Sebuah Risalah tentang Kasih Sayang Religius

Pendahuluan
Apa yang membedakan iman yang sejati dari iman yang palsu? Bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa kasihnya kepada Allah adalah murni dan bukan sekadar emosi yang berlalu? Ini adalah pertanyaan yang telah direnungkan oleh banyak teolog sepanjang sejarah, terutama Jonathan Edwards, seorang tokoh besar dalam tradisi Reformed.
Dalam bukunya yang terkenal, A Treatise on Religious Affections (1754), Edwards mengajarkan bahwa kasih sayang religius atau "religious affections" adalah tanda utama dari iman yang sejati. Menurutnya, iman Kristen bukan hanya soal intelektual atau perbuatan lahiriah, tetapi juga melibatkan kasih dan kesenangan dalam Allah.
Artikel ini akan mengeksplorasi ajaran Edwards tentang kasih sayang religius dalam terang Alkitab dan didukung oleh pandangan dari para teolog Reformed lainnya seperti John Calvin, Herman Bavinck, Charles Spurgeon, dan R.C. Sproul.
1. Kasih Sayang Religius dan Peranannya dalam Kekristenan
a. Apa Itu Kasih Sayang Religius?
Dalam bahasa modern, religious affections dapat diartikan sebagai emosi atau perasaan yang dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus dalam hati seseorang. Namun, Edwards menekankan bahwa kasih sayang ini bukan sekadar emosi sementara, melainkan ekspresi dari hati yang telah diubahkan oleh kasih karunia Allah.
Ia mendasarkan ajarannya pada ayat seperti:
Matius 22:37 – "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu."
Di sini kita melihat bahwa kasih kepada Allah bukan hanya soal pikiran atau perbuatan, tetapi juga soal hati.
b. Kasih Sayang Religius vs. Emosi Duniawi
Jonathan Edwards membedakan antara kasih sayang sejati yang berasal dari Roh Kudus dan emosi yang hanya bersifat sementara.
Yakobus 2:19 – "Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan gemetar."
Edwards menekankan bahwa iman yang sejati lebih dari sekadar pengakuan intelektual. Setan pun percaya kepada Allah, tetapi mereka tidak memiliki kasih kepada-Nya. Oleh karena itu, kasih sayang religius harus berasal dari hati yang telah diperbarui oleh Roh Kudus.
2. Tanda-Tanda Kasih Sayang Religius yang Sejati
Dalam A Treatise on Religious Affections, Edwards mengidentifikasi beberapa tanda kasih sayang religius yang sejati:
a. Kasih yang Berpusat pada Allah
Mazmur 73:25 – "Siapakah yang ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi."
Ciri utama dari kasih sayang religius yang sejati adalah fokusnya kepada Allah, bukan kepada berkat atau pengalaman spiritual.
Menurut John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion:
"Hati manusia adalah pabrik berhala. Jika kita tidak diarahkan oleh Roh Kudus, kita akan mencintai Tuhan bukan karena Dia layak dikasihi, tetapi hanya karena kita menginginkan sesuatu dari-Nya."
Kasih yang sejati tidak mencari keuntungan pribadi, tetapi bersukacita dalam Allah itu sendiri.
b. Transformasi Hidup yang Nyata
2 Korintus 5:17 – "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru."
Edwards menekankan bahwa kasih sayang religius yang sejati akan menghasilkan perubahan dalam cara seseorang hidup.
Menurut Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics:
"Iman yang sejati selalu disertai dengan perubahan hati dan kehidupan. Roh Kudus tidak hanya membangkitkan emosi, tetapi juga menguduskan orang percaya."
Dengan kata lain, kasih kepada Allah akan tercermin dalam ketaatan dan perubahan karakter seseorang.
c. Kelekatan pada Firman Allah
Mazmur 1:2 – "Tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam."
Edwards menegaskan bahwa kasih sayang religius yang sejati tidak didasarkan pada pengalaman subjektif semata, tetapi harus selaras dengan kebenaran Firman Allah.
Charles Spurgeon berkata:
"Jika kasih kita kepada Allah tidak didasarkan pada kebenaran-Nya, maka itu bukan kasih yang sejati, melainkan ilusi yang berbahaya."
Kasih yang sejati akan membuat seseorang semakin rindu untuk mengenal Allah melalui Firman-Nya.
d. Kerendahan Hati dan Kebergantungan pada Kristus
Filipi 2:3 – "Dengan rendah hati anggaplah orang lain lebih utama daripada dirimu sendiri."
Kasih sayang religius yang sejati melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan rohani.
Menurut R.C. Sproul,
"Jika seseorang menjadi semakin sombong setelah mengalami pengalaman rohani, itu bukanlah pekerjaan Roh Kudus. Roh Kudus selalu membawa kita kepada Kristus dan membuat kita semakin rendah hati."
Orang yang benar-benar dipenuhi oleh kasih kepada Allah akan semakin menyadari kelemahannya dan bergantung sepenuhnya pada Kristus.
3. Kasih Sayang Religius yang Palsu: Waspada terhadap Iman yang Menyesatkan
a. Kasih yang Berpusat pada Diri Sendiri
2 Timotius 3:2-5 – "Manusia akan mencintai dirinya sendiri... mereka beribadah tetapi menyangkal kekuatannya."
Banyak orang memiliki "kasih" kepada Tuhan yang sebenarnya hanya berpusat pada diri sendiri. Mereka mencari pengalaman spiritual hanya untuk kepuasan emosional, bukan untuk mengenal Allah dengan lebih dalam.
Jonathan Edwards memperingatkan bahwa banyak orang merasa memiliki iman yang sejati, padahal mereka hanya tergerak oleh emosi sesaat.
b. Iman yang Hanya Bergantung pada Perasaan
Matius 13:20-21 – "Orang yang menerima benih di tempat berbatu adalah orang yang mendengar firman dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi tidak berakar... ketika mengalami kesulitan, ia segera murtad."
Rasa gembira dalam Tuhan bukanlah bukti utama dari iman yang sejati. Jika seseorang hanya bergantung pada perasaannya, imannya akan rapuh dan mudah goyah.
Menurut Herman Bavinck,
"Iman yang sejati bukanlah sekadar pengalaman emosional, tetapi keyakinan yang berakar dalam kebenaran Allah."
4. Bagaimana Mengembangkan Kasih Sayang Religius yang Sejati?
a. Berdoa agar Roh Kudus Mengerjakan Perubahan dalam Hati Kita
Yehezkiel 36:26 – "Aku akan memberikan kepadamu hati yang baru dan roh yang baru di dalam batinmu."
Jonathan Edwards menekankan bahwa iman sejati adalah hasil dari pekerjaan Roh Kudus, bukan usaha manusia semata.
b. Memelihara Hubungan dengan Allah melalui Firman-Nya
Mempelajari dan merenungkan Firman Allah adalah cara utama untuk membentuk kasih sayang yang sejati kepada-Nya.
Kolose 3:16 – "Biarlah firman Kristus tinggal di antara kamu dengan segala kekayaannya."
c. Hidup dalam Komunitas Orang Percaya
Ibrani 10:24-25 – "Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik."
Kasih kepada Allah bertumbuh dalam komunitas di mana kita bisa saling membangun dan mengingatkan dalam kebenaran.
Kesimpulan: Kasih Sayang Religius adalah Bukti Iman yang Sejati
Kasih kepada Allah bukan sekadar pengakuan intelektual atau emosi sesaat, tetapi hasil dari pekerjaan Roh Kudus yang mengubah hati dan hidup seseorang.
Sebagaimana dikatakan oleh Jonathan Edwards:
"Orang yang sungguh-sungguh mengenal Allah akan mengasihi-Nya dengan segenap hati, bukan hanya dengan perkataan, tetapi dengan seluruh hidupnya."
Kiranya kita semakin bertumbuh dalam kasih yang sejati kepada Allah. Soli Deo Gloria!