Kisah Para Rasul 4:5-7 Otoritas Ilahi dalam Menghadapi Otoritas Manusia
Pendahuluan
Kisah Para Rasul 4:5-7 adalah bagian penting dalam narasi awal gereja mula-mula, yang memperlihatkan bagaimana para rasul—khususnya Petrus dan Yohanes—dihadapkan pada otoritas religius Yahudi karena pemberitaan Injil dan mujizat yang dilakukan dalam nama Yesus Kristus. Ayat-ayat ini mengandung makna teologis mendalam, terutama dalam konteks otoritas, keberanian iman, dan kesaksian akan kebangkitan Kristus. Artikel ini akan mengeksposisi ayat-ayat tersebut menurut pandangan para teolog Reformed dan menyajikannya dalam bentuk SEO yang mudah diakses bagi pembaca.
Teks Alkitab: Kisah Para Rasul 4:5-7 (TB)
“Pada keesokan harinya pemimpin-pemimpin, tua-tua dan ahli-ahli Taurat mengadakan sidang di Yerusalem dengan Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang dari keturunan imam besar. Lalu Petrus dan Yohanes dihadapkan kepada sidang itu dan mereka mulai diperiksa dengan pertanyaan ini: ‘Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kamu bertindak demikian itu?’”
Latar Belakang Naratif
Peristiwa ini merupakan kelanjutan dari mujizat penyembuhan orang lumpuh di pintu Gerbang Indah (Kis. 3) dan pemberitaan Injil oleh Petrus. Karena pemberitaan itu, mereka ditangkap oleh para pemimpin agama dan dipenjara semalaman (Kis. 4:1-3). Kini, mereka dihadapkan pada suatu sidang resmi dari Sanhedrin, yaitu lembaga tertinggi agama Yahudi yang terdiri dari imam besar, tua-tua, dan ahli Taurat.
Eksposisi Ayat per Ayat Berdasarkan Pandangan Teologi Reformed
Kisah Para Rasul 4:5: “Pada keesokan harinya pemimpin-pemimpin, tua-tua dan ahli-ahli Taurat mengadakan sidang di Yerusalem”
Dalam kerangka Reformed, ayat ini menunjukkan realitas bagaimana otoritas agama bisa menjadi alat yang digunakan untuk menindas kebenaran Injil. John Calvin, dalam komentarnya terhadap Kisah Para Rasul, menekankan bahwa “penganiayaan terhadap Injil biasanya datang bukan dari dunia yang tidak percaya secara terang-terangan, tetapi dari mereka yang berpura-pura sebagai penjaga agama yang sejati.”
Para pemimpin agama Yahudi merasa terganggu oleh pesan tentang Yesus yang bangkit dan bahwa keselamatan hanya ada dalam nama-Nya. Dalam tradisi Reformed, ini mencerminkan konflik antara otoritas manusia dan otoritas Firman Allah. Abraham Kuyper menegaskan bahwa segala bentuk otoritas manusia harus tunduk pada kedaulatan Kristus sebagai Raja atas segala raja.
Kisah Para Rasul 4:6: “dengan Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang dari keturunan imam besar”
Ayat ini memberikan daftar tokoh-tokoh religius yang sangat berpengaruh. Hanas dan Kayafas juga disebut dalam pengadilan Yesus, yang menunjukkan bahwa para rasul sedang menghadapi institusi yang sama yang menyalibkan Kristus.
Menurut R.C. Sproul, ini adalah bentuk penggenapan dari janji Kristus bahwa para murid akan dihadapkan kepada majelis tinggi karena nama-Nya (Lukas 21:12-15). Dalam perspektif Reformed, keberanian iman yang lahir dari karya Roh Kudus menjadi penopang umat percaya ketika menghadapi tekanan dari otoritas dunia.
Teologi Reformed juga menyoroti kejatuhan total manusia (total depravity), yang terlihat dalam sikap keras hati para pemimpin ini meskipun mereka menyaksikan bukti kuasa Allah secara langsung dalam penyembuhan orang lumpuh.
Kisah Para Rasul 4:7: “Lalu Petrus dan Yohanes dihadapkan kepada sidang itu dan mereka mulai diperiksa dengan pertanyaan ini: ‘Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kamu bertindak demikian itu?’”
Pertanyaan yang diajukan di sini tampaknya legalistik, namun sesungguhnya adalah tantangan terhadap otoritas Allah yang dinyatakan melalui Kristus. Dalam teologi Reformed, “nama” dalam pengertian Ibrani adalah representasi dari pribadi dan otoritas ilahi. Dengan kata lain, pertanyaan itu bukan sekadar soal prosedur, tetapi menyangkut dasar spiritual dan teologis dari tindakan para rasul.
Menurut Herman Bavinck, konsep nama Allah tidak dapat dipisahkan dari kehadiran-Nya dan kuasa-Nya. Oleh karena itu, pertanyaan ini adalah penolakan terselubung terhadap keilahian Kristus yang dinyatakan dalam pelayanan para rasul.
Tema Utama dalam Eksposisi Reformed
1. Otoritas Kristus Mengatasi Otoritas Manusia
Para rasul berdiri di hadapan otoritas religius Yahudi, namun mereka tidak gentar karena mereka yakin bahwa otoritas mereka berasal dari Yesus Kristus yang bangkit. Ini adalah penggenapan dari Amanat Agung di Matius 28:18-20, bahwa segala kuasa telah diberikan kepada Kristus.
Teolog seperti John Frame menekankan pentingnya memahami bahwa semua bentuk otoritas harus ditakar menurut otoritas Alkitab. Di sini, para rasul adalah representasi dari otoritas ilahi, bukan hanya institusi gereja yang formal.
2. Keteguhan Iman dalam Penganiayaan
Dalam sistem Reformed, penderitaan karena iman adalah bukti sejati dari anugerah pemeliharaan Allah. Seperti yang dikatakan oleh Martin Luther: “Iman sejati bukanlah tentang menghindari salib, tetapi memikulnya dengan sukacita.” Ketika para rasul diperiksa, mereka tidak menghindar, melainkan memberikan jawaban yang penuh keyakinan (yang akan kita lihat pada ayat-ayat berikutnya).
3. Kesaksian tentang Kebangkitan Kristus
Seluruh konflik ini berpusat pada kebangkitan Yesus. Menurut B.B. Warfield, kebangkitan Kristus adalah fondasi teologis dari seluruh kehidupan gereja. Kesaksian Petrus dan Yohanes bukan hanya tentang mujizat penyembuhan, tetapi tentang siapa Yesus sebenarnya: Mesias yang bangkit.
Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
A. Gereja Harus Berdiri dalam Otoritas Firman
Gereja zaman kini sering berhadapan dengan tekanan budaya, politik, dan agama. Namun seperti para rasul, gereja dipanggil untuk berdiri teguh dalam otoritas nama Yesus, bukan tunduk pada arus dunia.
B. Berani Menyatakan Injil di Tengah Penolakan
Petrus dan Yohanes tidak menghindar dari konfrontasi karena mereka yakin Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (Roma 1:16). Kita dipanggil untuk menyatakan iman secara terbuka dan penuh kasih, meskipun itu berarti menghadapi pengadilan sosial, media, atau bahkan hukum.
C. Mengakui Kristus sebagai Sumber Kuasa
Mujizat yang terjadi bukan karena kuasa manusia, tetapi karena nama Yesus. Ini menjadi koreksi terhadap banyak pelayanan modern yang terlalu menekankan metode manusiawi dan mengabaikan kuasa Injil.
Pandangan Teologi Reformed Terkait Hermeneutika Ayat Ini
Teologi Reformed menekankan pendekatan historis-gramatikal dalam menafsirkan Kitab Suci. Dalam konteks ini, kisah dalam Kisah Para Rasul 4:5-7 dilihat bukan sekadar sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai prinsip normatif untuk gereja sepanjang masa.
Para teolog seperti Meredith Kline dan Geerhardus Vos juga melihat narasi ini dalam kerangka redemptive-historical, yaitu bagaimana Allah sedang menyatakan karya penebusan-Nya secara progresif dari Perjanjian Lama menuju penggenapannya dalam Kristus dan melalui gereja.
Penutup
Kisah Para Rasul 4:5-7 bukan sekadar narasi tentang dua rasul yang diadili, melainkan gambaran hidup gereja yang setia dalam menghadapi otoritas dunia demi mempertahankan kebenaran Injil. Berdasarkan pandangan teologi Reformed, kita melihat bagaimana otoritas Kristus, karya Roh Kudus, dan kuasa Firman Allah menjadi fondasi utama dalam keberanian gereja mula-mula.
Sebagaimana Petrus dan Yohanes berdiri teguh dalam nama Kristus, demikian pula gereja di abad ke-21 dipanggil untuk tidak takut, tidak kompromi, dan tetap memberitakan Injil yang sejati. Inilah panggilan kita: berdiri dalam anugerah, hidup dalam kebenaran, dan menyaksikan kuasa nama Yesus kepada dunia yang sedang sekarat.