Markus 9:30–32: Misteri Salib dan Kebodohan Murid-Murid

Markus 9:30–32: Misteri Salib dan Kebodohan Murid-Murid

Pendahuluan: Salib yang Tidak Dimengerti

Perikop Markus 9:30–32 membawa kita ke momen yang sunyi namun sarat makna dalam pelayanan Yesus. Setelah peristiwa transfigurasi di gunung (Markus 9:2–8) dan penyembuhan anak yang kerasukan (Markus 9:14–29), Yesus kini berjalan melewati Galilea bersama murid-murid-Nya. Namun, perjalanan ini bukanlah perjalanan publik untuk melakukan mujizat seperti sebelumnya. Markus menulis bahwa “Dia tidak mau ada orang yang mengetahuinya” (ay. 30).

Yesus dengan sengaja menghindari keramaian agar dapat mengajar murid-murid-Nya tentang sesuatu yang jauh lebih penting daripada mujizat: penderitaan dan kematian-Nya yang akan datang.

Tema sentral bagian ini adalah pemberitahuan kedua tentang penderitaan dan kebangkitan Yesus — inti dari Injil itu sendiri. Namun, reaksi murid-murid menunjukkan bahwa mereka tidak memahami hal itu dan takut bertanya (ay. 32). Ketidaktahuan dan ketakutan mereka menggambarkan kebutaan rohani manusia terhadap misteri penebusan — sesuatu yang hanya dapat diungkapkan oleh Roh Kudus.

Teologi Reformed memandang bagian ini bukan sekadar catatan historis, tetapi wahyu ilahi tentang rencana penebusan Allah yang kekal dan keterbatasan manusia dalam memahami kasih karunia tanpa pencerahan supranatural.

I. Konteks Naratif: Dari Kemuliaan ke Penderitaan

1. Yesus Menyepi di Galilea (ay. 30)

Markus mencatat bahwa Yesus tidak mau ada orang yang mengetahuinya. Ini kontras dengan awal pelayanan-Nya yang penuh publisitas dan keramaian.
John Calvin menulis dalam komentarnya:

“Kristus tidak mencari popularitas dunia, tetapi dengan sengaja menyingkir agar dapat mengajar murid-murid tentang hal yang lebih tinggi — jalan salib yang harus Ia tempuh dan mereka ikuti.”

Dengan menarik diri, Yesus menunjukkan bahwa kerajaan Allah tidak dibangun dengan kekuatan duniawi, melainkan melalui jalan penderitaan. Ini adalah teologi salib (theologia crucis) yang menjadi inti iman Reformed: kemuliaan Allah dinyatakan melalui kelemahan, dan kemenangan datang melalui salib.

2. Dari Gunung Kemuliaan ke Jalan Salib

Beberapa ayat sebelumnya (Markus 9:2–8), Yesus menampakkan kemuliaan-Nya di hadapan tiga murid: Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Namun segera setelah itu, Ia berbicara tentang penderitaan dan penolakan.
Sinclair Ferguson menulis dalam Let’s Study Mark:

“Yesus tidak membiarkan murid-murid terjebak dalam pengalaman spiritual yang megah di gunung. Ia membawa mereka kembali ke lembah penderitaan, karena di situlah keselamatan manusia digenapi.”

Dengan demikian, Markus 9:30–32 menjadi transisi teologis: dari kemuliaan yang sementara menuju penderitaan yang kekal membawa keselamatan.

II. Eksposisi Ayat demi Ayat

Markus 9:31: “Anak Manusia akan diserahkan ke tangan manusia…”

Ungkapan “diserahkan” (paradidotai dalam bahasa Yunani) menandakan tindakan ilahi sekaligus manusiawi. Dalam pengertian Reformed, ini adalah paradoks ilahi: Allah yang berdaulat menyerahkan Putra-Nya, namun manusia juga bertanggung jawab membunuh-Nya.

Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:

“Dalam salib Kristus, kedaulatan Allah dan kebebasan manusia bertemu: Allah merancangnya dari kekekalan, tetapi manusia menyalibkan-Nya dengan kebencian. Namun bahkan kebencian manusia dipakai Allah untuk menyatakan kasih-Nya.”

Peristiwa penyerahan ini menunjuk pada kehendak kekal Bapa yang merencanakan keselamatan sejak semula (Efesus 1:4–7). Yesus bukan korban keadaan, melainkan korban yang dipilih oleh Bapa untuk menebus umat-Nya.

a. “Anak Manusia”

Istilah ini mengacu pada nubuat Daniel 7:13–14, di mana “Anak Manusia” menerima kerajaan kekal dari Allah. Tetapi di sini, paradoks besar muncul: Anak Manusia yang mulia itu akan diserahkan dan dibunuh.
Ini menegaskan bahwa kemuliaan Mesias hanya datang melalui penderitaan. Seperti dikatakan oleh John Stott:

“Salib bukanlah kecelakaan dalam sejarah, melainkan pusat dari rencana penebusan. Tidak ada mahkota tanpa salib.”
(The Cross of Christ)

b. “Dibunuh, dan tiga hari kemudian bangkit”

Kematian bukanlah akhir. Pemberitahuan Yesus selalu diikuti dengan janji kebangkitan. Dalam teologi Reformed, kebangkitan adalah pengesahan Allah terhadap karya penebusan Kristus.

John Murray menulis:

“Kebangkitan Kristus adalah bukti bahwa kematian-Nya telah diterima oleh Allah sebagai tebusan yang sah.”

Namun, pada titik ini, murid-murid tidak memahami makna kebangkitan. Bagi mereka, salib berarti kekalahan; bagi Kristus, salib adalah kemenangan.

Markus 9:32: “Namun, murid-murid tidak memahami perkataan itu dan takut bertanya kepada-Nya.”

Reaksi murid-murid menunjukkan benturan antara rencana Allah dan ekspektasi manusia. Mereka masih berharap Mesias akan menjadi raja duniawi yang membebaskan Israel dari penjajahan Romawi.

John Calvin mengamati:

“Murid-murid tidak bodoh secara intelektual, tetapi buta secara rohani. Mereka menolak menerima bahwa Kristus harus menderita, karena hati mereka lebih terpikat oleh kemuliaan dunia.”

Ketakutan untuk bertanya juga menunjukkan jarak relasional dan spiritual antara Yesus dan murid-murid. Mereka belum mengenal kasih Allah yang dinyatakan melalui penderitaan.

Dalam kerangka Reformed, ini menggambarkan kondisi manusia tanpa penerangan Roh Kudus. Seperti dinyatakan dalam Canons of Dort:

“Manusia, karena kejatuhan, tidak dapat memahami hal-hal rohani tanpa pencerahan Roh Kudus yang memperbaharui hati.”

III. Penderitaan Kristus dalam Rencana Penebusan Allah

1. Penderitaan sebagai Ketetapan Ilahi

Penderitaan Kristus bukan kebetulan, tetapi bagian dari rencana kekal Allah. Petrus menegaskan hal ini di Kisah Para Rasul 2:23:

“Dia yang diserahkan menurut rencana dan pengetahuan Allah yang tetap, kamu salibkan dan kamu bunuh.”

Herman Bavinck menulis:

“Tidak ada penderitaan Kristus yang terjadi di luar rencana Bapa. Setiap cambukan, ejekan, dan paku salib telah ditentukan untuk menyatakan keadilan dan kasih Allah secara sempurna.”

Dalam teologi Reformed, ini disebut “ketetapan penebusan” (decretum salutis) — bahwa Kristus adalah Anak Domba yang disembelih sejak dunia dijadikan (Wahyu 13:8).

2. Penderitaan sebagai Jalan Kemuliaan

Yesus menyingkapkan prinsip ilahi: kemuliaan sejati datang melalui penderitaan.
Ini berlawanan dengan teologi kemuliaan (theologia gloriae) yang hanya mencari sukses dan kehebatan.

Martin Luther menulis dalam Heidelberg Disputation (1518):

“Salib adalah satu-satunya teologi sejati. Di sana Allah menyembunyikan diri dalam penderitaan agar manusia berhenti memegahkan diri.”

Teologi Reformed setuju dengan hal ini: salib bukan hanya instrumen keselamatan, tetapi juga pola hidup bagi murid-murid Kristus (Matius 16:24).

IV. Ketidaktahuan Murid dan Kondisi Manusia Berdosa

Murid-murid tidak memahami perkataan Yesus. Markus mencatat hal ini berulang kali (lihat 8:32–33; 9:10; 10:32–34). Ketidaktahuan ini menggambarkan natur manusia yang buta terhadap Injil.

R.C. Sproul menjelaskan:

“Masalah manusia bukan hanya ketidaktahuan, tetapi kebencian terhadap kebenaran Allah. Pikiran manusia yang jatuh menolak logika salib.”
(Chosen by God)

Dalam Reformed anthropology, ketidaktahuan rohani ini adalah hasil dari total depravity (kerusakan total). Pikiran, kehendak, dan emosi manusia semuanya terpengaruh oleh dosa. Tanpa anugerah ilahi, manusia tidak mungkin memahami misteri penebusan.

Namun, anugerah Allah bekerja dengan cara yang lembut tapi pasti. Setelah kebangkitan, ketika Yesus membuka pikiran mereka (Lukas 24:45), barulah mereka mengerti bahwa Mesias harus menderita dan bangkit.

V. Implikasi Teologis bagi Orang Percaya

1. Iman yang Terbentuk di Bawah Salib

Salib adalah sekolah iman. Murid-murid belajar bahwa jalan Kristus bukan jalan kemuliaan duniawi, melainkan jalan pengorbanan.
John Calvin berkata:

“Tidak seorang pun dapat menjadi murid Kristus sejati kecuali ia rela menanggung salib setiap hari.”

Iman sejati tumbuh melalui penderitaan, bukan kenyamanan. Dalam teologi Reformed, penderitaan adalah alat sanctification (pengudusan) yang Allah gunakan untuk membentuk karakter umat-Nya (Roma 8:29).

2. Kebangkitan sebagai Dasar Pengharapan

Kematian Kristus tidak terpisah dari kebangkitan-Nya. Tanpa kebangkitan, salib hanyalah tragedi.
Louis Berkhof menulis dalam Systematic Theology:

“Kebangkitan bukan hanya kemenangan Kristus atas maut, tetapi juga jaminan bahwa karya penebusan telah diselesaikan dan diterima oleh Allah.”

Oleh karena itu, pengharapan Kristen tidak berhenti pada penderitaan, tetapi menatap kemuliaan yang akan datang (Roma 8:18).

3. Panggilan untuk Mengikuti Kristus dalam Ketaatan

Ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya, Ia sebenarnya juga sedang mempersiapkan murid-murid untuk memikul salib mereka sendiri.
Dalam konteks Reformed, ini dikenal sebagai imitatio Christi — meniru Kristus bukan dalam kekuasaan, tetapi dalam ketaatan dan pengorbanan.

Sinclair Ferguson menulis:

“Mengikuti Kristus berarti menyerahkan seluruh hidup kita kepada kehendak Allah, meskipun jalan itu membawa penderitaan. Karena di situlah kemuliaan sejati ditemukan.”

VI. Refleksi Pastoral: Mengerti Kasih yang Tersembunyi dalam Penderitaan

Banyak orang Kristen masa kini masih seperti murid-murid di Markus 9:32 — tidak memahami penderitaan dan takut bertanya. Kita lebih suka Injil yang berbicara tentang kemenangan dan berkat, bukan tentang salib dan air mata. Namun Injil sejati selalu memiliki bentuk salib: kasih yang menyelamatkan melalui penderitaan.

Teologi Reformed mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas penderitaan kita. Tidak ada air mata yang sia-sia; setiap penderitaan anak-anak Allah adalah bagian dari rencana besar untuk memuliakan-Nya (Roma 8:28–30).

R.C. Sproul menulis:

“Tidak ada kebetulan di tangan Allah. Bahkan penderitaan kita adalah alat yang digunakan-Nya untuk menarik kita lebih dekat kepada Kristus yang tersalib.”

Dengan demikian, memahami Markus 9:30–32 berarti belajar melihat kasih yang tersembunyi di balik salib — kasih yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia, tetapi hanya dapat diterima oleh hati yang diperbarui oleh Roh Kudus.

VII. Kesimpulan: Salib, Kebangkitan, dan Transformasi Iman

Perikop Markus 9:30–32 menyingkapkan tiga kebenaran teologis yang menjadi inti iman Reformed:

  1. Penderitaan Kristus adalah ketetapan kekal Allah — bukan kecelakaan sejarah, tetapi rencana penebusan yang penuh kasih dan keadilan.

  2. Kebodohan rohani manusia tanpa anugerah — hanya Roh Kudus yang dapat membuka mata kita untuk mengerti Injil salib.

  3. Panggilan untuk mengikuti Kristus — iman sejati selalu menghasilkan ketaatan dan kesediaan memikul salib.

Bagi dunia, salib adalah kebodohan. Tetapi bagi orang percaya, salib adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (1 Korintus 1:18).

Kisah ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan sejati tidak ditemukan dalam kehebatan, melainkan dalam ketaatan yang rela menderita. Sebab di balik penderitaan Kristus, tersembunyi kasih Allah yang abadi.

Sebagaimana dikatakan oleh John Calvin:

“Dalam salib Kristus, kita menemukan cermin kasih Allah yang sejati. Barangsiapa menatap salib dengan iman, ia melihat kemuliaan Allah yang paling terang.”

VIII. Dimensi Doktrinal-Sistematis: Salib dalam Rencana Kekal Allah

1. Salib dalam Doktrin Penebusan (Soteriologi Reformed)

Dalam teologi Reformed, penebusan tidak dapat dipisahkan dari rencana kekal Allah (decretum Dei). Allah tidak bereaksi terhadap dosa manusia, melainkan telah menetapkan dari kekekalan bahwa Kristus akan menjadi Penebus umat pilihan-Nya.

Herman Bavinck menjelaskan:

“Penebusan dalam Kristus bukanlah ide tambahan dalam sejarah keselamatan, tetapi bagian dari kehendak Allah yang telah ada sejak kekekalan. Kristus adalah pusat seluruh ciptaan dan sejarah.”
(Reformed Dogmatics, vol. 3)

Ketika Yesus berkata, “Anak Manusia akan diserahkan,” Ia sedang menyatakan ketaatan-Nya terhadap rencana ilahi itu. Salib bukan sekadar peristiwa manusiawi, tetapi perwujudan dari kehendak Allah yang kekal untuk menyelamatkan orang berdosa.

Inilah inti dari doktrin Limited Atonement (Penebusan Terbatas) — bahwa Kristus mati secara efektif bagi umat pilihan yang telah ditetapkan oleh Bapa.

John Owen dalam The Death of Death in the Death of Christ menulis:

“Kristus tidak mati untuk membuat keselamatan mungkin, melainkan untuk menjadikannya pasti bagi mereka yang telah diberikan kepada-Nya oleh Bapa.”

Dengan demikian, Markus 9:31 bukan hanya nubuat penderitaan, tetapi juga deklarasi penebusan yang pasti akan tergenapi.

2. Salib dalam Doktrin Pemeliharaan Allah (Providensia)

Kata “diserahkan” (paradidotai) juga menunjukkan bahwa semua peristiwa dalam hidup Kristus — termasuk penderitaan dan kematian-Nya — berada dalam kendali penuh Allah. Tidak ada satu pun paku, cambuk, atau penghinaan yang terjadi di luar kehendak-Nya.

Louis Berkhof menulis:

“Providensia Allah meliputi segala sesuatu, bahkan penderitaan Kristus di tangan orang berdosa. Namun, dalam misteri kasih-Nya, Allah memakai kejahatan untuk mendatangkan kebaikan terbesar.”
(Systematic Theology)

Penderitaan Kristus bukan tanda kegagalan rencana Allah, melainkan bukti kedaulatan Allah yang sempurna.
Seperti Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya dalam Kejadian 50:20, “Kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan.”
Begitu pula salib: apa yang dimaksudkan manusia untuk membinasakan Kristus, justru Allah pakai untuk menyelamatkan dunia.

3. Salib dan Inkarnasi: Kristus sebagai Hamba yang Taat

Penderitaan Kristus juga memperlihatkan kerendahan hati Allah dalam inkarnasi.
Filipi 2:8 mengatakan, “Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Sinclair Ferguson menulis:

“Setiap langkah Kristus menuju salib adalah langkah ketaatan yang penuh kasih kepada Bapa dan kepada umat-Nya.”

Dalam hal ini, Markus 9:30–32 adalah gambaran nyata dari kasih yang rela berkorban — kasih yang tidak menuntut kemuliaan, tetapi memilih penderitaan demi keselamatan orang lain.
Inilah virtus crucis — kebajikan salib — yang menjadi pusat moralitas Kristen dalam pandangan Reformed.

IX. Kontras antara Hikmat Dunia dan Hikmat Salib

Dalam surat 1 Korintus 1:23, Paulus menulis:

“Kami memberitakan Kristus yang disalibkan; untuk orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang bukan Yahudi suatu kebodohan.”

Murid-murid dalam Markus 9:32 mewakili kebingungan yang sama. Mereka belum mampu menerima bahwa keselamatan datang melalui penderitaan.

R.C. Sproul menegaskan:

“Hati manusia membenci gagasan bahwa keselamatan datang melalui kelemahan. Kita ingin berkontribusi sesuatu, tetapi salib menghapus semua kebanggaan manusia.”

Inilah sebabnya mengapa teologi Reformed menekankan sola gratia — keselamatan hanya karena anugerah. Salib menyingkapkan kebodohan hikmat dunia dan meninggikan hikmat Allah yang tersembunyi.

John Calvin berkata:

“Injil salib menghancurkan kebanggaan manusia, agar kemuliaan hanya diberikan kepada Allah.”

X. Kebangkitan: Segel Anugerah yang Mengokohkan Iman

Yesus tidak hanya berbicara tentang kematian, tetapi juga kebangkitan: “Sesudah dibunuh, tiga hari kemudian Ia akan bangkit.” (Markus 9:31).
Bagi murid-murid, ini masih misteri. Namun bagi pembaca setelah kebangkitan, kita memahami bahwa inilah puncak pengesahan Allah atas karya Kristus.

John Murray menulis:

“Tanpa kebangkitan, salib akan tetap menjadi tragedi. Tetapi dengan kebangkitan, salib menjadi kemenangan yang pasti.”

Kebangkitan membuktikan tiga hal dalam kerangka Reformed:

  1. Keadilan Allah dipuaskan.
    Hukuman atas dosa telah dibayar lunas oleh Kristus.

  2. Karya penebusan diselesaikan dan diterima.
    Kebangkitan adalah tanda persetujuan Allah terhadap korban Kristus.

  3. Kehidupan baru dimulai.
    Kebangkitan Kristus menjamin kebangkitan dan pembenaran umat-Nya (Roma 4:25).

Dengan demikian, Markus 9:31 tidak hanya menyatakan penderitaan, tetapi juga pengharapan yang pasti.

XI. Penerapan Praktis: Hidup di Bawah Bayangan Salib

1. Mengenal Kristus Melalui Penderitaan

Murid-murid tidak memahami penderitaan Kristus karena mereka belum mengerti natur Injil. Demikian juga kita — sering kali baru mengenal Kristus secara mendalam ketika kita berjalan melalui penderitaan.

Seperti dikatakan oleh Charles Spurgeon:

“Mereka yang paling mengenal Kristus adalah mereka yang paling sering berjalan di jalan penderitaan bersama-Nya.”

Teologi Reformed mengajarkan bahwa penderitaan orang percaya adalah bagian dari pemeliharaan Allah untuk membentuk keserupaan dengan Kristus.
Roma 8:17 menyatakan bahwa kita akan “dipermuliakan bersama Dia jika kita menderita bersama Dia.”

2. Menolak Injil Kemakmuran

Bagian ini juga menegur teologi modern yang hanya menekankan berkat materi dan kemenangan duniawi.
R.C. Sproul menulis:

“Salib menghancurkan setiap bentuk Injil kemakmuran, karena di dalamnya kita melihat bahwa jalan menuju kemuliaan adalah jalan penderitaan.”

Yesus tidak berjanji bahwa hidup orang percaya akan bebas dari penderitaan, melainkan bahwa penderitaan kita memiliki makna dan tujuan di dalam Dia.
Di bawah salib, kita belajar bahwa kemenangan sejati bukan diukur dari keberhasilan dunia, tetapi dari ketaatan kepada kehendak Allah.

3. Panggilan untuk Mengikut Kristus dalam Pengorbanan

Yesus bukan hanya berbicara tentang penderitaan-Nya, tetapi juga memanggil kita untuk meneladaninya (Markus 8:34).
Mengikut Kristus berarti menyerahkan hak, kehendak, dan kenyamanan kita demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan sesama.

Herman Bavinck menulis:

“Salib yang Kristus pikul tidak menghapus salib kita, tetapi menguduskan setiap penderitaan kita sehingga menjadi alat kasih karunia.”

Dengan demikian, penderitaan bukanlah tanda kutuk, melainkan alat anugerah (means of grace) yang menumbuhkan iman dan ketekunan.

XII. Refleksi Akhir: Dari Ketakutan ke Pengertian

Markus 9:32 menutup bagian ini dengan kalimat yang sangat manusiawi: “Namun, mereka tidak memahami perkataan itu dan takut bertanya kepada-Nya.”
Ini menunjukkan betapa terbatasnya manusia memahami rencana Allah. Namun, kisah tidak berakhir di sini. Setelah kebangkitan dan turunnya Roh Kudus, para murid menjadi saksi berani tentang salib dan kebangkitan Kristus.

Apa yang dulu mereka takuti, kini mereka wartakan dengan sukacita.
Itulah bukti karya Roh Kudus dalam transformasi iman. Roh yang sama bekerja juga di dalam kita untuk mengubah ketakutan menjadi pengharapan, kebodohan menjadi pengertian, dan kelemahan menjadi kekuatan.

John Calvin menyimpulkan dengan indah:

“Roh Kudus adalah penerjemah Injil bagi hati manusia. Tanpa Dia, kita membaca Injil tetapi tidak memahami; mendengar Kristus tetapi tidak mengenal-Nya.”

XIII. Kesimpulan Teologis dan Pastoral

Dari eksposisi Markus 9:30–32, kita menemukan tiga pilar utama iman Reformed:

  1. Kedaulatan Allah dalam Penebusan
    Salib bukanlah kekalahan, melainkan perwujudan kehendak Allah yang kekal untuk menyelamatkan umat-Nya.

  2. Kebodohan Manusia dan Anugerah Pencerahan Roh Kudus
    Tanpa Roh Kudus, manusia tidak mampu memahami misteri kasih Allah di salib Kristus.

  3. Panggilan untuk Mengikut Kristus dalam Penderitaan dan Pengharapan
    Salib bukan hanya simbol iman, tetapi juga pola kehidupan Kristen: menolak diri, memikul salib, dan mengikut Kristus.

R.C. Sproul pernah berkata:

“Salib adalah pusat dari seluruh teologi Kristen. Siapa pun yang ingin memahami Allah harus menatap salib, sebab di sanalah kasih dan keadilan bertemu.”

Maka, bagi orang percaya, salib bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi realitas yang hidup — tempat di mana kita setiap hari menemukan pengampunan, penghiburan, dan kekuatan untuk hidup.

Penutup: Dari Salib Menuju Kemuliaan

Ketika Yesus berjalan melewati Galilea, Ia sedang menapaki jalan menuju Golgota — jalan penderitaan yang akan membawa keselamatan bagi dunia. Murid-murid belum mengerti, tetapi kasih Kristus tetap teguh.
Ia tahu bahwa satu-satunya jalan untuk mengangkat manusia ke hadapan Allah adalah dengan menurunkan diri ke dalam penderitaan terdalam.

Bagi dunia, salib adalah kebodohan.
Bagi iman Reformed, salib adalah mahkota kasih karunia.

Seperti dikatakan oleh Jonathan Edwards:

“Keindahan sejati dari kasih Allah tampak paling jelas di salib, karena di sana keadilan dan kasih berpadu dalam harmoni yang sempurna.”

Dan karena itu, kita dapat berkata bersama Rasul Paulus:

“Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”
(Galatia 2:20)

Next Post Previous Post