Keluaran 5:19–21 - Ketika Harapan Diuji oleh Penindasan

1. Pendahuluan: Iman yang Diuji di Tengah Krisis
Ada masa-masa dalam kehidupan rohani ketika ketaatan kepada Allah justru menimbulkan penderitaan yang lebih besar.
Itulah konteks dari Keluaran 5:19–21 — sebuah episode krisis yang mengguncang iman bangsa Israel di bawah penindasan Mesir.
Perikop ini menggambarkan saat di mana harapan akan pembebasan berubah menjadi kekecewaan mendalam.
Alih-alih membebaskan Israel, pesan Musa kepada Firaun justru memperburuk keadaan mereka.
Di sinilah kita belajar bahwa iman sejati tidak tumbuh di tanah yang subur, tetapi di gurun kesulitan.
Dalam teologi Reformed, peristiwa ini menyingkapkan ketegangan antara janji Allah dan realitas penderitaan.
Namun, justru dalam ketegangan itu, rencana penebusan Allah digenapi.
2. Konteks Historis: Dari Janji ke Penindasan yang Lebih Berat
Sebelum peristiwa ini, Musa telah dipanggil oleh Allah dari semak yang menyala (Keluaran 3).
Ia diutus membawa pesan pembebasan: “Biarkan umat-Ku pergi supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Namun, setelah Musa menyampaikan pesan itu kepada Firaun, reaksi yang terjadi bukan kebebasan, melainkan penindasan yang lebih berat.
Firaun, dengan keangkuhan khas penguasa dunia, berkata:
“Kalian malas! Itulah sebabnya kalian berkata, ‘Marilah kami pergi mempersembahkan korban kepada TUHAN.’”
(Keluaran 5:17)
Lalu ia memerintahkan agar bahan baku batu bata tidak lagi diberikan, tetapi kuota kerja tetap sama.
Dengan kata lain, Israel harus memproduksi hasil yang sama tanpa sumber daya yang memadai — sebuah kebijakan penindasan sistematis.
John Calvin, dalam Commentary on Exodus, menulis:
“Allah mengizinkan Firaun menindas Israel lebih keras agar umat itu belajar bahwa pembebasan sejati tidak akan datang dari tangan manusia, tetapi hanya dari tangan Allah sendiri.”
3. Eksposisi Ayat demi Ayat
Keluaran 5:19 – “Mereka menyadari bahwa mereka sedang dalam kesulitan”
Ayat ini adalah pengakuan keputusasaan yang jujur.
Kata “menyadari” (Ibrani: ra’ah) bukan hanya berarti mengetahui secara intelektual, tetapi merasakan secara eksistensial — mereka merasakan beratnya tekanan itu.
Para kepala tukang (pengawas Israel) adalah orang-orang yang bertanggung jawab di bawah pengawasan Mesir.
Mereka dipaksa bekerja tanpa jerami, tetapi tetap diminta memenuhi target batu bata yang sama.
Mereka berada di antara dua tekanan:
-
Di satu sisi, Firaun yang kejam.
-
Di sisi lain, bangsa mereka sendiri yang berharap pada mereka.
Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan keluar manusiawi.
Matthew Henry menulis:
“Ketika semua pintu manusia tertutup, itu adalah saat Allah bersiap membuka pintu yang ilahi.”
Dalam perspektif Reformed, kesadaran akan ketidakmampuan manusia total (total inability) adalah tahap pertama dalam pengalaman anugerah.
Allah sering membawa umat-Nya kepada titik tidak berdaya supaya mereka bergantung hanya kepada-Nya.
Keluaran 5:20 – “Mereka berjumpa dengan Musa dan Harun yang menantikan mereka”
Gambaran ini begitu tragis. Musa dan Harun berdiri menunggu — mungkin berharap akan kabar baik — tetapi yang datang adalah kemarahan dan kekecewaan.
Ini adalah momen pertama Musa menghadapi penolakan dari umatnya sendiri.
Ironisnya, Musa yang diutus untuk menjadi penyelamat justru dianggap sebagai penyebab penderitaan.
Dalam narasi keselamatan, ini menjadi cerminan Kristus.
Sama seperti Musa, Yesus juga ditolak oleh umat yang datang untuk diselamatkan (Yohanes 1:11).
Herman Bavinck menulis:
“Dalam setiap peristiwa penebusan, selalu ada fase di mana pembebas ditolak. Salib mendahului kebangkitan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa jalan pembebasan Allah tidak pernah langsung mulus.
Ia sering dimulai dengan kegelapan yang lebih pekat, agar terang anugerah tampak lebih jelas.
Keluaran 5:21 – “Semoga TUHAN melihatmu dan menghakimimu…”
Ini adalah ungkapan kemarahan yang lahir dari penderitaan.
Orang-orang Israel menyalahkan Musa dan Harun atas penderitaan yang menimpa mereka.
Mereka berkata, “Engkau telah membusukkan nama kami di mata Firaun.”
Secara literal, “membusukkan nama” (Ibrani: ba’ash) berarti membuat sesuatu berbau busuk — reputasi mereka kini rusak.
Mereka merasa Musa telah menempatkan mereka dalam posisi bahaya.
Namun, pernyataan paling keras datang di akhir:
“Engkau telah memberikan sebilah pedang di tangan mereka untuk membunuh kami.”
Ini bukan sekadar metafora; bagi mereka, tindakan Musa telah memperkuat musuh.
Sungguh ironis — Musa yang datang dengan kabar pembebasan kini dianggap membawa kehancuran.
John Gill, komentator Reformed Baptis abad ke-18, menulis:
“Orang-orang yang terbiasa dengan perbudakan sering lebih takut kehilangan kenyamanan penjara daripada meraih kebebasan sejati. Begitu pula dosa membuat manusia mencintai rantainya.”
Ayat ini mencerminkan kondisi rohani umat Allah yang belum siap percaya.
Mereka lebih cepat menyalahkan pemimpin yang diutus Tuhan daripada menantikan waktu-Nya.
4. Makna Teologis: Ketegangan antara Janji dan Realitas
Bagian ini menyoroti sebuah pola teologis penting yang muncul berulang kali dalam Kitab Suci:
Setiap janji besar dari Allah selalu didahului oleh ujian besar.
-
Abraham menerima janji keturunan, tetapi harus menunggu 25 tahun.
-
Yusuf mendapat mimpi kejayaan, tetapi harus melewati penjara dan pengkhianatan.
-
Israel dijanjikan tanah perjanjian, tetapi terlebih dahulu melewati padang gurun.
-
Kristus dijanjikan kemuliaan, tetapi terlebih dahulu memikul salib.
R.C. Sproul menulis:
“Iman sejati tidak diukur dari seberapa besar kita percaya ketika keadaan baik, tetapi seberapa kuat kita tetap percaya ketika janji Allah tampak gagal.”
Dalam perspektif Reformed, Allah sering menggunakan penderitaan untuk memurnikan iman umat-Nya.
Inilah yang disebut divine pedagogy — didikan ilahi yang menuntun umat menuju kedewasaan rohani.
5. Kedaulatan Allah di Balik Krisis
Mengapa Allah mengizinkan Firaun memperberat beban umat-Nya?
Karena Ia sedang menyiapkan panggung bagi manifestasi kuasa-Nya.
Tanpa penindasan ekstrem, pembebasan Israel tidak akan menunjukkan kemuliaan Allah secara sempurna.
Seperti kata Tuhan sendiri kepada Musa:
“Sebab dengan tangan yang kuat Aku akan melepaskan mereka, dan mereka akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.”
(Keluaran 6:1)
John Calvin menafsirkan:
“Tuhan sering kali memperburuk penderitaan umat-Nya sesaat sebelum membebaskan mereka, supaya kuasa pembebasan itu tampak bukan dari manusia, melainkan dari Dia semata.”
Inilah prinsip Sola Gratia (Anugerah Semata) dalam tindakan historis:
Umat tidak bisa menyelamatkan diri — mereka bahkan kehilangan harapan — namun Allah tetap setia menepati janji-Nya.
6. Kekecewaan dan Respons Iman
Kekecewaan Israel terhadap Musa mengajarkan dua hal penting:
a. Iman yang lemah mudah menyalahkan.
Alih-alih berdoa, mereka menuduh.
Alih-alih menunggu, mereka menyerang.
Dalam krisis, banyak orang beriman melakukan hal yang sama: menyalahkan pemimpin, gereja, bahkan Tuhan sendiri.
Namun, iman sejati belajar berdiam dan menantikan Allah.
Charles Spurgeon menasihati:
“Ketika kamu tidak dapat menelusuri tangan Allah, percayalah pada hati-Nya.”
b. Allah sabar terhadap umat yang goyah.
Musa dan bangsa itu gagal memahami rencana Allah, tetapi Allah tidak membatalkan janji-Nya.
Ia tidak meninggalkan mereka, melainkan memperbarui janji-Nya di pasal berikutnya (Keluaran 6).
Herman Bavinck menulis:
“Kesetiaan Allah bukan bergantung pada kesetiaan manusia. Ia tetap setia bahkan ketika kita tidak setia.”
7. Tipologi Kristus: Musa dan Yesus yang Ditolak
Keluaran 5:19–21 adalah cerminan awal dari tema besar yang digenapi dalam Kristus.
Musa, yang ditolak oleh umatnya ketika ia datang untuk membebaskan mereka, adalah gambaran Kristus.
“Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”
(Yohanes 1:11)
Namun, seperti Musa, penolakan itu tidak menggagalkan misi keselamatan.
Kristus menanggung kutuk penolakan agar umat-Nya menerima pembebasan sejati.
Geerhardus Vos, dalam Biblical Theology, menyatakan:
“Setiap pola penolakan terhadap utusan Allah dalam Perjanjian Lama menunjuk kepada penolakan terbesar terhadap Kristus. Namun justru melalui penolakan itulah penebusan digenapi.”
8. Implikasi Teologis dalam Teologi Reformed
1. Providensi Allah dalam penderitaan
Reformed Theology menegaskan bahwa tidak ada penderitaan yang lepas dari kendali Allah.
Bahkan tindakan jahat Firaun adalah bagian dari rencana kedaulatan-Nya (Roma 9:17).
B.B. Warfield menulis:
“Tangan Allah yang sama yang menulis janji di surga juga mengatur badai di bumi agar janji itu digenapi.”
Dengan demikian, penderitaan bukanlah tanda ketidakhadiran Allah, tetapi instrumen pemurnian anugerah.
2. Kesetiaan Allah pada Perjanjian
Allah tetap setia pada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub, sekalipun Israel meragukan-Nya.
Kesetiaan ini menunjukkan bahwa dasar keselamatan bukanlah respons manusia, tetapi karakter Allah yang tidak berubah.
“Sebab Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, anak-anak Yakub, tidak akan lenyap.”
(Maleakhi 3:6)
Ini adalah inti dari Covenant Theology:
Allah yang berjanji adalah Allah yang menepati, bahkan melalui jalan yang manusia tidak mengerti.
3. Kesabaran Allah terhadap Umat yang Lemah
Tuhan tidak membuang umat-Nya karena keluhan mereka.
Ia malah menyatakan diri lebih jelas lagi (Keluaran 6:2–8).
Kesabaran Allah ini adalah bukti anugerah perjanjian (covenantal grace) — kasih yang setia meski umat gagal memahami.
John Frame menulis:
“Dalam hubungan perjanjian, Allah memperlakukan kita bukan berdasarkan kemampuan kita memahami, tetapi berdasarkan kasih setia-Nya yang kekal.”
9. Aplikasi Rohani bagi Gereja Masa Kini
1. Panggilan untuk tetap setia di tengah kekecewaan
Banyak orang meninggalkan iman karena merasa Allah tidak menepati janji-Nya sesuai waktu mereka.
Namun, Keluaran 5 menunjukkan bahwa rencana Allah sering melibatkan penundaan yang menebus.
Iman yang sejati berkata:
“Aku tidak mengerti jalan-Mu, tapi aku tahu Engkau setia.”
2. Pemimpin rohani harus siap menghadapi kesalahpahaman
Seperti Musa, para hamba Tuhan masa kini harus siap disalahpahami oleh umat yang mereka layani.
Tugas seorang pemimpin bukan mencari penerimaan manusia, tetapi ketaatan kepada panggilan Allah.
R.C. Sproul menulis:
“Pelayan Kristus bukan dipanggil untuk popularitas, tetapi untuk kesetiaan.”
3. Gereja harus belajar melihat tangan Allah di balik penderitaan
Kita sering mengukur kesetiaan Allah dari keadaan yang nyaman.
Namun, Allah justru bekerja paling kuat ketika kita tidak melihat apa-apa selain salib.
Seperti salib Kristus — tampak seperti kekalahan, namun justru menjadi kemenangan terbesar.
Tim Keller pernah berkata:
“Allah memberi kita apa yang akan kita minta jika kita tahu segala sesuatu yang Dia tahu.”
10. Kesimpulan: Dari Batu Bata ke Kebebasan
Keluaran 5:19–21 bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari transformasi iman Israel.
Dari situ Allah menuntun mereka menuju pengenalan yang lebih dalam akan diri-Nya:
“Akulah TUHAN, dan Aku akan menebus kamu dengan tangan yang teracung.” (Kel. 6:6)
Krisis ini membuktikan satu hal besar:
Kesetiaan Allah lebih kuat daripada kelemahan iman umat-Nya.
Di tengah batu bata, air mata, dan ketakutan, Allah tetap bekerja — perlahan, tetapi pasti — menuju penebusan.