Kejadian 9:12 - Pelangi dan Perjanjian: Tanda Kasih Setia Allah yang Kekal

Kejadian 9:12 - Pelangi dan Perjanjian: Tanda Kasih Setia Allah yang Kekal

“Allah berfirman, ‘Inilah tanda perjanjian yang Kubuat antara Aku dan kamu, dan setiap makhluk hidup yang bersama-sama denganmu, untuk seluruh generasi selanjutnya.’”
Kejadian 9:12 (AYT)

1. Pendahuluan: Pelangi di Langit dan Harapan di Tengah Penghakiman

Ketika air bah besar surut dan bahtera Nuh berlabuh di atas gunung Ararat, bumi berada dalam keheningan yang mengerikan. Semua kehidupan, kecuali yang ada di dalam bahtera, telah binasa. Tragedi global itu adalah akibat dosa manusia yang “kejahatannya besar di bumi” (Kejadian 6:5). Namun, dari tengah kehancuran itu, Allah berbicara tentang kasih setia dan perjanjian.

Kejadian 9 menandai awal dari tatanan baru dunia, di mana Allah meneguhkan hubungan-Nya dengan ciptaan melalui perjanjian Nuh (Noahic Covenant).
Ayat 12 menjadi inti dari pengungkapan itu: tanda perjanjian, yaitu pelangi — simbol kasih karunia Allah yang mengikat seluruh ciptaan.

Di sinilah kita melihat paradoks ilahi yang indah:
Setelah murka, muncul belas kasih; setelah air bah, muncul pelangi.

John Calvin menyebutnya sebagai:

“Pengingat visual dari kasih karunia Allah yang mengatasi murka-Nya.”
(Commentary on Genesis 9)

2. Konteks Historis dan Teologis

a. Latar Kejadian 9

Setelah air bah, Allah berbicara kepada Nuh sebagai perwakilan seluruh umat manusia. Ia memperbarui mandat budaya (“Beranakcuculah dan bertambah banyaklah”) serta memberikan perintah moral baru (Kejadian 9:1–7). Kemudian Allah menetapkan perjanjian (Kejadian 9:8–17).

Perjanjian ini bersifat universal — bukan hanya dengan manusia, tetapi juga “setiap makhluk hidup.”
Artinya, kasih setia Allah menjangkau seluruh ciptaan yang telah Ia pulihkan dari kehancuran.

b. Arti “Perjanjian” (Ibrani: berit)

Kata berit berarti “perjanjian, ikatan, janji yang mengikat secara hukum.” Dalam konteks Alkitab, ini selalu dimulai dari Allah — inisiatif kasih karunia Ilahi kepada manusia.

Perjanjian Nuh merupakan perjanjian unilateral (satu pihak): Allah yang menetapkan dan menanggungnya. Tidak ada syarat bagi manusia untuk memeliharanya; Allah sendirilah yang menjamin keberlangsungannya.

Louis Berkhof menjelaskan:

“Perjanjian Allah dengan Nuh adalah manifestasi dari kemurahan umum (common grace) yang menahan murka-Nya dan menopang keberadaan dunia untuk tujuan penebusan.”
(Systematic Theology, 1938)

3. Eksposisi Ayat Kejadian 9:12

Mari kita menelusuri ayat ini dengan seksama.

“Allah berfirman, ‘Inilah tanda perjanjian yang Kubuat antara Aku dan kamu, dan setiap makhluk hidup yang bersama-sama denganmu, untuk seluruh generasi selanjutnya.’”

a. “Allah berfirman”

Setiap perjanjian dimulai dengan firman Allah.
Ini menandakan bahwa perjanjian bukan hasil kesepakatan manusia, melainkan inisiatif ilahi.

Kata kerja “berfirman” menegaskan otoritas penuh Allah. Ia bukan berdiskusi, melainkan menetapkan janji dengan kuasa penciptaan.

Sebagaimana dunia diciptakan oleh firman (“Berfirmanlah Allah…”), demikian pula dunia yang baru pasca-air bah diteguhkan oleh firman perjanjian.

Herman Bavinck menulis:

“Setelah penciptaan melalui firman, Allah melanjutkan pemeliharaan ciptaan melalui firman perjanjian. Dunia berdiri tegak bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena janji Allah.”
(Reformed Dogmatics, II)

b. “Inilah tanda perjanjian”

Tanda (’ot dalam bahasa Ibrani) berfungsi sebagai simbol kelihatan dari realitas rohani yang tak kelihatan.
Seperti sunat (Kej. 17) dan Perjamuan Kudus (Lukas 22), pelangi adalah sakramen alam semesta — pengingat visual dari kasih karunia Allah.

Namun, pelangi bukan hanya tanda bagi manusia, melainkan juga tanda bagi Allah sendiri (Kejadian 9:16):

“Apabila busur itu ada di awan, Aku akan melihatnya dan mengingat perjanjian-Ku.”

Ini bukan berarti Allah bisa lupa, tetapi menunjukkan komitmen kekal-Nya yang aktif untuk menepati janji-Nya.

Matthew Henry mengulas:

“Pelangi adalah tanda perjanjian bukan karena mengubah Allah, tetapi untuk meneguhkan iman manusia yang mudah lupa.”
(Commentary on Genesis 9)

c. “Kubuat antara Aku dan kamu”

Perjanjian ini bersifat relasional.
Allah tidak berbicara secara abstrak tentang hukum, tetapi tentang hubungan.
Ia menyebut “Aku dan kamu” — hubungan pribadi antara Pencipta dan ciptaan.

Inilah inti teologi perjanjian Reformed:

“I will be your God, and you shall be My people.”
(Aku akan menjadi Allahmu, dan engkau akan menjadi umat-Ku.)

John Frame menjelaskan:

“Setiap perjanjian adalah ekspresi kasih Allah yang mengundang umat-Nya untuk hidup dalam persekutuan dan ketaatan.”
(The Doctrine of God, 2002)

d. “Dan setiap makhluk hidup yang bersama-sama denganmu”

Kasih Allah dalam perjanjian Nuh tidak terbatas pada manusia.
Ia meliputi “setiap makhluk hidup” — binatang, burung, bahkan bumi itu sendiri (Kejadian 9:10, 13).

Ini menegaskan bahwa perjanjian Allah bersifat kosmik.
Penciptaan yang pernah dihancurkan oleh air bah kini dipulihkan melalui perjanjian pemeliharaan.
Sejak saat itu, dunia memiliki jaminan stabilitas — musim, waktu, dan kehidupan — sampai penggenapan akhir di dalam Kristus (bdk. Kejadian 8:22; Kolose 1:17–20).

Francis Schaeffer menulis:

“Perjanjian Nuh menunjukkan bahwa Allah peduli terhadap seluruh ciptaan, bukan hanya terhadap keselamatan manusia. Injil menebus bukan hanya jiwa, tetapi seluruh kosmos.”
(Pollution and the Death of Man, 1970)

e. “Untuk seluruh generasi selanjutnya”

Perjanjian ini bersifat kekal dan lintas generasi.
Ia berlaku bukan hanya bagi Nuh dan keturunannya, tetapi juga bagi setiap generasi manusia setelahnya — termasuk kita hari ini.

Allah menegakkan janji ini tanpa batas waktu.
Di setiap badai yang berakhir dengan pelangi, kita melihat peneguhan ulang janji kekal Allah.

Charles Hodge mengungkapkan:

“Kedaulatan Allah menjamin bahwa janji perjanjian-Nya tidak pernah gagal, karena janji itu berakar dalam natur Allah yang tidak berubah.”
(Systematic Theology, 1871)

4. Makna Simbolis dari Pelangi

a. Bentuk Busur: Dari Senjata Menjadi Simbol Damai

Dalam bahasa Ibrani, kata “pelangi” adalah qeshet, yang juga berarti busur panah.
Namun, kali ini busur itu “diletakkan di awan” — bukan ditarik untuk menyerang, tetapi digantung sebagai tanda bahwa perang telah berakhir.

Dengan kata lain, Allah menggantung senjata murka-Nya.
Ia tidak lagi akan membinasakan dunia dengan air.
Pelangi adalah simbol rekonsiliasi antara Pencipta dan ciptaan.

John Owen menafsirkan:

“Pelangi menunjukkan Allah yang mengesampingkan murka-Nya dan menampakkan wajah kasih karunia kepada dunia yang berdosa.”
(Exposition on Hebrews, 1668)

b. Warna-warni Pelangi: Refleksi Kemuliaan dan Kasih

Spektrum warna pelangi melambangkan keanekaragaman dalam kesatuan — simbol keindahan Allah dalam kebesaran-Nya.
Dalam penglihatan Yehezkiel (1:28), pelangi muncul sebagai “gambaran kemuliaan Tuhan.”
Demikian pula dalam Wahyu 4:3, pelangi mengelilingi takhta Allah.

Artinya, pelangi bukan sekadar tanda alam, tetapi refleksi dari kemuliaan ilahi.

Jonathan Edwards menulis:

“Pelangi adalah cerminan dari kemuliaan kasih Allah yang bersinar setelah badai murka-Nya.”
(The Works of Jonathan Edwards, Vol. 2)

c. Pelangi sebagai Tanda Kasih Setia yang Tidak Berubah

Setiap kali hujan berhenti dan pelangi muncul, Allah mengingatkan dunia bahwa kasih setia-Nya tidak berubah.
Bagi orang percaya, pelangi menjadi lambang pengharapan eskatologis — bahwa Allah akan memulihkan segala sesuatu dalam Kristus.

Wahyu 10:1 menggambarkan Kristus dengan “pelangi di atas kepala-Nya.”
Artinya, Yesus Kristus adalah penggenapan sejati dari perjanjian Nuh — Ia membawa perdamaian antara Allah dan manusia melalui salib.

5. Implikasi Teologis dari Perjanjian Nuh

a. Kasih Karunia Umum (Common Grace)

Perjanjian Nuh adalah dasar dari kasih karunia umum Allah — pemeliharaan-Nya atas dunia yang berdosa agar rencana penebusan dapat terus berlangsung.

Abraham Kuyper menyatakan:

“Kasih karunia umum adalah pelangi di atas dunia yang masih berdosa — tanda bahwa Allah menahan murka-Nya demi kasih-Nya kepada manusia.”
(Common Grace, 1902)

Bahkan orang yang tidak percaya pun menikmati berkat dari perjanjian ini — udara, hujan, musim, dan kehidupan (Matius 5:45).

b. Kedaulatan dan Kesetiaan Allah

Perjanjian ini tidak bergantung pada kesetiaan manusia.
Bahkan ketika dunia kembali berdosa, Allah tetap setia.
Ini menjadi gambaran indah dari ketekunan kasih Allah (divine faithfulness).

A.W. Pink menulis:

“Kesetiaan Allah berarti bahwa Ia tidak akan pernah menyalahi firman-Nya. Pelangi menjadi saksi bahwa janji-Nya berdiri kokoh di tengah kegagalan manusia.”
(The Attributes of God, 1930)

c. Dasar untuk Perjanjian yang Lebih Besar

Perjanjian Nuh bukan akhir, melainkan fondasi bagi perjanjian-perjanjian berikutnya (Abraham, Musa, Daud, dan Perjanjian Baru dalam Kristus).
Semuanya menuntun kepada penggenapan terakhir di dalam Yesus, Sang Pengantara Perjanjian Kekal (Ibrani 13:20).

Geerhardus Vos menulis:

“Setiap perjanjian adalah tahap dalam progres wahyu keselamatan, dan perjanjian Nuh adalah yang paling universal di antara semuanya.”
(Biblical Theology, 1948)

6. Aplikasi bagi Kehidupan Orang Percaya

a. Hidup dalam Kesadaran akan Kesetiaan Allah

Setiap kali kita melihat pelangi, kita diingatkan bahwa Allah tidak berubah.
Ia tetap setia meskipun manusia tidak setia.
Ini mendorong kita untuk hidup dengan iman dan ucapan syukur.

Mazmur 36:5 berkata:

“Kasih setia-Mu, ya TUHAN, sampai ke langit, kesetiaan-Mu sampai ke awan.”

b. Pengharapan di Tengah Badai Hidup

Pelangi muncul hanya setelah hujan dan badai.
Demikian pula, kasih karunia Allah sering kali tampak paling indah setelah penderitaan.

Charles Spurgeon berkata:

“Tidak ada pelangi tanpa awan. Maka, jangan takut pada badai; ia membawa janji kasih Allah bersamanya.”

Ketika hidup terasa gelap, orang percaya dapat menatap “pelangi rohani” — salib Kristus, tanda perjanjian kasih yang kekal.

c. Tanggung Jawab terhadap Ciptaan

Karena perjanjian Nuh mencakup seluruh ciptaan, orang percaya dipanggil untuk mengelola bumi dengan tanggung jawab moral dan spiritual.
Kita tidak boleh merusak dunia yang Allah lindungi melalui perjanjian-Nya.

Teologi Reformed menekankan mandat budaya (Kejadian 1:28) sebagai bentuk ketaatan terhadap perjanjian Allah: menjaga bumi sebagai amanat ilahi.

d. Menjadi Saksi Kasih Setia Allah

Sebagaimana pelangi menjadi tanda bagi dunia, demikian pula hidup orang percaya seharusnya menjadi tanda hidup dari kasih setia Allah.
Yesus berkata dalam Matius 5:16:

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga.”

7. Kristus: Penggenapan Sejati dari Pelangi Perjanjian

Pelangi menunjuk kepada Kristus sebagai mediator perdamaian.

Kolose 1:20 berkata:

“Melalui Dialah, Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang di bumi maupun yang di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”

Jika pelangi adalah tanda bahwa Allah tidak lagi menghancurkan dunia dengan air, maka salib adalah tanda bahwa Allah tidak lagi menghukum dunia dengan murka kekal bagi yang percaya.

Yesus adalah “Pelangi Baru” — pertemuan antara keadilan dan kasih, antara murka dan rahmat.
Di dalam Dia, badai murka Allah berhenti, dan cahaya kasih karunia bersinar selamanya.

8. Kesimpulan Teologis

Dari Kejadian 9:12, kita belajar:

  1. Allah adalah Pribadi yang berinisiatif mengikat perjanjian.
    Segala janji dimulai dari firman-Nya.

  2. Tanda perjanjian (pelangi) adalah simbol kasih karunia yang abadi.
    Setiap warna di langit adalah kesaksian kesetiaan-Nya.

  3. Perjanjian ini mencakup seluruh ciptaan.
    Allah menopang dunia dengan kasih dan pemeliharaan-Nya.

  4. Pelangi menunjuk kepada Kristus.
    Di salib, Allah menaruh “busur murka-Nya” dan menampakkan kasih yang sempurna.

  5. Hidup orang percaya adalah respons terhadap kasih perjanjian itu.
    Kita dipanggil untuk hidup dengan iman, syukur, dan kesetiaan di hadapan Allah yang setia.

9. Penutup: Pelangi Sebagai Janji di Setiap Badai

Setiap kali pelangi muncul di langit setelah hujan, ia berbicara dengan suara lembut dari surga:

“Aku tetap setia.”

Dalam dunia yang terus dilanda dosa, konflik, dan kehancuran moral, pelangi tetap menjadi simbol kasih setia Allah yang tidak berubah.

Dan bagi orang percaya, pelangi itu menemukan makna terdalamnya di kayu salib Kristus —
di mana murka dan kasih bertemu, dan kasih setia Allah bersinar selamanya.

Next Post Previous Post