Kisah Para Rasul 9:23–25: Pelarian Saulus dari Damsyik

“Setelah genap beberapa hari, orang-orang Yahudi bersekongkol bersama untuk membunuh Saulus, tetapi persekongkolan mereka itu telah diketahui oleh Saulus. Mereka mengawasi pintu-pintu gerbang siang dan malam supaya mereka dapat membunuhnya. Akan tetapi, murid-murid Saulus membawanya pada waktu malam dan menurunkannya melalui sebuah tembok dengan mengulurkannya ke bawah di dalam sebuah keranjang.”
— Kisah Para Rasul 9:23–25 (AYT)
1. Pendahuluan: Dari Penganiaya Menjadi yang Dianiaya
Kisah ini menandai perubahan dramatis dalam kehidupan Saulus dari Tarsus (yang kelak dikenal sebagai Rasul Paulus).
Setelah pertobatannya di jalan menuju Damsyik (Kis. 9:1–19), ia segera memberitakan bahwa Yesus adalah Anak Allah (ay. 20).
Namun, pertobatan itu segera menimbulkan kebencian di kalangan orang Yahudi. Orang yang sebelumnya adalah penganiaya kini menjadi sasaran penganiayaan.
Peristiwa pelarian Saulus ini bukan sekadar kisah heroik tentang penyelamatan dari maut, melainkan manifestasi dari penyertaan Allah atas orang yang dipilih-Nya.
Dalam rencana Allah, penderitaan bukan tanda penolakan, melainkan alat pembentukan bagi hamba-hamba-Nya.
Seperti yang dikatakan oleh John Calvin:
“Allah sering menuntun anak-anak-Nya melalui bahaya, bukan untuk menghancurkan mereka, melainkan agar mereka belajar hidup bergantung sepenuhnya pada kasih karunia-Nya.”
(Commentary on Acts 9)
2. Konteks Historis dan Teologis
a. Damsyik: Kota Strategis dan Simbol Pengutusan
Damsyik adalah kota besar dan penting di dunia kuno, sebuah pusat perdagangan antara Timur dan Barat.
Di sinilah Saulus, yang tadinya berencana menangkap orang Kristen, justru ditangkap oleh kasih Kristus.
Di kota ini pula, ia mulai memberitakan Injil — bukan dengan kekuatan manusia, melainkan oleh kuasa Roh Kudus (Kis. 9:17–22).
Namun, semakin jelas kesaksiannya tentang Kristus, semakin kuat pula perlawanan terhadapnya.
Hal ini mengingatkan pada kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 15:20:
“Seorang hamba tidak lebih tinggi daripada tuannya. Jika mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu.”
b. Latar Politik dan Keagamaan
Pada masa itu, orang Yahudi di Damsyik memiliki otoritas keagamaan yang besar, bahkan berkoordinasi dengan imam-imam kepala di Yerusalem.
Persekongkolan untuk membunuh Saulus menunjukkan bahwa pengaruh Injil sudah mulai mengguncang struktur kekuasaan agama Yahudi.
F.F. Bruce dalam komentarnya menulis:
“Perlawanan terhadap Saulus merupakan reaksi alami dari sistem agama yang merasa terancam oleh kebenaran Injil. Kehadiran Saulus menjadi pengingat bahwa anugerah Allah menghancurkan kesombongan keagamaan.”
(The Book of Acts, 1988)
3. Eksposisi Ayat demi Ayat
Kisah Para Rasul 9:23 — “Setelah genap beberapa hari, orang-orang Yahudi bersekongkol bersama untuk membunuh Saulus.”
Ungkapan “setelah genap beberapa hari” menunjukkan masa pelayanan Saulus yang cukup lama di Damsyik. Dalam Galatia 1:17–18, Paulus menulis bahwa ia sempat pergi ke tanah Arab sebelum kembali ke Damsyik — periode ini diperkirakan berlangsung tiga tahun.
Selama masa itu, Saulus semakin kuat dalam firman, membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias. Tetapi hasilnya bukan pujian, melainkan kebencian.
Hal ini menunjukkan prinsip rohani yang dalam:
“Semakin besar terang Injil, semakin tajam pula reaksi kegelapan.”
John Stott berkomentar:
“Tanda pelayanan yang sejati bukanlah popularitas, melainkan perlawanan. Ketika Injil diberitakan dengan benar, ia akan selalu menimbulkan pertentangan dari dunia.”
(The Message of Acts, 1990)
Persekongkolan untuk membunuh Saulus adalah bukti bahwa Injil bekerja dengan kuasa. Dunia tidak pernah netral terhadap kebenaran Allah.
Kisah Para Rasul 9:24 — “Persekongkolan mereka itu telah diketahui oleh Saulus. Mereka mengawasi pintu-pintu gerbang siang dan malam supaya mereka dapat membunuhnya.”
Dalam ayat ini kita melihat pemeliharaan ilahi yang tersembunyi namun nyata.
Saulus mengetahui rencana pembunuhan itu — tidak dijelaskan bagaimana, tetapi jelas Allah tidak membiarkannya binasa.
Ini mencerminkan janji Yesus kepada Saulus melalui Ananias (Kis. 9:15–16):
“Orang ini adalah alat pilihan-Ku untuk memberitakan nama-Ku … Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung karena nama-Ku.”
Sebelum Paulus memikul penderitaan bagi Kristus, ia terlebih dahulu mengalami penyelamatan dari bahaya — bukan untuk melarikan diri dari panggilan, tetapi agar hidupnya tetap dipakai Allah.
R.C. Sproul menulis:
“Pemeliharaan Allah tidak selalu berarti perlindungan dari penderitaan, tetapi penyertaan-Nya di tengah penderitaan. Ia tidak meniadakan salib, melainkan menuntun kita melewatinya.”
(Essential Truths of the Christian Faith, 1992)
Persekongkolan itu menggambarkan bagaimana dunia berusaha menutup jalan Injil, tetapi tidak ada rencana manusia yang dapat menggagalkan rencana Allah (Ayub 42:2).
Kisah Para Rasul 9:25 — “Akan tetapi, murid-murid Saulus membawanya pada waktu malam dan menurunkannya melalui sebuah tembok dengan mengulurkannya ke bawah di dalam sebuah keranjang.”
Di sinilah puncak kisah ini — penyelamatan ajaib yang sederhana.
Allah memakai cara yang tidak spektakuler: sebuah keranjang, seutas tali, dan malam yang gelap.
Namun, justru di dalam kesederhanaan itulah kuasa Allah bekerja.
Perhatikan bahwa Allah memakai komunitas murid untuk melindungi Saulus.
Pelayanan Paulus yang besar tidak dimulai dengan mujizat, melainkan dengan kerendahan dan ketergantungan pada sesama.
Matthew Henry mengamati:
“Orang yang kelak menjadi rasul besar bagi bangsa-bangsa bukan diselamatkan oleh malaikat, tetapi oleh tangan-tangan sederhana para murid. Allah memakai cara yang rendah untuk tujuan yang tinggi.”
(Commentary on Acts 9)
4. Makna Teologis: Allah yang Menyelamatkan untuk Mengutus
Kisah ini menunjukkan tiga aspek penting dalam teologi Reformed:
a. Providensi Allah (Pemeliharaan Ilahi)
Tidak ada peristiwa kebetulan dalam kehidupan orang percaya.
Pelarian Saulus menunjukkan bahwa Allah mengatur setiap detail kehidupan hamba-Nya.
Louis Berkhof menjelaskan:
“Providensi Allah adalah pelaksanaan terus-menerus dari rencana kekal-Nya, di mana Ia menopang, mengatur, dan mengarahkan segala sesuatu menuju tujuan yang telah Ia tetapkan.”
(Systematic Theology, 1938)
Dalam hal ini, bahkan rencana pembunuhan pun dipakai Allah untuk menggenapi panggilan Saulus.
b. Kedaulatan dan Ketergantungan
Allah berdaulat mutlak, tetapi Ia juga memanggil umat-Nya untuk bertindak.
Para murid tidak pasif menunggu mukjizat, tetapi aktif melakukan tindakan penyelamatan yang menjadi bagian dari rancangan Allah.
Ini adalah keseimbangan Reformed:
-
Allah berdaulat penuh.
-
Manusia bertanggung jawab untuk taat.
John Piper menulis:
“Kedaulatan Allah tidak meniadakan tindakan manusia, melainkan memberi makna padanya.”
(Desiring God, 1991)
c. Panggilan yang Disertai Penderitaan
Peristiwa ini menjadi awal dari serangkaian penderitaan dalam hidup Paulus.
Ia akan terus mengalami penganiayaan, bahaya, dan pelarian.
Namun, semua itu bukan tanda kegagalan, melainkan panggilan yang disertai salib.
Dalam 2 Korintus 11:32–33, Paulus mengenang kembali pelarian ini dengan rendah hati, sebagai bagian dari penderitaan demi Kristus.
J.I. Packer menulis:
“Allah tidak memanggil hamba-hamba-Nya ke kemudahan, tetapi ke kesetiaan. Dan kesetiaan itu diuji justru di tengah bahaya dan penderitaan.”
(Knowing God, 1973)
5. Aplikasi Rohani: Pelajaran dari Pelarian Saulus
a. Iman Tidak Menjamin Hidup Aman
Sering kali orang berpikir bahwa jika mereka sungguh-sungguh mengikut Tuhan, hidup akan lancar. Namun, pengalaman Saulus menunjukkan sebaliknya.
Pertobatannya justru mengundang bahaya.
Yesus tidak menjanjikan jalan tanpa penderitaan, tetapi menjanjikan kehadiran di tengah penderitaan (Matius 28:20).
b. Allah Memakai Cara yang Tak Terduga
Keranjang dan tembok bukan simbol kehebatan, melainkan simbol kasih karunia.
Allah sering memakai cara yang tampak kecil untuk melindungi rencana besar-Nya.
Mungkin dalam hidup kita, “keranjang” itu berupa kesempatan kecil, orang sederhana, atau peristiwa biasa — tetapi semuanya bisa menjadi alat penyelamatan ilahi.
c. Penderitaan Menjadi Bukti Pemilihan
Ketika Saulus dianiaya, itu bukan tanda penolakan Allah, tetapi tanda bahwa ia sedang berjalan dalam panggilan yang benar.
Paulus kemudian menulis:
“Setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.” (2 Timotius 3:12)
Penderitaan karena Kristus adalah bagian dari rencana Allah untuk memurnikan iman kita (1 Petrus 1:6–7).
d. Komunitas Beriman Adalah Sarana Anugerah
Saulus tidak selamat sendirian.
Ia bergantung pada para murid.
Demikian pula, Allah menempatkan kita dalam tubuh Kristus supaya kita saling menopang.
Dietrich Bonhoeffer menulis:
“Seorang Kristen yang sendirian adalah seorang Kristen yang lemah. Kasih karunia Allah dinyatakan dalam persekutuan orang percaya.”
(Life Together, 1939)
6. Refleksi Doktrinal dari Perspektif Reformed
-
Kedaulatan Allah dan Kehidupan Hamba-Nya
– Allah berdaulat bahkan atas rencana jahat manusia.
– Setiap ancaman menjadi alat pendidikan rohani. -
Kesetiaan Kristus dalam Panggilan
– Seperti Yesus yang dikejar untuk dibunuh, Saulus pun mengikuti jejak-Nya.
– Dalam penderitaan, kita bersekutu dengan Kristus (Filipi 3:10). -
Pemeliharaan Allah Melalui Sarana Manusia
– Allah bekerja bukan hanya melalui mujizat, tetapi juga melalui tindakan kasih sesama. -
Teologi Salib
– Keberhasilan pelayanan tidak diukur dari kenyamanan, melainkan kesetiaan di bawah salib.
7. Konteks Kristologis: Saulus dalam Bayangan Kristus
Perjalanan Saulus mencerminkan pola Kristus sendiri:
-
Dianiaya tanpa sebab.
-
Dikejar untuk dibunuh.
-
Diselamatkan untuk misi penebusan.
Kristus tidak hanya menyelamatkan Saulus dari maut, tetapi juga mempersiapkannya untuk meneladani salib-Nya.
Panggilan Kristen selalu melewati jalan penderitaan menuju kemuliaan.
8. Dimensi Pastoral: Ketika Hidup Dikepung Masalah
Kisah ini relevan bagi setiap orang percaya yang merasa “terkepung” oleh masalah hidup.
Seperti Saulus, kita mungkin melihat “pintu-pintu gerbang” tertutup, tetapi Allah selalu menyediakan jalan keluar.
1 Korintus 10:13 berkata:
“Allah setia dan tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.”
Kadang jalan keluar itu bukan “pintu besar” tetapi sebuah jendela kecil — seperti keranjang di tembok Damsyik.
Namun di situlah kasih setia Allah bekerja.
9. Kesimpulan Teologis: Rancangan Allah di Tengah Bahaya
Dari kisah ini kita belajar bahwa:
-
Allah berdaulat atas bahaya.
Tidak ada rencana manusia yang dapat menggagalkan panggilan ilahi. -
Allah memelihara umat-Nya melalui sarana yang sederhana.
Keranjang kecil bisa menjadi alat pemeliharaan besar. -
Allah membentuk hamba-Nya melalui penderitaan.
Tanpa bahaya Damsyik, tidak ada kerasulan Paulus. -
Rancangan Allah tidak pernah gagal.
Jalan yang tampak buntu bagi manusia adalah jalan terbuka bagi Allah.
10. Penutup: Dari Damsyik ke Dunia
Peristiwa pelarian ini bukan akhir, tetapi awal.
Allah menyelamatkan Saulus bukan untuk bersembunyi, melainkan untuk mengutus.
Dari tembok Damsyik, Allah mempersiapkannya untuk memberitakan Injil hingga ke ujung bumi.
Apa yang tampak seperti kekalahan ternyata adalah bagian dari kemenangan Allah.
Sebagaimana dikatakan oleh B.B. Warfield:
“Setiap langkah penderitaan dalam hidup orang percaya adalah bagian dari strategi Allah untuk memuliakan Kristus di dunia.”