Pemulihan Kasih yang Semula

Pendahuluan:

Kasih yang semula adalah ungkapan yang ditemukan dalam Wahyu 2:4, di mana Yesus menegur jemaat di Efesus karena mereka telah meninggalkan "kasih yang semula" (AYT). Meskipun mereka gigih dalam pekerjaan, ketekunan, dan pertahanan iman, mereka telah kehilangan keintiman, kesetiaan, dan kasih murni yang pernah mereka miliki kepada Allah. Fenomena ini bukan hanya tantangan bagi gereja di Efesus, tetapi juga merupakan refleksi dari pergumulan yang terus menerus dialami oleh orang 
percaya sepanjang sejarah gereja.

Pemulihan Kasih yang Semula
Artikel ini akan mengeksplorasi konsep "kasih yang semula" dari perspektif beberapa pakar teologi, serta membahas bagaimana umat Kristen dapat memulihkan kasih ini dalam hubungan mereka dengan Allah.

1. Dasar Alkitabiah dari Kasih yang Semula

Wahyu 2:4 berbunyi: "Namun, Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula." Frasa "kasih yang semula" di sini mengacu pada cinta yang murni, penuh gairah, dan tulus yang pernah dimiliki jemaat Efesus kepada Kristus. Mereka dikenal atas ketekunan mereka dalam melawan ajaran sesat dan menjaga kemurnian iman, tetapi mereka mulai kehilangan kasih kepada Allah dan sesama.

Leon Morris, dalam The Book of Revelation, menjelaskan bahwa kasih yang semula mengacu pada kasih pertama yang dialami jemaat ketika mereka baru bertobat, ketika mereka masih bersemangat dan penuh kasih dalam pelayanan dan penyembahan kepada Allah. Namun, seiring waktu, cinta itu memudar dan menjadi formalitas belaka. Morris menegaskan bahwa teguran ini mengingatkan jemaat Efesus, dan kita semua, bahwa pekerjaan dan disiplin rohani tidak ada artinya tanpa kasih yang tulus kepada Allah.

2. Kasih kepada Allah sebagai Dasar Iman Kristen

Dalam Alkitab, kasih kepada Allah adalah inti dari hukum yang terbesar. Yesus sendiri menyatakan bahwa hukum yang terutama adalah, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu" (Matius 22:37). John Stott, dalam bukunya The Cross of Christ, menegaskan bahwa hubungan kita dengan Allah harus selalu berpusat pada kasih yang mendalam kepada-Nya, yang tumbuh dari kesadaran akan kasih-Nya yang besar kepada kita melalui karya penebusan Kristus.

Kasih yang semula adalah respons manusia terhadap kasih Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus. R.C. Sproul, dalam The Holiness of God, menjelaskan bahwa kasih kepada Allah bukan hanya soal emosi, tetapi merupakan tanggapan kepada kekudusan dan keagungan-Nya. Kasih ini seharusnya tumbuh secara alami ketika kita mengenal lebih dalam siapa Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita.

3. Bahaya Meninggalkan Kasih yang Semula

Dalam Wahyu 2:4, Yesus memperingatkan jemaat di Efesus tentang bahaya meninggalkan kasih yang semula. Meski mereka rajin bekerja dan menjaga ajaran yang benar, mereka mulai kehilangan kasih mereka kepada Allah dan sesama. John MacArthur, dalam The MacArthur New Testament Commentary, menjelaskan bahwa salah satu ancaman terbesar bagi kehidupan gereja adalah ketika kasih berubah menjadi rutinitas dan kewajiban formal, tanpa keterlibatan hati yang penuh cinta.

MacArthur menekankan bahwa kehilangan kasih yang semula dapat terjadi secara bertahap. Seseorang mungkin tetap aktif dalam pelayanan, tetapi jika cinta kepada Allah mulai memudar, segala sesuatu yang dilakukan menjadi sia-sia. Gereja Efesus masih dikenal karena pekerjaan dan ketekunan mereka, tetapi tanpa kasih, pelayanan mereka tidak lagi memiliki kekuatan spiritual yang sebenarnya.

Jonathan Edwards, dalam khotbahnya Charity and Its Fruits, memperingatkan bahwa tanpa kasih yang tulus, seluruh kehidupan rohani kita bisa menjadi hampa. Edwards menegaskan bahwa kasih adalah buah Roh yang paling penting dan bahwa ketiadaan kasih menunjukkan adanya kemerosotan rohani yang serius.

4. Memulihkan Kasih yang Semula

Setelah menegur jemaat Efesus, Yesus menawarkan jalan pemulihan: "Karena itu, ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan" (Wahyu 2:5). Pemulihan kasih yang semula memerlukan tindakan pertobatan, yakni berbalik kepada Tuhan dengan segenap hati.

A.W. Tozer, dalam bukunya The Pursuit of God, menekankan bahwa memulihkan kasih kepada Allah adalah perjalanan rohani yang memerlukan pencarian aktif akan hadirat-Nya. Tozer berpendapat bahwa salah satu penyebab utama mengapa kasih yang semula memudar adalah karena kita mulai menggantikan kasih kepada Allah dengan kasih kepada hal-hal duniawi atau bahkan kasih kepada pelayanan kita sendiri. Untuk memulihkan kasih yang semula, kita harus kembali mencari Tuhan dengan hati yang lapar dan haus akan Dia.

Dallas Willard, dalam bukunya The Spirit of the Disciplines, juga menunjukkan bahwa memulihkan kasih kepada Allah memerlukan disiplin rohani yang disengaja. Willard menekankan bahwa doa, membaca Kitab Suci, dan meditasi adalah sarana yang memampukan kita untuk kembali fokus pada kasih kepada Tuhan. Kembali kepada kasih yang semula berarti kembali kepada komitmen penuh untuk mengejar hadirat Allah dalam kehidupan sehari-hari.

5. Kasih yang Semula dan Kasih kepada Sesama

Kasih yang semula tidak hanya mencakup kasih kepada Allah, tetapi juga kepada sesama. Yohanes 13:35 berkata, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Ketika kasih kepada Allah memudar, kasih kepada sesama juga akan terpengaruh.

Dietrich Bonhoeffer, dalam bukunya Life Together, menegaskan bahwa kehidupan gereja yang sehat harus dibangun di atas dasar kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Bonhoeffer menekankan bahwa hubungan antar orang percaya tidak hanya merupakan tugas sosial, tetapi ekspresi dari kasih ilahi yang tinggal di dalam hati mereka. Ketika kasih yang semula kepada Allah dipulihkan, kasih kepada sesama juga akan diperbaharui.

C.S. Lewis, dalam bukunya The Four Loves, membedakan antara berbagai bentuk kasih, tetapi menekankan bahwa semua bentuk kasih yang sejati berasal dari kasih Allah. Ketika seseorang kehilangan kasih kepada Allah, kasih terhadap sesama cenderung menjadi dangkal dan egois. Oleh karena itu, pemulihan kasih yang semula juga akan mempengaruhi hubungan horizontal kita dengan orang lain.

6. Konteks Teologis dari Kasih yang Semula

Kasih yang semula berkaitan erat dengan doktrin anugerah Allah. Karl Barth, dalam Church Dogmatics, menekankan bahwa kasih manusia kepada Allah selalu merupakan respons terhadap kasih Allah yang mendahului. Barth menekankan bahwa kasih kita kepada Allah bersifat reaktif; kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Jika kita meninggalkan kasih yang semula, itu berarti kita mulai melupakan kasih anugerah Allah yang tidak bersyarat.

Barth juga menunjukkan bahwa pemulihan kasih yang semula bukan hanya sekadar usaha manusia, tetapi harus dimulai dengan karya Roh Kudus yang membangkitkan kembali kasih kepada Allah di dalam hati kita. Kita memerlukan pertobatan dan pembaharuan oleh Roh Kudus agar kasih yang semula dapat dipulihkan.

Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menekankan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama adalah dua dimensi dari kehidupan Kristen yang tidak dapat dipisahkan. Kasih kepada Allah merupakan dasar dari kasih kepada sesama, dan tanpa kasih kepada Allah, kasih kepada sesama akan hilang esensinya. Bavinck menjelaskan bahwa kasih yang semula bukan hanya soal perasaan, tetapi juga soal tindakan nyata yang mencerminkan kasih Allah kepada kita.

7. Kasih yang Semula dalam Kehidupan Gereja

Kehidupan gereja yang sehat harus dibangun di atas kasih yang semula. John Piper, dalam bukunya Desiring God, menekankan bahwa gereja harus menjadi tempat di mana kasih kepada Allah dan sesama menjadi pusat dari semua aktivitas. Piper menekankan pentingnya "menikmati Allah" sebagai inti dari kehidupan Kristen. Ketika kasih kepada Allah menjadi dingin, gereja kehilangan vitalitasnya dan menjadi institusi yang hampa.

Piper juga memperingatkan bahaya menggantikan kasih kepada Allah dengan aktivitas gerejawi. Dia menekankan bahwa pelayanan, khotbah, dan semua aktivitas gereja haruslah merupakan ekspresi dari kasih yang mendalam kepada Allah. Ketika aktivitas ini dilakukan tanpa kasih, gereja berisiko menjadi seperti jemaat Efesus yang penuh pekerjaan tetapi tanpa kasih yang hidup.

Timothy Keller, dalam The Prodigal God, juga menekankan pentingnya memulihkan kasih yang semula. Keller menjelaskan bahwa dalam kehidupan pelayanan, sering kali kita tergoda untuk melakukan hal-hal yang benar secara lahiriah tetapi kehilangan motivasi kasih yang sejati. Memulihkan kasih yang semula memerlukan kesadaran akan kasih Allah yang radikal dan penuh anugerah.

8. Kasih yang Semula sebagai Kunci Pembaruan Rohani

A.W. Pink, dalam bukunya The Attributes of God, menegaskan bahwa kasih kepada Allah harus menjadi inti dari pembaruan rohani dalam kehidupan pribadi dan gereja. Tanpa kasih yang sejati kepada Tuhan, semua pembaruan rohani tidak akan bertahan lama. Pink menekankan bahwa ketika kasih kita kepada Allah diperbarui, semua aspek kehidupan rohani lainnya juga akan diperkuat—baik dalam doa, ibadah, maupun pelayanan.

Thomas à Kempis, dalam karyanya The Imitation of Christ, menekankan bahwa kasih kepada Allah harus menjadi fokus utama kehidupan Kristen. Ia memperingatkan terhadap kesombongan rohani yang sering kali menggantikan kasih yang murni dengan perbuatan-perbuatan lahiriah yang hanya menonjolkan diri. Menurut à Kempis, hanya dengan kembali kepada kasih yang tulus dan sederhana kepada Allah, kita dapat mengalami pertumbuhan rohani yang sejati.

Kesimpulan

Kasih yang semula, seperti yang diungkapkan dalam Wahyu 2:4, adalah panggilan bagi setiap orang percaya untuk kembali kepada kasih yang murni, tulus, dan penuh gairah kepada Allah. Melalui pandangan dari para teolog seperti John Stott, R.C. Sproul, Dietrich Bonhoeffer, John Piper, dan lainnya, kita memahami bahwa kasih yang semula adalah landasan dari semua aspek kehidupan Kristen—baik itu doa, ibadah, pelayanan, maupun hubungan antar sesama.

Kasih yang semula bukan hanya soal perasaan, tetapi tentang keterikatan hati yang dalam kepada Tuhan dan tindakan nyata dalam kasih kepada sesama. Memulihkan kasih ini memerlukan pertobatan, komitmen, dan disiplin rohani yang terus menerus. Gereja dan orang percaya dipanggil untuk menghidupi kasih yang semula ini, yang pada akhirnya akan memperkuat kesaksian mereka di dunia dan membawa mereka lebih dekat kepada Allah yang penuh kasih.

Ketika kasih kepada Allah menjadi pusat dari kehidupan kita, segala sesuatu yang kita lakukan—baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun gereja—akan dipenuhi dengan kuasa kasih yang mengubahkan dan membawa kita kepada kesempurnaan dalam Kristus.

Next Post Previous Post