Mazmur 5:4–6 Allah yang Kudus Tidak Berkenan kepada Kejahatan

Mazmur 5:4–6 Allah yang Kudus Tidak Berkenan kepada Kejahatan

Pendahuluan

Mazmur 5 adalah salah satu doa Daud yang penuh dengan kedalaman teologis dan spiritual. Dalam mazmur ini, kita melihat seorang raja yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga sangat sadar akan kekudusan Allah dan kebobrokan manusia berdosa. Mazmur ini adalah doa pagi, ketika Daud menyiapkan dirinya untuk menghadapi hari yang baru, sekaligus mengarahkan pandangannya kepada Allah yang kudus dan benar.

Mazmur 5:4–6 menjadi inti dari teologi Mazmur ini, sebab di dalamnya Daud menyatakan karakter Allah yang tidak dapat mentoleransi kejahatan. Ini bukan sekadar pernyataan moral, melainkan pengakuan iman tentang sifat Allah yang kudus.

Mari kita baca:

“Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat tidak akan menumpang kepada-Mu. Orang yang kurang ajar tidak akan tahan berdiri di hadapan-Mu; Engkau benci kepada semua orang yang melakukan kejahatan. Engkau membinasakan orang yang berkata bohong; TUHAN muak terhadap penumpah darah dan penipu.” (Mazmur 5:4–6)

Artikel ini akan menelusuri ayat-ayat tersebut secara ekspositori, dengan bantuan pandangan para teolog Reformed, untuk menyingkapkan apa artinya bagi kita mengenal Allah yang kudus, membenci dosa, dan bagaimana kita harus merespons kekudusan-Nya dalam hidup kita sehari-hari.

I. Allah yang Kudus Tidak Berkenan kepada Kejahatan (Mazmur 5:4)

“Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat tidak akan menumpang kepada-Mu.”

1. Allah Tidak Netral terhadap Dosa

Daud membuka bagian ini dengan pengakuan teologis yang sangat penting: Allah tidak berkenan kepada kefasikan. Kata berkenan (Ibrani: chaphets) berarti “menemukan kesenangan” atau “menikmati.” Artinya, Allah tidak dapat menikmati atau menerima dosa sedikit pun.

John Calvin dalam Commentary on the Psalms menulis:

“Daud tidak sekadar berkata bahwa Allah membenci dosa, tetapi bahwa sifat Allah sendiri bertentangan dengan kefasikan. Kekudusan-Nya adalah kebalikan dari kejahatan manusia.”

Ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya pelanggaran terhadap hukum moral, tetapi pemberontakan terhadap sifat Allah sendiri. Allah tidak bisa kompromi dengan dosa tanpa menyangkal diri-Nya sendiri.

2. “Orang jahat tidak akan menumpang kepada-Mu”

Ungkapan ini menunjukkan ketidakhadiran orang berdosa di hadapan Allah yang kudus. Dalam konteks bait Allah, “menumpang” (gur) berarti “tinggal” atau “hadir dalam komunitas penyembahan.” Daud mengatakan bahwa orang jahat tidak mungkin memiliki persekutuan dengan Allah.

Hal ini sejalan dengan teologi Reformed yang menegaskan transendensi moral Allah. R.C. Sproul dalam bukunya The Holiness of God berkata:

“Masalah terbesar manusia bukan sekadar kesalahannya, tetapi bahwa ia berdiri di hadapan Allah yang sepenuhnya kudus. Kekudusan Allah menuntut keterpisahan total dari segala bentuk kejahatan.”

Kekudusan Allah berarti bahwa dosa tidak bisa didekati tanpa penghukuman. Oleh karena itu, hanya mereka yang disucikan oleh kasih karunia yang dapat “menumpang” di hadapan-Nya.

3. Aplikasi: Kekudusan sebagai Dasar Penyembahan

Mazmur 5 dimulai dengan doa dan penyembahan. Tetapi Daud tahu bahwa penyembahan sejati hanya dapat dilakukan oleh hati yang bersih. Allah tidak berkenan kepada ibadah yang dilakukan oleh orang yang hidup dalam dosa.

John Owen menulis:

“Allah tidak dapat disenangkan oleh pujian dari hati yang tidak bertobat. Semua penyembahan sejati lahir dari hati yang telah disucikan oleh darah Kristus.” (Works of John Owen, Vol. 6)

Oleh karena itu, sebelum kita menyembah, kita harus memeriksa hati kita. Kekudusan bukanlah tambahan bagi penyembahan—itu adalah dasar penyembahan yang sejati.

II. Orang Berdosa Tidak Dapat Berdiri di Hadapan Allah (Mazmur 5:5)

“Orang yang kurang ajar tidak akan tahan berdiri di hadapan-Mu; Engkau benci kepada semua orang yang melakukan kejahatan.”

1. Tidak Ada Tempat bagi Orang yang Kurang Ajar

Kata kurang ajar (Ibrani: holelim) berarti “orang sombong” atau “angkuh.” Ini merujuk pada orang yang merasa dirinya cukup benar tanpa Allah. Mereka mungkin religius, tetapi hatinya sombong.

Calvin menafsirkan ayat ini demikian:

“Yang menjadi kebencian terbesar bagi Allah bukan hanya kejahatan moral, tetapi kesombongan rohani, sebab kesombongan menolak kebergantungan pada Allah dan menjadikan diri sendiri berhala.”

Dengan kata lain, kesombongan adalah akar dari segala dosa, karena menempatkan manusia sebagai pusat dan menyingkirkan Allah dari takhta-Nya.

2. “Engkau benci kepada semua orang yang melakukan kejahatan”

Pernyataan ini keras, dan sering menimbulkan pertanyaan teologis: bukankah Allah mengasihi semua orang?

R.C. Sproul menjelaskan perbedaan penting antara kasih umum Allah dan kebencian ilahi terhadap dosa dan orang berdosa yang tidak bertobat. Ia menulis:

“Alkitab tidak pernah memisahkan dosa dari pelakunya. Ketika Allah membenci kejahatan, Dia juga membenci orang yang terus-menerus melakukan kejahatan itu tanpa pertobatan.” (The Truth of the Cross)

Dalam pandangan Reformed, kebencian Allah bukanlah kebencian emosional seperti manusia, tetapi penolakan moral dan yudisial terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan kekudusan-Nya.

Ini juga mengingatkan kita bahwa kasih karunia hanya berarti sesuatu karena ada murka Allah yang nyata. Kasih Allah dalam Injil tidak menghapus murka Allah, melainkan menyalurkannya kepada Kristus yang menggantikan kita di salib.

3. Kasih dan Kekudusan Allah yang Tidak Terpisahkan

John Piper berkata:

“Kasih Allah yang sejati tidak pernah mengabaikan keadilan-Nya. Ia mengasihi dengan cara yang memuliakan kekudusan-Nya. Karena itu, kasih terbesar yang pernah ada adalah kasih yang menanggung murka.”

Di sinilah Injil bersinar paling terang. Ketika Allah membenci dosa dan menghukum orang berdosa, Ia juga menyediakan jalan keselamatan melalui Kristus. Salib adalah tempat di mana kasih dan murka Allah bertemu.

III. Allah Membinasakan Orang yang Berdusta dan Penumpah Darah (Mazmur 5:6)

“Engkau membinasakan orang yang berkata bohong; TUHAN muak terhadap penumpah darah dan penipu.”

1. Allah Membinasakan Orang yang Berbohong

Dalam bahasa Ibrani, kata “membinasakan” (’abad) bukan hanya berarti kematian fisik, tetapi penghukuman total dan pemisahan dari hadirat Allah.

Daud menegaskan bahwa dusta adalah dosa serius di hadapan Allah. Mengapa? Karena dusta adalah peniruan sifat Iblis, yang disebut “bapa segala dusta” (Yohanes 8:44). Dusta bukan sekadar kesalahan kecil, tetapi serangan terhadap natur Allah yang adalah kebenaran.

John Owen menulis:

“Dusta menghancurkan dasar dari semua hubungan manusia, sebab ia menentang Allah yang adalah sumber segala kebenaran.”

Dalam dunia modern yang penuh kebohongan politik, manipulasi media, dan kepalsuan sosial, pesan Mazmur ini sangat relevan: Allah tidak menoleransi dusta, baik yang besar maupun kecil.

2. TUHAN Muak terhadap Penumpah Darah dan Penipu

Kata “muak” (to’ebah) berarti “kekejian” atau sesuatu yang membangkitkan jijik moral bagi Allah. Dalam konteks ini, dua kelompok disorot:

  • Penumpah darah: mereka yang dengan sengaja merugikan dan menghancurkan nyawa sesama.

  • Penipu: mereka yang menggunakan tipu daya untuk menindas dan mencurangi orang lain.

Calvin berkomentar:

“Penumpah darah dan penipu disebut bersama karena keduanya menandakan kekerasan dan kelicikan, dua bentuk utama dari kejahatan manusia.”

Ini mengajarkan bahwa Allah tidak hanya menolak dosa secara pribadi, tetapi juga menentang sistem kejahatan sosial yang lahir dari kebohongan dan kekerasan.

R.C. Sproul menambahkan:

“Setiap kejahatan sosial, entah itu korupsi, penindasan, atau ketidakadilan, adalah penghinaan langsung terhadap kekudusan Allah. Gereja harus berani menyuarakan kekudusan Allah di tengah dunia yang memuja relativisme moral.”

3. Allah Tidak Akan Diam terhadap Kejahatan

Mazmur ini menegaskan bahwa Allah bukanlah pengamat pasif. Ia akan membinasakan dan menghukum kejahatan pada waktunya. Ini adalah penghiburan bagi orang benar dan peringatan bagi orang fasik.

Bagi Daud, ini bukan sekadar teori; ia menaruh pengharapannya pada keadilan Allah.

Sebagaimana dikatakan Abraham Kuyper:

“Tidak ada satu inci pun dari wilayah kehidupan ini yang Kristus tidak katakan, ‘Itu milik-Ku.’ Karena itu, tidak ada kejahatan yang akan luput dari penghakiman-Nya.”

IV. Implikasi Teologis dan Praktis bagi Umat Allah

1. Mengenal Allah yang Kudus Menumbuhkan Rasa Takut yang Benar

Mazmur ini mengingatkan kita bahwa Allah bukan sahabat yang bisa dianggap remeh. Ia adalah Allah yang membenci dosa dan akan menghukum kejahatan.

John Calvin menulis bahwa pengetahuan akan kekudusan Allah menumbuhkan “rasa takut yang penuh hormat”, yang memurnikan ibadah dan menjaga kita dari kemunafikan.

2. Kekudusan Allah Mengarahkan Kita kepada Injil

Kekudusan Allah membuat kita sadar bahwa kita tidak mungkin berdiri di hadapan-Nya tanpa perantara. Di sinilah Injil menjadi berita terbaik: Kristus berdiri di hadapan Allah menggantikan kita.

R.C. Sproul berkata:

“Hanya satu manusia yang pernah berdiri di hadapan Allah tanpa cela—Yesus Kristus. Dan melalui Dia, kita yang najis diundang untuk datang dengan penuh keberanian ke hadirat Allah.”

Melalui Kristus, kita tidak lagi dibinasakan oleh murka Allah, tetapi dibenarkan dan dikasihi sebagai anak-anak-Nya.

3. Hidup Kudus sebagai Respons terhadap Anugerah

Pengenalan akan Allah yang kudus harus mendorong kita hidup dalam kekudusan. Bukan untuk memperoleh kasih Allah, tetapi karena kita telah dikasihi dan disucikan.

John Piper menulis:

“Kekudusan bukanlah syarat untuk mendapatkan kasih Allah, tetapi bukti bahwa kasih Allah telah menguasai kita.”

Mazmur 5 memanggil kita untuk membenci dosa sebagaimana Allah membencinya, dan mengasihi kebenaran sebagaimana Allah mengasihinya.

Penutup: Allah yang Kudus dan Kasih yang Menyelamatkan

Mazmur 5:4–6 memperlihatkan kontras tajam antara kekudusan Allah dan kefasikan manusia. Allah tidak berkenan kepada dosa, Ia membenci kejahatan, dan Ia akan menghukum pendusta serta penumpah darah. Namun di balik pernyataan keras ini, kita melihat kemuliaan kasih karunia Allah—karena justru Allah yang membenci dosa itu sendiri turun ke dunia dalam pribadi Kristus untuk menebus kita dari murka yang seharusnya kita tanggung.

Di salib, murka dan kasih bertemu. Allah yang adil menghukum dosa, dan Allah yang penuh kasih menyelamatkan orang berdosa. Maka, setiap kali kita membaca Mazmur 5, kita diingatkan untuk datang kepada Allah dengan hati yang disucikan oleh darah Anak Domba, dan untuk hidup dalam kekudusan yang memuliakan-Nya.

Next Post Previous Post