Roma 7:8: Hukum Taurat, Dosa, dan Kekuatan Nafsu

Roma 7:8: Hukum Taurat, Dosa, dan Kekuatan Nafsu

Pendahuluan

Surat Paulus kepada jemaat di Roma merupakan fondasi utama dalam pemahaman doktrin keselamatan menurut teologi Reformed. Dalam Roma pasal 7, Paulus membahas relasi antara hukum Taurat dan dosa, dan bagaimana keduanya memengaruhi kehidupan manusia yang telah jatuh dalam dosa.

Salah satu ayat paling signifikan adalah Roma 7:8:

“Tetapi dalam kesempatan yang diberikan oleh hukum Taurat, dosa membangkitkan di dalam aku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat, dosa mati.” (Roma 7:8, TB)

Ayat ini menyoroti realitas tragis namun penting: hukum yang baik dari Allah justru digunakan oleh dosa untuk membangkitkan nafsu berdosa dalam manusia. Bagaimana hal ini dimengerti dalam teologi Reformed? Apa makna spiritual dari "dosa membangkitkan keinginan"? Mengapa Paulus berkata bahwa “tanpa hukum Taurat, dosa mati”?

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri eksposisi Roma 7:8 berdasarkan pemahaman teolog-teolog Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, R.C. Sproul, Martin Lloyd-Jones, dan Louis Berkhof. Kita juga akan mengaitkannya dengan aplikasi praktis dan prinsip teologis Reformed seperti doktrin total depravity dan fungsi pedagogis hukum Taurat.

Konteks Roma 7:8 dalam Surat Roma

Sebelum membahas ayat ke-8, kita perlu memahami konteks lebih luas dari Roma 7. Paulus di sini menjelaskan bagaimana hukum Taurat tidak bisa menyelamatkan manusia. Meskipun hukum itu kudus dan adil (Roma 7:12), namun karena keberadaan dosa di dalam diri manusia, hukum justru memprovokasi dosa itu sendiri.

Pasal ini tidak menyalahkan hukum Taurat, tetapi menunjukkan ketidakmampuan hukum untuk memurnikan hati manusia berdosa. Roma 7 adalah penjabaran konkret dari kondisi manusia di bawah hukum tanpa pembaharuan oleh Roh Kudus.

Eksposisi Teologis Roma 7:8

1. John Calvin: Dosa Menggunakan Hukum untuk Membinasakan

John Calvin dalam Commentaries on the Epistle of Paul to the Romans menulis:

“Dosa, yang berada dalam manusia, memanfaatkan hukum bukan karena kesalahan hukum itu sendiri, tetapi karena tabiat jahat manusia yang berdosa. Hukum menjadi cermin yang menampakkan dosa, dan sekaligus menjadi bahan bakar bagi keinginan berdosa.”

Menurut Calvin, hukum bukan penyebab dosa, tetapi alat yang digunakan oleh dosa. Ini tidak menjatuhkan kualitas hukum, tetapi menekankan betapa korupnya hati manusia.

Calvin juga menjelaskan bahwa hukum mengungkapkan dosa yang sebelumnya tidak disadari. Ia menjadi alat yang menyingkapkan kebusukan yang tersembunyi, bukan karena hukum itu jahat, melainkan karena manusia membencinya secara naluriah.

2. Louis Berkhof: Fungsi Hukum Sebagai Cermin

Louis Berkhof dalam Systematic Theology mengklasifikasikan fungsi hukum dalam tiga aspek:

  • Fungsi pedagogis (pendidikan): mengungkapkan dosa.

  • Fungsi politis: menahan kejahatan dalam masyarakat.

  • Fungsi normatif: pedoman hidup bagi orang percaya.

Dalam konteks Roma 7:8, hukum berfungsi secara pedagogis. Hukum tidak bisa menyelamatkan, tetapi bisa mengungkapkan sejauh mana hati manusia rusak oleh dosa.

“Keinginan berdosa tidak diketahui sebelum hukum datang; tetapi ketika hukum menyatakan larangan, maka keinginan itu justru bangkit dalam perlawanan.”

Dengan kata lain, larangan memperjelas dosa yang tersembunyi dan sekaligus memprovokasinya.

3. R.C. Sproul: Paradoks Hukum dan Dosa

Dalam bukunya The Holiness of God, R.C. Sproul menyoroti paradoks yang tajam:

“Hukum yang kudus menjadi penyebab meningkatnya dosa, bukan karena hukum itu jahat, tetapi karena dosa menggunakan yang kudus untuk memberontak.”

Sproul menjelaskan bahwa hati manusia berdosa secara naluriah membenci otoritas Allah. Ketika Allah berkata, “jangan,” dosa merespons, “saya mau.” Ini bukan masalah logika, melainkan pemberontakan moral.

4. Herman Bavinck: Relasi Antara Dosa dan Hukum

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan bahwa hukum adalah pernyataan moral Allah yang sempurna. Ketika hukum datang, dosa tidak lagi samar-samar, tetapi menjadi eksplisit dan aktif.

“Dosa bukan hanya pelanggaran eksternal terhadap hukum, tetapi kondisi batin yang terus mencari kesempatan untuk menentang Allah.”

Menurut Bavinck, Roma 7:8 menunjukkan bahwa manusia tidak hanya tidak bisa mematuhi hukum Allah, tetapi juga aktif menentangnya. Ini adalah bukti dari total depravity—bahwa seluruh aspek manusia telah dirusak oleh dosa.

5. Martyn Lloyd-Jones: Tanpa Hukum, Dosa 'Tidur'

Martyn Lloyd-Jones menyatakan bahwa tanpa hukum, dosa tampak “mati” atau tidak aktif. Namun ini bukan berarti dosa tidak ada, melainkan belum bangkit secara sadar.

“Keinginan berdosa itu sudah ada, tetapi hukum memberikan konteks bagi mereka untuk menyala.”

Analogi yang digunakan Lloyd-Jones adalah seperti api yang butuh oksigen. Hukum memberi ‘oksigen’ bagi dosa untuk menjadi aktif dalam hati manusia.

Doktrin Reformed yang Terkait

1. Total Depravity

Roma 7:8 menunjukkan bahwa dosa bukan hanya tindakan, tetapi juga kecenderungan dan hasrat yang muncul dari hati. Ini adalah definisi mendasar dari total depravity dalam Reformed Theology: kerusakan menyeluruh yang menjangkiti kehendak, akal, dan emosi manusia.

Manusia bukan hanya tidak ingin taat kepada Allah, tetapi secara aktif melawan Dia ketika perintah-Nya dinyatakan.

2. Ketidakmampuan Manusia

Ayat ini menegaskan ketidakmampuan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri melalui ketaatan terhadap hukum. Hukum hanya mengungkapkan dosa, bukan menyelesaikannya.

“Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging…” (Roma 8:3)

Ini menjadi dasar perlunya Injil anugerah, bukan sekadar moralitas.

3. Fungsi Hukum dalam Keselamatan

Teologi Reformed tidak menolak hukum, tetapi menempatkan fungsinya secara tepat:

  • Hukum menunjukkan dosa (Roma 3:20).

  • Hukum menggiring kita kepada Kristus (Galatia 3:24).

  • Hukum menjadi norma hidup bagi orang yang telah dibenarkan (Mazmur 1:2).

Aplikasi Praktis

1. Jangan Salah Gunakan Hukum sebagai Alat Pembenaran

Orang Kristen harus menyadari bahwa perintah-perintah Allah tidak cukup untuk menyucikan hati. Upaya moral tanpa kelahiran baru hanya akan memperparah dosa, bukan menghapusnya.

2. Sadari Bahwa Hukum Membuka Mata terhadap Dosa

Kehadiran hukum Allah menunjukkan bahwa kita bukan hanya berdosa dalam tindakan, tetapi juga dalam pikiran dan keinginan. Ini menantang kita untuk bertobat bukan hanya dari perilaku, tetapi dari seluruh kondisi batin.

3. Kebergantungan kepada Roh Kudus

Kita tidak bisa menundukkan keinginan berdosa hanya dengan kekuatan kehendak. Diperlukan karya Roh Kudus untuk mengubah hati dan memberi kuasa untuk menaati hukum Allah dari dalam (bdk. Yeh. 36:26-27).

Penutup: Dosa, Hukum, dan Anugerah

Roma 7:8 adalah ayat yang mendalam dan kompleks, tetapi penting untuk dipahami dalam terang Injil. Dosa memanfaatkan hukum untuk membangkitkan keinginan yang jahat dalam hati kita. Ini bukan kesalahan hukum, tetapi bukti dari kedalaman kerusakan moral manusia.

Namun justru karena hukum menyatakan dosa, maka kita sadar akan kebutuhan akan Juruselamat. Hukum menuntun kita kepada Injil—bahwa hanya melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kita dapat dibebaskan dari kuasa dosa dan dimampukan untuk hidup dalam kebenaran.

Sebagaimana dikatakan oleh Paulus dalam Roma 8:2:

“Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.”

Kiranya kebenaran ini mendorong kita untuk hidup dalam kasih karunia dan ketekunan iman, mengetahui bahwa hanya Roh Allah yang dapat mematikan keinginan berdosa dan menumbuhkan kerinduan akan kebenaran.

Next Post Previous Post