Kesopanan dan Kesalehan Sejati: 1 Timotius 2:9

1 Timotius 2:9 (AYT):
“Demikian juga, aku ingin perempuan berpakaian pantas, penuh kesopanan dan pengendalian diri. Perhiasannya bukanlah rambut yang dikepang-kepang, emas, mutiara, atau pakaian mahal,”
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Budaya Melalui Firman
Dalam dunia yang semakin menekankan ekspresi diri melalui penampilan fisik, Firman Tuhan melalui Rasul Paulus kepada Timotius memberikan petunjuk yang sangat relevan. Ayat ini secara khusus berbicara kepada perempuan Kristen di dalam konteks pertemuan ibadah, namun prinsip-prinsipnya berdampak jauh lebih luas. Teologi Reformed menegaskan pentingnya prinsip moral yang konsisten dari Kitab Suci ke seluruh aspek hidup—termasuk cara kita berpakaian.
Bagian I: Konteks Sejarah dan Budaya Ayat
1. Latar Belakang Surat 1 Timotius
Surat ini merupakan bagian dari apa yang disebut “Surat Pastoral”—ditujukan kepada gembala muda Timotius yang melayani di Efesus. Efesus adalah kota yang dipenuhi dengan kekayaan, pengaruh Roma-Yunani, dan penyembahan dewi Artemis. Dalam lingkungan seperti itu, perempuan sering menonjolkan status sosial mereka melalui pakaian dan perhiasan yang mencolok.
2. Fokus Paulus dalam 1 Timotius 2
Dalam konteks ibadah bersama, Paulus menekankan kesalehan yang terlihat dalam sikap, tindakan, dan penampilan luar. Ayat 8 berbicara kepada laki-laki tentang doa dan amarah, dan ayat 9 berbicara kepada perempuan tentang penampilan dan karakter.
Bagian II: Eksposisi Frasa demi Frasa
1. “Demikian juga, aku ingin perempuan berpakaian pantas”
Kata “pantas” dalam bahasa Yunani adalah kosmios, akar katanya adalah kosmos yang berarti "tertata". Kata ini menekankan kesesuaian dan kehormatan, bukan hanya estetika.
John Calvin menyatakan dalam komentarnya:
“Perempuan hendaknya tidak mencoba menarik perhatian lewat pakaian, tetapi lewat kesalehan.”
Artinya, cara berpakaian seorang perempuan Kristen adalah refleksi dari ordonnansi Allah dan moralitas dalam kehidupan rohani.
2. “Penuh kesopanan dan pengendalian diri”
Dua kualitas penting yang digarisbawahi di sini:
-
Kesopanan (aidos) — Ini bukan sekadar malu, melainkan rasa hormat yang timbul dari kesadaran akan kekudusan Allah. Ini adalah rasa takut yang kudus terhadap apa yang tidak sesuai di hadapan Tuhan.
-
Pengendalian diri (sophrosune) — Ini adalah kebajikan klasik, yaitu kemampuan untuk menahan diri dari nafsu, keserakahan, atau kebanggaan. Dalam Reformed Ethics, pengendalian diri adalah buah dari Roh Kudus (Galatia 5:23).
R.C. Sproul menulis:
“Kebajikan Kristen sejati bukan terletak dalam larangan mutlak terhadap sesuatu, tetapi dalam kepekaan moral yang dibentuk oleh kasih dan ketakutan akan Allah.”
3. “Perhiasannya bukanlah rambut yang dikepang-kepang, emas, mutiara, atau pakaian mahal”
Frasa ini sering disalahpahami sebagai larangan total terhadap penampilan menarik. Namun, baik konteks dan teologi Reformed menegaskan bahwa inti pesan ini adalah pada prioritas hati, bukan penampilan luar.
Dalam dunia Yunani-Romawi, perempuan elite menggunakan gaya rambut yang rumit dan memakai emas serta mutiara sebagai tanda status sosial. Paulus menantang praktik ini dengan menyatakan bahwa penampilan bukanlah sarana utama untuk menyatakan identitas Kristen.
Herman Bavinck menyatakan:
“Penampilan luar adalah cermin dari kondisi batin, dan moralitas Kristen tidak memisahkan bentuk dari isi.”
Bagian III: Prinsip Teologis Reformed dalam Ayat Ini
1. Kesalehan yang Tertata: Tuhan Adalah Allah yang Kudus dan Teratur
Teologi Reformed selalu menekankan bahwa Allah adalah Tuhan yang kudus, teratur, dan tidak bercampur dengan kekacauan atau keduniawian. Maka, dalam ibadah, cara berpakaian dan sikap sangat mencerminkan siapa Allah yang kita sembah.
Louis Berkhof menulis:
“Etika Kristen tidak terpisah dari penyembahan. Apa yang kita kenakan dan bagaimana kita bertindak dalam ibadah menyatakan teologi kita secara praktis.”
2. Pakaian dan Moralitas Tidak Netral
Berkhof dan Calvin menegaskan bahwa tidak ada hal dalam hidup orang percaya yang netral secara moral. Termasuk cara berpakaian. Pakaian bukan sekadar budaya atau ekspresi diri, tapi ekspresi iman, kasih, dan ketakutan akan Allah.
Bagian IV: Respons terhadap Tantangan Modern
1. Era Media Sosial dan Budaya “Self-Exposure”
Budaya modern mengagungkan tubuh, kecantikan eksternal, dan eksibisionisme. Dalam konteks ini, pesan Paulus menjadi semakin relevan. Perempuan Kristen dipanggil untuk berbeda—bukan dalam cara legalistik, tetapi dalam semangat kesalehan.
R.C. Sproul memperingatkan:
“Dalam budaya narsistik, kita harus menanamkan kesalehan yang mengakar dalam identitas kita di dalam Kristus, bukan di luar diri kita.”
2. Kesalehan dan Feminitas yang Alkitabiah
Teologi Reformed tidak menolak feminitas. Bahkan, mendukungnya—namun dalam bingkai kekudusan dan ketertundukan kepada Firman. Feminitas sejati bukan yang dipaksakan oleh dunia, tetapi yang dibentuk oleh Kristus.
Bagian V: Aplikasi Praktis dalam Gereja Masa Kini
1. Pendidikan Kristen dan Kesadaran Moral sejak Dini
Gereja harus mengajarkan sejak dini bahwa kecantikan sejati berasal dari hati yang takut akan Tuhan. Pelayanan kepada remaja dan perempuan harus membahas hal ini dengan kasih dan kebenaran.
2. Menghindari Legalisme dan Ekstremisme
Tidak berarti semua perhiasan salah, atau semua gaya rambut berdosa. Teologi Reformed selalu menekankan penafsiran berdasarkan konteks dan prinsip universal, bukan peraturan mati.
3. Menjadi Teladan dalam Penampilan dan Kesalehan
Perempuan Kristen dipanggil menjadi terang dunia, termasuk dalam cara mereka berpakaian. Dalam pekerjaan, gereja, keluarga, dan masyarakat, penampilan dan perilaku yang tertata menjadi kesaksian bagi Injil.
Bagian VI: Kesimpulan dan Seruan Pastoral
1 Timotius 2:9 bukan sekadar ayat etiket atau pakaian. Ayat ini adalah refleksi dari ordo salutis (urutan keselamatan)—orang yang telah diselamatkan akan memperlihatkan buah keselamatan itu, termasuk dalam cara mereka berpakaian.
John Calvin menyimpulkan:
“Kehidupan Kristen bukan hanya masalah iman di hati, tetapi iman yang bekerja melalui kasih, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya kecil sekalipun.”
Penutup: Menjadi Cantik dalam Kristus
Perempuan Kristen dipanggil untuk menjadi:
-
Cantik dalam kesalehan, bukan glamor yang dangkal.
-
Menarik dalam kerendahan hati, bukan pamer.
-
Anggun dalam kekudusan, bukan hanya gaya.
Dengan berpakaian pantas, penuh kesopanan dan pengendalian diri, perempuan Kristen menunjukkan bahwa mereka menghargai siapa mereka di hadapan Allah, dan siapa Kristus yang telah menyelamatkan mereka.
“Perhiasanmu janganlah secara lahiriah... tetapi perhiasan batiniah yang tidak fana, yaitu roh yang lemah lembut dan tenang.”
(1 Petrus 3:3–4)