Markus 9:43–50 - Dibersihkan oleh Api dan Diasinkan oleh Anugerah

Markus 9:43–50 - Dibersihkan oleh Api dan Diasinkan oleh Anugerah

1. Pendahuluan: Peringatan Kristus yang Mengguncang Jiwa

Markus 9:43–50 adalah salah satu bagian paling keras dari ajaran Yesus. Di sini, Kristus berbicara dengan bahasa yang ekstrem: “potonglah tanganmu”, “cungkillah matamu”, “lebih baik masuk ke dalam hidup dengan buntung daripada masuk neraka dengan tubuh lengkap.”
Ia menutup dengan pernyataan yang membingungkan: “Setiap orang akan digarami dengan api.”

Yesus tidak sedang mengajarkan mutilasi diri secara literal. Ia menggunakan bahasa hiperbolik yang tegas untuk menegaskan bahaya dosa dan pentingnya kekudusan radikal.
Bagi teologi Reformed, teks ini adalah refleksi mendalam tentang pertempuran melawan dosa, realitas neraka, serta pemurnian orang percaya oleh kasih karunia Allah.

2. Konteks Historis dan Latar Injil Markus

Injil Markus ditulis untuk jemaat yang menghadapi penganiayaan dan penderitaan. Yesus di sini sedang melatih para murid-Nya tentang harga menjadi pengikut Kristus.
Bagian ini muncul setelah perdebatan tentang siapa yang terbesar di antara murid-murid (Markus 9:33–37). Maka, Yesus menegaskan bahwa menjadi murid bukan soal posisi, tetapi soal kesetiaan dan kekudusan.

William Hendriksen (Reformed commentator) menulis:

“Yesus sedang menunjukkan bahwa bahaya terbesar bagi murid bukanlah musuh dari luar, melainkan dosa yang berakar dalam diri mereka sendiri.”
(New Testament Commentary: Mark, hlm. 378)

3. Analisis Eksposisional Ayat demi Ayat

Markus 9:43–45 – Tangan dan Kaki yang Dihapuskan

“Jika tanganmu menyebabkan kamu berbuat dosa, potonglah tanganmu itu... Jika kakimu menyebabkan kamu berbuat dosa, potonglah kakimu itu.”

Tangan dan kaki adalah simbol dari tindakan dan arah hidup manusia.
Yesus menegaskan bahwa apapun yang menjadi alat dosa, harus ditinggalkan, meski itu terasa seperti kehilangan bagian penting dari diri sendiri.

John Calvin menulis dalam Commentary on the Synoptic Gospels:

“Kristus mengajarkan bahwa kita harus rela melepaskan apapun yang paling berharga sekalipun jika itu menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah. Dosa harus dibunuh di akarnya.”

Dalam teologi Reformed, ini terkait dengan konsep mortifikasi dosa (mortification of sin) — yaitu membunuh dosa dalam diri kita melalui kuasa Roh Kudus.
Seperti dikatakan oleh John Owen:

“Bunuhlah dosa, atau dosa akan membunuhmu.”
(The Mortification of Sin, 1656)

Owen menegaskan bahwa peperangan melawan dosa bukan pekerjaan sesaat, tetapi perjuangan seumur hidup.
Tangan dan kaki di sini adalah metafora bagi seluruh aspek kehidupan yang dapat menjadi sarana dosa — pekerjaan, kebiasaan, bahkan hubungan yang menjerumuskan.

Markus 9:47–48 – Mata yang Dicungkil dan Realitas Neraka

“Jika matamu menyebabkan kamu berbuat dosa, cungkillah matamu itu... lebih baik masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan satu mata daripada dengan dua mata, tetapi dilemparkan ke dalam neraka.”

Mata adalah simbol keinginan dan fokus batin.
Yesus tahu bahwa banyak dosa dimulai dari pandangan dan keinginan (bandingkan dengan Matius 5:28 tentang dosa percabulan dalam hati).

R.C. Sproul menafsirkan bagian ini:

“Yesus tidak sedang menyerukan mutilasi fisik, tetapi transformasi moral yang radikal. Ia menuntut agar kita berperang habis-habisan melawan dosa, karena dosa bukan sekadar kesalahan, melainkan pemberontakan terhadap Allah yang kudus.”
(Essential Truths of the Christian Faith, hlm. 108)

Yesus tiga kali menekankan:

“Tempat ulat tidak mati dan api tidak padam.”

Ini adalah kutipan langsung dari Yesaya 66:24, menggambarkan neraka (Gehenna) sebagai tempat penghukuman kekal.
Dalam teologi Reformed, ini menunjukkan realitas serius dari murka Allah yang kekal terhadap dosa.

Louis Berkhof menulis:

“Neraka bukan sekadar akibat alami dosa, tetapi penghukuman aktif dari Allah yang adil. Penolakan terhadap Kristus berarti memilih keterpisahan abadi dari sumber kehidupan.”
(Systematic Theology, hlm. 734)

Dengan demikian, peringatan Yesus bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangunkan kesadaran rohani umat-Nya.

Markus 9:49 – “Setiap Orang Akan Digarami dengan Api”

Kalimat ini penuh misteri, namun sarat makna simbolik.
Dalam Perjanjian Lama, garam digunakan dalam setiap korban persembahan (Imamat 2:13) sebagai tanda kemurnian dan perjanjian yang kekal.
Yesus menggunakan metafora ini untuk menunjukkan bahwa setiap pengikut Kristus akan melalui “api” pemurnian.

Herman Bavinck menulis:

“Garam dan api adalah simbol pengudusan dan ujian. Melalui penderitaan, Allah memurnikan umat-Nya sebagaimana logam diuji dalam api, agar mereka menjadi garam dunia yang sejati.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 3, hlm. 385)

“Digarami dengan api” berarti dua hal:

  1. Setiap orang percaya akan mengalami proses pemurnian rohani.

  2. Setiap korban bagi Allah harus disertai kekudusan dan ketekunan.

Dengan kata lain, penderitaan dan disiplin ilahi adalah bagian dari proses transformasi ilahi.
Sebagaimana 1 Petrus 4:12–13 menulis:

“Jangan heran akan siksaan api yang datang kepadamu... Sebaliknya, bersukacitalah, karena kamu mendapat bagian dalam penderitaan Kristus.”

Markus 9:50 – “Garam Itu Baik…”

“Garam itu baik, tetapi jika garam itu kehilangan keasinannya, bagaimana kamu akan membuatnya asin lagi? Milikilah garam dalam dirimu dan berdamailah satu dengan yang lain.”

Yesus menutup ajarannya dengan peringatan pastoral:
Hidup orang percaya seharusnya menjadi garam — memurnikan, melestarikan, dan memberi rasa bagi dunia.
Namun, jika kehilangan “keasinan” (integritas dan kekudusan), maka kita kehilangan fungsi ilahi kita.

Matthew Henry menafsirkan:

“Garam adalah anugerah kasih karunia yang menjaga hati dari kebusukan dosa dan konflik. Ketika kasih karunia itu pudar, relasi dengan Allah dan sesama menjadi rusak.”

Bagian terakhir — “berdamailah satu dengan yang lain” — menunjukkan bahwa kekudusan sejati tidak bisa dipisahkan dari kasih dan perdamaian.
Dalam teologi Reformed, kekudusan tidak pernah hanya vertikal (relasi dengan Allah), tetapi juga horizontal (relasi dengan sesama).

4. Tema Sentral: Kekudusan Radikal dan Anugerah yang Memurnikan

Bagian ini mengajarkan dua kebenaran utama:

1. Dosa adalah musuh yang mematikan.

Tidak ada kompromi terhadap dosa. Dosa bukan sekadar kelemahan, tetapi pemberontakan terhadap Allah.
Yesus menegaskan bahwa dosa membawa kepada neraka — realitas kekal yang tidak bisa diremehkan.

John Owen kembali menegaskan:

“Dosa tidak pernah berhenti berperang melawan jiwamu. Maka, jangan biarkan dosa hidup dalam damai di hatimu.”
(The Mortification of Sin)

2. Pemurnian adalah karya kasih Allah.

Api yang digambarkan Yesus bukan hanya api neraka, tetapi juga api pemurnian.
Orang percaya akan digarami dengan api penderitaan, disiplin, dan ujian — bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menjadikan mereka kudus.

Charles Spurgeon menulis:

“Api yang membakar jerami dosa juga menerangi jalan menuju keserupaan dengan Kristus.”

5. Kaitan Teologi Reformed: Total Depravity dan Sanctification

a. Total Depravity (Ketercemaran Total)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa akar dosa ada di dalam diri kita sendiri — bukan di luar.
Bahkan tangan, kaki, dan mata — hal-hal baik dalam diri manusia — dapat menjadi sarana dosa.
Itu sebabnya manusia tidak dapat menyelamatkan diri; hanya anugerah Allah yang dapat memotong sumber dosa yang terdalam.

Calvin menulis:

“Kristus menunjukkan bahwa kejahatan tidak berasal dari tubuh, melainkan dari hati. Namun tubuh menjadi alat dosa ketika hati dikuasai oleh keinginan jahat.”

b. Sanctification (Pengudusan) sebagai Proses yang Nyata

Proses “memotong tangan” atau “mencungkil mata” menggambarkan penyangkalan diri dalam hidup kudus.
Bagi teologi Reformed, pengudusan adalah karya Roh Kudus yang menerapkan kuasa salib ke dalam hidup sehari-hari.

Westminster Shorter Catechism (Q.35) menyatakan:

“Pengudusan adalah pekerjaan kasih karunia Allah, di mana kita diperbaharui dalam seluruh keberadaan kita menurut gambar Allah, dan semakin dimampukan untuk mati terhadap dosa dan hidup bagi kebenaran.”

Maka, perintah Yesus bukanlah beban moral, tetapi panggilan untuk hidup dalam kuasa anugerah.

6. Penerapan Praktis dalam Kehidupan Orang Percaya

1. Berperanglah secara radikal melawan dosa

Jangan menoleransi dosa kecil, karena dosa kecil selalu menuju kehancuran besar.
Gunakan semua sarana kasih karunia — doa, Firman, persekutuan — untuk mematikan keinginan daging.

2. Terimalah proses pemurnian Allah

Ketika Tuhan mengizinkan penderitaan, itu bukan tanda penolakan, tetapi bukti pemeliharaan.
Ia sedang “menggarami” kita dengan api agar hidup kita menjadi persembahan yang berkenan.

🧂 3. Jadilah garam yang memulihkan dunia

Kekudusan sejati bukan isolasi, tetapi pengaruh.
Hidup yang kudus adalah kesaksian paling kuat di tengah dunia yang busuk oleh dosa.
Seperti kata Francis Schaeffer:

“Dunia akan percaya bukan hanya oleh argumentasi, tetapi oleh kehadiran umat Allah yang kudus dan penuh kasih.”

7. Dimensi Eskatologis: Neraka dan Kerajaan Allah

Yesus menegaskan dua realitas kekal:

  • Neraka (Gehenna): tempat murka Allah atas dosa.

  • Kerajaan Allah: tempat kehidupan sejati bersama Allah.

Reformed Theology memegang pandangan bahwa keduanya nyata dan kekal.
Namun, berita Injil adalah bahwa melalui Kristus, kita dibebaskan dari neraka dan dipanggil masuk ke dalam hidup kekal.

Jonathan Edwards, dalam khotbah terkenalnya Sinners in the Hands of an Angry God, menulis:

“Hanya satu hal yang memisahkan manusia berdosa dari neraka — tangan anugerah Allah.”

8. Simbolisme Garam dan Api: Antara Penghakiman dan Kasih Karunia

Dalam keseluruhan konteks, “garam” dan “api” memiliki makna ganda:

  1. Sebagai simbol penghakiman (bagi yang menolak Allah) — api neraka yang kekal.

  2. Sebagai simbol pemurnian (bagi orang percaya) — api kasih karunia yang menyucikan.

Herman Ridderbos menjelaskan:

“Garam yang murni hanya diperoleh melalui pembakaran; demikian pula, iman yang sejati hanya diperkuat melalui penderitaan.”

Artinya, pengikut Kristus akan menghadapi api — tetapi bukan untuk binasa, melainkan untuk disucikan.

9. Kesimpulan Teologis: Panggilan untuk Hidup Kudus dan Damai

Yesus menutup ajarannya dengan:

“Milikilah garam dalam dirimu dan berdamailah satu dengan yang lain.”

Artinya, kekudusan pribadi dan damai dengan sesama tidak bisa dipisahkan.
Kekudusan tanpa kasih akan menjadi legalisme; kasih tanpa kekudusan akan menjadi kompromi.

Maka, panggilan Markus 9:43–50 adalah:

  • Bersikap serius terhadap dosa.

  • Mengizinkan Allah memurnikan kita melalui api.

  • Hidup sebagai garam yang menjaga dunia dari kebusukan.

  • Menjadi umat yang berdamai karena kasih Kristus.

Penutup: Salib dan Garam Kehidupan

Akhirnya, hanya satu hal yang memungkinkan kita mematuhi perintah Yesus yang keras ini: salib Kristus.

Di salib, Yesus sendiri “dihanguskan oleh api penghakiman” agar kita bisa digarami oleh kasih karunia.
Dia kehilangan “keasinan”-Nya — ditolak dan dipermalukan — agar kita memperoleh rasa hidup yang sejati.

Seperti dikatakan oleh Sinclair Ferguson:

“Di salib, Yesus menanggung api neraka agar kita menerima garam anugerah.”

Karena itu, setiap kali kita menyalibkan dosa, kita sebenarnya menghidupi kemenangan salib Kristus.
Kita dibersihkan, dipelihara, dan dipanggil menjadi saksi kasih yang asin di dunia yang tawar oleh dosa.

Next Post Previous Post