DOKTRIN PERJAMUAN KUDUS (3)

PDT. BUDI ASALI,M.DIV.
DOKTRIN PERJAMUAN KUDUS (3)DOKTRIN PERJAMUAN KUDUS (3).Keberatan terhadap pandangan Consubstantiation ini:

a) Bahwa kata ‘is’ / ‘adalah’ dalam kata-kata Yesus ‘This is My body’ / ‘Inilah tubuhKu’ bisa diartikan ‘menggambarkan’ / ‘menyimbolkan’, sudah saya beri contoh-contoh ayat yang sangat banyak pada waktu membahas pandangan Gereja Roma Katolik (transubstantiation), dan tak perlu saya ulang di sini.

b) Dalam persoalan Yesus berbicara dengan bahasa Aram, saya setuju dengan Lenski, yang menganggap bahwa bahasa Yunani, yang merupakan bahasa tertulis dari Perjanjian Baru, yang harus digunakan dalam menafsirkan. Tetapi sekalipun menggunakan bahasa Yunani, tetap saja kata Yunani yang diterjemahkan ‘is’ / ‘adalah’ bisa, bahkan harus, diartikan ‘menggambarkan’ atau ‘menyimbolkan’.

Adam Clarke, setelah memberikan banyak ayat dimana kata ‘adalah’ diartikan ‘menggambarkan’ atau ‘mewakili’ lalu memberikan suatu ilustrasi di bawah ini.

Adam Clarke (tentang Matius 26:26): “Suppose a man entering into a museum, enriched with the remains of ancient Greek sculpture: his eyes are attracted by a number of curious busts; and, on inquiring what they are, he learns, this is Socrates, that Plato, a third Homer; others Hesiod, Horace, Virgil, Demosthenes, Cicero, Herodotus, Livy, Caesar, Nero, Vespasian, etc. Is he deceived by this information? Not at all: he knows well that the busts he sees are not the identical persons of those ancient philosophers, poets, orators, historians, and emperors, but only REPRESENTATIONS of their persons in sculpture, between which and the originals there is as essential a difference as between a human body, instinct with all the principles of rational vitality, and a block of marble. When, therefore, Christ took up a piece of bread, brake it, and said, This is my body, who, but the most stupid of mortals, could imagine that he was, at the same time, handling and breaking his own body! Would not any person, of plain common sense, see as great a difference between the man Christ Jesus, and the piece of bread, as between the block of marble and the philosopher it represented, in the case referred to above?” [= Bayangkan seseorang memasuki suatu museum, yang diperkaya dengan peninggalan-peninggalan / sisa-sisa dari patung pahatan Yunani kuno: matanya tertarik oleh sejumlah patung kepala pahatan yang menarik; dan pada waktu menanyakan apa mereka itu, ia mendapat informasi, ini adalah Socrates, itu Plato, yang ketiga Homer; yang lain-lain Hesiod, Horace, Virgil, Demosthenes, Cicero, Herodotus, Livy, Caesar, Nero, Vespasian, dsb. Apakah ia ditipu oleh informasi ini? Sama sekali tidak: ia tahu dengan baik bahwa patung kepala pahatan yang ia lihat bukanlah pribadi-pribadi yang identik dengan ahli-ahli filsafat, penyair-penyair, ahli-ahli pidato, ahli-ahli sejarah, dan kaisar-kaisar kuno itu, tetapi hanyalah WAKIL-WAKIL dari pribadi-pribadi mereka dalam patung pahatan, dan antara patung pahatan dan orang-orang aslinya ada suatu perbedaan yang hakiki seperti antara suatu tubuh manusia, yang penuh dengan semua kwalitas elemen yang hakiki dari vitalitas / karakteristik yang rasionil, dan sebongkah batu pualam. Karena itu, pada waktu Kristus mengambil sepotong roti, memecah-mecahkannya, dan berkata ‘Ini adalah tubuhKu’, siapa, kecuali orang-orang fana yang bodoh, bisa membayangkan bahwa Ia, pada saat yang sama, sedang memberikan dan memecahkan tubuhNya sendiri! Tidakkah orang manapun, dengan akal sehat yang jujur, melihat suatu perbedaan yang sama besarnya antara manusia Kristus Yesus, dan sepotong roti, seperti antara sebongkah batu pualam dan ahli-ahli filsafat yang diwakilinya, dalam kasus yang ditunjukkan di atas?].

c) Bagaimana Luther, sebagaimana yang dikutip oleh Lenski di atas, bisa menganggap bahwa roti biasa berjenis kelamin laki-laki, sedangkan ‘roti yang telah dikuduskan’ jenis kelaminnya berubah menjadi neuter? Dan kalau ia mempercayai seperti itu, mengapa Ia tidak tetap saja pada pandangan dari Gereja Roma Katolik (transubstantiation)?

d) Argumentasi Luther, sebagai yang diberikan oleh Louis Berkhof di atas, bahwa pada waktu Yesus berkata ‘Ini adalah tubuhKu’, Ia sedang berbicara dengan gaya bahasa synecdoche, merupakan sesuatu argumentasi yang dipaksakan. Apa dasarnya untuk mengatakan bahwa itu adalah suatu synecdoche? Dan penafsiran ini juga bertentangan dengan argumentasi-argumentasinya sendiri yang lain dimana ia mati-matian menekankan arti hurufiah dari text itu. Jadi, yang mana yang benar? Text itu berarti secara hurufiah, atau text itu diartikan sebagai menggunakan gaya bahasa synecdoche??? Dalam point ini saya sangat setuju dengan kata-kata David Schaff di bawah ini.

David Schaff: “There is, in this reasoning, a strange combination of literal and figurative interpretation.” [= Di sana ada, dalam argumentasi ini, suatu kombinasi yang aneh dari penafsiran hurufiah dan kiasan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 624-625.

e) Baik dalam pandangan Gereja Roma Katolik maupun pandangan Luther / Gereja Lutheran, ada pengacau-balauan antara hal yang sebenarnya dengan hal yang menjadi tanda / simbol darinya.

Calvin (tentang Matius 26:26): “But there are others who reject the figure, and, like madmen, unsay what they had just said. According to them, ‘bread’ is truly and properly ‘body;’ for they disapprove of transubstantiation, as wholly devoid of reason and plausibility. But when the question is put to them, if Christ be ‘bread’ and ‘wine,’ they reply that the ‘bread’ is called ‘body,’ because under it and along with it the ‘body’ is received in the Lord’s Supper. BUT FROM THIS REPLY IT MAY BE READILY CONCLUDED, THAT THE WORD ‘BODY’ IS IMPROPERLY APPLIED TO THE ‘BREAD,’ WHICH IS A SIGN OF IT.” [= Tetapi disana ada orang-orang lain yang menolak figur / kiasan / simbolnya, dan, seperti orang-orang gila, menarik kembali kata-kata yang mereka baru ucapkan. Menurut mereka, ‘roti’ secara benar dan tepat adalah ‘tubuh’; karena mereka menolak transubstantiation, sebagai sepenuhnya tak mempunyai alasan dan tidak masuk akal. Tetapi pada waktu pertanyaan diberikan kepada mereka, jika Kristus adalah ‘roti’ dan ‘anggur’, mereka menjawab bahwa ‘roti’ disebut ‘tubuh’, karena di bawahnya dan bersamanya ‘tubuh’ diterima dalam Perjamuan Kudus. TETAPI DARI JAWABAN INI BISA DENGAN SEGERA DISIMPULKAN, BAHWA KATA ‘TUBUH’ SECARA TIDAK TEPAT DITERAPKAN PADA ‘ROTI’, YANG MERUPAKAN TANDA / SIMBOL DARINYA.].

f) Sama seperti terhadap pandangan Roma Katolik, pandangan Luther / Lutheran tetap menunjukkan bahwa tubuh Kristus harus maha ada (karena tubuh Kristus itu harus hadir di setiap tempat yang mengadakan Perjamuan Kudus, dan sekaligus juga di surga). Ini tidak benar, dan pandangan salah ini didasarkan pada pengertian yang kacau tentang Kristologi! Tubuh Kristus bukan Allah sehingga tidak maha ada. Bahkan seluruh manusia Yesus bukan Allah, dan karena itu juga tidak maha ada! Kalau karena dipermuliakan setelah kebangkitanNya, sehingga lalu menjadi maha ada, maka Yesus bukan lagi seorang manusia!

Louis Berkhof: “This view is burdened with the impossible doctrine of the omnipresence of the Lord’s physical body.” [= Pandangan ini dibebani dengan doktrin yang mustahil tentang kemahaadaan dari tubuh fisik Tuhan.] - ‘Systematic Theology’, hal 649.

David Schaff: “He (Luther) believed in his presence and power as much as in the omnipresence of God and the ubiquity of Christ’s body.” [= Ia (Luther) percaya pada kehadiran dan kuasaNya sama seperti dalam kemaha-adaan Allah dan tubuh Kristus yang ada dimana-mana.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 624.

Kepercayaan seperti ini, menunjukkan Kristologi yang kacau balau dari Luther, atau menyebabkan Kristologi Luther menjadi kacau balau.

DR F P MÖLLER: “We are here again confronted with the old idea that Christ initially only had a divine nature without a body. When He became flesh, He also received, in addition to a human body, a human nature. That body, because it is like our body, can only be present in one place at a time, even after the resurrection! As a result of this idea, Luther’s protagonists wrestle with the question of how Christ, who is in heaven, can be bodily present at Holy Communion.” [= Di sini kita lagi-lagi dikonfrontasikan dengan gagasan lama bahwa Kristus pada mulanya hanya mempunyai suatu hakekat ilahi tanpa suatu tubuh. Pada waktu Ia menjadi daging / manusia, Ia juga menerima, sebagai tambahan pada suatu tubuh manusia, suatu hakekat manusia. Tubuh itu, karena itu adalah seperti tubuh kita, hanya bisa hadir di satu tempat pada satu saat, bahkan setelah kebangkitan! Sebagai suatu hasil dari gagasan ini, para pendukung Luther bergumul dengan pertanyaan tentang bagaimana Kristus, yang ada di surga, bisa hadir secara jasmani dalam Perjamuan Kudus.] - ‘Kingdom of God, church and sacraments’ (Libronix).

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu salah, karena hakekat manusia Yesus itu jelas sudah mencakup tubuhNya.

DR F P MÖLLER: “In order to explain the bodily presence of Christ at the Holy Communion, Luther developed his doctrine of the communicatio idiomatum and ubiquitas. It boils down to the contention that the glorified Christ we receive through the Holy Communion can be omnipresent because his divine nature endows his human nature with that ability.” [= Untuk menjelaskan kehadiran jasmani dari Kristus pada Perjamuan Kudus, Luther mengembangkan doktrinnya tentang COMMUNICATIO IDIOMATUM dan ‘ada dimana-mana’. Itu disederhanakan / diringkas sampai pada penegasan bahwa Kristus yang telah dimuliakan yang kita terima melalui Perjamuan Kudus bisa maha ada karena hakekat ilahiNya memberi / menganugerahi hakekat manusiaNya dengan kemampuan itu.] - ‘Kingdom of God, church and sacraments’ (Libronix).

Catatan: kalau mau melihat perbedaan tentang COMMUNICATIO IDIOMATUM [= ‘communication of properties’ {= pemberian sifat-sifat / sama-sama memiliki sifat-sifat}] dalam doktrin dari Luther / Lutheran vs Reformed, baca buku Kristologi saya. Kelihatannya, karena kesalahan dalam doktrin tentang Perjamuan Kudus, maka Luther terpaksa mengubah Kristologinya sehingga jadi salah / sesat.

Sifat maha ada tidak bisa diberikan oleh hakekat ilahi Yesus kepada hakekat manusiaNya.

Charles Hodge: “... the properties or attributes of a substance constitute its essence, so that if they be removed or if others of a different nature be added to them, the substance itself is changed. ... If divine attributes be conferred on man, he ceases to be man; and if human attributes be transferred to God, he ceases to be God.” [= ... sifat-sifat dari suatu zat / bahan mem¬bentuk hakekatnya, sehingga kalau mereka disingkirkan atau kalau sifat-sifat yang lain ditambahkan kepada mereka, maka zat / bahan itu sendiri berubah. ... Kalau sifat-sifat ilahi diberikan kepada manusia, Ia berhenti menjadi manusia; dan kalau sifat-sifat manusia diberikan kepada Allah, Ia berhenti menjadi Allah.] - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 390.

Perdebatan Martin Luther (bersama Philip Melanchthon) vs Zwingli (bersama Oecolampadius).

David Schaff: “Zwingli answered Luther without delay, ... Zwingli follows Luther step by step, answers every argument, defends the figurative interpretation of the words of institution by many parallel passages (Gen. 41:26; Exod. 12:11; Gal. 4:24; Matt. 11:14; 1 Cor. 10:4, etc.), and discusses also the relation of the two natures in Christ. ... He charges Luther with confounding the two. The attributes of the infinite nature of God are not communicable to the finite nature of man, except by an exchange which is called in rhetoric ALLOEOSIS. The ubiquity of Christ’s body is a contradiction. Christ is everywhere, but his body cannot be everywhere without ceasing to be a body, in any proper sense of the term.” [= Zwingli menjawab Luther tanpa penundaan, ... Zwingli mengikuti Luther langkah demi langkah, menjawab setiap argumentasi, mempertahankan penafsiran yang bersifat kiasan dari kata-kata institusi / peneguhan dengan banyak text-text yang paralel / mempunyai arah yang sama (Kejadian 41:26; Keluaran 12:11; Galatia 4:24; Matius 11:14; 1Korintus 10:4, etc.), dan juga mendiskusikan hubungan dari 2 hakekat dalam Kristus. ... Ia menuduh Luther mencampur-adukkan keduanya. Atribut / sifat dasar dari hakekat tak terbatas (ilahi) Allah tidak bisa diberikan kepada (atau, sama-sama dimiliki oleh) hakekat yang terbatas dari manusia, kecuali oleh suatu pertukaran yang dalam rhetoric disebut gaya bahasa ALLOEOSIS {= perubahan}. Kemahaadaan dari tubuh Kristus adalah suatu kontradiksi. Kristus ada dimana-mana, tetapi tubuhNya tidak bisa ada dimana-mana tanpa berhenti menjadi suatu tubuh, dalam arti yang benar dari istilah itu.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 625-626.

Catatan: ada bermacam-macam arti dari kata ‘rhetoric’:

1. The study of the technique of using language effectively [= Pembelajaran tentang tehnik penggunaan bahasa secara efektif].

2. The art of using speech to persuade, influence, or please; oratory [= Seni / keahlian menggunakan pidato untuk meyakinkan, mempengaruhi, atau menyenangkan; kefasihan berpidato]

3. Excessive use of ornamentation and contrivance in spoken or written discourse; bombast [= Penggunaan yang berlebihan dari hiasan dan alat dalam percakapan mulut atau tertulis; bahasa yang terdengar baik tetapi tak berarti].

4. Speech or discourse that pretends to significance but lacks true meaning: all the politician says is mere rhetoric. [= Pidato / percakapan yang berpura-pura berarti / penting tetapi kekurangan arti sebenarnya: semua yang ahli politik katakan semata-mata adalah rhetoric.].

(dari http://www.thefreedictionary.com/rhetoric).

Catatan: Mungkin ALLOEOSIS berhubungan dengan ayat-ayat yang menggunakan sebutan / gelar yang hanya cocok untuk hakekat yang satu, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat yang lain.

Ini terbagi dalam 2 golongan:

Golongan pertama adalah ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan / gelar ilahi, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat manusia.

Contoh:

a. 1Korintus 2:8 - “Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia.”.

Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan yang mulia’ / ‘The Lord of glory’), tetapi menggunakan predi¬kat ‘menyalibkan’ yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.

b. 1Yohanes 1:1 - “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup - itulah yang kami tuliskan kepada kamu.”.

Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Firman’ / LOGOS), tetapi menggunakan predikat ‘telah kami lihat dengan mata kami’ dan ‘telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami’, yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.

Golongan kedua adalah ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan / gelar manusia, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.

Contoh:

a. Matius 9:6 - “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa’ - lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu -: ‘Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!’”.

Ayat ini menggunakan sebutan / gelar manusia (‘Anak Manusia’), tetapi menggunakan predikat ‘berkuasa mengam¬puni dosa’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.

b. Matius 12:8 - “Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’”.

Ayat ini menggunakan sebutan / gelar manusia (‘Anak Manusia’), tetapi menggunakan predikat ‘Tuhan atas hari Sabat’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.

Calvin menjelaskan mengapa hal itu dilakukan dalam Kitab Suci dengan berkata sebagai berikut:

“And they (Scriptures) so earnestly express this union of the two natures that is in Christ as sometimes to inter¬change them.” [= Dan mereka (Kitab-kitab Suci) begitu sungguh-sungguh mewujudkan kesatuan dari dua hakekat yang ada di dalam Kristus sehingga kadang-kadang menukar / membolak-balik mereka.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 1.

“But because the selfsame one was both God and man, for the sake of the union of both natures he gave to the one what belonged to the other.” [= Tetapi karena ‘orang’ yang sama adalah Allah dan manusia, demi kesatuan dari kedua hakekat, ia memberikan kepada yang satu apa yang termasuk pada yang lain.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 2.

David Schaff mengutip kata-kata Zwingli: “To Martin Luther, Huldrych Zwingli wishes grace and peace from God through Jesus Christ the living Son of God, who, for our salvation, suffered death, and then left this world in his body and ascended to heaven, where he sits until he shall return on the last day, according to his own word, so that you may know that he dwells in our hearts by faith (Eph. 3:17), and not by bodily eating through the mouth, as thou wouldest teach without God’s Word.” [= Kepada Martin Luther, Huldrych Zwingli mengharapkan kasih karunia dan damai dari Allah melalui Yesus Kristus Anak Allah yang hidup, yang, untuk keselamatan kita, mengalami kematian, dan lalu meninggalkan dunia ini dalam tubuhNya dan naik ke surga, dimana Ia duduk sampai Ia akan kembali pada hari terakhir, sesuai dengan kata-kataNya sendiri, sehingga kamu bisa tahu bahwa Ia tinggal dalam hatimu oleh iman (Efesus 3:17), dan bukan dengan tindakan memakan secara tubuh melalui mulut, seperti yang engkau ajarkan tanpa Firman Allah.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 626-627.

Efesus 3:17 - “sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.”.

Bdk. Kisah Para Rasul 3:21 - “Kristus itu harus tinggal di sorga sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabiNya yang kudus di zaman dahulu.”.

David Schaff: “Oecolampadius wrote likewise a book in self-defense. Luther now came out, in March, 1528, with his Great ‘Confession on the Lord’s Supper,’ which he intended to be his last word in this controversy. It is his most elaborate treatise on the eucharist, full of force and depth, but also full of wrath. He begins again with the Devil, and rejoices that he had provoked his fury by the defense of the holy sacrament. He compares the writings of his opponents to venomous adders. I shall waste, he says, no more paper on their mad lies and nonsense, lest the Devil might be made still more furious. May the merciful God convert them, and deliver them from the bonds of Satan! I can do no more. A heretic we must reject, after the first and second admonition (Tit. 3:10). Nevertheless, he proceeds to an elaborate assault on the Devil and his fanatical crew. The ‘Confession’ is divided into three parts. The first is a refutation of the arguments of Zwingli and Oecolampadius; the second, an explanation of the passages which treat of the Lord’s Supper; the third, a statement of all the articles of his faith, against old and new heresies. He devotes much space to a defense of the ubiquity of Christ’s body, which he derives from the unity of the two natures. He calls to aid the scholastic distinction between three modes of presence, - local, definitive, and repletive. He calls Zwingli’s ALLOEOSIS ‘a mask of the Devil.’ He concludes with these words: ‘This is my faith, the faith of all true Christians, as taught in the Holy Scriptures. I beg all pious hearts to bear me witness, and to pray for me that I may stand firm in this faith to the end. For - which God forbid! - should I in the temptation and agony of death speak differently, it must be counted for nothing but an inspiration of the Devil. Thus help me my Lord and Saviour Jesus Christ, blessed forever. Amen.’ The ‘Confession’ called out two lengthy answers of Zwingli and Oecolampadius, at the request of the Strassburg divines; but they add nothing new.” [= Oecolampadius juga menulis sebuah buku sebagai pembelaan. Sekarang Luther keluar, pada Maret 1528, dengan bukunya yang agung ‘Confession on the Lord’s Supper’ / ‘Pengakuan tentang Perjamuan Kudus’, yang ia maksudkan sebagai kata terakhirnya dalam pertentangan ini. Itu adalah tulisan sistimatisnya yang paling terperinci tentang Perjamuan Kudus, penuh dengan kekuatan dan kedalaman, tetapi juga penuh dengan kemurkaan. Ia mulai lagi dengan Setan, dan bersukacita bahwa ia telah memprovokasi kemarahan Setan oleh pembelaan tentang Sakramen yang kudus. Ia membandingkan tulisan-tulisan lawan-lawannya dengan ular beludak yang berbisa. Ia berkata, aku tidak akan membuang-buang lebih banyak kertas tentang dusta dan omong kosong gila mereka, supaya jangan Setan dibuat lebih marah lagi. Kiranya Allah yang penuh belas kasihan mempertobatkan mereka, dan membebaskan mereka dari belenggu Iblis! Saya tidak bisa melakukan lebih lagi. Seorang bidat harus kita tolak / jauhi, setelah nasehat pertama dan kedua (Tit 3:10). Sekalipun demikian, ia melanjutkan dengan suatu serangan yang terperinci kepada Setan dan pekerja-pekerjanya yang fanatik. Buku ‘Confession’ ini dibagi menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah suatu bantahan / penolakan tentang argumentasi-argumentasi dari Zwingli dan Oecolampadius; yang kedua, suatu penjelasan tentang text-text yang menangani Perjamuan Kudus; yang ketiga, suatu pernyataan tentang semua artikel-artikel dari imannya, terhadap / menentang bidat-bidat lama dan baru. Ia menggunakan banyak tempat sebagai suatu pembelaan tentang tubuh Kristus yang ada dimana-mana, yang ia dapatkan dari persatuan dari kedua hakekat. Ia menggunakan bantuan dari perbedaan scholastik antara tiga cara kehadiran, - lokal, definitif / bersifat definisi, dan bersifat mengisi. Ia menyebut ALLOEOSIS {= perubahan} dari Zwingli ‘suatu topeng dari Setan’. Ia menyimpulkan dengan kata-kata ini: ‘Inilah imanku, iman dari semua orang Kristen yang sejati, seperti yang diajarkan dalam Kitab Suci. Saya memohon kepada semua orang yang mempunyai hati yang saleh untuk memberi saya kesaksian, dan untuk berdoa bagi saya supaya saya bisa berdiri teguh dalam iman ini sampai akhir. Karena - kiranya Allah melarang! - seandainya dalam pencobaan dan penderitaan dari kematian, aku berbicara secara berbeda, itu harus dianggap sebagai bukan lain dari suatu ilham dari Setan. Jadi tolonglah aku, Tuhan dan Juruselamatku Yesus Kristus, terpujilah selama-lamanya. Amin’ Buku ‘Confession’ itu menarik dua jawaban panjang dari Zwingli dan Oecolampadius, atas permintaan dari ahli-ahli theologia dari Strassburg; tetapi mereka tidak menambahkan apapun yang baru.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 627-628.

Tit 3:10 - “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi.”.

David Schaff: “In the private conference with Zwingli, against whom he was strongly prejudiced, he is reported to have yielded the main point of dispute, as regards the literal interpretation of ‘This is my body,’ and the literal handing of Christ’s body to his disciples, but added that he gave it to them ‘in a certain mysterious manner.’ When Zwingli urged the ascension as an argument against the local presence, Melanchthon said, ‘Christ has ascended indeed, but in order to fill all things’ (Eph. 4:10). ‘Truly,’ replied Zwingli, ‘with his power and might, but not with his body.’” [= Dalam pertemuan pribadi dengan Zwingli, terhadap siapa ia (Melanchthon) sangat berprasangka, ia dilaporkan telah menyerah dalam pokok utama dari perdebatan, berkenaan dengan penafsiran hurufiah dari ‘Ini adalah tubuhKu’, dan pemberian tubuh Kristus secara hurufiah kepada murid-muridNya, tetapi menambahkan bahwa Ia memberikannya kepada mereka ‘dalam suatu cara yang misterius’. Pada waktu Zwingli menekankan kenaikan ke surga sebagai suatu argumentasi menentang kehadiran lokal, Melanchthon berkata, ‘Kristus memang telah naik ke surga, tetapi untuk memenuhi segala sesuatu’ (Ef 4:10). ‘Benar’, jawab Zwingli, ‘dengan kuasa dan kekuatanNya, tetapi tidak dengan tubuhNya’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 638.

Efesus 4:10 - “Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu.”.

David Schaff: “John Feige, the chancellor of the Landgrave, exhorted the theologians in an introductory address to seek only the glory of Christ and the restoration of peace and union to the church. [= John Feige, gubernur / perdana menteri (?) dari Landgrave, mendesak ahli-ahli theologia ini dalam suatu pidato pembukaan untuk hanya mencari kemuliaan Kristus dan pemulihan dari damai dan persatuan pada / bagi gereja.]

The debate was chiefly exegetical, but brought out no new argument. It was simply a recapitulation of the preceding controversy, with less heat and more gentlemanly courtesy. [= Debat itu terutama bersifat exegesis, tetapi tidak menyatakan argumentasi yang baru. Itu hanyalah ringkasan dari kontroversi sebelumnya, dengan sedikit panas dan lebih banyak kesopanan yang halus / beradab.]

Luther took his stand on the words of institution in their literal sense: ‘This is my body;’ the Swiss, on the word of Christ: ‘It is the Spirit that quickeneth; the flesh profiteth nothing; the words that I have spoken unto you are spirit and are life.’ [= Luther mempertahankan pandangannya tentang kata-kata institusi / peneguhan dalam arti hurufiah mereka: ‘Ini adalah tubuhKu’; Si orang Swiss (Zwingli), tentang kata-kata Kristus: ‘Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.’ (Yoh 6:63).]

Luther first rose, and declared emphatically that he would not change his opinion on the real presence in the least, but stand fast on it to the end of life. He called upon the Swiss to prove the absence of Christ, but protested at the outset against arguments derived from reason and geometry. To give pictorial emphasis to his declaration, he wrote with a piece of chalk on the table in large characters the words of institution, with which he was determined to stand or fall: ‘HOC EST CORPUS MEUM.’ [= Luther bangkit pertama / lebih dulu, dan menyatakan secara menekankan bahwa ia tidak akan / tidak mau mengubah sedikitpun pandangannya tentang kehadiran yang sungguh-sungguh, tetapi berpegang teguh padanya sampai mati. Ia meminta / menuntut si orang Swiss (Zwingli) untuk membuktikan absennya / ketidak-hadiran dari Kristus, tetapi memprotes pada permulaan terhadap argumentasi-argumentasi yang didapatkan dari akal / logika dan geometri / ilmu ukur. Untuk memberikan penekanan bergambar pada pernyataannya, ia menulis dengan sepotong kapur di meja dalam huruf-huruf besar kata-kata dari institusi / peneguhan, dengan mana ia ditentukan untuk berdiri atau jatuh: ‘HOC EST CORPUS MEUM’.]

Oecolampadius in reply said he would abstain from philosophical arguments, and appeal to the Scriptures. He quoted several passages which have an obviously figurative meaning, but especially John 6:63, which in his judgment furnishes the key for the interpretation of the words of institution, and excludes a literal understanding. He employed this syllogism: Christ cannot contradict himself; he said, ‘The flesh profiteth nothing,’ and thereby rejected the oral manducation of his body; therefore he cannot mean such a manducation in the Lord’s Supper. [= Sebagai jawaban Oecolampadius berkata bahwa ia akan menahan diri dari argumentasi-argumentasi yang bersifat filsafat / berhubungan dengan ahli-ahli filsafat, dan naik banding kepada Kitab Suci / menggunakan otoritas Kitab Suci. Ia mengutip beberapa text yang mempunyai suatu arti kiasan yang jelas, tetapi khususnya Yoh 6:63, yang dalam penilaiannya menyediakan / memberikan kunci untuk penafsiran dari kata-kata institusi / peneguhan, dan mengeluarkan / membuang suatu pengertian hurufiah. Ia menggunakan logika ini: Kristus tidak bisa menentang diriNya sendiri; Ia berkata, ‘Daging sama sekali tidak berguna’, dan dengan itu menolak tindakan memakan dengan mulut dari tubuhNya; karena itu Ia tidak bisa memaksudkan suatu tindakan makan dengan mulut dalam Perjamuan Kudus.]


Yohanes 6:63 - “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”.

Luther denied the second proposition, and asserted that Christ did not reject oral, but only material manducation, like that of the flesh of oxen or of swine. I mean a sublime spiritual fruition, yet with the mouth. To the objection that bodily eating was useless if we have the spiritual eating, he replied, If God should order me to eat crab-apples or dung, I would do it, being assured that it would be salutary. We must here close the eyes. [= Luther menyangkal pernyataan kedua, dan menegaskan bahwa Kristus tidak menolak yang berhubungan dengan mulut, tetapi hanya tindakan memakan secara materi, seperti tindakan memakan daging sapi atau babi. Saya memaksudkan suatu penikmatan rohani yang mulia, tetapi dengan mulut. Terhadap keberatan bahwa makan secara jasmani tak berguna jika kita makan secara rohani, ia menjawab, Seandainya Allah menyuruh aku untuk memakan apel kecut atau tahi, aku akan melakukannya, karena yakin bahwa itu akan menghasilkan hasil yang baik. Di sini kita harus menutup mata.]

Here Zwingli interposed: God does not ask us to eat crab-apples, or to do any thing unreasonable. We cannot admit two kinds of corporal manducation; Christ uses the same word ‘to eat,’ which is either spiritual or corporal. You admit that the spiritual eating alone gives comfort to the soul. If this is the chief thing, let us not quarrel about the other. He then read from the Greek Testament which he had copied with his own hand, and used for twelve years, the passage John 6:52, ‘How can this man give us his flesh to eat?’ and Christ’s word, 6:63. [= Di sini Zwingli ikut campur: Allah tidak meminta kita untuk memakan apel kecut, atau melakukan apapun yang tidak masuk akal. Kami tidak bisa menerima dua jenis tindakan memakan; Kristus menggunakan kata yang sama ‘memakan’, yang atau bersifat rohani atau jasmani. Kamu mengakui bahwa makan rohani saja memberi penghiburan kepada jiwa. Jika ini adalah hal yang terutama, marilah kita tidak bertengkar tentang yang lain. Lalu ia membaca dari Perjanjian Baru bahasa Yunani yang ia salin dengan tangannya sendiri, dan gunakan selama 12 tahun, text Yohanes 6:52, ‘Bagaimana orang ini bisa memberi dagingNya kepada kita untuk dimakan?’ dan kata-kata Kristus, 6:63.]

Yohanes 6:52 - “Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: ‘Bagaimana Ia ini dapat memberikan dagingNya kepada kita untuk dimakan.’”.

Yohanes 6:63 - “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”.

Luther asked him to read the text in German or Latin, not in Greek. When Christ says, ‘The flesh profiteth nothing,’ he speaks not of his flesh, but of ours. [= Luther meminta ia untuk membaca text itu dalam bahasa Jerman atau Latin, bukan dalam bahasa Yunani. Pada waktu Kristus berkata, ‘Daging sama sekali tidak berguna’, Ia bukan berbicara tentang dagingNya, tetapi tentang daging kita.]

Zwingli: The soul is fed with the spirit, not with flesh. [= Zwingli: Jiwa diberi makan dengan roh, bukan dengan daging.]

Luther: We eat the body with the mouth, not with the soul. If God should place rotten apples before me, I would eat them. [= Luther: Kita / kami memakan tubuh dengan mulut, bukan dengan jiwa. Seandainya Allah menempatkan apel-apel busuk di depanku, aku akan memakan mereka.]

Zwingli: Christ’s body then would be a corporal, and not a spiritual, nourishment. [= Zwingli: Maka tubuh Kristus akan menjadi suatu makanan yang bersifat jasmani, bukan rohani.]

Luther: You are captious. [= Luther: Kamu cerewet / membingungkan / suka mencari-cari kesalahan yang kecil-kecil.]

Zwingli: Not so; but you contradict yourself. [= Zwingli: Tidak demikian; tetapi kamu menentang dirimu sendiri.]

Zwingli quoted a number of figurative passages; but Luther always pointed his finger to the words of institution, as he had written them on the table. He denied that the discourse, John 6, had any thing to do with the Lord’s Supper. [= Zwingli mengutip sejumlah text-text yang bersifat kiasan; tetapi Luther selalu menunjukkan jarinya pada kata-kata institusi / peneguhan, yang telah ia tulis di meja. Ia menyangkal bahwa pembicaraan / pelajaran itu, Yoh 6, berhubungan dengan Perjamuan Kudus.]

Catatan: Apakah kata-kata ‘daging’ dan ‘darah’ dalam Yohanes 6:51,53-56 ini menunjuk pada Perjamuan Kudus atau tidak, merupakan hal yang diperdebatkan habis-habisan oleh banyak penafsir. Ada 3 macam pandangan:

a) Bagian ini menunjuk pada Perjamuan Kudus.

b) Secara primer bagian ini tidak berbicara tentang Perjamuan Kudus, tetapi secara sekunder bagian ini berhubungan dengan Perjamuan Kudus.

Leon Morris (NICNT):

“It sees in the words primarily a teaching about spiritual realities (as outlined in the preceding paragraph), but does not deny that there may be a secondary reference to the sacrament.” [= Ini (penafsiran ini) melihat dalam kata-kata Yesus itu secara primer suatu ajaran tentang kenyataan rohani (seperti diurai¬kan dalam paragraf sebelumnya), tetapi tidak menyangkal bahwa di sana ada petunjuk sekunder terhadap sakramen.] - hal 354.

Calvin (tentang Yohanes 6:54): “... this discourse does not relate to the Lord’s Supper, but to the uninterrupted communication of the flesh of Christ, which we obtain apart from the use of the Lord’s Supper. ... From these words, it plainly appears that the whole of this passage is improperly explained, as applied to the Lord’s Supper. ... And yet, at the same time, I acknowledge that there is nothing said here that is not figuratively repre¬sented, and actually bestowed on believers, in the Lord’s Supper; and Christ even intended that the holy Supper should be, as it were, a seal and confirmation of this sermon.” [= ... percakapan / pengajaran ini tidak berhubungan dengan Perjamuan Kudus, tetapi pada pemberian / penerimaan daging Kristus yang terus menerus, yang kita dapatkan terpisah dari penggunaan Perja¬muan Kudus. ... Dari kata-kata ini, terlihat dengan jelas bahwa seluruh bagian ini dijelaskan secara salah, kalau diterapkan pada Perjamuan Kudus. ... Sekalipun demikian, pada saat yang sama, saya mengakui bahwa tidak ada yang dikatakan di sini yang tidak mempunyai arti kiasan, dan betul-betul diberikan kepada orang-orang percaya dalam Perjamuan Kudus; dan Kristus bahkan memaksudkan bahwa Perjamuan Kudus menjadi meterai dan pengesahan dari khotbah ini.].

c) Bagian ini tidak berhubungan dengan Perjamuan Kudus.

Saya setuju dengan pandangan ketiga ini.

Alasannya:

1. Tidak mungkin Yesus membicarakan Perjamuan Kudus yang pada saat itu belum ada.

2. Kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka ay 50,51,54,57b,58b menunjukkan bahwa orang harus ikut Perjamuan Kudus untuk mendapatkan hidup yang kekal, dan ay 53 menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut Perjamuan Kudus tidak akan mendapatkan hidup yang kekal. Dengan kata lain, kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka Perjamuan Kudus adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan hidup yang kekal. Ini menjadi ajaran sesat Salvation by works!

3. Yesus menggunakan istilah ‘daging’ (Inggris: flesh; Yunani: SARX) bukan ‘tubuh’ (Inggris: body; Yunani: SOMA). Padahal dalam membicarakan Perja¬muan Kudus, selalu digunakan kata ‘tubuh’ (body / SOMA).

4. Kata-kata ‘makan’ dan ‘minum’ dalam ay 50,51,53 dalam bahasa Yunaninya menggunakan aorist tense yang menunjuk pada satu tindakan tertentu di masa lampau. Kalau menunjuk pada Perjamuan Kudus, yang merupakan tindakan makan dan minum secara berulang-ulang, maka seharusnya digunakan bentuk present tense. Catatan: tetapi ay 54,56,57 menggunakan bentuk present participle, sehingga terjemahannya adalah: ‘the one (who is) eating / drinking My flesh / blood’.

At this point a laughable, yet characteristic incident occurred. ‘Beg your pardon,’ said Zwingli, ‘that passage (John 6:63) breaks your neck.’ Luther, understanding this literally, said, ‘Do not boast so much. You are in Hesse, not in Switzerland. In this country we do not break people’s necks. Spare such proud, defiant words, till you get back to your Swiss.’ [= Pada titik ini suatu peristiwa khas yang menggelikan terjadi. ‘Maaf’, kata Zwingli, text itu (Yohanes 6:63) mematahkan lehermu’. Luther, yang mengerti kata-kata ini secara hurufiah, berkata, ‘Jangan terlalu sombong. Kamu ada di Hesse, bukan di Swiss. Di negara ini kita tidak mematahkan leher orang. Simpan kata-kata sombong, bersifat provokasi, sampai kamu kembali ke Swiss-mu’.]

Zwingli: In Switzerland also there is strict justice, and we break no man’s neck without trial. I use simply a figurative expression for a lost cause. [= Zwingli: di Swiss juga ada keadilan yang ketat, dan kami tidak mematahkan leher orang tanpa pengadilan. Saya hanya menggunakan suatu ungkapan yang bersifat kiasan untuk suatu kasus yang kalah.]

The Landgrave said to Luther, ‘You should not take offense at such common expressions.’ But the agitation was so great that the meeting adjourned to the banqueting hall.” [= Orang dari Landgrave (John Feige) berkata kepada Luther, ‘Kamu tidak boleh tersinggung oleh ungkapan-ungkapan umum seperti itu’. Tetapi gangguan / pergolakan itu begitu besar sehingga pertemuan ditunda di ruangan pesta.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 640-642.

David Schaff: “The discussion was resumed in the afternoon, and turned on the christological question. I believe, said Luther, that Christ is in heaven, but also in the sacrament, as substantially as he was in the Virgin’s womb. I care not whether it be against nature and reason, provided it be not against faith. [= Diskusi dimulai lagi / dilanjutkan pada siang / sore hari, dan berubah arah pada persoalan Kristologi. Saya percaya, kata Luther, bahwa Kristus ada di surga, tetapi juga dalam sakramen, dengan tingkat yang sama seperti Ia ada dalam kandungan sang Perawan. Saya tak peduli apakah itu menentang alam dan akal, asal itu tidak menentang iman.]

Oecolampadius: You deny the metaphor in the words of institution, but you must admit a synecdoche. For Christ does not say, This is bread and my body (as you hold), but simply, This is my body. [= Oecolampadius: Kamu menyangkal kiasan dalam kata-kata institusi / peneguhan, tetapi kamu harus mengakui suatu synecdoche. Karena Kristus tidak berkata, Ini adalah roti dan tubuhKu (seperti yang kamu percayai), tetapi hanya, Ini adalah tubuhKu.]

Luther: A metaphor admits the existence of a sign only; but a synecdoche admits the thing itself, as when I say, the sword is in the scabbard, or the beer in the bottle. [= Luther: Suatu kiasan menerima keberadaan dari suatu tanda saja; tetapi suatu synecdoche menerima hal itu sendiri, seperti pada waktu saya berkata, pedang ada dalam sarungnya, atau bir dalam botol.]

Zwingli reasoned: Christ ascended to heaven, therefore he cannot be on earth with his body. A body is circumscribed, and cannot be in several places at once. [= Zwingli berargumentasi: Kristus telah naik ke surga, karena itu Ia tidak bisa ada di bumi dengan tubuhNya. Suatu tubuh dibatasi / terbatas, dan tidak bisa ada di beberapa tempat pada saat yang sama.]

Luther: I care little about mathematics. [= Luther: Saya tak peduli tentang matematik.]

The contest grew hotter, without advancing, and was broken up by a call to the repast. The next day, Sunday, Oct. 3, it was renewed. [= Pertarungan makin menjadi panas, tanpa kemajuan, dan dipisahkan / dihentikan oleh panggilan makan. Hari berikutnya, Minggu, tanggal 3 Oktober, itu diperbaharui.]

Zwingli maintained that a body could not be in different places at once. Luther quoted the Sophists (the Schoolmen) to the effect that there are different kinds of presence. The universe is a body, and yet not in a particular place. [= Zwingli mempertahankan bahwa suatu tubuh tidak bisa ada di tempat-tempat yang berbeda sekaligus. Luther mengutip ahli-ahli filsafat (orang-orang terpelajar) yang berarti bahwa di sana ada jenis-jenis yang berbeda tentang kehadiran. Alam semesta adalah suatu tubuh, tetapi bukan di suatu tempat khusus / tertentu.]

Zwingli: Ah, you speak of the Sophists, doctor! Are you really obliged to return to the onions and fleshpots of Egypt? He then cited from Augustin, who says, ‘Christ is everywhere present as God; but as to his body, he is in heaven.’ [= Zwingli: Ah, kamu berbicara tentang ahli-ahli filsafat, Doktor! Apakah kamu harus kembali pada bawang dan panci daging dari Mesir? Lalu ia mengutip dari Agustinus, yang berkata, ‘Kristus hadir dimana-mana sebagai Allah; tetapi berkenaan dengan tubuhNya, Ia ada di surga’.]

Bdk. Bilangan 11:4-6 - “(4) Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: ‘Siapakah yang akan memberi kita makan daging? (5) Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. (6) Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.’”.

Luther: You have Augustin and Fulgentius on your side, but we have all the other fathers. Augustin was young when he wrote the passage you quote, and he is obscure. We must believe the old teachers only so far as they agree with the Word of God. [= Luther: Kamu mempunyai Agustinus dan Fulgentius di pihakmu, tetapi kami mempunyai semua bapa-bapa gereja yang lain. Agustinus masih muda pada waktu ia menulis text yang kamu kutip, dan ia tak punya reputasi. Kita harus mempercayai guru-guru kuno hanya sejauh mereka setuju / sesuai dengan Firman Allah.]

Oecolampadius: We, too, build on the Word of God, not on the fathers; but we appeal to them to show that we teach no novelties. [= Oecolampadius: Kami, juga, membangun pada Firman Allah, bukan pada bapa-bapa gereja; tetapi kami naik banding kepada mereka untuk menunjukkan bahwa kami bukan mengajar hal yang baru.]

Luther, pointing again his finger to the words on the table: This is our text: you have not yet driven us from it. We care for no other proof. [= Luther, menunjukkan jarinya lagi pada kata-kata di meja: Ini adalah text kami: kamu belum menggerakkan kami darinya. Kami tak peduli pada bukti lain.]

Oecolampadius: If this is the case, we had better close the discussion. [= Oecolampadius: Jika itu adalah kasusnya, kita lebih baik menutup / mengakhiri diskusi ini.]

The chancellor exhorted them to come to an understanding. [= Sang gubernur / perdana menteri mendesak / menasehati mereka untuk datang pada suatu persetujuan.]

Luther: There is only one way to that. Let our adversaries believe as we do. [= Luther: Di sana hanya ada satu jalan kesana. Hendaklah lawan-lawan kami percaya seperti yang kami percaya.]

The Swiss: We cannot. [= Orang Swiss: Kami tidak bisa.]

Luther: Well, then, I abandon you to God’s judgment, and pray that he will enlighten you. [= Luther: Kalau demikian, saya meninggalkan kamu pada penghakiman Allah, dan berdoa supaya Ia akan mencerahi kamu.]

Oecolampadius: We will do the same. You need it as much as we. [= Oecolampadius: Kami akan melakukan hal yang sama. Kamu membutuhkannya sama banyaknya seperti yang kami butuhkan.]

At this point both parties mellowed down. Luther begged pardon for his harsh words, as he was a man of flesh and blood. Zwingli begged Luther, with tearful eyes, to forgive him his harsh words, and assured him that there were no men in the world whose friendship he more desired than that of the Wittenbergers.” [= Pada titik ini kedua pihak melunak. Luther meminta maaf untuk kata-kata kasarnya, karena ia adalah seseorang dari daging dan darah. Zwingli meminta Luther, dengan mata penuh air mata, untuk mengampuni dia atas kata-katanya yang kasar, dan meyakinkan dia bahwa di sana tidak ada orang di dunia yang lebih ia inginkan persahabatannya dari pada orang-orang Wittenberg.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 642-644.

Apakah ini berarti kedua pihak berdamai? Sama sekali tidak!

David Schaff: “§ 109. Luther’s Last Attack on the Sacramentarians. His Relation to Calvin. ... The Marburg Conference did not really reconcile the parties, or advance the question in dispute; but the conflict subsided for a season, and was thrown into the background by other events. The persistent efforts of Bucer and Hedio to bring about a reconciliation between Wittenberg and Zurich soothed Luther, and excited in him the hope that the Swiss would give up their heresy, as he regarded it. But in this hope he was disappointed. The Swiss could not accept the ‘Wittenberg Concordia’ of 1536, because it was essentially Lutheran in the assertion of the corporal presence and oral manducation. A year and a half before his death, Luther broke out afresh, to the grief of Melanchthon and other friends, in a most violent attack on the Sacramentarians, the ‘Short Confession on the Holy Sacrament’ (1544). It was occasioned by Schwenkfeld, and by the rumor that Luther had changed his view, because he had abolished the elevation and adoration of the host. Moreover he learned that Dévay, his former student, and inmate of his house, smuggled the sacramentarian doctrine under Luther’s name into Hungary. He was also displeased with the reformation program of Bucer and Melanchthon for the diocese of Cologne (1543), because it stated the doctrine of the eucharist without the specific Lutheran features, so that he feared it would give aid and comfort to the Sacramentarians. These provocations and vexations, in connection with sickness and old age, combined to increase his irritability, and to sour his temper. They must be taken into account for all understanding of his last document on the eucharist. It is the severest of all, and forms a parallel to his last work against the papacy, of the same year, which surpasses in violence all he ever wrote against the Romish Antichrist. The ‘Short Confession’ contains no argument, but the strongest possible reaffirmation of his faith in the real presence, and a declaration of his total and final separation from the Sacramentarians and their doctrine, with some concluding remarks on the elevation of the sacrament. Standing on the brink of the grave, and in view of the judgment-seat, he solemnly condemns all enemies of the sacraments wherever they are. ‘Much rather,’ he says, ‘would I be torn to pieces, and burnt a hundred times, than be of one mind and will with Stenkefeld (Schwenkfeld), Zwingel, Carlstadt, Oecolampad, and all the rest of the Schwaermer, or tolerate their doctrine.’ He overwhelms them with terms of opprobrium, and coins new ones which cannot be translated into decent English. He calls them heretics, hypocrites, liars, blasphemers, soul-murderers, sinners unto death, bedeviled all over. He ceased to pray for them, and left them to their fate. At one time he had expressed some regard for Oecolampadius, and even for Zwingli, and sincere grief at his tragic death. But in this last book he repeatedly refers to his death as a terrible judgment of God, and doubts whether he was saved. He was horrified at Zwingli’s belief in the salvation of the pious heathen, which he learned from his last exposition of the Christian faith, addressed to the king of France. ‘If such godless heathen,’ he says, ‘as Socrates, Aristides, yea, even the horrible Numa who introduced all kinds of idolatry in Rome (as St. Augustin writes), were saved, there is no need of God, Christ, gospel, Scriptures, baptism, sacrament, or Christian faith.’ He thinks that Zwingli either played the hypocrite when he professed so many Christian articles at Marburg, or fell away, and has become worse than a heathen, and ten times worse than he was as a papist. This attitude Luther retained to the end. It is difficult to say whom he hated most, the papists or the Sacramentarians. On the subject of the real presence he was much farther removed from the latter. He remarks once that he would rather drink blood alone with the papists than wine alone with the Zwinglians. A few days before his death, he wrote to his friend, Pastor Probst in Bremen: ‘Blessed is the man that walketh not in the counsel of the Sacramentarians, nor standeth in the way of the Zwinglians, nor sitteth in the seat of the Zurichers.’ Thus he turned the blessing of the first Psalm into a curse, in accordance with his growing habit of cursing the pope and the devil when praying to God. He repeatedly speaks of this habit, especially in reciting the Lord’s Prayer, and justifies it as a part of his piety. It is befitting that with this last word against the Sacramentarians should coincide in time and spirit his last and most violent attack upon the divine gift of reason, which he had himself so often and so effectually used as his best weapon, next to the Word of God. On Jan. 17, 1546, he ascended the pulpit of Wittenberg for the last time, and denounced reason as ‘the damned whore of the Devil.’ The fanatics and Sacramentarians boast of it when they ask: ‘How can this man give us his flesh to eat?’ Hear ye the Son of God who says: ‘This is my body,’ and crush the serpent beneath your feet. Six days later Luther left the city of his public labors for the city of his birth, and died in peace at Eisleben, Feb. 18. 1546, holding fast to his faith, and commending his soul to his God and Redeemer. In view of these last utterances we must, reluctantly, refuse credit to the story that Luther before his death remarked to Melanchthon: ‘Dear Philip, I confess that the matter of the Lord’s Supper has been overdone;’ and that, on being asked to correct the evil, and to restore peace to the church, he replied: ‘I often thought of it; but then people might lose confidence in my whole doctrine. I leave the matter in the hands of the Lord. Do what you can after my death.’” [= § 109. Serangan terakhir Luther kepada Sacramentarians. Hubungannya dengan Calvin. ... Konperensi Marburg tidak sungguh-sungguh mendamaikan pihak-pihak, atau memajukan pertanyaan yang diperdebatkan; tetapi konflik itu mereda untuk suatu waktu, dan dilemparkan ke latar belakang oleh peristiwa-peristiwa yang lain. Usaha-usaha yang terus menerus dari Bucer dan Hedio untuk membuat suatu perdamaian antara Wittenberg dan Zurich menenangkan Luther, dan membangkitkan pengharapan dalam dia bahwa orang-orang Swiss itu akan menyerahkan kesesatan mereka, sebagaimana ia menganggapnya. Tetapi ia kecewa dalam pengharapan ini. Orang-orang Swiss itu tidak bisa menerima ‘Wittenberg Concordia’ dari tahun 1536, karena itu secara hakiki adalah Lutheran dalam penegasan tentang kehadiran jasmani dan tindakan makan dengan mulut. Satu setengah tahun sebelum kematiannya, Luther meledak lagi, menyedihkan Melanchthon dan sahabat-sahabat lain, dalam suatu serangan yang paling keras / ganas kepada Sacramentarians, ‘the Short Confession on the Holy Sacrament’ / ‘Pengakuan Singkat tentang Perjamuan Kudus’ (1544). Itu disebabkan oleh Schwenkfeld, dan oleh gosip bahwa Luther telah mengubah pandangannya, karena ia telah menghapuskan peninggian dan pemujaan terhadap roti / hosti. Lebih lagi, ia tahu bahwa Dévay, bekas muridnya, dan orang yang pernah tinggal di rumahnya, menyelundupkan doktrin Sacramentarian di bawah nama Luther ke Hongaria. Ia juga tidak senang dengan program reformasi dari Bucer dan Melanchthon untuk kumpulan gereja-gereja di Cologne (1543), karena itu menyatakan doktrin Perjamuan Kudus tanpa ciri-ciri khusus Lutheran, sehingga ia takut itu akan membantu dan menyenangkan Sacramentarian. Provokasi-provokasi dan gangguan-gangguan ini, berhubungan dengan penyakit dan usia tua, bergabung untuk meningkatkan kejengkelannya, dan memahitkan temperamennya. Hal-hal itu harus dipertimbangkan untuk seluruh pengertian tentang dokumen terakhirnya tentang Perjamuan Kudus. Itu adalah yang paling keras dari semua, dan membentuk suatu paralel dengan pekerjaan / tulisannya yang terakhir menentang kepausan, dari tahun yang sama, yang dalam kekerasan melampaui semua yang pernah ia tulis menentang sang Anti Kristus Roma. ‘The Short Confession’ (Pengakuan Singkat) tidak mempunyai argumentasi, tetapi penegasan kembali terkuat yang memungkinkan tentang imannya dalam kehadiran sungguh-sungguh, dan suatu pernyataan tentang pemisahan total dan terakhirnya dari para Sacramentarian dan doktrin mereka, dengan beberapa kesimpulan tentang peninggian sakramen itu. Pada saat berdiri di tepi kubur, dan dalam terang dari takhta penghakiman, ia secara khidmat mengecam / mengutuk semua musuh-musuh dari sakramen dimanapun mereka berada. ‘Lebih baik’, ia berkata, ‘saya dicabik-cabik, dan dibakar seratus kali, dari pada menjadi satu pikiran dan kehendak dengan Stenkefeld (Schwenkfeld), Zwingel, Carlstadt, Oecolampad, dan semua sisa dari Schwaermer, atau menoleransi doktrin mereka’. Ia membanjiri mereka dengan istilah-istilah celaan, dan menemukan / menciptakan istilah-istilah baru yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang sopan. Ia menyebut mereka orang sesat, munafik, pendusta, penghujat, pembunuh jiwa, pendosa sampai kematian, kerasukan seluruhnya. Ia berhenti berdoa untuk mereka, dan membiarkan mereka pada nasib mereka. Pada satu saat ia telah menyatakan hormat untuk Oecolampadius, dan bahkan untuk Zwingli, dan kesedihan yang tulus pada kematiannya yang tragis. Tetapi dalam buku terakhir ini ia berulang-ulang menunjuk pada kematiannya sebagai suatu penghakiman yang mengerikan dari Allah, dan meragukan apakah ia diselamatkan. Ia takut / tak senang pada kepercayaan Zwingli pada keselamatan dari orang-orang kafir yang saleh, yang ia pelajari dari exposisinya yang terakhir tentang iman Kristen, ditujukan kepada raja Perancis. ‘Jika orang kafir seperti itu’, ia berkata, ‘seperti Socrates, Aristides, ya, bahkan Numa yang mengerikan yang memperkenalkan semua jenis pemberhalaan di Roma (seperti Santo Agustinus tuliskan), diselamatkan, di sana tak dibutuhkan Allah, Kristus, injil, Kitab Suci, baptisan, sakramen, atau iman Kristen’. Ia berpikir bahwa Zwingli, atau bersikap sebagai orang munafik pada waktu ia mengaku begitu banyak artikel Kristen di Marburg, atau murtad, dan telah menjadi lebih buruk dari pada seorang kafir, dan sepuluh kali lebih buruk dari pada pada waktu ia adalah seorang Katolik. Sikap ini dipertahankan Luther sampai akhir / mati. Adalah sukar untuk mengatakan siapa yang paling ia benci, orang-orang Katolik atau para Sacramentarian. Tentang pokok kehadiran sungguh-sungguh ia bergerak jauh lebih jauh dari yang belakangan. Ia pernah menyatakan bahwa ia lebih memilih untuk minum darah saja bersama orang Katolik dari pada anggur saja bersama pengikut-pengikut Zwingli. Beberapa hari sebelum kematiannya, ia menulis kepada sahabatnya, Pdt. Probst di Bremen: ‘Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat para Sacramentarian, yang tidak berdiri di jalan Zwinglian, dan yang tidak duduk dalam kumpulan orang-orang Zurich’. Demikianlah ia mengubah berkat dari Mazmur Pertama menjadi suatu kutuk, sesuai dengan kebiasaannya yang berkembang tentang mengutuk Paus dan setan pada waktu ia berdoa kepada Allah. Ia berulang-ulang berbicara dari kebiasaan ini, khususnya dalam mengucapkan Doa Bapa Kami, dan membenarkannya sebagai sebagian dari kesalehannya. Adalah cocok bahwa kata-kata terakhir yang menentang para Sacramentarian ini terjadi pada saat yang sama dalam waktu dan roh / kecondongan serangan terakhirnya dan yang paling ganas terhadap karunia ilahi tentang / dari akal, yang ia sendiri telah begitu sering dan dengan begitu efektif gunakan sebagai senjata terbaiknya, setelah Firman Allah. Pada tanggal 17 Januari 1546, ia naik mimbar Wittenberg untuk terakhir kalinya, dan mengecam / mengutuk akal sebagai ‘pelacur terkutuk dari Setan’. Orang-orang fanatik dan para Sacramentarian membanggakannya pada waktu mereka bertanya: ‘Bagaimana Orang ini bisa memberi kita dagingNya untuk dimakan?’ Dengarlah kamu Anak Allah yang berkata: ‘Ini adalah tubuhKu’, dan menghancurkan / hancurkanlah ular di bawah kakimu. Enam hari kemudian Luther meninggalkan kota dari jerih payah umumnya ke kota kelahirannya, dan mati dalam damai di Eisleben, tanggal 18 Februari 1546, memegang teguh imannya, dan menyerahkan jiwanya kepada Allah dan Penebusnya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 654-659.

Catatan:

1. Sacramentarian berarti:

a. Orang yang menganggap bahwa roti dan anggur yang telah dikuduskan dari Perjamuan Kudus hanya sebagai bersifat kiasan, dan bukan tubuh dan darah secara fisik dari Yesus.

b. Orang yang menekankan pentingnya sakramen sebagai suatu cara / jalan kasih karunia.

Saya kira yang pertamalah yang ditekankan di sini.

2. Pandangan Zwingli tentang kemungkinan orang kafir selamat tanpa percaya Kristus memang adalah pandangan sesat.


David Schaff: “But it is gratifying to know that Luther never said one unkind word of Calvin, who was twenty-five years younger. He never saw him, but read some of his books, and heard of him through Melanchthon. In a letter to Bucer, dated Oct. 14, 1539, he sent his respectful salutations to John Sturm and John Calvin, who lived at that time in Strassburg, and added that he had read their books with singular delight. This includes his masterly answer to the letter of Bishop Sadolet (1539). Melanchthon sent salutations from Luther and Bugenhagen to Calvin, and informed him that he was ‘in high favor with Luther,’ notwithstanding the difference of views on the real presence, and that Luther hoped for better opinions, but was willing to bear something from such a good man. Calvin had expressed his views on the Lord’s Supper in the first edition of his Institutes, which appeared in 1536, incidentally also in his answer to Sadolet, which Luther read ‘with delight,’ and more fully in a special treatise, De Coena Domini, which was published in French at Strassburg, 1541, and then in Latin, 1545. Luther must have known these views. He is reported to have seen a copy of Calvin’s tract on the eucharist in a bookstore at Wittenberg, and, after reading it, made the remark: ‘The author is certainly a learned and pious man: if Zwingli and Oecolampadius had from the start declared themselves in this way, there would probably not have arisen such a controversy.’” [= Tetapi merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk tahu bahwa Luther tidak pernah mengatakan satupun kata yang tak baik tentang Calvin yang 25 tahun lebih muda. Ia tidak pernah melihatnya, tetapi membaca beberapa dari buku-bukunya, dan mendengar tentang dia melalui Melanchthon. Dalam suatu surat kepada Bucer, tertanggal 14 Oktober 1539, ia mengirim salam yang penuh hormat kepada John Sturm dan John Calvin, yang pada saat itu tinggal di Strassburg, dan menambahkan bahwa ia telah membaca buku-buku mereka dengan kesenangan yang sangat bagus. Ini mencakup jawabannya yang menunjukkan pengetahuan seorang master terhadap surat dari Uskup Sadolet (1539). Melanchthon mengirimkan salam dari Luther dan Bugenhagen kepada Calvin, dan memberitahunya bahwa ia ‘sangat disenangi oleh Luther’, sekalipun ada perbedaan pandangan tentang kehadiran yang sungguh-sungguh, dan bahwa Luther mengharapkan untuk pandangan-pandangan yang lebih baik, tetapi mau menahan sesuatu dari orang baik / saleh seperti itu. Calvin telah menyatakan pandangannya tentang Perjamuan Kudus dalam edisi pertama dari Institutes-nya, yang muncul tahun 1536, juga sebagai sesuatu yang sekunder dalam jawabannya kepada Sadolet, yang Luther baca ‘dengan senang’, dan secara lebih penuh dalam tulisan khususnya, De Coena Domini, yang dipublikasikan di Perancis di Strassburg, 1541, dan lalu dalam bahasa Latin, 1545. Luther pasti telah mengetahui pandangan-pandangan ini. Ia dilaporkan telah melihat suatu salinan dari traktat / tulisan singkat Calvin tentang Perjamuan Kudus di suatu toko buku di Wittenberg, dan setelah membacanya, membuat pernyataan / komentar: ‘Sang pengarang pasti adalah seorang terpelajar dan saleh: seandainya Zwingli dan Oecolampadius dari semula telah menyatakan diri mereka dengan cara ini, di sana mungkin tidak akan pernah muncul kontroversi seperti itu’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 659-660.


Bagi saya merupakan sesuatu yang mengherankan bagaimana Luther bisa memegang teguh pandangan yang begitu salah dalam persoalan Perjamuan Kudus.

Calvin (tentang Matius 26:26): “So then those later instructions about the letter are not less absurd than the Papists.” [= Jadi, karena itu ajaran-ajaran belakangan tentang huruf itu itu tidak kurang menggelikannya dari pada ajaran Katolik.].

Louis Berkhof: “2. THE LUTHERAN VIEW. ... It really makes the words of Jesus mean, ‘this accompanies my body’, an interpretation that is more unlikely than either of the others.” [= 2. Pandangan Lutheran. ... Itu sesungguhnya membuat kata-kata Yesus berarti, ‘ini menyertai tubuhKu’, SUATU PENAFSIRAN YANG LEBIH TIDAK MUNGKIN DARI PADA YANG MANAPUN DARI PANDANGAN-PANDANGAN YANG LAIN.] - ‘Systematic Theology’, hal 652-653.

-bersambung-
Next Post Previous Post