Markus 2:23-28 Kristus Adalah Tuhan Atas Hari Sabat

Markus 2:23-28 (TB):
"Pada suatu hari Sabat, waktu Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum, dan sambil berjalan mereka memakannya. Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: 'Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?'
Jawab-Nya kepada mereka: 'Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam rumah Allah, waktu Abyatar menjadi imam besar, lalu makan roti sajian itu – yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam – dan memberikannya juga kepada pengikut-pengikutnya?'
Lalu kata Yesus kepada mereka: 'Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat; jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.'"
Pendahuluan
Perikop ini merupakan salah satu kisah paling penting dalam Injil Markus karena di sini Yesus menyatakan identitas-Nya dengan sangat jelas: “Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” Pernyataan ini bukan hanya menjawab tuduhan orang Farisi, tetapi juga menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang berotoritas atas hukum Taurat, termasuk hari Sabat yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Yahudi.
Bagi orang Farisi, Sabat adalah tanda kesalehan, bahkan menjadi identitas nasional Israel. Tetapi bagi Yesus, Sabat tidak boleh dipelintir menjadi beban yang membelenggu manusia. Sabat adalah anugerah Allah untuk manusia, suatu hari untuk beristirahat, bersekutu dengan Allah, dan mengingat karya-Nya.
Khotbah ini akan menolong kita memahami:
-
Konteks historis dan latar belakang hukum Sabat.
-
Konflik Yesus dengan orang Farisi tentang Sabat.
-
Tafsiran Yesus tentang Sabat dan contoh Daud.
-
Yesus sebagai Tuhan atas Sabat.
-
Refleksi teologi Reformed mengenai hari Sabat.
-
Aplikasi praktis bagi jemaat masa kini.
1. Konteks Historis: Sabat dalam Perjanjian Lama
Hari Sabat pertama kali ditetapkan Allah dalam Kejadian 2:2-3 ketika Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan. Dalam Keluaran 20:8-11 dan Ulangan 5:12-15, Sabat diberikan sebagai perintah keempat dalam Sepuluh Hukum Taurat. Ada dua alasan utama:
-
Penciptaan – Allah berhenti pada hari ketujuh, maka manusia pun dipanggil untuk berhenti.
-
Pembebasan – Israel dipanggil mengingat bahwa Allah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir.
Namun, pada zaman Yesus, orang Farisi menambahkan banyak aturan tambahan (sekitar 39 larangan kerja pada hari Sabat menurut tradisi rabinik). Akibatnya, Sabat yang seharusnya menjadi berkat berubah menjadi beban.
2. Konflik Yesus dengan Orang Farisi
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya berjalan di ladang gandum dan memetik bulir, orang Farisi menuduh mereka melanggar hukum Sabat. Menurut mereka, tindakan itu sama dengan menuai dan mengolah makanan, yang termasuk dalam 39 larangan kerja.
Bagi Farisi, aturan lebih penting daripada kebutuhan manusia. Mereka menempatkan hukum di atas belas kasih. Tetapi Yesus menantang mereka dengan menekankan bahwa hukum Allah tidak boleh dipisahkan dari tujuan Allah yang penuh kasih.
Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul:
"The Pharisees turned the Sabbath into a legalistic prison, but Christ restored it to its original purpose as a blessing."
(“Orang Farisi menjadikan Sabat sebagai penjara legalistik, tetapi Kristus memulihkannya kepada tujuan aslinya sebagai berkat.”)
3. Contoh Daud: Prinsip Kasih Lebih Utama
Untuk menjawab tuduhan Farisi, Yesus mengutip kisah Daud (1 Samuel 21:1-6). Daud dan orang-orangnya yang lapar makan roti sajian, yang sebenarnya hanya boleh dimakan oleh imam.
Yesus tidak membenarkan pelanggaran hukum, tetapi menunjukkan bahwa kebutuhan mendesak (kelaparan) lebih utama daripada ritual. Prinsip kasih Allah lebih tinggi daripada aturan seremonial.
John Calvin dalam komentarnya menulis:
"Christ does not abolish the law, but shows that the law was given to serve men, not to destroy them."
(“Kristus tidak meniadakan hukum, tetapi menunjukkan bahwa hukum diberikan untuk melayani manusia, bukan untuk membinasakan mereka.”)
4. Sabat untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Sabat
Yesus kemudian menyatakan prinsip agung: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.”
Artinya, Sabat bukanlah tujuan, melainkan sarana:
-
Sarana untuk beristirahat dari pekerjaan.
-
Sarana untuk menikmati hadirat Allah.
-
Sarana untuk memperbarui tubuh, jiwa, dan roh.
Orang Farisi memutarbalikkan hal ini: mereka menempatkan manusia di bawah Sabat, seolah-olah manusia diciptakan untuk melayani Sabat. Tetapi Yesus memulihkan maksud Allah: Sabat adalah berkat, bukan beban.
5. Yesus: Tuhan atas Sabat
Pernyataan Yesus dalam ayat 28 adalah klimaks: “Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.”
Di sini Yesus tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi mengklaim otoritas atas hukum itu sendiri. Dengan kata lain:
-
Yesus adalah Allah yang menetapkan Sabat sejak penciptaan.
-
Yesus adalah penggenapan Sabat.
-
Yesus memiliki kuasa untuk menafsirkan dan mengarahkan kembali makna Sabat.
Herman Bavinck menegaskan:
"The Sabbath finds its true fulfillment in Christ, in whom believers find their eternal rest."
(“Sabat menemukan penggenapannya dalam Kristus, di dalam Dia orang percaya menemukan perhentian yang kekal.”)
6. Refleksi Teologi Reformed tentang Sabat
Dalam tradisi Reformed, Sabat dipahami secara mendalam:
-
Westminster Confession of Faith, pasal 21 menegaskan bahwa Sabat tetap berlaku dalam prinsip moral, tetapi bentuknya berubah dalam Perjanjian Baru: dari hari ketujuh menjadi hari pertama (Hari Tuhan – Minggu), memperingati kebangkitan Kristus.
-
Louis Berkhof menulis:
"The Christian Sabbath is not mere idleness, but a day consecrated for worship and rest in Christ."
(“Sabat Kristen bukanlah sekadar berdiam diri, tetapi hari yang dikuduskan untuk ibadah dan perhentian dalam Kristus.”)
-
Sabat dalam Kristus adalah bayangan menuju perhentian kekal (Ibrani 4:9-10). Pada hari Minggu, kita merayakan karya penebusan Kristus dan menantikan perhentian abadi di surga.
7. Aplikasi Praktis bagi Jemaat Masa Kini
Dari perikop ini, ada beberapa pelajaran penting bagi kita:
a) Sabat adalah Anugerah, Bukan Beban
Kita tidak boleh menjadikan ibadah Minggu sebagai legalisme, tetapi harus melihatnya sebagai berkat. Hari Tuhan adalah kesempatan untuk berhenti dari kesibukan duniawi dan memusatkan diri kepada Allah.
b) Kasih Lebih Tinggi daripada Legalitas
Seperti Yesus mendahulukan kebutuhan murid-murid-Nya, kita pun dipanggil menempatkan kasih di atas ritual. Gereja harus peka terhadap kebutuhan manusia, bukan hanya sibuk menjaga tradisi.
c) Kristus adalah Perhentian Sejati
Yesus adalah penggenapan Sabat. Kita menemukan damai dan istirahat sejati bukan hanya dengan berhenti bekerja sehari, tetapi dengan berdiam di dalam Kristus setiap hari.
d) Hari Tuhan Sebagai Latihan Kekekalan
Setiap Minggu adalah bayangan perhentian kekal. Saat kita berkumpul beribadah, kita mencicipi sukacita surga yang akan datang.
8. Penutup: Kristus, Tuhan atas Waktu dan Hidup Kita
Saudara-saudara, Markus 2:23-28 bukan hanya tentang perdebatan hukum Sabat, tetapi tentang siapa Yesus itu. Ia adalah Tuhan atas Sabat, Tuhan atas waktu, dan Tuhan atas hidup kita.
Jika Yesus adalah Tuhan atas Sabat, maka Ia juga adalah Tuhan atas seluruh hari-hari kita. Hidup kita seharusnya dipusatkan pada Dia, bukan pada aturan kosong, bukan pada kesibukan dunia, melainkan pada perhentian yang kita temukan di dalam kasih dan anugerah-Nya.
Kiranya kita belajar menghargai Hari Tuhan bukan sebagai kewajiban legalistik, melainkan sebagai undangan untuk menikmati hadirat Kristus, beristirahat dalam karya penebusan-Nya, dan merayakan sukacita keselamatan yang telah Ia berikan.
Amin.