Perjanjian Musa (The Mosaic Covenant): Hukum

Perjanjian Musa (The Mosaic Covenant): Hukum

Pendahuluan

Perjanjian Musa (The Mosaic Covenant) adalah salah satu tema penting dalam teologi Alkitab, khususnya dalam studi Perjanjian Lama dan bagaimana kaitannya dengan Injil dalam Perjanjian Baru. Dalam teologi Reformed, Perjanjian Musa sering dikaitkan dengan hukum (law) dan peranannya dalam sejarah keselamatan. Artikel ini akan membahas konsep Perjanjian Musa sebagai hukum menurut beberapa pakar teologi Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, Louis Berkhof, Meredith G. Kline, dan Michael Horton.

1. Definisi dan Struktur Perjanjian Musa

Perjanjian Musa adalah perjanjian yang Allah buat dengan bangsa Israel di Gunung Sinai setelah keluar dari Mesir. Perjanjian ini mencakup:

  • Sepuluh Perintah Allah (Dekalog) – hukum moral yang menjadi dasar etika Israel.

  • Hukum Sipil – peraturan yang mengatur kehidupan sosial dan hukum Israel sebagai bangsa teokratis.

  • Hukum Seremonial – aturan yang mengatur ibadah, persembahan, dan sistem keimaman.

Menurut Louis Berkhof, Perjanjian Musa memiliki sifat bilateral, yaitu melibatkan ketaatan manusia terhadap hukum yang diberikan Allah. Ini berbeda dengan Perjanjian Abraham yang bersifat unilateral, di mana Allah sendiri yang mengikat diri-Nya dalam janji keselamatan.

2. Perspektif Teologi Reformed tentang Hukum dalam Perjanjian Musa

a. John Calvin: Tiga Fungsi Hukum

John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion membagi hukum dalam Perjanjian Musa menjadi tiga fungsi utama:

  1. Cermin Kehendak Allah dan Dosa Manusia – hukum memperlihatkan standar kekudusan Allah dan menunjukkan dosa manusia.

  2. Menjaga Ketertiban Sosial – hukum memberikan regulasi moral yang mengatur kehidupan masyarakat.

  3. Sebagai Panduan Hidup Orang Percaya – hukum menuntun orang percaya dalam hidup yang berkenan kepada Allah.

Menurut Calvin, Perjanjian Musa bukanlah jalan keselamatan tetapi diberikan untuk mengarahkan manusia kepada Kristus. Hukum tidak dapat menyelamatkan, tetapi menunjukkan perlunya anugerah Allah dalam Injil.

b. Herman Bavinck: Hukum dalam Perjalanan Sejarah Keselamatan

Herman Bavinck melihat Perjanjian Musa dalam konteks sejarah keselamatan (heilsgeschichte). Ia menekankan bahwa hukum di Sinai tidak pernah dimaksudkan sebagai sistem keselamatan berdasarkan perbuatan. Sebaliknya, hukum adalah bagian dari janji Allah yang lebih besar, yang akhirnya digenapi dalam Kristus.

Bavinck menekankan kesinambungan antara Perjanjian Musa dan Perjanjian Baru, dengan menyatakan bahwa hukum tetap relevan sebagai standar moral, tetapi tidak lagi menjadi dasar pembenaran setelah kedatangan Kristus.

c. Louis Berkhof: Hukum sebagai Perjanjian Pekerjaan dalam Konteks Nasional

Berkhof mengajarkan bahwa meskipun Perjanjian Musa mengandung unsur-unsur perjanjian pekerjaan (covenant of works), itu bukanlah perjanjian yang benar-benar berdasarkan perbuatan. Sebaliknya, hukum diberikan kepada Israel sebagai bangsa yang sudah ditebus. Berkhof menekankan bahwa Perjanjian Musa harus dipahami dalam konteks keseluruhan ekonomi perjanjian (covenant economy).

d. Meredith G. Kline: Perspektif Teologi Perjanjian

Meredith G. Kline menyoroti hubungan Perjanjian Musa dengan Perjanjian Kasih Karunia (Covenant of Grace). Ia melihat Perjanjian Musa sebagai perjanjian khas zaman kuno yang mengikat Israel kepada Allah sebagai Tuhan mereka. Kline menegaskan bahwa Perjanjian Musa memiliki unsur hukum yang berat, tetapi tetap berada dalam bingkai kasih karunia karena Allah pertama-tama menyelamatkan Israel sebelum memberikan hukum.

e. Michael Horton: Perbedaan antara Hukum dan Injil

Michael Horton menekankan perbedaan mendasar antara hukum dan Injil dalam Perjanjian Musa. Ia menyatakan bahwa hukum menunjukkan standar Allah dan menuntut ketaatan yang sempurna, sedangkan Injil adalah janji keselamatan melalui anugerah. Horton menekankan bahwa meskipun hukum tetap berlaku dalam aspek moral, umat Perjanjian Baru tidak lagi berada di bawah tuntutan hukum seremonial dan sipil Perjanjian Musa.

3. Apakah Perjanjian Musa adalah Perjanjian Kasih Karunia atau Pekerjaan?

Ada perdebatan di kalangan teolog Reformed tentang apakah Perjanjian Musa adalah bagian dari Perjanjian Kasih Karunia atau lebih dekat dengan Perjanjian Pekerjaan.

  • Pandangan Kasih Karunia: Sebagian besar teolog Reformed, termasuk Calvin, Bavinck, dan Horton, melihat Perjanjian Musa sebagai bagian dari Perjanjian Kasih Karunia. Hukum diberikan bukan sebagai sarana keselamatan, tetapi sebagai respons ketaatan umat yang telah ditebus.

  • Pandangan Pekerjaan: Kline dan beberapa teolog lainnya menekankan bahwa Perjanjian Musa memiliki unsur perjanjian pekerjaan dalam konteks nasional Israel. Berkat dan kutuk dalam Ulangan 28-30 menunjukkan bahwa berkat dalam perjanjian ini terkait dengan ketaatan Israel.

4. Penggenapan Hukum dalam Kristus

Perjanjian Baru menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah penggenapan hukum. Dalam Matius 5:17, Yesus berkata:

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Paulus dalam Roma 10:4 juga menyatakan bahwa Kristus adalah “akhir hukum Taurat, supaya kebenaran diperoleh setiap orang yang percaya.”

Dalam teologi Reformed, hukum Musa tidak dibatalkan, tetapi digenapi dalam Kristus. Itu berarti hukum moral tetap berlaku bagi orang percaya, tetapi hukum seremonial dan sipil tidak lagi mengikat setelah kedatangan Kristus.

5. Relevansi Perjanjian Musa bagi Gereja Masa Kini

Perjanjian Musa tetap relevan bagi gereja modern dalam beberapa aspek:

  • Sebagai standar moral: Hukum moral dalam Sepuluh Perintah Allah tetap menjadi pedoman bagi kehidupan Kristen.

  • Sebagai bayangan Injil: Hukum menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk memenuhi standar Allah, sehingga membawa mereka kepada Kristus.

  • Sebagai pedoman etika sosial: Prinsip-prinsip hukum sipil dan seremonial dapat memberikan wawasan bagi gereja dalam membangun komunitas yang berpusat pada Kristus.

Namun, gereja tidak lagi berada di bawah hukum Musa dalam pengertian yuridis. Orang percaya hidup dalam hukum Kristus, yaitu kasih kepada Allah dan sesama (Galatia 6:2).

Kesimpulan

Dalam teologi Reformed, Perjanjian Musa sebagai hukum tidak pernah dimaksudkan sebagai sarana keselamatan, tetapi sebagai cermin kehendak Allah yang sempurna dan penuntun bagi umat-Nya. Para teolog Reformed seperti Calvin, Bavinck, Berkhof, Kline, dan Horton menegaskan bahwa hukum Musa harus dipahami dalam konteks perjanjian keselamatan yang lebih luas.

Kristus datang untuk menggenapi hukum, sehingga umat percaya tidak lagi hidup di bawah beban hukum sebagai syarat keselamatan, melainkan di bawah anugerah yang diberikan dalam Injil. Dengan memahami peran Perjanjian Musa dalam sejarah keselamatan, gereja dapat lebih menghargai anugerah Allah dan hidup dalam ketaatan yang penuh kasih kepada-Nya.

Next Post Previous Post