Kisah Para Rasul 7:4–8 Iman yang Taat kepada Panggilan Allah

Pendahuluan: Panggilan Iman yang Menuntut Ketaatan
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, kisah tentang Abraham merupakan fondasi iman dalam seluruh Kitab Suci. Dalam Kisah Para Rasul 7:4–8, Stefanus — dalam pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama — mengingatkan kembali sejarah umat Allah dengan menyoroti kehidupan Abraham. Ia menegaskan bahwa Allah memanggil Abraham keluar dari negerinya untuk menjadi alat dalam rencana penyelamatan dunia.
Teks ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah kesaksian teologis tentang bagaimana Allah memanggil, menuntun, dan menepati janji-Nya kepada umat pilihan. Melalui kisah ini, Stefanus ingin menunjukkan bahwa iman sejati selalu dimulai dengan ketaatan kepada panggilan Allah, bahkan ketika jalan di depan belum jelas.
Sebagaimana Ibrani 11:8 berkata:
“Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya; lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.”
Melalui eksposisi ini, kita akan melihat tiga aspek penting:
-
Panggilan Allah yang memisahkan dan mengutus (ayat 4)
-
Janji Allah yang dinyatakan di tengah ketidakpastian (ayat 5–6)
-
Perjanjian Allah yang kekal dan tanda kasih karunia (ayat 7–8)
Dan kita akan melihat bagaimana teolog-teolog Reformed seperti John Calvin, John Stott, R.C. Sproul, dan Martyn Lloyd-Jones menafsirkan makna iman Abraham dalam terang kasih karunia dan ketaatan.
1. Panggilan Allah yang Memisahkan dan Mengutus (Kisah Para Rasul 7:4)
“Lalu keluarlah ia dari negeri orang Kasdim dan diam di Haran. Sesudah ayahnya meninggal, Allah menyuruh dia pindah dari situ ke tanah ini yang sekarang kamu diami.”
Stefanus memulai dengan menggambarkan tindakan iman Abraham — ia meninggalkan tanah asalnya, bangsa, dan keluarganya demi menaati panggilan Allah.
1.1. Panggilan yang radikal dan menuntut pengorbanan
Panggilan Allah kepada Abraham bukan panggilan yang mudah. Ia harus meninggalkan segala sesuatu yang familiar: rumah, keluarga, status sosial, dan keamanan. Dalam budaya Timur Tengah kuno, meninggalkan keluarga berarti kehilangan identitas dan perlindungan sosial. Namun Abraham melakukannya tanpa syarat.
John Calvin dalam Commentary on Acts 7 menulis:
“Iman Abraham nyata dalam tindakannya meninggalkan segala sesuatu yang dapat memberinya rasa aman di dunia ini, untuk bergantung sepenuhnya kepada janji Allah yang belum terlihat.”
Calvin menekankan bahwa iman sejati selalu menuntut ketaatan, bahkan ketika panggilan itu tampak tidak rasional secara manusiawi.
Bagi Calvin, panggilan Allah bersifat efektif — artinya, Allah bukan hanya memerintahkan Abraham untuk keluar, tetapi juga memberi kekuatan kepada Abraham untuk taat. Ini sejalan dengan konsep “vocatio efficax” dalam teologi Reformed: panggilan yang berasal dari Allah pasti menghasilkan respons iman dalam diri orang pilihan.
1.2. Dari penyembahan berhala menuju penyembahan sejati
Yosua 24:2 mengungkapkan bahwa keluarga Abraham dulunya menyembah berhala. Namun Allah, dalam kasih karunia-Nya, memanggil Abraham keluar dari kegelapan itu.
R.C. Sproul menulis:
“Pemanggilan Abraham bukanlah karena ia lebih saleh daripada orang lain di Ur, tetapi karena kasih karunia Allah yang berdaulat memilih untuk menyingkapkan diri-Nya kepadanya.”
Dengan kata lain, panggilan Allah bukanlah hasil usaha manusia, tetapi inisiatif ilahi. Allah mengubah hati Abraham agar ia mampu meninggalkan berhala dan menyembah Allah yang hidup.
1.3. Ketaatan Abraham sebagai teladan iman sejati
Ketaatan Abraham bukan hasil keyakinan buta, tetapi keyakinan kepada pribadi Allah yang setia. Ia belum mengetahui tanah yang dijanjikan, tetapi ia percaya kepada Allah yang menjanjikannya.
John Stott, dalam The Message of Acts, menulis:
“Iman tidak berarti mengetahui seluruh rencana Allah di muka, tetapi mempercayai karakter Allah bahkan ketika rencana-Nya belum dinyatakan.”
Iman sejati bukan sekadar percaya bahwa Allah ada, tetapi hidup berdasarkan keyakinan bahwa janji-Nya pasti benar.
2. Janji Allah yang Dinyatakan di Tengah Ketidakpastian (Kisah Para Rasul 7:5–6)
“Dan Allah tidak memberikan kepadanya milik pusaka di tanah ini, sekalipun setapak kaki pun tidak, tetapi Ia berjanji akan memberikannya kepadanya dan kepada keturunannya, walaupun pada waktu itu ia belum mempunyai anak.”
2.1. Janji di tengah kekosongan
Abraham hidup dengan janji, bukan dengan kepemilikan. Allah menjanjikan tanah Kanaan sebagai miliknya, tetapi selama hidupnya, Abraham tidak memiliki apa-apa di sana kecuali kuburan (Kejadian 23:20).
John Calvin menafsirkan hal ini sebagai bukti bahwa Allah sedang melatih iman Abraham melalui proses penundaan janji:
“Allah sengaja menunda penggenapan janji-Nya agar iman Abraham tidak bergantung pada hal-hal duniawi, tetapi pada kesetiaan Allah semata.”
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa iman sejati tidak menuntut bukti segera. Allah seringkali menunda penggenapan janji agar kita belajar berjalan dalam pengharapan, bukan dalam penglihatan.
2.2. Janji tentang keturunan di tengah ketidakmungkinan
Paulus dalam Roma 4:19–21 menjelaskan bahwa tubuh Abraham dan Sara sudah “lemah” dan “mati,” namun ia tidak bimbang terhadap janji Allah. Ia percaya bahwa Allah sanggup melakukan apa yang dijanjikan-Nya.
Martyn Lloyd-Jones menulis:
“Iman sejati adalah menolak menilai janji Allah berdasarkan keadaan diri, tetapi menilai keadaan diri berdasarkan janji Allah.”
Inilah yang membedakan iman Abraham dari iman yang palsu. Ia tidak mengukur kuasa Allah berdasarkan situasi, tetapi ia menilai situasi berdasarkan karakter Allah.
2.3. Janji Allah tidak membatalkan penderitaan
Ayat 6 melanjutkan:
“Dan beginilah firman Allah kepadanya: bahwa keturunannya akan menjadi orang asing di tanah lain, dan mereka akan diperbudak serta dianiaya empat ratus tahun.”
Ini menunjukkan bahwa janji Allah tidak selalu berarti hidup yang mudah. Justru janji itu akan disertai dengan proses penderitaan dan penantian.
John Stott menulis bahwa ayat ini menunjukkan pola yang konsisten dalam Alkitab: kemuliaan selalu datang melalui penderitaan. Sama seperti bangsa Israel harus menderita sebelum menerima tanah perjanjian, demikian pula Kristus harus menderita sebelum dimuliakan.
Dalam teologi Reformed, penderitaan bukan pertanda kegagalan janji Allah, melainkan bagian dari rencana penebusan Allah. Allah memakai penderitaan untuk memurnikan iman umat-Nya.
John Piper mengatakan:
“Janji Allah sering kali disertai dengan salib, karena Allah lebih peduli pada kemurnian iman kita daripada kenyamanan hidup kita.”
3. Perjanjian Allah yang Kekal dan Tanda Kasih Karunia (Kisah Para Rasul 7:7–8)
“Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka itu akan Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dan beribadah kepada-Ku di tempat ini. Dan Allah memberikan kepadanya perjanjian sunat. Demikianlah Abraham memperanakkan Ishak dan menyunatkan dia pada hari kedelapan, dan Ishak memperanakkan Yakub, dan Yakub memperanakkan kedua belas bapa leluhur kita.”
3.1. Allah yang setia menepati janji-Nya
Allah tidak hanya memberi janji, tetapi juga menjamin penggenapannya. Ia menyatakan bahwa bangsa yang memperbudak keturunan Abraham akan dihukum — yang kemudian digenapi melalui pembebasan Israel dari Mesir.
John Calvin menafsirkan bagian ini dengan berkata:
“Allah tidak pernah berjanji tanpa menepatinya, meskipun waktu dan caranya seringkali melampaui pemahaman manusia.”
Dalam sejarah Israel, Allah menunjukkan kesetiaan-Nya yang tidak berubah. Mesir mungkin tampak kuat, tetapi rencana Allah tidak bisa digagalkan oleh kuasa manusia.
3.2. Perjanjian sunat sebagai tanda kasih karunia
Perjanjian sunat bukan sekadar ritual, tetapi tanda bahwa Allah telah memilih Abraham dan keturunannya sebagai umat perjanjian. Sunat menjadi lambang pemisahan dari dunia dan penyerahan total kepada Allah.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Sunat adalah tanda lahiriah dari perjanjian kasih karunia, yang menunjuk kepada realitas rohani — hati yang disucikan oleh Allah.”
Dalam terang Perjanjian Baru, sunat digenapi dalam Kristus melalui pekerjaan Roh Kudus. Paulus berkata dalam Kolose 2:11:
“Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yaitu penanggalan akan tubuh yang berdosa.”
Artinya, orang percaya sekarang disunat secara rohani — disucikan oleh Roh Kudus dari dosa dan dipersembahkan bagi Allah.
3.3. Generasi iman yang berlanjut
Ayat 8 menunjukkan kesinambungan iman: Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, dan Yakub memperanakkan dua belas bapa leluhur. Ini menegaskan bahwa iman sejati tidak berhenti pada satu generasi, tetapi diwariskan melalui ketaatan.
John Stott menulis:
“Allah bekerja melalui sejarah, bukan dalam kilatan instan. Kesetiaan-Nya terlihat dalam kesinambungan anugerah dari generasi ke generasi.”
Sebagai orang percaya, kita juga dipanggil untuk meneruskan iman ini kepada generasi berikutnya — melalui teladan hidup, pengajaran Firman, dan kesetiaan kepada Kristus.
4. Refleksi Teologis: Iman yang Hidup dari Janji
4.1. Allah berdaulat dalam memilih dan memanggil
Teologi Reformed menekankan bahwa pemilihan Abraham adalah hasil anugerah Allah yang berdaulat. Tidak ada alasan dalam diri Abraham yang membuatnya layak. Allah memilih karena kasih-Nya sendiri (Ulangan 7:7–8).
John Calvin berkata:
“Ketika Allah memanggil Abraham, Ia menunjukkan bahwa keselamatan tidak pernah bergantung pada kelayakan manusia, tetapi semata-mata pada belas kasihan-Nya.”
4.2. Iman sejati selalu menghasilkan ketaatan
Iman bukan hanya percaya dalam pikiran, tetapi melibatkan tindakan. Abraham membuktikan imannya dengan meninggalkan tanah airnya, walau belum tahu ke mana ia akan pergi.
Martyn Lloyd-Jones menekankan:
“Iman sejati tidak bisa dipisahkan dari ketaatan. Ketika kita benar-benar percaya kepada Allah, kita tidak akan bisa tetap diam.”
Dalam konteks gereja masa kini, iman sejati akan tampak dalam ketaatan terhadap panggilan pelayanan, kesetiaan dalam penderitaan, dan keberanian meninggalkan dosa.
4.3. Janji Allah sering melibatkan proses dan penundaan
Allah berjanji memberikan tanah dan keturunan kepada Abraham, tetapi penggenapannya terjadi secara bertahap. Ini menunjukkan bahwa Allah bekerja melalui waktu, membentuk karakter umat-Nya melalui penantian.
R.C. Sproul mengatakan:
“Penundaan bukan penolakan. Ketika Allah menunda janji-Nya, Ia sedang mengajar kita untuk mengasihi Pemberi janji lebih daripada janji itu sendiri.”
5. Aplikasi bagi Kehidupan Orang Percaya
-
Hiduplah dengan iman, bukan penglihatan.
Seperti Abraham, kita dipanggil untuk percaya kepada janji Allah meski jalan belum jelas. Dunia menuntut bukti, tetapi iman berjalan berdasarkan karakter Allah. -
Taatlah meskipun panggilan Allah tampak sulit.
Ketaatan sejati bukan ketika kita mengerti semuanya, tetapi ketika kita mempercayai Allah yang memanggil. -
Jangan takut pada penundaan janji.
Allah tidak pernah lupa. Janji-Nya pasti digenapi pada waktu-Nya. Ia setia dari generasi ke generasi. -
Hidup dalam tanda perjanjian yang baru.
Kita telah “disunat” secara rohani oleh Kristus. Hidup kita sekarang harus mencerminkan kekudusan dan pemisahan dari dunia. -
Wariskan iman kepada generasi berikutnya.
Seperti Abraham, kita dipanggil bukan hanya untuk menerima janji, tetapi untuk menurunkannya melalui teladan hidup yang taat.
Penutup: Allah yang Memanggil, Allah yang Menepati
Kisah Para Rasul 7:4–8 menunjukkan bahwa sejarah keselamatan dimulai dari panggilan Allah kepada seorang manusia yang mau taat. Dari satu langkah iman Abraham, Allah menegakkan perjanjian yang kekal yang puncaknya digenapi di dalam Yesus Kristus.
Kita semua adalah anak-anak Abraham melalui iman kepada Kristus (Galatia 3:29). Karena itu, panggilan yang sama kini ditujukan kepada kita: meninggalkan kehidupan lama, mempercayai janji Allah, dan hidup dalam ketaatan iman.
Seperti dikatakan oleh John Calvin:
“Allah memanggil kita keluar dari dunia agar kita hidup sepenuhnya bagi-Nya. Tidak ada jalan tengah — iman sejati berarti penyerahan total kepada kehendak Allah.”
Kiranya melalui firman ini, kita semakin dikuatkan untuk berjalan seperti Abraham — tidak dengan melihat apa yang tampak, tetapi dengan percaya kepada Allah yang tidak berubah dan janji-Nya yang kekal.