5 Mitos tentang Kemarahan

5 Mitos tentang Kemarahan

Pendahuluan

Kemarahan adalah bagian dari pengalaman manusia sehari-hari—baik sebagai ekspresi emosi, respons terhadap ketidakadilan, maupun reaksi terhadap frustrasi. Namun, di tengah kompleksitas emosi ini, banyak orang Kristen—bahkan pemimpin rohani—masih terperangkap dalam pemahaman yang keliru tentang kemarahan.

Dalam terang teologi Reformed, kemarahan bukanlah sesuatu yang secara otomatis berdosa, tetapi juga bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menelusuri apa yang dikatakan Alkitab dan teologi Reformed tentang kemarahan, dan sekaligus membongkar mitos-mitos yang sudah lama beredar di tengah umat Kristen.

Mitos 1: "Semua Kemarahan adalah Dosa"

Fakta Alkitabiah:

Tidak semua kemarahan adalah dosa. Bahkan, Allah sendiri murka terhadap dosa dan ketidakadilan.

"Allah itu adil dan murka setiap hari terhadap orang fasik."
— Mazmur 7:11

Yesus juga marah di Bait Allah (Markus 11:15-17), dan kepada orang-orang Farisi karena kekerasan hati mereka (Markus 3:5). Namun, kemarahan Yesus tidak pernah berdosa, karena berasal dari kasih akan kebenaran dan keadilan.

Teolog Reformed Bicara:

John Calvin menjelaskan bahwa:

“Kemarahan yang sejati terhadap dosa mencerminkan kebencian Allah terhadap dosa. Ini bukan produk daging, melainkan ekspresi dari kasih akan kebenaran.”

R.C. Sproul menambahkan:

“Terdapat bentuk kemarahan yang saleh—ketika kita merasa marah bukan karena keegoisan, tetapi karena nama Allah dihina.”

Aplikasi:

  • Evaluasilah motif di balik kemarahanmu: Apakah karena ego, atau karena kebenaran Allah?

  • Kemarahan bisa menjadi alat yang digunakan Roh Kudus untuk mendorong kita bertindak benar—selama dikendalikan dan tidak berdosa.

Mitos 2: "Orang Kristen Sejati Tidak Pernah Marah"

Fakta Alkitabiah:

Alkitab tidak melarang kemarahan secara absolut, tapi memperingatkan agar tidak berdosa saat marah.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.”
— Efesus 4:26

Artinya, marah itu manusiawi—bahkan diperbolehkan—selama:

  • Tidak berlarut-larut,

  • Tidak menghasilkan kebencian, kekerasan, atau balas dendam.

Pandangan Teolog Reformed:

Jay Adams, seorang pelopor konseling biblika Reformed, menyatakan:

“Melarang semua kemarahan sama dengan melarang manusia untuk memiliki reaksi emosional terhadap ketidakadilan. Yang penting adalah bagaimana kita menangani kemarahan itu.”

Jonathan Edwards, dalam tulisannya tentang kasih dan keadilan, menjelaskan:

“Kemarahan terhadap kejahatan adalah bentuk kasih terhadap yang baik. Jika kita tidak marah terhadap ketidakadilan, mungkin hati kita telah mati.”

Aplikasi:

  • Jangan menyimpan kemarahan hingga menjadi kebencian tersembunyi.

  • Hadapi konflik dengan kasih dan kebenaran—bukan penyangkalan emosi.

Mitos 3: "Mengekspresikan Kemarahan akan Selalu Merusak Hubungan"

Fakta Alkitabiah:

Hubungan yang sehat justru dibangun atas kejujuran dan keterbukaan—termasuk dalam mengungkapkan perasaan marah, bila dilakukan dengan kasih dan kontrol diri.

“Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar dan hukum yang mendatangkan damai di pintu-pintu gerbangmu.”
— Zakharia 8:16

Kemarahan yang ditekan atau disimpan justru berpotensi lebih merusak daripada yang diungkapkan dengan cara yang benar.

Kata Para Teolog Reformed:

Louis Berkhof menjelaskan:

“Kebenaran bukanlah sekadar proposisi teologis, tetapi juga cara hidup. Dalam relasi, itu mencakup kejujuran emosional yang diarahkan oleh kasih.”

Herman Bavinck menambahkan:

“Gereja yang sejati bukanlah tempat emosi ditindas, tetapi disucikan.”

Aplikasi:

  • Belajar mengekspresikan kemarahan secara tertib dan dalam kasih.

  • Gunakan kemarahan sebagai pemicu rekonsiliasi, bukan perpecahan.

Mitos 4: "Cara Terbaik Mengatasi Kemarahan adalah dengan Memendamnya"

Fakta Alkitabiah:

Alkitab justru memperingatkan terhadap kemarahan yang tidak tersalurkan dengan benar.

“Janganlah kamu memberi kesempatan kepada Iblis.”
— Efesus 4:27

Kemarahan yang tidak dibereskan akan:

  • Menjadi akar kepahitan (Ibrani 12:15),

  • Menyebabkan dosa dalam pikiran dan tindakan,

  • Merusak kedekatan kita dengan Allah dan sesama.

Teolog Reformed Bicara:

Jay Adams mengatakan:

“Kemarahan yang dipendam biasanya akan keluar dalam bentuk pasif-agresif atau ledakan yang tidak terkendali. Ini bukan cara Kristen mengelola emosi.”

R.C. Sproul menyatakan:

“Pemulihan jiwa mencakup pembaruan pola pikir—termasuk bagaimana kita memandang dan merespons emosi seperti kemarahan.”

Aplikasi:

  • Jangan pendam kemarahan—bawa ke hadapan Allah, dan bereskan dengan sesama secara sehat.

  • Cari penasehat rohani jika kamu terus bergumul dengan kemarahan tersembunyi.

Mitos 5: "Kemarahan Itu Harus Dilampiaskan Secara Bebas untuk ‘Lega’"

Fakta Alkitabiah:

Kebebasan mengekspresikan kemarahan tanpa kendali bukanlah ajaran Alkitab. Itu justru membuka jalan bagi dosa.

“Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa yang cepat marah membesarkan kebodohan.”
— Amsal 14:29

Konsep modern tentang “catharsis” (meledakkan amarah agar lega) sering bertentangan dengan prinsip pengendalian diri yang diajarkan dalam Alkitab.

Pandangan Reformed:

John Calvin menekankan pentingnya kendali:

“Hati orang percaya harus diarahkan oleh Roh, bukan oleh dorongan emosi yang liar.”

Geerhardus Vos menjelaskan:

“Kesucian bukan hanya dalam tindakan, tapi dalam disposisi hati. Emosi yang tidak dikuduskan akan menuntun pada penyimpangan moral.”

Aplikasi:

  • Jangan gunakan “pelampiasan” sebagai pembenaran untuk melukai orang lain.

  • Berlatih mengelola emosi dalam terang Injil—dengan kasih, pengendalian diri, dan pengampunan.

Kesimpulan: Kemarahan yang Dikuduskan

Dalam terang teologi Reformed, kemarahan bukan musuh iman, tetapi alat yang bisa dikuduskan bila diserahkan di bawah kedaulatan Kristus. Seperti segala aspek kehidupan manusia, emosi pun telah tercemar oleh dosa, namun bisa dipulihkan oleh karya Roh Kudus.

Kemarahan yang benar adalah:

  • Reaksi terhadap ketidakadilan,

  • Berakar dalam kasih akan kebenaran,

  • Diungkapkan dengan kasih, bukan kebencian,

  • Disalurkan dalam cara yang membangun dan tidak menghancurkan.

“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan… hendaklah dibuang dari antara kamu. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra, dan saling mengampuni.”
— Efesus 4:31-32

Refleksi Pribadi

  • Apakah kamu selama ini menghindari kemarahan karena takut berdosa, atau justru menyalurkannya tanpa kendali?

  • Apakah kamu melihat kemarahan sebagai peluang untuk bertumbuh dalam pengudusan?

  • Sudahkah kamu menyerahkan emosimu—termasuk kemarahan—kepada Kristus?

Kemarahan tidak harus menjadi jebakan dosa. Dalam terang Injil, ia bisa menjadi saluran kasih dan keadilan Allah yang menyembuhkan.

Next Post Previous Post