Malam Tangisan: Ketika Anak-anak Allah Menderita

Malam Tangisan: Ketika Anak-anak Allah Menderita

Pendahuluan: Penderitaan dan Misteri Ilahi 

Dalam setiap perjalanan iman, ada masa ketika langit terasa gelap, doa tampak sia-sia, dan hati remuk oleh beban yang tak tertanggungkan. Kita menyebutnya “malam tangisan”—masa penderitaan mendalam yang dialami bahkan oleh anak-anak Allah yang paling setia.

Apakah penderitaan itu hukuman? Apakah Allah menjauh di saat kita paling membutuhkan-Nya?

Dalam tradisi teologi Reformed, penderitaan tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang kebetulan atau di luar kendali Allah. Sebaliknya, penderitaan ditempatkan dalam kerangka kedaulatan Allah, kasih-Nya yang kekal, dan rencana kekal-Nya untuk kemuliaan-Nya dan kebaikan umat-Nya.

Melalui tulisan para tokoh seperti John Calvin, Herman Bavinck, Martyn Lloyd-Jones, J.I. Packer, dan Sinclair Ferguson, kita akan menjelajahi makna penderitaan dalam hidup orang percaya dan bagaimana malam tangisan bisa menjadi awal dari fajar yang penuh pengharapan.

1. Allah Berdaulat Atas Penderitaan 

Menurut John Calvin, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi di luar kehendak dan izin Allah. Ia menulis:

“Tidak ada satu pun penderitaan yang menimpa kita yang tidak terlebih dahulu diizinkan oleh tangan Bapa surgawi.”

Artinya, penderitaan yang kita alami bukanlah karena Allah lengah, melainkan karena Ia mengizinkan itu terjadi dalam kedaulatan-Nya yang sempurna.

Herman Bavinck menambahkan bahwa penderitaan orang percaya bukan tanda bahwa Allah tidak mengasihi, melainkan cara Allah membentuk karakter kekal dalam umat-Nya.

Yesaya 45:7 mengatakan:

“Akulah yang menjadikan terang dan menciptakan kegelapan, yang membuat damai dan menciptakan malapetaka; Akulah TUHAN yang melakukan semuanya ini.”

2. Kristus: Pribadi yang Menderita Bersama Kita 

Penderitaan kita tidak terpisah dari salib. Di dalam Kristus, Allah sendiri telah memilih masuk ke dalam penderitaan manusia.

Martyn Lloyd-Jones menekankan bahwa salib adalah bukti terbesar bahwa Allah tidak acuh terhadap penderitaan kita. Yesus mengalami:

  • Penolakan,

  • Penderitaan fisik dan emosional,

  • Kematian yang paling hina.

Dalam Ibrani 4:15 kita membaca:

“Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita…”

Yesus adalah Immanuel—Allah beserta kita, bahkan di dalam kesakitan.

3. Tujuan Penderitaan: Pengudusan dan Pertumbuhan  

Teologi Reformed menekankan bahwa penderitaan bukan hanya beban, tetapi juga alat anugerah.

J.I. Packer menulis bahwa penderitaan adalah cara Allah menyucikan umat-Nya, mengajar ketergantungan, dan menyingkapkan kekayaan Injil.

Roma 5:3-4 berkata:

“...kesengsaraan menimbulkan ketekunan; dan ketekunan menimbulkan tahan uji; dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”

Sinclair Ferguson juga menambahkan bahwa penderitaan membuka mata rohani kita untuk melihat kemuliaan Kristus secara lebih dalam dan membuat kita semakin serupa dengan-Nya.

4. Mazmur: Lagu di Tengah Malam Tangisan 

Kitab Mazmur dipenuhi dengan teriakan, air mata, dan pergumulan yang jujur di hadapan Allah.

Mazmur 30:6 berkata:

“Menangis mungkin terjadi semalam-malaman, tetapi sorak-sorai datang pada waktu pagi.”

John Calvin menyebut Mazmur sebagai “cermin jiwa”—tempat umat Allah bisa menemukan bahasa untuk penderitaan mereka.

Penderitaan bukan tanda kurang iman, melainkan kesempatan untuk berpegang pada janji Allah bahkan ketika perasaan tidak mendukung.

5. Penderitaan Sebagai Alat Kesaksian 

Martyn Lloyd-Jones menyatakan bahwa dunia memperhatikan cara orang Kristen menghadapi penderitaan.

Ketika kita tetap bersukacita dalam kesakitan, tetap berharap saat tertekan, dan tetap menyembah saat kehilangan, kita sedang memberi kesaksian tentang Kristus yang hidup.

Filipi 1:29 mengatakan:

“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”

Dalam penderitaan, kita bukan hanya menjadi murid, tetapi juga saksi.

6. Allah Ada di Tengah Malam Tangisan 

Dalam kitab Ayub, kita melihat bahwa Allah tidak langsung menjawab pertanyaan "mengapa", tetapi menyatakan siapa Dia. Inilah jawaban yang sejati.

Herman Bavinck berkata bahwa terkadang kita tidak mengerti alasan penderitaan, tetapi kita bisa yakin akan kehadiran Allah di dalamnya.

Mazmur 34:19 mengatakan:

“TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

7. Harapan yang Tidak Malu-Malukan 

Teologi Reformed selalu menekankan bahwa penderitaan sekarang bukanlah akhir cerita.

Sinclair Ferguson menulis bahwa orang Kristen melihat ke depan kepada kemuliaan yang kekal, di mana segala air mata akan dihapuskan.

Roma 8:18 menyatakan:

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”

Dalam malam tangisan, kita mengarahkan pandangan bukan hanya ke bumi, tapi ke kota yang kekal, di mana penderitaan tidak akan ada lagi.

8. Penderitaan Membentuk Komunitas Injili 

Saat orang percaya menderita, mereka tidak dipanggil untuk berjalan sendiri. Gereja adalah tubuh yang saling menopang.

J.I. Packer menekankan pentingnya komunitas dalam mendampingi, mendoakan, dan menyertai sesama dalam penderitaan.

Galatia 6:2 berkata:

“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”

Malam tangisan terasa lebih ringan ketika dibagi dalam kasih persaudaraan.

9. Doa dan Kesunyian: Spiritualitas di Tengah Derita 

John Calvin menekankan bahwa doa adalah napas jiwa, khususnya di tengah penderitaan. Namun, tidak selalu mudah berdoa saat hati remuk.

Yesus sendiri berdoa dalam penderitaan-Nya di Getsemani dengan keringat darah.

Penderitaan membawa kita ke titik terdalam spiritualitas, di mana kita berkata:

“Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” (Lukas 22:42)

Kesunyian tidak selalu berarti ketiadaan Allah, tetapi kadang cara Allah mengajar kita mendengar suara-Nya lebih dalam.

10. Malam Akan Berlalu: Fajar Pasti Datang 

Teologi Reformed tidak berhenti pada salib—tetapi selalu menujukannya pada kebangkitan. Malam tangisan adalah nyata, tapi tidak kekal.

Sinclair Ferguson menutup refleksinya dengan mengatakan:

“Allah tidak akan membiarkan umat-Nya tinggal selamanya dalam kegelapan. Malam tangisan akan digantikan oleh fajar pengharapan.”

Wahyu 21:4:

“Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka...”

Kesimpulan 

Penderitaan adalah misteri, tetapi bukan tanpa makna. Dalam teologi Reformed, penderitaan orang percaya adalah bagian dari karya penyucian Allah yang penuh kasih dan berdaulat.

Malam tangisan adalah nyata. Tetapi Tuhan pun hadir di dalamnya. Dan Ia berjanji:

“Akulah terang dunia.” (Yohanes 8:12)

Penderitaan adalah bagian dari perjalanan kita menuju kemuliaan. Kita tidak sendiri. Kristus telah berjalan lebih dahulu dalam penderitaan. Dan kini Ia berjalan bersama kita.

Next Post Previous Post