1 Timotius 3:1-7: 17 Kualifikasi bagi Pengkhotbah dan Pemimpin Gereja

Pengantar:

Surat 1 Timotius adalah salah satu surat pastoral yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada Timotius, seorang pemimpin muda di gereja Efesus. Dalam surat ini, Paulus memberikan arahan tentang tata cara kehidupan jemaat, termasuk panduan mengenai kualifikasi untuk para pemimpin gereja. Salah satu bagian terpenting dari surat ini adalah 1 Timotius 3:1-7, yang menjabarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengkhotbah atau penilik jemaat (penatua) yang memimpin dalam jemaat.
1 Timotius 3:1-7: 17 Kualifikasi bagi Pengkhotbah dan Pemimpin Gereja
Dalam pasal ini, Paulus tidak hanya berbicara mengenai keterampilan atau kemampuan seorang pemimpin, tetapi lebih menekankan pada karakter moral dan spiritual yang harus dimiliki oleh mereka yang dipercaya memimpin gereja. Artikel ini akan membahas secara mendalam 17 kualifikasi bagi pengkhotbah dan pemimpin gereja yang disebutkan dalam 1 Timotius 3:1-7, serta implikasinya bagi kehidupan gereja dan kepemimpinan Kristen di masa kini..

1. Menghendaki Pekerjaan yang Baik (1 Timotius 3:1)

Ayat pertama menegaskan bahwa menginginkan jabatan penilik jemaat adalah keinginan yang baik. John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menjelaskan bahwa panggilan untuk memimpin gereja bukanlah sesuatu yang harus dianggap remeh atau dijadikan ambisi pribadi, melainkan harus dipandang sebagai pelayanan yang mulia yang ditujukan untuk memuliakan Allah dan melayani umat-Nya.

Charles Spurgeon, dalam salah satu khotbahnya, menekankan bahwa dorongan untuk melayani sebagai penilik jemaat harus muncul dari hati yang penuh kasih terhadap Tuhan dan gereja-Nya, bukan untuk keuntungan pribadi atau kebanggaan diri. Spurgeon juga memperingatkan bahaya menginginkan jabatan ini hanya karena status sosial atau kekuasaan.

2. Tidak Bercela (1 Timotius 3:2)

Paulus menyatakan bahwa seorang penilik jemaat haruslah "tidak bercela". John Stott, dalam bukunya The Message of 1 Timothy and Titus, menafsirkan istilah ini sebagai integritas moral yang tanpa cela. Tidak bercela bukan berarti tanpa dosa, tetapi pemimpin gereja harus memiliki reputasi yang bersih dan tidak ada tuduhan serius tentang moralitasnya.

R.C. Sproul, dalam The Character of a Leader, menekankan pentingnya kepemimpinan yang bermoral. Seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi jemaat, dan ketidakbercelaan mereka harus mencakup kehidupan pribadi, profesional, dan sosial.

3. Suami dari Satu Istri (1 Timotius 3:2)

Kualifikasi ini menekankan bahwa pemimpin gereja harus setia kepada pasangannya. Wayne Grudem, dalam Systematic Theology, menafsirkan frasa ini sebagai seruan terhadap kesetiaan dalam pernikahan. Grudem menekankan bahwa seorang pemimpin harus menunjukkan komitmen yang teguh kepada keluarganya sebagai gambaran dari kesetiaan Kristus kepada gereja.

John MacArthur, dalam komentarnya terhadap 1 Timotius, menambahkan bahwa ini juga merupakan kriteria penting bagi menjaga kekudusan hidup pernikahan, di mana seorang pemimpin yang setia kepada pasangannya akan menjadi contoh hidup bagi jemaat.

4. Bijaksana (1 Timotius 3:2)

Seorang penilik jemaat harus bijaksana atau memiliki pemahaman yang matang dalam menilai situasi. J.I. Packer, dalam Knowing God, menekankan bahwa kebijaksanaan dalam kepemimpinan gereja melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan yang bijaksana berdasarkan pengetahuan Kitab Suci dan kehendak Allah.

5. Menguasai Diri (1 Timotius 3:2)

Pengendalian diri adalah kunci bagi pemimpin yang efektif. Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menjelaskan bahwa pemimpin yang mampu mengendalikan dirinya akan memiliki ketenangan pikiran dan dapat berfungsi dengan baik dalam menghadapi tantangan dan tekanan. Kedisiplinan pribadi juga mencerminkan hidup yang dikuasai oleh Roh Kudus.

6. Dihormati (1 Timotius 3:2)

Pemimpin gereja haruslah seseorang yang dihormati oleh jemaatnya dan masyarakat. John Piper, dalam bukunya Desiring God, menyatakan bahwa rasa hormat ini bukanlah sesuatu yang dipaksakan, melainkan hasil dari kehidupan yang dijalani dengan benar di hadapan Allah dan sesama.

7. Suka Memberi Tumpangan (1 Timotius 3:2)

Keramahtamahan adalah sifat penting bagi seorang pemimpin gereja. Dietrich Bonhoeffer, dalam Life Together, menyatakan bahwa membuka rumah dan hidup bagi orang lain adalah bagian dari panggilan gereja untuk hidup dalam kasih. Pemimpin gereja harus bersedia melayani dan mendukung orang lain dalam hal kebutuhan praktis.

8. Terampil Mengajar (1 Timotius 3:2)

Mengajar adalah salah satu tugas utama seorang pemimpin gereja. Charles Hodge, dalam Systematic Theology, menekankan bahwa keterampilan mengajar yang baik bukan hanya kemampuan intelektual, tetapi juga menyampaikan firman Allah dengan jelas, benar, dan penuh kasih. Pemimpin harus mampu mengajar jemaat untuk memahami dan menerapkan ajaran Kitab Suci.

9. Bukan Peminum (1 Timotius 3:3)

Seorang pemimpin gereja tidak boleh kecanduan minuman keras. Matthew Henry, dalam komentarnya terhadap 1 Timotius, menekankan bahwa pengendalian terhadap minuman keras adalah tanda penguasaan diri yang baik. Ini juga mencerminkan kesadaran terhadap pengaruh buruk dari penyalahgunaan alkohol yang dapat merusak reputasi dan pelayanan gereja.

10. Bukan Orang yang Kasar (1 Timotius 3:3)

Pemimpin gereja harus memiliki sikap lemah lembut dan bukan orang yang kasar. Athanasius, dalam On the Incarnation, menekankan bahwa lemah lembut adalah karakter Kristus yang harus dihidupi oleh setiap pemimpin Kristen. Sikap kasar atau kekerasan bertentangan dengan sifat kasih dan kesabaran yang ditunjukkan oleh Kristus dalam pelayanannya.

11. Lemah Lembut (1 Timotius 3:3)

Lemah lembut adalah salah satu ciri kepemimpinan Kristiani. John Stott menekankan bahwa kelembutan adalah kebalikan dari kekasaran. Seorang pemimpin yang lemah lembut mampu mengendalikan kekuatannya dan menanganinya dengan belas kasihan serta kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.

12. Tidak Suka Bertengkar (1 Timotius 3:3)

Pemimpin gereja harus mencari perdamaian, bukan perselisihan. Jonathan Edwards, dalam karyanya Charity and Its Fruits, menjelaskan bahwa cinta kasih yang sejati adalah karakter yang menghindari konflik yang tidak perlu dan mencari perdamaian serta kesatuan di dalam gereja.

13. Bukan Orang yang Cinta Uang (1 Timotius 3:3)

Keserakahan adalah salah satu dosa yang dapat mengganggu pelayanan pemimpin gereja. John Wesley, dalam The Use of Money, mengingatkan bahwa uang bukanlah tujuan dari pelayanan, dan pemimpin gereja harus memiliki hati yang bebas dari cinta terhadap kekayaan materi. Fokus utama mereka harus pada pelayanan dan pemuridan, bukan keuntungan finansial.

14. Mengurus Rumah Tangganya dengan Baik (1 Timotius 3:4-5)

Kemampuan seorang pemimpin untuk memimpin gereja dinilai dari bagaimana ia memimpin keluarganya. Alexander Strauch, dalam bukunya Biblical Eldership, menyatakan bahwa seorang pemimpin gereja yang tidak bisa memimpin keluarganya dengan baik tidak layak memimpin jemaat Allah. Rumah tangga yang teratur adalah gambaran dari pemimpin yang bertanggung jawab.

15. Anak-anaknya Taat dengan Rasa Hormat (1 Timotius 3:4)

Anak-anak yang taat adalah refleksi dari kepemimpinan seorang ayah di rumah. Douglas Wilson, dalam Father Hunger, menekankan bahwa seorang ayah yang baik akan membesarkan anak-anaknya dalam ketertiban, rasa hormat, dan kasih kepada Tuhan. Pemimpin gereja yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi teladan bagi jemaat.

16. Bukan Petobat Baru (1 Timotius 3:6)

Pemimpin gereja tidak boleh merupakan petobat baru. Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menjelaskan bahwa seorang petobat baru masih membutuhkan waktu untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman. Memilih seorang pemimpin yang belum matang secara spiritual dapat menyebabkan kesombongan dan kehancuran bagi dirinya dan gereja.

17. Memiliki Reputasi Baik di Luar Jemaat (1 Timotius 3:7)

Pemimpin gereja harus memiliki reputasi baik tidak hanya di dalam gereja, tetapi juga di luar gereja. Timothy Keller, dalam bukunya Generous Justice, menyatakan bahwa pemimpin yang memiliki kesaksian baik di masyarakat adalah cerminan dari pengaruh positif gereja. Gereja harus dipandang sebagai komunitas yang menghadirkan kebaikan bagi lingkungan sekitarnya.

Kesimpulan

Dalam 1 Timotius 3:1-7, Rasul Paulus menguraikan 17 kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin gereja. Kualifikasi ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan, tetapi lebih pada karakter dan integritas moral. Pemimpin gereja, seperti yang ditegaskan oleh banyak pakar teologi, harus menjadi teladan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan pelayanan mereka.

Para teolog seperti John Calvin, John Stott, John Piper, dan R.C. Sproul sepakat bahwa panggilan untuk memimpin gereja adalah tanggung jawab yang serius yang harus dijalankan dengan hati-hati dan ketundukan pada Allah. Pemimpin gereja tidak hanya bertanggung jawab untuk mengajarkan kebenaran firman Allah, tetapi juga untuk hidup sesuai dengan ajaran tersebut.

Next Post Previous Post