakukan pekerjaan menciptakan segala sesuatu. Tetapi, mengapa Yohanes 1:3 menuliskan hal ini dengan kata-kata yang seolah-olah berlebioh-lebihan, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupunyang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.”? Apakah tidak cukup kalau hanya ditulis,“Segala sesuatu diciptakan oleh Dia.”? Sebenarnya ayat ini tidak memakai kata-kata secara berlebihan, sebab kata-kata ‘tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan’ ini penting sekali bagi orang yang mau mengerti Kristologi yang benar.
Sejak abad yang pertama sudah muncul ajaran yang disebut “Gnotiksisme”. Ajaran ini mewarisi pikiran Yunani yang mengatakan bahwa dunia diciptakan oleh Allah yang sempurna. Kalau Allah itu sempurna mana mungkin Dia menciptakan dunia yang tidak sempurna? Kalau Allah sempurna, mengapa Dia menciptakan dunia yang tidak sempurna? Karena dunia ini tidak sempurna, bukanlah membuktikan bahwa yang menciptakan dunia yang tidak sempurna ini tentunya Allah yang juga tidak sempurna. Kalau Allah itu tidak sempurna sehingga Dia menciptakan dunia yang tidak sempurna, apakah Dia adalah Allah yang benar? Kalau Dia itu Allah yang benar, masakan Dia tidak sempurna? Maka, mereka mengambil kesimpulan, bahwa dunia ini diciptakan bukan oleh Allah tertinggi, melainkan oleh Allah tingkat dua, yang lebih rendah. Karena Allah yang tertinggi adalah Allah yang sempurna, maka tidak mungkin Dia menciptakan dunia yang tidak sempurna ini. Menurut logika manusia, hal ini memang dapat dimengerti; tetapi itulah logika atau pikiran manusia yang sudah jatuh dan dicemarkan oleh dosa. Sayangnya hal ini baru terjawab kira-kira 1700 tahun sesudah pertanyaan itu dilontarkan, yakni oleh Leibniz, seorang filsuf dari Jerman.
Mereka juga berpendapat, Allah yang menciptakan dunia dan yang kurang sempurna itu sendiri mungkin adalah Allah yang diciupta. Karena Dia sendiri juga dicipta, maka kuasa-Nya kurang (tidak Mahakuasa). Karena tidak Mahakuasa, maka karya-Nya juga tidak atau kurang sempurna. Karena Dia dicipta, kemudian mencipta dunia, maka dunia ini dicipta oleh yang mencipta (Penciptanya), tetapi yang mencipta itu sendiri diri-Nya dicipta oleh yang menciptakan-Nya. Maksudnya, Allah Yang Mahatinggi (periunmgkat pertama) menciptakan suatu Allah yang lebih rendah (peringkat kedua) dan yang kurang sempurna, itulah yang kemudian menciptakan dunia yang kurang sempurna ini, sehingga kalau melihat dunia ini tidak sempurna jangan mencela Allah yang tertinggi, karena Allah yang tertinggi tidak menciptakan dunia ini, melainkan Allah yang rendah. Allah yang lebih rendah itu mereka sebut dengan istilah “Demiurge”.
Pengertian semacam ini sudah muncul di dalam filsafat Plato. Plato tidak mengatakan bahwa Allah-lah yang telah menciptakan dunia ini, mnelainkan dia mengatakan bahwa yang telah menciptakan dunia materi adalah Demiurge. Dunia materi adalah dunia yang kurang sempurna, dunia yang penuh godaan dan kejahatan, dunia yang rusak. Kerusakan dan ketidaksempurnaan terjadi di dalam dunia materi, sehingga materi bersifat jahat. Dan karena materi bersifat jahat, maka pencipta dunia materi itu sendiri mempunyai sifat jahat dan tidak sempurna. Jadi jelasnya, dunia yang tidak sempurna ini bukan diciptakan oleh Allah Yang Mahatinggi dan Yang Sempurna, melainkan oleh Allah yang lebih rendah dan yang tidak Mahakuasa. Ajaran ini diterima oleh Gnostikisme, lalu diterima oleh aliran-aliran yang lain, sampai kepada Arianisme. Arius (tokoh Arianisme) menganggap bahwa Yesus Kristus diciptakan, karena itulah maklumlah kalau dia itu tidak Mahakuasa. Ajaran sesat itu diwariskan terus sampai abad ke-20 dan telah menjadi unsur pikiran utama dari interpretasi Kristologi orang-orang yang menamakan diri Saksi Yehovah. Mereka mengatakan bahwa Yesus Kristus diciptakan oleh Allah, sehingga Dia bukan Allah Yang Mahatinggi. Dia bukan Allah Yang Kekal. Dia adalah Allah di bawah Allah, yang diciptakan oleh Allah, sehingga Dia tidak Mahakuasa. Oleh sebab itu, menurut mereka, sekalipun Yesus menciptakan segala sesuatu, namun Dia bukan Allah Yang Mahakuasa. Mereka mengganti sebutan Allah di dalam Yohanes 1:1 menjadi allah, “Firman itu adalah allah.”
Baik Gnostikisme, Arianisme, Saksi Yehovah, maupun Witness Lee, percaya bahwa Yesus adalah ciptaan Allah. Karena Yesus ciptaan Allah dan Dia menciptakan segala sesuatu, maka di antara segala ciptaan, Yesus adalah ciptaan Allah yang utama, yang kemudian menciptakan segala sesuatu sisanya (yang lainnya). Tetapi ayat yang sedang kita bahas bersama ini mengandung suatu kebenaran yang dengan demikian bijaksana menantang dan menentang ajaran bidat ini dengan kalimat, “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang dijadikan.”
Kalau Yesus diciptakan oleh Allah, berarti Dia juga termasuk di dalam kategori dijadikan. Kalau Yesus sendiri diciptakan oleh Allah, bagaimana menjelaskan kalimat, “Tanpa Dia tidak ada satupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” ini? Bagaimana Allah menjadikan Dia, tanpa Dia sendiri yang menjadikan segala sesuatu? Mungkinkah Dia dijadikan oleh Dia yang menjadikan diri-Nya sendiri? Tidak mungkin! Itulah signifikasi dari ayat yang kelihatan berlebihan ini. Allah tidak menciptakan Yesus Kristus. Allah melahirkan Yesus Kristus, Anak Allah Yang Tunggal. Istilah melahirkan di sini menghentikan segala interpretasi yang mengatakan bahwa Yesus diciptakan, sebab lahir berartibukan cipta,dilahirkan berartibukan diciptakan. Bukankah manusia tidak bisa berkata, “Saya menciptakan anak-anak saya”?,melainkan “Saya melahirkan anak-anak saya”? Yang dilahirkan mempunyai sifat sama dengan yang melahirkan. Yesus Kristus disebut Anak Allah Yang Tunggal, berarti Dia dilahirkan oleh Allah Bapa. Allah Bapa adalah Allah, maka Anak Allah pun adalah Allah.
Oleh sebab itu, sekalipun Bapa dan Anak adalah dua Pribadi yang lain, tetapi mempunyai esensi Allah yang sama dan Esa. Sama seperti manusia melahirkan (anak) manusia; walaupun mereka berlainan pribadi dan watak, namun mempunyai esensi yang sama, yaitu esensi manusia. Maksudnya, sebagaimana anak manusia adalah manusia, demikian pula Anak Allah adalah Allah. Maka, kalau kita mengatakan Yesus adalah Anak Allah, itu benar. Yesus adalah Allah juga benar, sebab Anak Allah adalah Allah. Allah Bapa melahirkan Anak Anak. Di sini Pribadi Pertama (Bapa) bukan Pribadi kedua(Anak), tetapi bukan berarti Pribadi Kedua baru berada sesudah Dia dilahirkan. Sebelum dilahirkan Pribadi Kedua sudah berada bersama-sama di dalam diri Pribadi Pertama di dalam kekekalan. Inilah yang dimaksud dengan “…Firman itu bersama-sama dengan Allah…” Hal ini dapat kita bandingkan dengan yang diwahyukan di dalam Ibrani 7:9-10:
“….bahwa dengan perantaraan Abraham dipungut juga perpuluhan, sebab ia masih berada dalam tubuh bapa leluhurnya, ketika Melkisedek menyongsong bapa leluhurnya itu.”
Pada waktu Abraham memberikan persepuluhan kepada Melkisedek, Lewi juga ikut memberikan persepuluhannya, karena dia berada di dalam tubuh (pinggang) Abraham. Jadi, Lewi sudah ada sebelum dia dilahirkan secara biologis. Masalahnya sekarang, bagaimana menjelaskan bahwa Yesus adalah diri-Nya Allah dan Yesus adalah diri-Nya Anak Allah, namun Allah tetap satu. Bukankah dirinya manusia dan dirinya anak manusia adalah dua manusia? Dari mana kita mengetahui bahwa dirinya manusia dan dirinya anak manusia berarti dua manusia? Karena bapa saya dan saya (anak) adalah dua manusia, yang mempunyai tubuh berbeda (dua). Tetapi Allah berbeda dengan manusia, sebab Allah itu Roh adanya. Kita tidak boleh mengerti Allah dengan konsep manusia yang terbatas. Yang dicipta (manusia) jangan mempersamakan Yang Mencipta (Allah) dengan dirinya, sebab wilayah Pencipta melampaui wilayah yang diciptakan, dan wilayah roh tidak sama dengan wilayah materi.
Sama halnya dengan saya berkhotbah. Sebelumsaya berkhotbah, khotbah ini sudah berada di dalam diri (pikiran) saya. Setelah khotbah itu keluar dari mulut saya, maka diterima (didengar) oleh setiap orang yang mendengarkannya, sehingga di dalam pikiran mereka masing-masing terdapat satu khotbah. Di dalam diri (pikiran) saya juga masih ada satu khotbah itu. Apakah khotbah itu menjadi banyak atau tetap satu? Menjadi banyak,tetapi juga tetap satu. Mengapa bisa demikian? Karena khotbah (Firman) itu bukan materi, maka tidak dapat dihitung secara matematis. Kalau khotbah itu disalin/ditulis dua kali di dalam dua helai kertas, maka khotbah itu menjadi dua materi khotbah yang sama. Mengapa bisa diketahui menjadi dua? Sebab kertas bersifat materi, maka bisa dihitung secara matematis. Lain kalau khotbahitu disampaikan dalam bentuk lisan, khotbah (Firman) dalam diri saya tetap merupakan satu khotbah dan khotbah itu keluar menjadi banyak. Dalam hal ini kita melihat, satu dan banyak bisa sejajar dan menjadi sama.
Demikian pula pada waktu Pribadi Kedua keluar dari Pribadi Pertama, bukan berarti Pribadi Pertama kehilangan (kekurangan) sesuatu; juga tidak berarti menjadi dua Allah, melainkan tetap satu Allah (Esa). Dengan pengertian yang sama kita dapat menerima kalau dikatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Pribadi Pertama dan dari Pribadi Kedua. Roh Kudus keluar (bukan lahir) dari Allah Bapa dan Anak. Karena itu Roh Kudus bisa disebut sebagai Roh Anak atau Roh Kristus. Roh Kudus adalah Roh dari Bapa atau Roh dari Anak, yaitu Allah Pribadi Ketiga, tetapi bukan Pribadi Pertama dan bukan Pribadi Kedua.
D.Tritunggal Dalam Pengajaran Para Rasul
Kita akan melihat bagaimana para rasul sangat menghayati pengertian akan Wahyu yang diberikan kepada mereka mengenai Tritunggal. Secara tidak langsung mereka sudah mengalami dan menghayati pengertian Wahyu tentang Tritunggal, sekalipun mereka tidak menguraikannya secara istilah. Jikalau muncul pertanyaan, “Apakah istilah Tritunggal muncul (terdapat) di dalam Perjanjian Lama?, maka jawabannya, “Tidak” dan “Apakah istilah Tritunggal muncul di dalam Perjanjian Baru? Maka jawabannya juga “Tidak!” Tetapi ini tidak berarti konsep Allah Tritunggal tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama dan di dalam Perjanjian Baru. Bukan saja di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat konsep mengenai Tritunggal, bahkan konsep Tritunggal hanya ada di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di luar Alkitab tidak ada kemungkinan manusia mempunyai pengertian mengenai Tritunggal.
Kalau kita mempelajari filsafat Plato, diantara para filsafat seolah-olah hanya Plato yang mempunyai konsep sedikit mirip dengan Tritunggal. Plato mengatakan bahwa Allah itu seperti suatu terang, lalu ada cahaya yang keluar dari padanya, dan ada hangat yang berada di dalamnya. Ketiganya itu adalah satu. Pemikiran semacam ini seperti sangat mirip, tetapi tetap tidak sama dengan konsep Allah Tritunggal. Yang serupa (mirip) tidak berarti sama.
Di dalam hidup dan kerohanian para rasul (di dalam Perjanjian Baru), konsep Allah Tritunggal ini sudah mereka alami dan mereka hayati secara tidak sadar. Hal ini nampak di dalam tulisan-tulisan mereka yang diwahyukan Allah. Yang paling jelas kita lihat adalah di dalam doa berkat yang Paulus berikan kepada jemaat-jemaat. (Berkat ini sekarang dijadikan standar oleh para pendeta di seluruh dunia):
“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus, menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13)
Hanya Allah-lah satu-satunya yang menjadi Sumber Berkat bagi manusia. Tetapi di sini Paulus menyebutkan tiga Pribadi, karena di dalam penghayatannya dia percaya ada tiga Sumber yang menjadi satu-satunya Sumber yang memberikan berkat bagi manusia: Allah Bapa, Kristus, dan Roh Kudus. Sekalipun tidak memakai istilah Tritunggal, tetapi hal itu sudah dihayati, diterapkan, dan dipakai di dalam mengucapkan berkat. Kita juga melihat ketiga Pribadi Allah muncul di dalam 1 Petrus 1:2 (Ayat ini juga berisi definisi terbaik, terlengkap dan tertepat di dalam Alkitab mengenai orang Kristen) :
“….yaitu orang-orang yang terpilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikandarah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”
Di sini dari ketiga Pribadi Allah, yang muncul pertama kali adalah Pribadi Pertama, kemudian Pribadi Ketiga, dan terakhir Pribadi Kedua. Rencana pilihan dari Bapa, Roh Kudus menggerakkan kita agar taat kepada Kristus yang sudah mati dan memberikan darahNya untuk menyucikan kita. Bapa memilih, Roh Kudus melaksanakan, dan Kristus menggenapi. Hal ini menunjukkan bahwa para rasul mengenal Kristus dan Roh Kudus, dan mereka menyetarakan kedua Pribadi ini dengan Allah Bapa, karena mereka mengetahui hanya ketiga Pribadi ini sajalah yang memiliki ousia Allah Yang Esa itu. Selain ketiga Pribadi ini tidak ada lagi yang mempunyai sifat dasar Allah. Ketiga Pribadi ini menjadi Sumber Berkat.
Kiranya orang-orang Kristen tidak lagi diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran sesat seperti Saksi Yehovah, Mormon, Unitarian, Unification Church (Dr. Moon), dan Teologi Liberal, yang kini sedang menjalar di Indonesia. Semua ajaran itu menyangkal doktrin Tritunggal yang benar. Cukup banyak gereja yang tidak atau kurang mengajarkan doktrin-doktrin yang penting seperti Tritunggal ini kepada anggota-anggota jemaatnya, sehingga mereka dihanyutkan oleh pengajaran yang sesat.
Perlu kita pertanyakan: Sementara agama-agama lain, dan bidat-bidat, sangat menekankan dan menyebarkan ajaran-ajaran mereka dengan berani melalui media massa, mengapa orang-orang Kristen justru tidak mementingkan dan melalaikan doktrin? Bukankah data yang ada mencatat bahwa Saksi Yehovah mendapatkan anggotanya 70% dari Kristen Protestan dan Katolik, sedangkan Mormon 80%. Mereka tidak menginjil atau mencari jiwa-jiwa yang baru, melainkan hanya menarik atau mengeluarkan orang-orang yang sudah berada di dalam pukat Tuhan ke dalam gereja mereka serta mengajarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan, termasuk ajaran Tritunggal yang tidak beres. Mengapa kita tidak baik-baik dan cepat-cepat mengajarkan doktrin yang sangat penting ini, sehingga mereka yang sudah disesatkan itu sulit dikembalikan kepada ajaran yang benar? Sebelum hal itu terjadi lebih parah lagi, mengapa gereja tidak cepat-cepat mencegahnya dengan mengajarkan doktrin yang benar kepada mereka?
BAB IV : ROH KUDUS OKNUM KETIGA ALLAH TRITUNGGAL
Pada waktu Yesus baru memulai pekerjaan-Nya sebagai Mesias, Dia mengutip dari Kitab Yesaya, sebagai berikut:
\“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19)
Di dalam ayat ini kita melihat dengan jelas ketika Pribadi: Allah Bapa mengurapi Yesus Kristus dengan pengurapan Roh Kudus, dan mengutus Dia masuk ke dalam dunia. Hal yang sama terlihat di dalam Kisah Para Rasul 10:38
“…yaitu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.”
Di sini sekali lagi muncul tiga Pribadi: Allah Bapa mengurapi Allah Anak dengan Allah Roh Kudus. Yang mengurapi adalah Bapa, yang diurapi adalah Kristus, dengan urapan Roh Kudus.
Pada waktu Yesus Kristus berada di dalam dunia, Dia pernah mengajarkan mengenai Roh Kudus kepada murid-murid-Nya. Didalam pengajaran-Nya itu sangat jelas Dia memberitahukan beberapa sifat Roh Kudus yang hanya dimiliki oleh Allah. Yesus pernah mengajarkan murid-murid-Nya dengan berkata:
“Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Lukas 12:10)
Apa artinya ayat di atas itu? Ada dua kemungkinan interpretasi yang salah terhadap ayat ini, yaitu:
1. Tafsiran yang salah menganggap Roh Kudus lebih besar daripada Pribadi yang lain (Yesus Kristus, Anak Allah), sehingga kalau berdosa terhadap Anak masih bisa diampuni, sedangkan berdosa terhadap Roh Kudus tidak bisa diampuni lagi, sebab tingkat-Nya lebih tinggi.
2. Roh Kudus mempunyai sifat yang lebih keras, sehingga tidak mau mengampuni kesalahan orang; sedangkan Pribadi yang lain (Anak Allah) lebih bersifat rahmani, murah hati, dan suka mengampuni.
Walaupun kedua interpretasi di atas salah, namun paling tidak kita mengetahui bahwa Roh Kudus mempunyai hak, kedudukan sebagai Allah yang tidak bisa lebih rendah dari Pribadi yang lain (Anak Allah).
Siapakah Roh Kudus itu?
Di dalam Wahyu yang bersifat memaju (Progressive Revelation) dan di dalam mengajarkan tentang Roh Kudus yang akan datang, Kristus sudah memberitahukan beberapa sifat Roh Kudus yang penting:
“Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya.” (Yohanes 14:16)
Ada Alkitab bahasa Indonesia yang tidak mencantumkan “selama-lamanya” di dalam ayat ini. Kata ini memang tidak ada didalam Alkitab bahasa aslinya. Namun, tense yang dipakai (aorist tense) di sini menunjukkan arti selama-lamanya. Jadi sifat kekal dari Roh Kudus dinyatakan oleh Tuhan Yesus di sini. Adakah, pernahkah, seorang nabi atau seorang rasul yang hidup di dunia ini menyertai murid-muridnya atau para pengikutnya sampai selama-lamanya? Tidak ada. Jika demikian, Siapakah Dia yang dijanjikan oleh Kristus kepada murid-murid-Nya ini? Di dalam ayat selanjutnya (ayat 17) dijawab:
“…yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (Yohanes 14:17)
Justru inilah yang membuat jaminan hidup kekal menjadi mungkin, karena Roh itu adalah Roh Pemberi Hidup, dan Roh itu akan bersama-sama dengan kita untuk selama-lamanya. Itulah sifat kekekalan yang dimiliki oleh Roh Kudus, sifat Allah, sifat yang tidak lebih kecil daripada Anak. Sifat ilahi dari Roh Kudus juga diberitahukan di dalam Yohanes 3:34:
“Sebab siapa yang diutus Allah, Dialah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas.” (Yohanes 3:34)
Tidak terbatas adalah ousia atau sifat asasi dari Allah. Siapakah yang tidak terbatas, kecuali Allah sendiri? Di sini dikatakan bahwa Roh Kudus tidak terbatas, berarti Roh Kudus mempunyai sifat yang hanya ada pada Allah.
Sifat-sifat ilahi Roh Kudus muncul di dalam banyak ayat lainnya. Hal ini disangkal oleh aliran-aliran yang disebut Saksi Yehovah, Unitarianisme, Monarchianisme, Modalistic Monarchianisme atau yang disebut juga Sabelianisme, serta Liberalisme. Kita hanya akan membahas sedikit mengenai Sabelianisme di sini, sebab secara tidak disadari ajaran ini sekarang sedang menjalar di Indonesia.
Sabelianisme mengajarkan bahwa Allah kita itu Esa, tetapi mereka tidak percaya adanya tiga Pribadi. Mereka berusaha menjelaskan segala indikasi yang menunjukkan Allah Tritunggal di dalam Alkitab hanya sebagai semacam persona (Pribadi) yang diartikan sebagai topeng. (Sangat disesalkan, bahwa istilah persone dalam bahasa Latin, yang kemudian diterjemahkan menjadi person di dalam bahasa Inggris dan menjadi pribadi dalam bahasa Indonesia, mula-mula mempunyai pengertian topeng, yaitu topeng yang dipakai di dalam sandiwara). Maksudnya, seorang pelaku sandiwara dapat berperan sebagai dua atau lebih tokoh dengan menggunakan topeng. Misalnya, dalam babak pertama dia berperan sebagai orangtua dengan memakai topeng orang tua, kemudian dalam babak yang lain dia berperan sebagai anaknya sendiri dengan memakai topeng seorang anak. Dengan demikian seorang pelaku dapat muncul beberapa kali dengan topeng yang berbeda-beda. Tentu saja para penontonnya tidak tahu; mereka tertipu oleh topeng-topeng itu. Istilah persone inilah yang diambil oleh segolongan orang dan mengartikannya sebagai topeng-topeng untuk memainkan peranan yang berbeda-beda. Maka, golongan Sabelianisme merasa mudah untuk mengartikan AllahTritunggal, yaitu sebagai Allah Yang Esa yang mempunyai tiga peranan. Dalam zaman Perjanjian Lama, Allah berperan sebagai pelaku pertama dengan memakai topeng Bapa, kemudian dalam zaman Perjanjian Baru, Allah yang sama muncul dengan memakai topeng Anak berperan sebagai Allah Anak; dan setelah Yesus naik ke sorga, Dia datang kembali dengan memakai topeng ketiga sebagai Roh Kudus. Bandingkan dengan, misalnya: Pada waktu saya di mimbar, saya berperan sebagai pengkhotbah; di rumah saya sebagai seorang ayah atau kepala keluarga; pada waktu saya mengajar di sekolah saya sebagai guru atau dosen.
Itu bukan konsep Tritunggal, melainkan tunggal yang tri-topeng, tri-peranan atau tri-pelaku, dan tri-fungsi. Seorang pelaku yang memerankan tiga tokoh dengan tiga topeng; kelihatannya seperti ada tiga pelaku, padahal cuma seorang pelaku dengan tiga peranan. Demikianlah Sabelianisme (dari seorang yang bernama Sabelius yang hidup pada abad kedua) atau Modalistic Monarchianisme menjelaskan mengenai Tritunggal. Ajaran ini termasuk bidat, bukan ajaran Tritunggal yang sesuai dengan Alkitab.
Di dalam Tritunggal, Pribadi Pertama bukan Pribadi Kedua, dan Pribadi Kedua bukan Pribadi Ketiga. Berlainan Pribadi bukan berarti lain Allah, melainkan tetap satu Allah. Satu Allah mempunyai Tiga Pribadi, dan Tiga Pribadi berada di dalam Satu esensi Allah. Inilah Tritunggal.
Jikalau kita menerima ajaran Sabelianisme, maka kita menerima bahwa ketika Allah mengutus Anak-Nya di dunia, berarti Allah mengutus dan diutus diri-Nya sendiri, karena pribadi yang bertopeng pertama itu mengutus dirinya sendiri yang bertopeng kedua. Jadi, yang mengutus adalah yang diutus. Kalau demikian, kita tidak bisa menghindarkan diri dari kesalahan teologis yang lain yang disebut Patripachianisme, yaitu kesengsaraan Bapa sendiri. Maksudnya, pada waktu Yesus Kristus disalibkan berarti Allah Bapa yang dipaku, sebab Bapa sedang memakai topeng Anak datang ke dunia dan disalibkan. Dia sendiri yang mengalami penderitaan dan sampai mati. Kalau Pribadi Pertama yang memakai topeng Pribadi kedua itu mati, berarti Allah itu mati; dan pada waktu Allah mati, siapakah yang menopang alam semesta ini? Teologi tidak semudah apa yang mungkin kita pikirkan. Bukankah banyak orang yang tidak menyukai teologi; mereka lebih menyukai khotbah-khotbah yang berisi banyak cerita, pengalaman, kesaksian, yang enak dan mudah didengar, yang lucu-lucu, serta yang ajaib. Tetapi, sadarkah kita bahwa orang-orang bidat yang menamakan diri Saksi-Saksi Yehovah telah mendapatkan 70% anggotanya dari Protestan dan Katolik, Mormon 80%.
Celakalah kalau gereja-gereja dan para pemimpinnya tidak mengajarkan doktrin-doktrin yang benar dan penting kepada anggota-anggotanya. Alkitab selalu memperingatkan, “Peliharalah Firman Tuhan! Peganglah ajaran-ajaran yang benar! Bertekunlah di dalam pengajaran-pengajaran yang murni! Jangan berkompromi, tapi lawanlah ajaran-ajaran yang sesat! Pertahankanlah ajaran yang benar sampai Tuhan Yesus datang kembali!”
Sejarah sudah menjadi guru besar bagi kita. Seorang filsuf Jerman bernama Hegel, pernah mengucapkan suatu kalimat yang mengejutkan, “Pelajaran yang terbesar dari sejarah adalah bahwa manusia tidak menerima pengajaran sejarah.” Sejarah sudah mengajarkan kepada kita bahwa ajaran-ajaran bidat sudah muncul; isi ajarannya dan cara munculnya sudah dipelajari, namun manusia masih saja tidak waspada. Pintu selalu dibiarkan terbuka, sehingga generasi berikutnya juga ditelan oleh ajaran-ajaran bidat itu. Mari kita menantang arus pengajaran yang tidak beres di zaman ini dengan menanamkan ajaran-ajaran secara ketat.
Gnostikisme dan Arianisme yang hanya mempertahankan Keesaan Allah tanpa mempedulikan kemungkinan adanya tiga Pribadi di dalam diri Allah Yang Esa itu, akhirnya jatuh kepada kepercayaan terhadap Yesus yang moralis saja, tanpa bersifat ilahi, dan menganggap Roh Kudus sebagai yang tidak berpribadi. Mereka tidak mau memperhatikan kesaksian Alkitab yang demikian banyak mengenai ketiga Pribadi Allah.
Apakah Roh Kudus hanya kuasa? Apakah Roh Kudus hanya semacam prinsip? Apakah Roh Kudus berpribadi? Yang disebut pribadi paling tidak mempunyai tiga unsur: (1) Unsur rasio, sehingga dapat berpikir serta mempunyai pengertian akan kebenaran; (2) Unsur emosi, sehingga bisa mencintai, membenci, sedih, berduka, bersuka-cita, dan sebagainya; (3) Unsur kemauan, sehingga mempunyai kebebasan untuk bertindak menurut kemauan yang ada. Jika demikian, apakah Roh Kudus hanya semacam hembusan angin atau kuasa, atau prinsip perkerjaan Allah saja? Ataukah sebaliknya, Roh Kudus adalah satu Pribadi? Alkitab memberikan penjelasan mengenai Roh Kudus di dalam ayat-ayat sebagai berikut:
A. Roh Kudus Adalah Kebenaran
“Inilah Dia yang telah datang dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus, bukan saja dengan air, tetapi dengan air dan dengan darah. Dan Rohlah yang memberi kesaksian, karena Roh adalah Kebenaran.” (1 Yohanes 5:6)
Yesus Kristus pernah berkata, “Akulah Kebenaran”, maka kebenaran yang ada pada Kristus itu menjadi ousia ilahi. Demikian juga, kebenaran yang ada pada diri Roh Kudus itu pun menjadi ousia ilahi, sebab Roh Kudus adalah kebenaran. Lain halnya jikalau kita memikirkan mengenai kebenaran, maka kita hanya sebagai orang yang berhak untuk mempunyai dan melakukan fungsi intelek memikirkan tentang kebenaran. Namun Roh Kudus adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Roh Kudus bukan saja berintelek, tetapi juga menjadi Sumber segala intelek. Roh Kudus bukan hanya mempunyai rasio, tetapi juga Roh Kudus adalah Sumber segala rasio yang benar, karena Dia adalah Kebenaran itu. Bukan saja demikian, Roh Kudus adalah Roh yang mewahyukan kebenaran, dan Roh yang memimpin masuk ke dalam segala kebenaran.
“…yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (Yohanes 14:17)
“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.” (Yohanes 15:26)
“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nyai tulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” (Yohanes 16:13)
BACA JUGA: EKSPOSISI TRINITARIAN SURAT EFESUS
Roh Kebenaran bukan saja mempunyai kebenaran pada diri-Nya, tetapi Dia adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Bukan saya Dirinya Kebenaran, tetapi Dia juga adalah Pewahyu Kebenaran. Bukan saja Pewahyu Kebenaran, tetapi juga yang memimpin pikiran manusia masuk ke dalam kebenaran. Dia bukan aja mempunyai rasio, tetapi Dia adalah Sumber dari semua makhluk yang berasio. Inilah unsur pertama yang dimiliki Roh Kudus yang menunjukkan Dia adalah satu Pribadi, yaitu Rasio.
B. Roh Kudus Memiliki Emosi
Roh Kudus mempunyai kasih, dan kasih Allah dicurahkan kepada kita justru melalui Roh Kudus.
“Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:5)
Roh Kudus juga bisa merasa sedih dan berduka, sebagaimana tertulis di dalam Efesus 4:30:
“Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.”
Apa yang dimaksud mendukakan Roh Kudus di sini? Ini berarti membuat Dia sedih dan susah, karena ketidak-taatan manusia. Bagaimana seorang ibu yang penuh kasih sayang sedih melihat anaknya yang tidak taat kepadanya, demikianlah Roh Kudus menjadi sedih apabila kita tidak taat kepada-Nya, sebab Dia dikaruniakan kepada setiap orang yang percaya. Roh Kudus menjadi meterai dan berdiam di dalam setiap orang yang sungguh-sungguh telah diperanakkan kembali oleh-Nya sendiri.
C. Roh Kudus Memiliki Kemauan, Kebebasan, Ketetapan.
“Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini.” (Kisah Para Rasul 15:28)
Ayat ini mengenai larangan makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala dan daging dari binatang yang mati lemas. Larangan minum darah serta percabulan. Ini adalah keputusan Roh Kudus dan rasul-rasul. Jadi, kita melihat, Roh Kudus mempunyai kemauan untuk mengambil keputusan. Roh Kudus bukan hanya kuasa, gerakan, atau prinsip kerja Allah. Roh Kudus adalah satu Pribadi yang mempunyai kemauan serta kemampuan memberikan keputusan atau ketetapan.
“Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” (Roma 8:14)
“Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” (Roma 8:2)
Roh Kudus bukan saja memberikan keputusan bagi manusia, tetapi juga memimpin manusia. Roh Kudus bukan saja memimpin manusia, tetapi juga memberikan kebebasan kepada manusia, sehingga di mana Roh Kudus berada di situ juga ada kebebasan. Roh Kudus bukan saja mempunyai kebebasan memimpin manusia, masuk ke dalam manusia, tetapi juga memimpin masuk ke dalam kebebasan. Roh Kudus juga mengutus orang untuk melayani Tuhan. Misalnya, Roh Kudus mengutus Barnabas dan Saulus dari Antiokhia untuk mengabarkan Injil keluar.
“Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” (Kisah Para Rasul 13:2)
Pengutusan itu direncanakan dan ditetapkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus bukan saja memberikan pimpinan positif, namun kadang-kadang juga memberikan pimpinan negatif. Roh Kudus bisa merintangi seorang pada saat-saat dan di tempat-tempat tertentu dalam hal tertentu. Misalnya, Roh Kudus mencegah Paulus dan Silas untuk memberitakan Injil ke Makedonia yang menjadi pintu gerbang di mana Injil masuk ke daratan Eropa (Kisah Para Rasul 16:6-12).
Siapakah Roh Kudus? Kalau Roh Kudus bukan Pribadi, bagaimanakah Dia dapat mengambil keputusan? Bagaimanakah Dia dapat mengutus, bagaimanakah Dia dapat membebaskan kita, dan memimpin kita masuk ke dalam kebebasan. Roh Kudus adalah satu Pribadi, yaitu Pribadi Ketiga dari AllahTritunggal.
BAB V : KEUNIKAN DAN PEKERJAAN ALLAH TRITUNGGAL
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:5-7)
-----------------------
Orang-orang dari sekte Saksi Yehovah salah menafsirkan ayat-ayat di dalam Filipi 2:5-7 dan mengatakan bahwa Yesus sendiri tidak mengakui bahwa diri-Nya setara dengan Allah. Padahal maksud ayat-ayat itu: Yesus setara dengan Allah, tetapi Dia tidak mempertahankan itu dan dengan rela Dia datang ke dunia. Kesetaraan-Nya dengan Allah itu tidak membuat Dia tidak rela datang ke dunia sebagai manusia, bersalut dengan darah dan daging. Dia begitu rela masuk ke dalam dunia manusia dan menjadi setara dengan kita, tetapi Dia adalah Allah yang menjadi manusia.
A. Sejarah Doktrin Allah Tritunggal
Pada tahun 325 di Nicea diadakan suatu konsili di bawah pemerintahan Kaisar Konstantin untuk menyelesaikan perdebatan yang berlarut-larut mengenai penafsiran terhadap Tritunggal. Pada waktu itu dapat dikatakan ada dua pihak yang mempunyai dua pandangan yang sangat bertentangan: pertama, dari Arius (Arianisme), dan kedua, dari Atanasius.
Istilah Tritunggal itu sendiri sebenarnya berasal dari Tertulianus; dialah orang pertama yang mencetuskan istilah Tritunggal. Setelah menyelidiki Alkitab dengan treliti, Tertulianus merngemukakan bahwa Kristus tidak lebih rendah dari Bapa, Roh Kudus tidak lebih rendah dari Kristus, dan tidak lebih rendah dari Bapa; sebagaimana Bapa adalah Allah yang sejati, maka Anak Allah adalah Allah yang sejati, dan Roh Kudus juga Allah yang sejati. Sekalipun perkembangan doktrin Tritunggal pada waktu itu belum sempurna, namun setelah Tertulianus sudah mencapai keadaan yang sangat sehat.
Sebelum Tertulianus, Origen dari Aleksandria Utara Mesir mengatakan, “Dari Bapa keluarlah Anak; Anak keluar dari Bapa atau dilahirkan oleh Bapa menurut kedaulatan Bapa, sehingga kedudukan Anak lebih rendah (sub-ordinasi) di bawah Bapa. Jadi, Origen berpendapat bahwa Kristus lebih rendah sedikit daripada Bapa. Tetapi pandangan itu sudah dibereskan olehTertuilianus.
Tertulianus memberikan pandangan yang jauh lebih sehat di dalam sejarah gereja, bahwa Kristus tidak sub-ordinasi di bawah Bapa. Menurut dia, Kristus dilahirkan Bapa di dalam kekekalan. Umumnya manusia mempunyai konsep bapak lebih dulu dari anak, ini dipengaruhi oleh konsep keluarga yang ada di dalam dunia (manusia). Tetapi Allah bukan manusia. Kelahiran Anak di dalam kekekalan bukan berarti karena kedaulatan Bapa maka Anak dilahirkan, melainkan karena keharusan yang kekal, sehingga Anak dan Bapa adalah fakta dua Pribadi yang kekal dengan fakta kelahiran, tetapi bukan fakta ciptaan.
Jadi. Dengan konsep yang murni, kalau dikatakan di dalam Allah Tritunggal, Bapa melahirkan Anak (Mazmur 2:7), maka itu berarti kedua Pribadi mempunyai sifat dasar yang sama. (Bandingkan: Manusia melahirkan manusia; yang dilahirkan bukan diciptakan. Yang melahirkan bersifat manusia, maka yang dilahirkan juga bersifat manusia. Sifat hidup yang melahirkan tidak lebih tinggi daripada sifat hidup yang dilahirkan, yang dilahirkan tidak lebih rendah daripada yang melahirkan. Yang melahirkan setara yang dilahirkan). Istilah lahir di sini mempunyai signifikasi yang khusus: Yang melahirkan dan dilahirkan mempunyai natur atau sifat dasar yang sama. Maka dengan jelas kita mengerti, Yesus adalah Allah, karena Dia dilahirkan oleh Allah Bapa. Karena itu, tidak salah jika didalam Pengakuan Iman Atanasius dikatakan bahwa Yesus adalah Terang yang keluar dari Terang; Dia adalah Allah yang dilahirkan oleh Allah, dan Dia setara dengan Allah Bapa.
Demi mempertahankan doktrin atau ajaranTritunggal ini, Atanasius pernah lima kali dikucilkan oleh Gereja. Pada waktu itu di kalangan Gereja terdapat kekuatan yang tidak seimbang. Kebanyakan orang (mayoritas) percaya bahwa Yesus lebih rendah daripada Allah Bapa; mereka mengikuti aliran Sabelianisme dan Arianisme. Maka Atanasius harus berperang seorang diri (secara minoritas) melawan arus tersebut. Pada waktu orang-orang berkata kepadanya, “Sudahlah Atanasius, semua orang mengikuti ajaran yang mayoritas, dan seluruh dunia telah memusuhi engkau.” Atanasius dengan tegas menjawab, “Seluruh dunia memusuhiku? Baik! Aku, Atanasius, akan menjadi musuh melawan seluruh dunia!”
Jiwa, semangat, dan kesetiaan semacam inilah yang telah mempertahankan Kekristenan yang sejati, sehingga terus ada di dunia ini. Hari ini, bukankah kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri, bagaimana ajaran Kekristenan sudah menjadi demikian kacau balau dan simpang siur, di Indonesia khususnya, dan di seluruh dunia pada umumnya. Siapakah yang mau bersedia mempertahankan kebenaran Tuhan? Siapakah yang rela mengabdikan diri berperang bagi kebenaran Tuhan? Sudahkah kita bersiap sedia, baik-baik mempelajari kebenaran Firman Tuhan?
Tahun 325 peperangan doktrin ini dihentikan dengan konsili yang mengambil ketetapan besar. Sayangnya, ketetapan itu diambil dengan agak tergesa-gesa, karena perdebatan itu telah berlangsung berlarut-larut dan tak henti-hentinya. Sehingga kaisar Romawi (yang telah menjadi Kristen) pada waktu itu memutuskan untuk memihak pada Atanasius dan mengakhiri perdebatan itu. Namun, sebenarnya, kebenaran tidak perlu ditolong oleh kuasa politik. Kebenaran teologi seharusnya memperoleh kekuatan melalui pengertian yang diberikan oleh Roh Kudus.
Itulah sebabnya Atanasius menyatakan kekurangpuasannya, meskipun dia menang, karena kemenangannya itu dipoeroleh atas pertolongan seorang kaisar. Baginya, lebih baik terus berdebat, berdiskusi, berunding, dan menemukan kebenaran berdasarkan Wahyu Tuhan yang ditaati bersama. Kedua pihak yang bertentangan itu merasa tidak puas dengan keputusan kaisar itu, sehingga mengakibatkan keputusan kaisar selalu berubah-ubah karena dipengaruhi pihak kiri dan kanan. Setelah beberapa puluh tahun kemudian, barulah gereja bisa menerima doktrin Tritunggal ini dengan baik.
Peperangan doktrin semacam ini sangat panjang di dalam sejarah. Kita perlu mempelajari Sejarah Gereja lebih banyak dan belajar teologi lebih mendalam untuk menjadi murid Kristus yang sejati.
Sampai abad ke-empat, seorang tokoh gereja yang besar bernama Agustinus mulai menulis beberapa tesis yang besar. Agustinus bukan saja salah seorang pemikir yang terbesar di dalam kekristenan, tetapi juga di dunia intelektual, di dunia dari berbagai disiplin ilmu. Dia mempunyai intelek yang sangat tinggi dan dia mengabdikan kepandaiannya itu dibawah kuasa Firman Tuhan. Inilah prinsip Teologi Reformed yang harus kita pegang teguh: Kita harus membawa masyarakat takluk kepada Kristus, yakni dengan meninggikan Kristus di dalam dan di atas segala bidang. Boleh dikatakan, Agustinus adalah orang pertama yang mencakup ruang lingkup (scope) yang luas sekali, sehingga dia menyatakan keutamaan Kristus di dalam segala bidang. Dia menulis karya-karya yang sangat besar, antara lain: The City of God (Civitas Dei), My Confession (sebuah otobiografi yang paling menyentuh hati nurani umat manusia di sepanjang sejarah); On Trinity (mengenai Allah Tritunggal); On The Free Will (Mengenai Kebebasan Manusia). Tesis-tesis Agustinus ini, khususnya mengenai Allah Tritunggal yang ditulisnya berdasarkan kebenaran Alkitab yang ditelitinya secara mendalam, merupakan batu-batu yang teguh yang menjadi dasar yang kuat di dalam gereja.
Dalam sepanjang hidupnya, Agustinus mempunyai dua prinsip, yaitu: (1) Aku percaya untuk bisa mengerti, (2) Aku mengerti untuk mau percaya. Jadi, baginya, iman kepercayaan sudah jauh memandang ke depan, barulah intelek mengikuti apa yang telah dilihat oleh iman. Sehingga, di dalam tesisnya, tentang Tritunggal, Agustinus juga memakai dua prinsip, yaitu: (1) Taklukkan diri terlebih dahulu kepada Tuhan dengan iman yang murni; (2) Jelaskan dengan teliti apa yang seharusnya kita percaya.
Sejak itulah doktrin Tritunggal diterima dengan baik oleh gereja dan menjadi doktrin yang penting, dan barang siapa tidak menerima Tritunggal dianggap bidat dan tidak termasuk dalam gereja yang sejati.
Kita percaya kepada Allah Bapa, kepada Allah Anak, dan kepada Allah Roh Kudus, bukan tiga Allah, melainkan satu Allah yang mempunyai tiga pribadi. Mengenai Pribadi Allah Bapa tidak terlalu menimbulkan masalah, namun bagaimana mengenai Pribadi Anak dan Pribadi Roh Kudus? Kita akan melihat mengenai beberapa aspek yang khusus.
Berbicara mengenai karya yang hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri saja ada empat hal yang penting, yaitu (1) mencipta, (2) menebus dan memberi hidup, (3) menghakimi dan mengampuni orang berdosa, (4) mewahyukan Diri kepada manusia.
Mengenai Allah Bapa sebagai Pencipta, Penebus, Hakim dan Pengampunan, serta Yang mewahyukan diri, dinyatakan berulang-ulang di dalam Perjanjian Lama, misalnya di dalam Kitab Yesaya: Allah adalah Pencipta (41:20, 45:9-18, dll.); Penebus (41:14, 43:1-7, 44:21-28, 47:4,48:17); Yang menghakimi dan mengampuni (40:1-11, 45:20-25, 48:9, dll.); dan Yang mewahyukan (memperkenalkan) Diri kepada manusia (48:12-19, dll.).
B. Bukti Keilahian Kristus Melalui Pekerjaan-Nya
Berkali-kali di dalam Alkitab, Yesus disebut Allah, misalnya di dalam Yohanes 1:1, “Yesus disebut Firman (Logos) dan Firman itu bersama-sama dengan Allah (Theos) dan Firman itu adalah Allah (Logos = Theos)” Kristus yang adalah Firman Allah (Logos), yang dipakai Allah dalam menciptakan segala sesuatu itu, adalah Allah.
Di Kaisarea Filipi, Yesus pernah melontarkan pertanyaan kepada murid-murid-Nya, “Siapakah Aku?” (Matius 16:13-20). Mereka menjawab dengan mengutip pendapat orang-orang lain, “Ada yang mengatakan, Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan, Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Ini bagaikan mahasiswa-mahasiswa Sekolah Teologi sekarang yang tidak mempunyai pengenalan akan Yesus dari kepercayaannya sendiri, hanya bisa mengutip dari buku-buku dan pandangan orang lain. Tapi Tuhan Yesus menuntut dari pendapat dan kepercayaan murid-murid itu sendiri, “Tetapi, menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Setelah pengakuan iman yang sederhana ini diucapkan, Yesus menetapkan berdirinya Gereja-Nya di atas batu karang pengakuan itu sebagai fondasinya. Istilah Gereja (Ekklesia) muncul sejak saat itu. Dasar Gereja adalah pengakuan akan Yesus Kristus sebagai Anak Allah.
Tetapi sebutan Allah bagi Yesus bukan keluar dari mulut Petrus, melainkan dari murid-Nya yang paling skeptik, yakni Tomas. Sebelum melihat Kristus yang bangkit, Tomas pernah mengeluarkan kata-kata yang demikian lancang, : Sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” Kemudian Yesus menampakkan diri kepada Tomnas, yang pada waktu itu sedang bersama-sama dengan murid-murid yang lain, dan berkata, “Damai sejahtera bagi kamu!” dan khusus kepada Tomas, yang skeptik, Yesus memberikan tantangan, “ Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” Saat itulah Tomas yang minta bukti tidak lagi mempertahankan sikap skeptisnya sendiri melainkan bersujud menyembah Yesus sambil berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku!” Yesus tidak menolak sembah sujud Tomas, sebab Dia memang adalah Allah.
Demikian pula pada waktu seorang pemimpin datang kepada Yesus, ia berkata sambil berlutut di hadapan-Nya dan berkata,“Guru yang baik, apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Markus 10:17-27). Yesus tidak menolak sembah sujudnya itu, dan Dia menjawab, “Yang baik hanya Allah.” Orang-orang dari bidat yang menamakan diri Saksi Yehovah sekali lagi salah menafsirkan ayat ini untuk membuktikan bahwa Yesus sendiri menolak sebutan Guru yang baik, karena yang baik cuma Allah. (Sama halnya dengan salah tafsir mereka terhadap Filipi 2:6). Padahal di dalam jawaban Yesus kepada pemimpin itu terkandung suatu kaitan ironis yang luar biasa, yang belum pernah ada di dalam cara pendidikan manapun. Di sini seakan Yesus berkata, “Kalau engkau memanggil dan menganggap aku Guru, tidak perlu berlutut seperti itu. Kalau engkau memang tahu Aku adalah Allah, memang engkau harus berlutut; tetapi kalau engkau sudah berlutut di hadapan-Ku seperti itu, mengapa memangil Aku Guru, tidak ’Allah’? Apa yang kau cari? Engkau cari hidup kekal? Hidup kekal tidak ada pada guru, sebab guru tidak memberikan hidup kekal, guru hanya memberikan pengetahuan. Engkau mencari hidup kekal, tetapi datang kepada Guru dan berlutut di hadapan-Nya serta memanggil ‘Guru yang baik’. Yang baik cuma Allah; apakah engkau sudah mengetahui kalau Aku adalah Allah? Kalau engkau belum tahu Aku adalah Allah, mengapa engkau berlutut? Jadi, pada waktu Yesus berkata, “Yang baik hanya Allah.” Berarti Dia ingin menantang, “Sudahkah engkau mengenal bahwa Aku adalah Allah? Aku belum mengumumkan hal ini kepadamu, karena waktu-Ku belum sampai.” Sampai saat itu memang masih ada kekaburan, tetapi sesudah kebangkitan-Nya dari kematian, Yesus tidak lagi membiarkan kekaburan itu tidak dijelaskan. Sesudah Yesus bangkit, Dia menerima sembah sujud dan dipanggil Allah. Rasul Paulus menulis tentang Yesus, “Dia adalah Allah yang melebihi segala sesuatu, Allah yang patut dipuji untuk selama-lamanya.” (Roma 9:5)
1. Kekekalan Yesus Kristus
Mengenai Yesus Kristus telah kita bahas, melalui nubuat mengenai diri-Nya di dalam Mikha 5:1, maupun melalui pernyataan-Nya sendiri di dalam Yohanes 8:58 bahwa Dia sudah ada sejak di dalam kekekalan. Tetapi mengenai akhir-Nya kita baca di dalam Ibrani 1:11-12:
“Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada….. tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan.”
Sifat kekekalan ini hanya bisa dimiliki oleh Allah sebagai ousia Allah dan ini dimiliki oleh Kristus, karena Dia adalah Allah. Bukan saja ditinjau dari aspek nama-Nya, tetapi juga dari aspek sifat-Nya yang kekal, Yesus Kristus adalah Allah.
Bagaimana dengan Roh Kudus? Apakah Roh Kudus juga mempunyai sifat kekal? Di dalam seluruh Perjanjian Baru hanya satu kali tercantum mengenai hal ini, yakni di dalam Ibrani 9:14:
“Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup?”
Di dalam ayat ini dikatakan bahwa pada waktu Yesus mati disalibkan, Dia telah memberikan suatu persembahan kepada Allah dan persembahan kepada Allah ini diberikan melalui Roh yang kekal. Ini suatu istilah yang indah, sebab sifat Allah yang kekal dikaitkan dengan Pribadi Ketiga, yaitu Roh Kudus, sehingga menjadi Roh yang kekal (The Eternal Spirit). Roh Kudus adalah Roh yang kekal; Allah yang kekal dinyatakan di dalam Pribadi Yang Ketiga; Dia-lah Roh Kudus yang kekal. Oleh sebab itu, tidaklah mustahil bagi-Nya untuk berdiam di dalam orang-orang yang menerima perjanjian-Nya akan disertai selama-lamanya, sebagaimana yang dijanjikan Kristus mengenai Roh Kudus kepada murid-murid-Nya di dalam Yohanes 14:16,
“Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu, sampai selama-lamanya.”
2. Karya Yesus Kristus
a. Yesus Kristus adalah Pencipta
Yesus Kristus sebagai Pencipta sebenarnya sudah dinyatakan sejak permulaan Kitab Kejadian, “Pada mulanya Allah (Elohim) menciptakan langit dan bumi…dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah, “Jadilah terang.” Lalu terang itujadi.” (Kejadian 1:1-3). Allah menciptakan, ini adalah Allah Yang Esa. Roh Allah melayang-layang, ini adalah Pribadi Ketiga yang ikut serta di dalam penciptaan. “Berfirmanlah Allah, “Jadilah….” Ini menunjukkan Allah Bapa dan Yesus Kristus, karena Dia adalah Firman (Logos) Allah. Jadi, Allah Tritunggal bekerja bersama-sama di dalam menciptakan segala sesuatu. Logos ikut serta di dalam penciptaan, hal ini kemudian dikembangkan di dalam Amsal pasal 8 di mana Dia disebut sebagai Hikmat, dan semakin jelas di dalam Yohanes 1:1-3 yang telah kita bahas, dan akhirnya di dalam Kolose 1:5 dan seterusnya. Kristus adalah Pencipta.
b.Yesus Kristus adalah Penebus (Pemberi Hidup kekal)
Pada waktu Yesus datang ke dalam dunia, Yohanes Pembaptis berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” (Yohanes 1:29). Anak Domba Penebusan inilah yang telah ditetapkan oleh Bapa menjadi Pengganti domba yang harus dikorbankan setiap hari raya Pasah (Grafirat), karena dia-lah Domba Paskah yang sesungguhnya. Yesus adalah Penebus. Yesus Kristus sendiri pernah berkata,
“….Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:28)
“Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:28)
Kedua pernyataan Yesus yang sangat penting di dalam kedua ayat di atas merupakan proklamasi Kristus sendiri mengenai penebusan-Nya. Seorang teolog bernama Adolf von Harnack (1851-1930) pernah mengungkapkan suatu kalimat yang terlalu berani, “: Orang Kristen, tinggalkan Paulus, kembali ke Yesus!” Harnack mengira Yesus datang hanya untuk masalah sosial, hanya untuk memberikan sumbangsih di dalam masyarakat, memperbaiki atau mengubah kemiskinan di dalam kehidupan umat manusia dengan jalan mengadakan perubahan dalam diri setiap pribadi; dia menganggap kedatangan Kristus ke dunia tidak ada sangkut pautnya dengan penebusan dosa. Kedua pernyataan tegas dari Yesus di atas menjawab Harnack, “Aku datang untuk menjadi tebusan bagi banyak orang; darah-Ku dicurahkan untuk pengampunan dosa.”
c. Yesus Kristus Menghakimi dan Mengampuni
“Tetapi Yesus berseru, kata-Nya, “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia yang telah mengutus Aku; dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku. Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan. Dan jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menghakiminya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu Firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.” (Yohanes 12:44-48)
Ayat di atas menunjukkan maksud kedatangan-Nya yang pertama: bukan untuk menghakimi. Melainkan untuk menyelamatkan. Dengan kedatangan-Nya di dalam daging (inkarnasi) dan melalui tubuh-Nya yang dijatuhi hukuman di atas kayu salib menggantikan manusia yang berdosa, Yesus menyelamatkan kita. Namun, kemudian dikatakan juga, “Barang siapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah hakimnya, yaitu Firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya di akhir zaman.” Hal ini akan digenapi pada waktu kedatangan-Nya yang kedua kali kelak; pada waktu itulah Dia akan menghakimi seluruh umat manusia dengan firman-Nya. Siapakah Dia ini, yang dapat menyelamatkan dan menghakimi manusia? Dia, Yesus Kristus, adalah Allah. Selama di dunia Yesus juga mengatakan sifat ilahi-Nya dengan memproklamirkan pengampunan dosa bagi manusia.
“Lalu Ia berkata kepada perempuan itu, “Dosamu telah diampuni.” Dan mereka, yang duduk makan bersama Dia, berpikir dalam hati mereka, “Siapakah Ia ini, sehinga Ia dapat mengampuni dosa?” (Lukas 7:48-49)
“Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu, “Hai anak-Ku, dosamu saudah diampuni! …..Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah sendiri?” (Markus 2:5-7, Matius 9:2)
d. Yesus Kristus Menyatakan Diri
“Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak, dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Matius 11:27)
Kristus, Anak Allah, sendirilah yang menyatakan Bapa kepada manusia menurut yang dikehendaki-Nya. Allah menyatakan diri melalui Kristus, dan Kristus menjadi Pewahyu yang menurunkan Wahyu kepada manusia untuk mengenal Allah yang diwahyukan. Allah berada di dalam Kristus dan Kristus menyatakan Allah. Ini pun menunjukkan bahwa Kristus adalah Allah.
Itulah ke-empat karya atau pekerjaan yang dilakukan oleh Kristus yang menyatakan bahwa Dia adalah Allah. Keempat hal yang sama juga kita lihat dikerjakan oleh Roh Kudus, Pribadi Ketiga AllahTritunggal.
C. Bukti Keilahian Roh Kudus Melalui Pekerjaan-Nya
pakah Roh Kudus juga disebut Allah? Melalui dua perbandingan di bawah ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Roh Kudus juga disebut Allah.
“Tetapi Petrus berkata, “Ananisas, mengapa hatimu dikuasai iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.” (Kisah Para Rasul5:3-4)
Melalui cara membandingkan kedua ayat itu kita mengetahui bahwa Roh Kudus adalah Allah, karena barang siapa berdusta kepada Roh Kudus berarti berdusta kepada Allah. Di sini bukan saja Roh Kudus dipersamakan dengan Allah, tetapi juga Roh Kudus langsung disebut sebagai Allah. Roh Kudus bukan hanya angin, kuasa, atau prinsip kerja Allah. Barang siapa bersalah kepada Roh Kudus berarti bersalah kepada Allah, karena memang Roh Kudus adalah Allah.
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1Korintus 6:19)
“Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut Firman Allah ini, “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (2 Korintus 6:16)
Ayat ini sebenarnya merupakan suatu teguran bahwa orang Kristen tidak boleh memberikan tubuhnya menjadi tempat perbuatan dosa atau alat untuk melakukan dosa. Tubuh setiap orang Kristen sudah dikuduskan dan menjadi tempat kediaman Roh Kudus. Tubuh orang Kristen adalah bait Roh Kudus dan juga bait Allah. tempat kediaman Roh Kudus dan tempat kediaman Allah ini disatukan; ini membuktikan Roh Kudus disebut Allah. Perbandingan ini ditemukan oleh Agustinus di dalam tesisnya mengenai Tritunggal.
1. Roh Kudus adalah Pencipta
Selain Kejadian 1:1 yang telahkita bahas, dua ayat yang penting mengenai Roh Kudus adalah Pencipta ialah:
“Oleh nafas-Nya langit menjadi cerah, tangan-Nya menembus ular yang tangkas.” (Ayub 26:13)
Istilah nafas atau nephes di dalam bahasa Ibrani mempunyai dua arti: (1) Nafas di dalam yang dicipta, dan (2) Roh dari Allah Pencipta. Kalau di dalam Ayub 26:13 ini dikatakan “Oleh nafas-Nya Allah menciptakan langit (dan segala sesuatu)”, apakah ini berarti Allah mempunyai hidung untuk bernafas, untuk menghirup dan menghembuskan udara yang diciptakan-Nya sendiri? Tentu saja tidak! Allah adalah Roh Pencipta. Jadi disini mempunyai pengertian yang kedua: “Roh dari Allah Pencipta.” Itulah Roh Kudus yang mencipta. Pada waktu Allah menghembuskan nafas-Nya untuk menciptakan segala sesuatu, Dia melakukankarya-Nya itu melalui Roh Kudus yang keluar dari-Nya; dengan Roh-Nya, yakni Roh Kudus, Allah menciptakan segala sesuatu dalam alam semesta ini. Bandingkan: Setelah kebangkitan-Nya, Kristus menemui murid-murid-Nya, menghembusi mereka, dan berkata, “Terimalah Roh Kudus.” (Yohanes 20:22)
“Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang mahakuasa membuat aku hidup.” (Ayub 33:4)
Di dalam Ayub 33:4 ini lebih jelas menunjukkan Roh Kudus Allah yang menciptakan manusia. Di sini Ayub lebih menunjuk kepada aspek penciptaan di dalam wilayah kedua yakni menciptakan manusia. Penciptaan di dalam wilayah yang kedua ini dikatakan lebih khusus, karena penciptaan manusia ini lebih sulit dibandingkan dengan penciptaan alam semesta dan karena manusia diciptakan menurut gambar dan teladan Allah sendiri. Kalau di dalam Ayub 26:13 dikatakan “Oleh nafas-Nya segala sesuatu terjadi, “di sini (Ayub 33:4) secara lebih khusus dikatakan, “Roh Allah telah membuatku, dan nafas Yang mahya kuasa membuat aku hidup.” Namun, kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah Pencipta.
2. Roh Kudus adalah Pemberi Kuasa Kebangkitan dan Hidup Baru
Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” (Roma 8:1-2)
Ini adalah satu-satunya ayat di dalam Alkitab yang mencatat Roh Kudus adalah Pemberi hidup. Roh yang memberi hidup sudah memerdekakan kita dari hukum dosa dan hukum maut. Roh Kudus sudah menebus dan memberikan hidup baru kepada setiap orang yang sudah diperanakkan-Nya. Ayat11 merupakan komentar lebih lanjut dari ayat ini:
“Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam didalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam didalam kamu.”
Di dalam Pengakuan Iman Rasuli tercantum, “Aku percaya kepada Roih Kudus, Gereja yang kudus dan am, Persekutuan orang kudus, Pengampunan dosa, Kebangkitan orang mati, dan Hidup yang kekal.” Di dalam kalimat ini juga ditunjukkan pekerjaan Roh Kudus: Kebangkitan orang mati dan pemberian hidup yang kekal bagi manusia dikerjakan oleh Roh Kudus yang telah membangkitkan Kristus dari kematian; Roh ini juga yang berdiam di dalam diri setiap orang Kristen dan menjadi meterai keselamatan (Efesus 1:13-14), dan Roh ini juga yang kelak akan membangkitkan kita dari kematian. Roh memberi hidup kepada kita yang ada didalam Kristus, sehingga kita hidup berkenan di hadapan Allah, yakni hidup untuk kebenaran dan mati terhadap dosa, sambil menantikan saat di mana tubuh kita akan dibangkitkan. Ini pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh Allah; Roh Kudus dapat membangkitkan dan memberikan hidup kekal kepada manusia, karena Dia adalah Allah.
3. Roh Kudus Menghakimi dan Mengampuni
“Sebab itu Aku berkata kepadamu, “Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak.” (Matius 12:31-32)
“….apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak akan mendapat ampun selama-lamanya.” (Markus 3:29)
“Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi barang siapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Lukas 12:10)
Ayat-ayat di atas memberitahukan kepada kita suatu kebenaran, bahwa pengampunan ditetapkan oleh Roh Kudus. Jika Roh Kudus tidak mengampuni, maka tidak ada seorang pun dapat diampuni; jika Roh Kudus mengampuni, barulah manusia diampuni. Jadi, Roh Kudus-lah yang menahan dan memberikan pengampunan. Di dalam seluruh Alkitab hanya di dalam Ibrani 10:29 Roh Kudus disebut dengan satu sebutan khusus Roh Kasih Karunia. Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia yang lama, yang lebih mendekati arti semula, adalah Roh Pohon Anugerah. Di dalam bahasa Inggris ada yang diterjemahkan menjadi the Spirit of Grace (King James Version) dan the Holy Spirit Who imparts grace (Amplified Bible). Kata aslinya mengandung pengertian Roh yang melaksanakan anugerah. Roh Kudus adalah Sumber Anugerah, karena Dia yang mengambil keputusan memberikan anugerah atau tidak; anugerah penebusan dan pengampunan ditetapkan oleh Roh Kudus. Di dalam penebusan, Allah Bapa mempersiapkan atau menyediakan keselamatan, Allah Anak menggenapi keselamatan, dan Allah Roh Kudus melaksanakan keselamatan.
4. Roh Kudus Mewahyukan Kebenaran
“Segala tulisan (yang) diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16)
Istilah yang diterjemahkan menjadi diilhamkan Allah di sini, di dalam bahasa Yunani adalah teopneustos, yang berarti dinafaskan Allah (Inggris: God-breathed) yang juga dapat berarti hembusan atau nafas Allah. Jadi secara harafiah, secara lebih akurat, ayat di atas boleh diterjemahkan: “Segala (setiap) tulisan (Alkitab) dinafaskan Allah dan bermanfaat untuk…” Pada waktu Allah menghembuskan, ini adalah pekerjaan dari Roh Kudus. Dengan demikian kita mengerti bahwa Roh Kudus-lah yang mewahyukan dan menyatakan kebenaran Allah kepada manusia. Hal ini dapat kita lihat juga di dalam 2 Petrus 1:20-21:
“Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.”
Setiap perkataan dari Allah yang dinubuatkan atau dikatakan melalui manusia adalah karena dorongan, gerakan, atau pekerjaan dari Roh Kudus. Tanpa digerakkan oleh Roh Kudus, manusia tidak dapat mengatakan perkataan-perkataan (Firman) Allah, karena hanya Roh Kudus-lah yang dapat mewahyukan Firman Allah.
D. Baptisan Dalam Allah Tritunggal
Beberapa aspek lain yang menyatakan hal yang khusus mengenai peranan ketiga Pribadi di dalam Allah Tritunggal nampak di dalam Baptisan dan Berkat.
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:19-20)
Baptisan orang Kristen dilakukan di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Di dalam bahasa aslinya (Yunani) mengandung kata sandang ho (Inggris: the). Jadi di dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi: in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit. Di dalam bahasa Yunani, kata sandang ho mengandung pengertian yang berpribadi. Jadi, di sini maksudnya: Bapa itu dan Anak itu dan Roh Kudus itu; ketiga-Nya berpribadi. Kalau the dihilangkan, menjadi: in the name of Father and Son and Holy Spirit, pengertian bisa menjadi seperti pandangan Modalistic Monarchianisme atau Sabelianisme: in the bame of Father, which Sometimes becomes Son, and next time becomes Holy Spirit. Bapa, yang kadang-kadang bisa menjadi Anak, dan kadang-kadang bisa berubah menjadi Roh Kudus; berubah-ubah menurut zaman; satu pribadi dengan tiga topeng; satu pribadi dengan tiga fungsi atau peranan; satu pribadi yang muncul tiga kali dalam tiga periode yang berlainan; ini bukanTritunggal.
Tetapi nama di dalam ayat ini memakai bentuk tunggal, bukan jamak: in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit, bukan in the names of the Father and of the Son and of the Holy Spirit. Menurut tata bahasa, seharusnya nama memakai bentuk jamak, sebab Bapa satu Pribadi, Anak juga satu Pribadi, dan Roh Kudus juga satu Pribadi; Bapa. Anak, dan Roh Kudus adalah tiga Pribadi. Tetapi di dalam ayat ini satu nama tiga Pribadi; inilah Tritunggal. Seorang teolog bernama Louis Berkhoff mengingatkan Gereja di seluruh dunia untuk meninjau kembali kepada ayat ini, yang dengan jelas menunjukkan akan Allah Tritunggal.
Demikian juga kita dapat menemukan ketiga Pribadi di dalam Allah Tritunggal melalui penyampaian berkat oleh Rasul Paulus yang sekarang dijadikan standar berkat di gereja-gereja di seluruh dunia:
“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus, menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus13:13)
PENUTUP
Kalau doktrin Allah Tritunggal ini disalah mengerti, akan menimbulkan dua pandangan ekstrim yang keliru: (1) Percaya akan tiga allah, dan (2) Percaya akan satu allah yang memakai tiga topeng. Kedua-duanya bukan ajaran Kristen; bukan teologi yang berdasarkan Alkitab yang benar; bukan ajaran mengenai Allah yang sejati. Allah yang sejati adalah Allah yang mempunyai ousia ilahi, tiga Prosopon; satu sifat dasar ilahi, tiga Pribadi. Orang-orang Yahudi hingga kini tidak bisa menerima Tritunggal, demikian pula orang-orang Islam, Mormon, Saksi Yehovah. Orang-orang Yahudi tetap mempertahankan iman monoteistik, percaya kepada Allah yang tunggal, tetapi tidak mempunyai tiga Pribadi. Mereka memegang erat paham itu sejak zaman Moses Maimonaides (abad pertengahan), yang dianggap sebagai “Musa kedua di dalam sejarah bangsa Yahudi”. Musa pertama adalah Musa yang menulis Pentateukh (kelima kitab Taurat). Untuk mempertahankan pandangannya, Moses Maimonaides mengemukakan kata Ibrani “yachid” yang berarti yang satu-satunya, tidak ada yang lainnya (the only one, and no more other). Dengan kata“yachid” ini, Moses Maimonaides dengan serius dan ketat melarang orang Israel menerima konsep Allah Tritunggal, sebab dia hanya percaya kepada Allah YangTunggal, tetapi tidak “tri” atau terdiri dari tiga Pribadi.
Sampai kemudian ada seorang teolog Reformed bernama Loraine Boettner, yang setelah menyelidiki dengan teliti, mengemukakan di dalam bukunya, “Itu kesalahan yang telah mengurung bangsa Yahudi selama kira-kira 800 tahun, sehingga mereka tidak bisa menerima konsep AllahTritunggal, karena diikat oleh istilah “yachid” yang diajarkan oleh Moses Maimonaides. Tetapi itu salah, karena di dalam Alkitab istilah “yachid” tidak pernah dipakai untuk Allah.”
Istilah “yachid” dipakai dalam pengertian tunggal yang benar-benar hanya satu; misalnya, Allah berkata kepada Abraham, “Ambillah anakmu yang tunggal itu….” (Kejadian22:2). Kata “tunggal” di sini memakai istilah “yachid” sebab artinya adalah satu-satunya, tidak ada yang lain. Tetapi untuk Allah dipakai istilah “ehad”, bukan “yachid”. Ehad berarti satu, yachid berarti hanya satu. Dimana letak perbedaannya? Misalnya, di dalam Kejadian 1 dikatakan, “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Adalah satu hari, hari pertama; maka, satu di sini memakai istilah ehad, sebab di dalam satu hari ini mengandung dua yang disatukan petang dan pagi. Jadi, ehad adalah kesatuan dari penyatuan, sedangkan yachid adalah kesatuan yang mutlak tunggal, satu-satunya. Demikian pula ketika Allah berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kejadian 2:24). Kata “satu” di sini memakai kata“ehad”, sebab ini merupakan kesatuan hasil persatuan dua insan. Demikian pula “ehad” sekali lagi dipakai di dalam Ulangan 6:4 : “Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!”, karena ini merupakan kesatuan dari persatuan ketiga Pribadi, yaitu Pribadi Bapa, Pribadi Anak, dan Pribadi Roh Kudus.
Jikalau kita tidak percaya Allah itu adalah Allah Tritunggal, maka kita tidak berhak percaya bahwa Allah itu Kasih adanya. Sebab jikalau Allah hanya Tunggal dan bukan Tritunggal, siapakah yang menjadi obyek kasih-Nya sebelum segala sesuatu diciptakan? Kalau Dia adalah Allah yang Kasih, tetapi sebelum segala sesuatu ada, tidak ada obyek kasih-Nya, maka Dia akan merasakan kesepian yang akan menjadi masalah. Sebelum segala sesuatu diciptakan, sebelum ada waktu dan tempat, di dalam kekekalan, Dia tetap adalah Allah yang Kasih dan Dia adalah Allah yang Kekal, sebab di antara ketiga Pribadi itu Allah saling mengasihi. Allah Tritunggal dan Allah yang Kasih menjadi gabungan yang kekal; Allah yang Kekal mempunyai kasih yang kekal juga.
Maka, di dalam agama apapun di luar Kekristenan, tidak ada ungkapan Allah itu Kasih, sebab mereka tidak mampu menggabungkan Allah yang Tunggal dengan Allah yang Kasih dan Allah yang Kekal. Di sinilah keunikan teologi Kristen. Satu-satunya agama yang menyatakan Allah adalah Kasih adalah yang didasarkan atas kepercayaan bahwa Allah adalah Allah Tritunggal. Dan karena Allah Tritunggal adalah Allah yang Kasih, maka Dia berhak menuntut kepada manusia, “KasihilahTUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan 6:5). Jikalau kita percaya Allah Tritunggal, kita harus mengasihi Dia dan jikalau kita mencintai-Nya, kita harus mentaati segala perintah-Nya.
Allah Tritunggal - Pdt.Stephen Tong.
Amin.