Kisah Para Rasul 7:29–34 Allah yang Memanggil dari Semak yang Menyala
.jpg)
I. Pendahuluan: Allah yang Berdaulat di Tengah Pembuangan
Dalam Kisah Para Rasul 7, Stefanus menyampaikan pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama. Ia menyingkapkan sejarah keselamatan sebagai bukti bahwa bangsa Israel berulang kali menolak utusan-utusan Allah. Salah satu tokoh yang disebut dengan kuat ialah Musa, sang pembebas yang dipilih Allah.
Kisah Para Rasul 7:29–34 menggambarkan titik balik penting dalam kehidupan Musa. Setelah melarikan diri dari Mesir, ia hidup di Midian selama empat puluh tahun. Di tempat pengasingan itulah Allah menampakkan diri kepadanya melalui semak yang menyala namun tidak terbakar. Melalui peristiwa itu, Allah memanggil Musa untuk memimpin umat-Nya keluar dari perbudakan Mesir.
Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi pewahyuan tentang siapa Allah dan bagaimana Ia bekerja: Allah yang suci, berdaulat, namun penuh belas kasih kepada umat-Nya. Di dalamnya terdapat pelajaran mendalam tentang panggilan ilahi, penyucian, dan anugerah pemulihan — tema yang sangat kaya untuk direnungkan oleh gereja masa kini.
II. Latar Belakang Teks: Konteks Historis dan Teologis
Mari kita baca kembali bagian utama teks:
“Pada waktu itu larilah Musa dan tinggal sebagai orang asing di tanah Midian, di mana ia menjadi ayah dari dua orang anak. Dan setelah empat puluh tahun, tampaklah kepadanya malaikat Tuhan di padang gurun gunung Sinai di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Musa heran tentang penglihatan itu dan ketika ia datang untuk melihatnya dari dekat, datanglah suara Tuhan: Akulah Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Maka ketakutanlah Musa dan ia tidak berani melihatnya. Lalu berfirmanlah Tuhan kepadanya: Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus. Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di Mesir dan telah mendengar keluhan mereka, lalu Aku turun untuk melepaskan mereka. Sekarang datanglah, Aku akan mengutus engkau ke Mesir.” (Kisah Para Rasul 7:29–34)
Stefanus dalam khotbahnya menegaskan bahwa Allah selalu berinisiatif menyelamatkan umat-Nya, bahkan ketika mereka hidup dalam penderitaan dan penolakan. Musa dipilih bukan karena kelayakannya, melainkan karena kasih karunia Allah.
John Calvin menulis dalam Commentary on Acts bahwa:
“Allah memanggil Musa bukan pada puncak kejayaannya di Mesir, tetapi dalam keadaan tersembunyi di padang gurun, agar ia belajar bahwa panggilan sejati berasal dari Allah, bukan dari ambisi manusia.”
Dengan kata lain, Allah mempersiapkan Musa melalui masa pengasingan dan kesunyian. Dalam diam, Ia menumbuhkan kerendahan hati dan ketaatan — dua kualitas yang sangat penting dalam kepemimpinan rohani sejati.
III. Eksposisi Ayat per Ayat
Kisah Para Rasul 7:29: “Larilah Musa dan tinggal sebagai orang asing di tanah Midian…”
Peristiwa ini menunjukkan awal dari proses pembentukan karakter Musa. Ia melarikan diri setelah membunuh orang Mesir yang menindas sesamanya orang Ibrani. Di Midian, Musa mengalami keterasingan, ketidakberdayaan, dan penantian.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa pembuangan Musa mencerminkan prinsip sanctified waiting — masa menunggu yang disucikan. Ia menulis:
“Allah seringkali menunda penggenapan panggilan kita agar kita belajar bergantung penuh pada-Nya, bukan pada kekuatan sendiri.”
Musa harus belajar menjadi gembala sebelum ia menjadi pemimpin bangsa. Demikian juga Allah sering memproses hamba-hamba-Nya melalui padang gurun hidup agar mereka siap menerima panggilan yang kudus.
Kisah Para Rasul 7:30–31: “Tampaklah kepadanya malaikat Tuhan di padang gurun… Musa heran tentang penglihatan itu.”
Semak duri yang menyala tanpa terbakar adalah simbol yang kaya secara teologis. Matthew Henry menafsirkan bahwa semak duri melambangkan bangsa Israel yang tertindas — terbakar oleh penderitaan, namun tidak binasa karena Allah menyertai mereka.
Sedangkan api melambangkan kehadiran Allah yang kudus. Dalam Perjanjian Lama, Allah sering menampakkan diri melalui api — menandakan kemuliaan dan kekudusan-Nya (Keluaran 3:2; Ulangan 4:24). Namun semak itu tidak terbakar: ini menyingkapkan bahwa kasih karunia Allah menopang umat-Nya di tengah penghakiman dan penderitaan.
John Owen, teolog Puritan, menulis:
“Api Allah menyucikan, bukan menghancurkan umat pilihan-Nya. Kasih karunia membuat kita tetap bertahan di tengah nyala kekudusan-Nya.”
Kebesaran Allah yang dinyatakan melalui api yang tidak membakar ini adalah tanda bahwa kasih karunia selalu mendahului panggilan.
Kisah Para Rasul 7:32–33: “Akulah Allah nenek moyangmu... Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu…”
Kata-kata Allah ini menunjukkan dua hal penting:
-
Identitas Allah yang setia.
Ia memperkenalkan diri sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub — tanda bahwa Ia setia kepada janji perjanjian-Nya. Meskipun generasi berganti, Allah tetap sama. Ini meneguhkan umat bahwa panggilan-Nya tidak pernah gagal.Jonathan Edwards berkata dalam The History of Redemption:
“Dalam setiap masa, Allah melanjutkan pekerjaan penebusan yang sama, karena Ia adalah Allah dari perjanjian yang kekal.”
-
Kekudusan Allah yang mutlak.
Perintah untuk menanggalkan kasut adalah simbol penghormatan terhadap kekudusan ilahi. Ini bukan hanya tindakan lahiriah, tetapi pernyataan kerendahan hati di hadapan Allah yang suci.Calvin menafsirkan:
“Allah menuntut dari Musa kesadaran akan dosa dan ketidaklayakan. Tidak ada yang dapat berdiri di hadapan Allah tanpa kesucian yang diberikan oleh-Nya sendiri.”
Dalam konteks ini, panggilan Allah selalu dimulai dengan penyucian diri. Sebelum Musa dapat memimpin Israel keluar dari Mesir, ia sendiri harus mengalami perjumpaan dengan Allah yang kudus.
Kisah Para Rasul 7:34: “Aku telah memperhatikan kesengsaraan umat-Ku di Mesir… Aku turun untuk melepaskan mereka.”
Ayat ini menyingkapkan hati Allah yang penuh belas kasih. Ia bukan Allah yang jauh, melainkan Allah yang “turun” — sebuah gambaran inkarnasional yang menubuatkan karya Kristus sendiri. Allah melihat penderitaan umat-Nya, mendengar seruan mereka, dan bertindak.
Martyn Lloyd-Jones menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan karakter Allah yang aktif dalam penyelamatan:
“Setiap kali Allah berkata, ‘Aku telah turun,’ itu berarti anugerah sedang bekerja. Inilah inti Injil: Allah turun ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa.”
Dengan demikian, panggilan Musa merupakan bagian dari rencana besar keselamatan Allah. Ia dipanggil bukan untuk menjadi pahlawan nasional, tetapi alat dalam tangan Allah untuk menyatakan karya penebusan-Nya.
IV. Teologi Panggilan: Dari Padang Gurun ke Pelayanan
Kisah Musa di Midian menegaskan prinsip teologis yang mendalam: Allah memanggil melalui kelemahan, bukan kekuatan.
Musa yang dahulu bersemangat membela bangsanya dengan kekerasan kini telah menjadi gembala yang rendah hati. Ia belajar bahwa kuasa sejati bukan berasal dari diri sendiri, tetapi dari Allah yang memanggil.
R.C. Sproul menulis:
“Kelemahan adalah wadah tempat Allah menaruh kuasa-Nya. Panggilan sejati selalu dimulai dari kesadaran bahwa kita tidak mampu tanpa kasih karunia.”
Allah sering menyingkirkan kesombongan kita melalui pengalaman Midian — masa ketika segala sesuatu tampak diam, tetapi sebenarnya Allah sedang membentuk hati kita.
V. Kristus di Dalam Kisah Musa
Stefanus tidak sekadar menceritakan sejarah Musa, tetapi menunjukkan bahwa seluruh kisah itu menunjuk kepada Kristus. Seperti Musa, Kristus juga:
- Dikirim oleh Allah untuk membebaskan umat-Nya.
- Ditolak oleh umat yang hendak diselamatkan.
- Melalui penderitaan dan pengorbanan, membawa pembebasan sejati.
John Gill menulis:
“Musa adalah bayangan dari Kristus, Pembebas sejati yang tidak hanya menuntun umat keluar dari Mesir dunia ini, tetapi membebaskan mereka dari perbudakan dosa.”
Dengan demikian, peristiwa semak yang menyala adalah lambang dari misteri inkarnasi — kehadiran Allah dalam kemanusiaan Kristus yang tidak musnah meskipun memikul kemuliaan ilahi. Api keilahian menyala dalam tubuh manusia yang fana, namun tidak membakar-Nya.
VI. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Allah masih memanggil dari padang gurun.
Seperti Musa, banyak pelayan Tuhan hari ini sedang berada dalam masa tersembunyi. Jangan anggap diamnya Allah sebagai penolakan. Dalam kesunyian, Ia sedang mempersiapkan hati yang siap taat. -
Panggilan sejati lahir dari penyembahan.
Musa baru menerima tugas setelah ia menanggalkan kasut dan menyembah. Gereja harus kembali pada penyembahan yang penuh kekaguman terhadap kekudusan Allah. -
Kasih Allah kepada umat yang menderita.
Allah melihat penderitaan umat-Nya dan turun tangan. Gereja harus menjadi alat belas kasih itu — melayani, menolong, dan menjadi terang bagi dunia yang tertindas. -
Kristus adalah Musa yang lebih besar.
Kebebasan sejati bukan keluar dari Mesir jasmani, tetapi dari dosa. Hanya Kristus yang dapat memimpin kita melalui salib menuju tanah perjanjian rohani.
VII. Pandangan Para Teolog Reformed tentang Panggilan dan Kekudusan
- John Calvin: menekankan bahwa panggilan Allah selalu disertai penyucian. “Tidak ada pelayanan sejati tanpa kesadaran akan kekudusan Allah.”
- Jonathan Edwards: menyoroti bahwa pengalaman Musa menunjukkan anugerah efektif — kasih karunia yang tidak hanya memanggil, tetapi juga mengubah.
- Martyn Lloyd-Jones: melihat kisah ini sebagai contoh revival pribadi. “Setiap perjumpaan dengan Allah yang kudus menghasilkan kebangkitan rohani yang mengubah seluruh arah hidup.”
- R.C. Sproul: menegaskan konsep coram Deo — hidup di hadapan Allah yang kudus. “Seperti Musa menanggalkan kasutnya, demikian juga setiap orang percaya harus menanggalkan dosa di hadapan Allah.”
VIII. Refleksi Praktis: Berjalan di Tanah Kudus
Perintah Allah kepada Musa untuk menanggalkan kasut mengingatkan bahwa kehidupan orang percaya adalah perjalanan di tanah kudus. Dunia ini penuh godaan, namun setiap langkah iman harus dijalani dengan kesadaran akan hadirat Allah.
Dalam kehidupan pelayanan, ada saat-saat di mana Allah membawa kita ke “gunung Horeb” — tempat perjumpaan dan peneguhan panggilan. Di sanalah suara-Nya masih berkata:
“Aku telah memperhatikan kesengsaraan umat-Ku... Aku mengutus engkau.”
Kita dipanggil bukan karena kelayakan, tetapi karena kasih karunia. Allah memilih untuk memakai manusia yang lemah agar kemuliaan hanya bagi-Nya.
IX. Penutup: Panggilan dari Api yang Tidak Padam
Kisah Musa mengajarkan bahwa Allah adalah Allah yang berbicara dari api — api yang menyala tanpa membakar, simbol kasih karunia yang memurnikan tanpa memusnahkan. Ia memanggil hamba-hamba-Nya dari padang gurun, menyucikan mereka, dan mengutus mereka bagi kemuliaan-Nya.
Seperti Musa, gereja masa kini harus mendengar panggilan itu kembali:
“Tanggalkanlah kasutmu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus.”
Kiranya kita hidup dengan kesadaran bahwa setiap panggilan berasal dari hadirat-Nya, dan setiap pelayanan dijalankan untuk kemuliaan-Nya saja.