1 Tesalonika 4:3–7 Kekudusan sebagai Kehendak Allah

1 Tesalonika 4:3–7 Kekudusan sebagai Kehendak Allah

Pendahuluan: Panggilan kepada Kekudusan di Tengah Dunia yang Najis

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, salah satu panggilan tertinggi dalam kehidupan Kristen adalah panggilan kepada kekudusan. Kekudusan bukanlah sekadar standar moral yang tinggi, melainkan cerminan dari natur Allah sendiri. Allah itu kudus, dan Ia memanggil umat-Nya untuk menjadi kudus seperti diri-Nya. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika menekankan dengan sangat jelas bahwa “kehendak Allah ialah pengudusanmu” (1 Tesalonika 4:3).

Konteks dari surat ini penting untuk kita pahami. Jemaat Tesalonika hidup di tengah budaya Yunani-Romawi yang penuh dengan penyimpangan moral, terutama dalam hal seksual. Pelacuran, perzinahan, dan hubungan bebas dianggap biasa bahkan bagian dari praktik keagamaan. Di tengah realitas seperti inilah, Paulus menulis surat ini untuk memanggil jemaat agar hidup berbeda — bukan menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi hidup dalam kekudusan yang memuliakan Allah.

1. Kekudusan sebagai Kehendak Allah (1 Tesalonika 4:3)

Paulus memulai bagian ini dengan kalimat yang tegas:

“Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhkan diri dari percabulan.”

Frasa ini menegaskan bahwa kekudusan bukanlah pilihan tambahan bagi orang percaya, tetapi inti dari kehendak Allah bagi setiap anak-Nya.

1.1. Kekudusan bukan opsional, melainkan identitas orang percaya

Menurut John Calvin, dalam Commentary on 1 Thessalonians, kekudusan adalah tanda sejati dari seseorang yang telah dibenarkan. Calvin menulis:

“Tidak ada yang bisa mengaku mengenal Kristus dengan benar, kecuali ia juga berusaha untuk meniru kekudusan-Nya.”

Dengan kata lain, pembenaran dan pengudusan tidak bisa dipisahkan. Mereka yang dibenarkan oleh iman harus menampakkan buahnya dalam hidup yang kudus.

Matthew Henry menafsirkan ayat ini dengan berkata bahwa kehendak Allah yang sejati bukanlah sesuatu yang tersembunyi, melainkan telah dinyatakan dengan jelas: menjauhi dosa, terutama dosa percabulan, yang menghancurkan tubuh, jiwa, dan kesaksian iman.

Dalam dunia modern, konsep kekudusan sering dianggap kuno. Banyak orang Kristen yang berpikir bahwa kasih karunia berarti bebas dari tuntutan moral. Namun, kasih karunia sejati tidak menghapus kekudusan, melainkan menumbuhkannya. Seperti yang dikatakan oleh R.C. Sproul, “Tanpa kekudusan, kita tidak akan melihat Tuhan, bukan karena kita menyelamatkan diri dengan kekudusan kita, melainkan karena tanpa kekudusan, kita tidak mungkin benar-benar mengenal Tuhan yang kudus.”

2. Menjauhkan Diri dari Percabulan (1 Tesalonika 4:3b–5)

Paulus secara spesifik menyebut dosa yang harus dihindari: porneia (percabulan), sebuah istilah yang mencakup segala bentuk penyimpangan seksual di luar pernikahan kudus antara pria dan wanita.

2.1. Tantangan kekudusan dalam dunia yang tidak kudus

Pada zaman Tesalonika, percabulan dianggap normal. Banyak kuil memiliki pelacur kuil sebagai bagian dari ibadah. Menolak praktik tersebut berarti menolak arus budaya dan bahkan risiko ditolak masyarakat. Namun Paulus menegaskan: iman kepada Kristus harus menghasilkan perubahan moral yang radikal.

John Stott dalam The Message of Thessalonians menulis:

“Kekristenan tidak hanya mengubah cara kita berpikir, tetapi juga cara kita hidup. Tidak ada pemisahan antara teologi dan etika.”

Artinya, seseorang tidak bisa mengaku percaya kepada Kristus tetapi hidup dalam dosa yang sama seperti dunia. Percaya kepada Kristus berarti mematikan keinginan daging dan hidup dipimpin oleh Roh Kudus.

2.2. Hidup dalam penguasaan diri

1 Tesalonika 4:4–5 mengatakan:

“Supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri dan hidup dalam kekudusan dan kehormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah.”

Terjemahan lain bisa juga berarti “menguasai tubuhmu sendiri dalam kekudusan dan kehormatan.” Maknanya jelas: kekudusan menuntut penguasaan diri.

John Owen, teolog Puritan besar, berkata:

“Tidak ada dosa yang lebih cepat membunuh jiwa selain dosa yang memanjakan tubuh.”

Penguasaan diri adalah buah dari Roh (Galatia 5:23). Orang yang benar-benar hidup dalam Roh akan memiliki kendali atas keinginannya. Dunia mengajarkan untuk “mengikuti hatimu”, tetapi Alkitab mengajarkan untuk “menyangkal dirimu.”

2.3. Hidup dalam kehormatan

Kata kehormatan (timē) dalam ayat ini berarti suatu cara hidup yang memuliakan Allah. Seksualitas manusia bukan hal najis, tetapi suci ketika dijalankan dalam pernikahan kudus. Karena itu, dosa seksual menghancurkan bukan hanya tubuh, tetapi juga kemuliaan Allah yang harusnya tercermin dalam tubuh manusia.

Seperti dikatakan Martyn Lloyd-Jones,

“Ketika tubuh dipakai untuk dosa, maka kita menajiskan bait Roh Kudus. Tetapi ketika tubuh dipersembahkan bagi kebenaran, tubuh itu menjadi alat untuk kemuliaan Allah.”

3. Kekudusan dan Hubungan Antar Sesama (1 Tesalonika 4:6–7)

Paulus melanjutkan dengan berkata:

“Dan supaya dalam hal ini jangan orang melampaui batas dan memperdaya saudaranya, karena Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini.”

3.1. Dosa seksual merugikan sesama

Perzinahan, percabulan, dan nafsu yang tidak terkendali bukan hanya pelanggaran terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Dosa seksual selalu bersifat merusak komunitas. Ketika seseorang melakukan dosa ini, ia “memperdaya” (pleonektein) saudaranya — mengambil apa yang bukan haknya, baik pasangan orang lain, maupun kemurnian seseorang.

John Calvin menegaskan:

“Tidak ada dosa yang lebih menghina kasih terhadap sesama daripada dosa percabulan, karena ia mencemari hubungan yang paling suci antara manusia.”

Dalam terang kasih Kristen, setiap orang percaya dipanggil untuk menghormati sesamanya, bukan menjadikannya objek hawa nafsu.

3.2. Allah sebagai Hakim yang Adil

Paulus memberi peringatan keras: Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini. Ini menunjukkan bahwa dosa seksual bukan dosa kecil. Dalam masyarakat modern yang permisif, banyak orang menganggapnya tidak berbahaya. Tetapi Paulus menegaskan, Allah tidak tinggal diam terhadap dosa.

Jonathan Edwards, dalam khotbahnya Sinners in the Hands of an Angry God, memperingatkan bahwa setiap dosa, sekecil apapun, adalah penghinaan terhadap kekudusan Allah yang tak terbatas. Oleh karena itu, hanya kasih karunia Kristus yang dapat menyelamatkan kita dari murka yang adil tersebut.

3.3. Dipanggil bukan untuk kecemaran, tetapi kekudusan

1 Tesalonika 4:7 menyimpulkan bagian ini dengan tegas:

“Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus.”

Panggilan Allah kepada kita bukan hanya panggilan menuju keselamatan, tetapi panggilan menuju perubahan hidup. Kekudusan bukan hasil dari usaha moral manusia, melainkan karya Roh Kudus dalam hati orang yang telah diselamatkan.

Louis Berkhof dalam Systematic Theology menulis:

“Pengudusan adalah karya Allah dalam diri orang percaya, di mana Ia memperbarui manusia batiniah sesuai gambar Kristus, sehingga ia dapat hidup dalam kebenaran sejati.”

Jadi, kekudusan adalah bukti bahwa seseorang benar-benar hidup dalam persekutuan dengan Kristus.

4. Implikasi Praktis Kekudusan bagi Orang Percaya

4.1. Kekudusan dimulai dari hati

Kekudusan bukan hanya perilaku lahiriah, tetapi kondisi hati yang tunduk kepada Allah. Martyn Lloyd-Jones mengingatkan, “Orang yang kudus bukanlah orang yang tidak pernah jatuh, tetapi orang yang tidak pernah berdiam dalam dosa.” Kekudusan sejati tidak diukur dari kesempurnaan mutlak, tetapi dari arah hati yang terus bertobat dan dipulihkan oleh kasih karunia.

4.2. Kekudusan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari

Dalam konteks jemaat Tesalonika, pengudusan diwujudkan dalam hidup yang berbeda dari dunia sekitar. Bagi kita hari ini, kekudusan berarti menjaga mata, pikiran, perkataan, dan tindakan agar tidak menjadi sarana dosa. Dunia digital memberi banyak godaan baru, tetapi panggilan kekudusan tetap sama: menjaga diri dari segala kecemaran.

4.3. Kekudusan didukung oleh persekutuan dan Firman

Tidak ada orang yang dapat hidup kudus tanpa komunitas iman dan Firman Allah. Kekudusan bertumbuh ketika kita hidup dalam terang bersama saudara seiman dan membiarkan Firman menegur dan memperbarui pikiran kita.

R.C. Sproul berkata:

“Kekudusan adalah hasil dari ketaatan terus-menerus terhadap Firman Tuhan. Tanpa Firman, kekudusan hanyalah ideal tanpa kekuatan.”

4.4. Kekudusan memuliakan Kristus

Pada akhirnya, hidup yang kudus bukan untuk kebanggaan diri, tetapi untuk memuliakan Kristus. Dunia akan melihat perbedaan ketika orang Kristen hidup murni, jujur, dan berintegritas. Inilah kesaksian yang paling kuat — bukan hanya kata-kata, tetapi kehidupan yang mencerminkan Injil.

5. Kesimpulan: Hidup Kudus karena Allah Kudus

Saudara-saudara, 1 Tesalonika 4:3–7 menegaskan satu kebenaran besar: kekudusan adalah kehendak Allah bagi setiap orang percaya. Ini bukan beban, tetapi anugerah. Allah tidak hanya memanggil kita untuk hidup kudus, tetapi juga memberikan kuasa Roh Kudus agar kita mampu melakukannya.

John Calvin menutup penafsirannya atas bagian ini dengan kalimat indah:

“Kita dipisahkan dari dunia bukan supaya menjadi sombong, tetapi supaya menjadi cermin yang memantulkan kemuliaan Allah.”

Kekudusan berarti hidup bagi Allah, bukan bagi diri sendiri. Ini berarti menolak keinginan dunia, menyalibkan daging, dan hidup dalam ketaatan kepada Roh.

Marilah kita, sebagai umat tebusan Kristus, tidak hanya berbicara tentang kekudusan, tetapi hidup dalam kekudusan — di rumah, di pekerjaan, di dunia digital, dan di dalam gereja. Sebab Allah yang memanggil kita adalah Allah yang kudus, dan Ia berkata:

“Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1 Petrus 1:16)

Next Post Previous Post