Pro Kontra Tentang Persembahan Persepuluhan (5d)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
gadget, bisnis, otomotif |
5. Hukum kasih menggantikan hukum Taurat.
John Stott (tentang Matius 5:17-18): “Their counterparts today seem to be those who have embraced the so-called ‘new morality’, for they declare that the very category of law is abolished for the Christian (though Christ said he had not come to abolish it), that no law any longer binds Christian people except the law of love, and in fact that the command to love is the only absolute there is.” [= Rekan mereka pada jaman ini kelihatannya adalah mereka yang telah mempercayai apa yang disebut ‘moralitas baru’, karena mereka menyatakan bahwa justru kategori hukum Taurat ini dihapuskan bagi orang Kristen (sekalipun Kristus berkata bahwa Ia tidak datang untuk menghapuskannya), bahwa tak ada hukum yang tetap mengikat orang-orang Kristen kecuali hukum kasih, dan dalam faktanya perintah untuk mengasihi adalah satu-satunya hal mutlak yang ada.] - ‘The Message of The Sermon on the Mount’, hal 72-73.
Bdk. Matius 22:37-40 - “(37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
Bdk. Roma 13:8-10 - “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9) Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Bdk. Galatia 5:14 - “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’”.
Text-text ini menyebabkan ada banyak orang lalu menganggap bahwa hukum Taurat (hukum moral) sudah tidak berlaku, dan digantikan dengan hukum kasih! Jadi, kalau kita tidak membunuh, itu bukan karena kita mentaati hukum ke 6 dari 10 hukum Tuhan / hukum Taurat, tetapi karena kita mentaati hukum kasih. Demikian juga kalau kita tidak mencuri, tidak berzinah dan sebagainya.
Tanggapan saya:
Kelihatannya orang Liberal yang menafsir seperti ini, karena William Barclay, yang adalah seorang Liberal, menafsir seperti ini, sekalipun dalam tafsirannya tentang ayat-ayat lain ia berkata berbeda. Ini beberapa komentar dari William Barclay.
Roma 13:8-10 - “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9) Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Barclay (tentang Ro 13:8-10): “He goes on to speak of the one debt that must be paid every day, and yet, at the same time, must continue to be owed every day - the debt to love one another. Origen, the great third-century biblical scholar, said: ‘The debt of love remains with us permanently and never leaves us; this is a debt which we both discharge every day and forever owe.’ It is Paul’s claim that if people honestly seek to discharge this debt of love, they will automatically keep all the commandments. They will not commit adultery, for, when two people allow their physical passions to sweep them away, the reason is not that they love each other too much but that they love each other too little. In real love, there is at the same time respect and restraint, which saves from sin. Christians will not kill, for love never seeks to destroy, but always to build up; it is always kind and will always seek to destroy enemies not by killing them, but by seeking to make friends of them. Christians will never steal, for love is always more concerned with giving than with getting. They will not covet, for covetousness (EPITHUMIA) is the uncontrolled desire for what is forbidden, and love cleanses the heart, until that desire is gone. St Augustine famously said: ‘Love God, and do what you like.’ If love is the motivation within the heart, if a person’s whole life is dominated by love for God and love for other people, that person needs no other law.” [= Ia melanjutkan untuk berbicara tentang satu hutang yang harus dibayar setiap hari, tetapi pada saat yang sama, hutang itu harus berlanjut setiap hari - hutang untuk mengasihi satu sama lain. Origen, sarjana Alkitabiah yang besar / agung dari abad ketiga, berkata: ‘Hutang kasih tetap bersama kita secara permanen, dan tidak pernah meninggalkan kita; ini adalah suatu hutang yang kita keluarkan setiap hari dan tetap berhutang untuk selama-lamanya’. Merupakan claim dari Paulus bahwa jika orang-orang dengan jujur berusaha untuk mengeluarkan hutang kasih ini, mereka akan secara otomatis memelihara / mentaati semua hukum-hukum / perintah-perintah. Mereka tidak akan berzinah, karena pada waktu 2 orang mengijinkan nafsu jasmani mereka menghanyutkan mereka, alasannya bukan karena mereka mengasihi satu sama lain terlalu banyak, tetapi karena mereka mengasihi satu sama lain terlalu sedikit. Dalam kasih yang sungguh-sungguh, disana pada saat yang sama ada hormat dan pengekangan, yang menyelamatkan dari dosa. Orang-orang Kristen tidak akan membunuh, karena kasih tidak pernah berusaha untuk menghancurkan, tetapi selalu membangun; itu selalu baik dan akan selalu berusaha menghancurkan musuh-musuh bukan dengan membunuh mereka, tetapi dengan berusaha untuk berteman dengan mereka. Orang-orang Kristen tidak akan pernah mencuri, karena kasih selalu lebih memperhatikan untuk memberi dari pada untuk mendapatkan. Mereka tidak akan menginginkan, karena keinginan / ketamakan (EPITHUMIA) adalah keinginan yang tidak terkontrol untuk apa yang dilarang, dan kasih membersihkan hati, sampai keinginan itu hilang. Santo Agustinus secara terkenal mengatakan: ‘Kasihilah Allah, dan lakukanlah apa yang engkau senangi’. Jika kasih adalah motivasi di dalam hati, jika seluruh kehidupan seseorang didominasi oleh kasih untuk Allah dan kasih untuk orang-orang, orang itu tak membutuhkan hukum yang lain.].
Catatan: sekalipun Agustinus memang mengatakan kata-katanya yang terkenal itu, saya yakin penafsiran Barclay tentang kata-katanya adalah salah!
Matius 5:17-20 - “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. (20) Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.
Barclay (tentang Mat 5:17-20): “What then is the real principle behind the whole law, that principle which Jesus came to fulfil, the true meaning of which he came to show? When we look at the Ten Commandments, which are the essence and the foundation of all law, we can see that their whole meaning can be summed up in one word - ‘respect,’ or even better, ‘reverence.’ Reverence for God and for the name of God, reverence for God’s day, respect for parents, respect for life, respect for property, respect for personality, respect for the truth and for another person’s good name, respect for oneself so that wrong desires may never overpower us - these are the fundamental principles behind the Ten Commandments, principles of reverence for God, and respect for our neighbours and for ourselves. Without them there can be no such thing as law. On them all law is based. That reverence and that respect Jesus came to fulfil. He came to show men and women in actual life what reverence for God and respect for one another are like. Justice, said the Greeks, consists in giving to God and to others that which is their due. Jesus came to show in actual life what it means to give to God the reverence and to other people the respect which are their due. That reverence and that respect did not consist in obeying a multitude of petty rules and regulations. They consisted not in sacrifice but in mercy; not in legalism but in love; not in prohibitions which demanded that men and women should not do things, but in the instruction to mould their lives on the positive commandment to love. The reverence and the respect which are the basis of the Ten Commandments can never pass away; they are the permanent stuff of our relationship to God and to one another.” [= Lalu apa yang merupakan prinsip yang sesungguhnya di belakang seluruh hukum Taurat, prinsip itu yang Yesus datang untuk menggenapinya, arti yang benar / sejati tentang mana Ia datang untuk menunjukkan? Pada waktu kita melihat pada 10 hukum Tuhan, yang merupakan hakekat dan fondasi / dasar dari seluruh hukum Taurat, kita bisa melihat bahwa seluruh arti mereka bisa disimpulkan / diringkas dalam satu kata - ‘hormat’, atau bahkan lebih baik, ‘hormat / takut’. Hormat / takut untuk Allah dan untuk nama Allah, hormat / takut untuk hari Allah, hormat untuk orang tua, hormat untuk kehidupan, hormat untuk milik, hormat untuk kepribadian, hormat untuk kebenaran dan untuk nama baik orang lain, hormat untuk diri sendiri sehingga keinginan-keinginan yang salah tidak pernah mengalahkan kita - ini adalah prinsip-prinsip dasari di belakang 10 hukum Tuhan, prinsip-prinsip dari hormat / takut untuk Allah, dan hormat untuk sesama kita dan untuk diri kita sendiri. Tanpa mereka di sana tidak bisa ada hal yang disebut hukum. Semua hukum didasarkan pada mereka. Yesus datang untuk menggenapi hormat / takut itu dan hormat itu. Ia datang untuk menunjukkan orang-orang laki-laki dan perempuan dalam kehidupan nyata / sesungguhnya bagaimana hormat / takut untuk Allah dan hormat untuk satu sama lain itu. Keadilan, kata orang-orang Yunani, terdiri dari tindakan memberi kepada Allah dan kepada orang-orang lain apa yang merupakan hak mereka. Yesus datang untuk menunjukkan dalam kehidupan nyata / sesungguhnya apa artinya untuk memberi kepada Allah hormat / takut dan kepada orang-orang lain hormat yang merupakan hak mereka. Hormat / takut itu dan hormat itu tidak terdiri dari tindakan mentaati sejumlah besar peraturan-peraturan remeh. Mereka tidak terdiri dari korban tetapi dari belas kasihan; bukan dalam legalisme tetapi dalam kasih; bukan dalam larangan-larangan yang menuntut bahwa orang-orang laki-laki dan perempuan tak boleh lakukan, tetapi dalam pengajaran untuk membentuk kehidupan mereka pada perintah positif untuk mengasihi. Hormat / takut dan hormat yang merupakan dasar dari 10 hukum Tuhan tidak pernah bisa hilang; mereka adalah bahan dari hubungan kita dengan Allah dan satu dengan yang lain.].
Catatan: dalam kutipan di atas Barclay menggunakan dua istilah bahasa Inggris yaitu ‘reverence’ [= hormat yang begitu hebat sampai ada rasa takut di dalamnya] dan ‘respect’ [= hormat]. Yang pertama saya terjemahkan ‘hormat / takut’; yang kedua saya terjemahkan ‘hormat’.
Barclay (tentang Mat 5:17-20): “In this passage, Jesus definitely warns the disciples not to think that Christianity is easy. People might say: ‘Christ is the end of the law; now I can do what I like.’ They might think that all the duties, all the responsibilities and all the demands are gone. But it is Jesus’ warning that the righteousness of the Christian must exceed the righteousness of the scribes and Pharisees. What did he mean by that? The motive under which the scribes and Pharisees lived was the motive of law; their one aim and desire was to satisfy the demands of the law. Now, at least theoretically, it is perfectly possible to satisfy the demands of the law; in one sense there can come a time when it is possible for someone to say: ‘I have done all that the law demands; my duty is discharged; the law has no more claim on me.’ But the motive under which Christians live is the motive of love; the one desire of all Christians is to show their wondering gratitude for the love they have received from God in Jesus Christ. Now, it is not even theoretically possible to satisfy the claims of love. If we love someone with all our hearts, we are bound to feel that if we gave to that person a lifetime’s service and adoration, if we offered the sun and the moon and the stars, we would still not have offered enough. For love, the whole realm of nature is an offering far too small. The Jews aimed to satisfy the law of God; and to the demands of the law there is always a limit. Christians aim to show their gratitude for the love of God; and to the claims of love there is no limit in time or in eternity. Jesus set before men and women not the law of God, but the love of God. Long ago, St Augustine said that the Christian life could be summed up in the one phrase: ‘Love God, and do what you like.’ But when we realize how God has loved us, the one desire of life is to answer to that love, and that is the greatest task in all the world, for it presents us with a task the like of which those who think in terms of law never dream of, and with an obligation more binding than the obligation to any law.” [= Dalam text ini, Yesus dengan pasti memperingati murid-murid untuk tidak berpikir bahwa kekristenan adalah mudah. Orang-orang bisa berkata: ‘Kristus adalah akhir dari hukum Taurat; sekarang aku bisa melakukan apa yang aku senangi’. Tetapi merupakan peringatan Yesus bahwa kebenaran dari orang Kristen harus melampaui semua tuntutan kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Apa yang Ia maksudkan dengan itu? Motivasi dengan mana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi hidup adalah motivasi dari hukum Taurat; satu-satunya tujuan dan keinginan mereka adalah untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat. Sekarang, setidaknya secara teoretis, adalah sama sekali mungkin untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat; dalam satu arti di sana bisa datang suatu waktu dimana adalah mungkin bagi seseorang untuk berkata: ‘Aku telah melakukan semua yang hukum Taurat tuntut; kewajibanku dilaksanakan; hukum Taurat tidak lagi mempunyai tuntutan atas / pada aku’. Tetapi motivasi dalam mana orang-orang Kristen hidup adalah motivasi kasih; satu-satunya keinginan dari semua orang-orang Kristen adalah untuk menunjukkan rasa terima kasih yang terheran-heran untuk kasih yang telah mereka terima dari Allah dalam Yesus Kristus. Sekarang, adalah tidak mungkin bahkan secara teoretis untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dari kasih. Jika kita mengasihi seseorang dengan seluruh hati kita, kita harus merasa bahwa seandainya kita memberi orang-orang itu pelayanan dan pemujaan seumur hidup, seandainya kita mempersembahkan matahari dan bulan dan bintang-bintang, kita tetap tidak akan mempersembahkan secara cukup. Bagi kasih, seluruh alam dari alam semesta merupakan suatu persembahan yang jauh terlalu kecil. Orang-orang Yahudi bertujuan untuk memuaskan hukum Taurat Allah; dan bagi tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat di sana selalu ada suatu batasan. Orang-orang Kristen bertujuan untuk menunjukkan rasa terima kasih mereka untuk kasih Allah; dan terhadap tuntutan-tuntutan dari kasih di sana tidak ada batasan dalam waktu dan dalam kekekalan. Yesus bukan meletakkan di depan orang-orang laki-laki dan perempuan hukum Taurat Allah, tetapi kasih Allah. Lama berselang, Santo Agustinus berkata bahwa kehidupan orang Kristen bisa diringkas / disimpulkan dalam satu ungkapan: ‘Kasihilah Allah, dan lakukanlah apa yang engkau senangi’. Tetapi pada waktu kita menyadari bagaimana Allah telah mengasihi kita, satu keinginan kehidupan adalah untuk menanggapi kasih itu, dan itu adalah tugas terbesar di seluruh dunia, karena itu memberi kita suatu tugas yang tak pernah dimimpikan oleh mereka yang berpikir dalam istilah-istilah hukum Taurat, dan dengan suatu kewajiban yang lebih mengikat dari pada kewajiban dari hukum apapun.].
Tetapi anehnya, di bagian lain dari buku tafsirannya, Barclay berkata sebagai berikut:
Lukas 16:16-18 - “(16) Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan dan setiap orang menggagahinya berebut memasukinya. (17) Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal. (18) Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.
Barclay (tentang Luk 16:16-18): “Before Jesus the law and the prophets had been the final word of God; but Jesus came preaching the kingdom. When he did, the most unlikely people, the tax-collectors and the sinners, came storming their way into the kingdom even when the scribes and Pharisees would have set up barriers to keep them out. But Jesus emphasized that the kingdom was not the end of the law. True, the little details and regulations of the ceremonial law were wiped out. No one was to think that Christianity offered an easy way in which no laws remained. The great laws stood unaltered and unalterable. … As an illustration of law that would never pass away Jesus took the law of chastity.” [= Sebelum Yesus hukum Taurat dan kitab nabi-nabi merupakan firman Allah yang terakhir; tetapi Yesus datang memberitakan kerajaan. Pada waktu Ia melakukannya, orang-orang yang paling tidak mungkin, para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, cepat-cepat datang ke dalam kerajaan bahkan pada waktu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah mendirikan penghalang untuk menjaga mereka tetap di luar. Tetapi Yesus menekankan bahwa kerajaan bukanlah akhir dari hukum Taurat. Memang benar, detail-detail dan peraturan-peraturan kecil tentang hukum upacara dihapuskan. Hukum-hukum besar berdiri tak berubah dan tak bisa diubah. ... Sebagai suatu ilustrasi dari hukum Taurat yang tidak akan pernah berlalu Yesus mengambil hukum tentang menahan diri dari perzinahan.].
Ro 3:27-31 - “(27) Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman! (28) Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat. (29) Atau adakah Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain! (30) Artinya, kalau ada satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman. (31) Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.”.
Barclay (tentang Ro 3:27-31): “But, the Jews ask, does this mean an end of all law? We might have expected Paul to say: ‘Yes.’ In point of fact, he says: ‘No.’ He says that, in fact, it strengthens the law. He means this. Up to this time, the Jews had tried to be good and to keep the commandments because they were afraid of God and were terrified of the punishment that breaking the law would bring. That day has gone forever. But what has taken its place is ‘the love of God.’ Now, people must try to be good and keep God’s law, not because they fear God’s punishment, but because they feel that they must strive to deserve that amazing love. They strive for goodness, not because they are afraid of God, but because they love him. They know now that sin is not so much breaking God’s law as it is breaking God’s heart, and, therefore, it is doubly terrible.” [= Tetapi orang-orang Yahudi bertanya, apakah ini berarti suatu akhir dari seluruh hukum Taurat? Kita bisa / mungkin telah mengharapkan Paulus untuk berkata: ‘Ya’. Tetapi faktanya, ia berkata: ‘Tidak’. Ia berkata bahwa sebetulnya itu memperkuat hukum Taurat. Ia betul-betul memaksudkan ini. Sampai saat ini, orang-orang Yahudi telah mencoba untuk menjadi baik dan untuk memelihara / mentaati hukum-hukum / perintah-perintah karena mereka takut akan Allah, dan takut akan hukuman yang dibawa oleh pelanggaran terhadap hukum Taurat. Hari / masa itu telah pergi / hilang selama-lamanya. Tetapi yang menggantikan tempatnya adalah ‘kasih dari Allah’. Sekarang, orang-orang harus berusaha untuk menjadi baik dan memelihara / mentaati hukum (Taurat) Allah, bukan karena mereka takut akan hukuman Allah, tetapi karena mereka merasa bahwa mereka harus berusaha untuk layak mendapatkan kasih yang mengherankan itu. Mereka berusaha untuk kebaikan, bukan karena mereka takut akan Allah, tetapi karena mereka mengasihi Dia. Mereka tahu sekarang bahwa dosa bukanlah hanya melanggar hukum (Taurat) Allah tetapi lebih-lebih menyakiti / menghancurkan hati Allah, dan karena itu, itu mengerikan secara ganda.].
Sekarang mari kita membahas ketiga text di atas satu per satu.
a. Matius 22:37-40 - “(37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
(1) Hukum kasih itu sendiri adalah / termasuk dalam hukum Taurat!
Mat 22:36-40 - “(36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
Lukas 10:26-27 - “(26) Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?’ (27) Jawab orang itu: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’”.
Hukum kasih yang pertama diambil dari Ul 6:5 - “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”.
Dan hukum kasih yang kedua diambil dari Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”.
Perhatikan bahwa kedua hukum kasih itu juga termasuk dalam hukum Taurat!! Jadi orang yang mengatakan bahwa seluruh hukum Taurat (termasuk hukum moral) dihapuskan, dan digantikan dengan hukum kasih, berbicara secara tidak masuk akal!
Calvin (tentang Luk 10:26): “Luke 10:26. ‘What is written in the law?’ He receives from Christ a reply different from what he had expected. And, indeed, no other rule of a holy and righteous life was prescribed by Christ than what had been laid down by the Law of Moses; for the perfect love of God and of our neighbors comprehends the utmost perfection of righteousness.” [= Luk 10:26. ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat?’ Ia menerima dari Kristus suatu jawaban yang berbeda dari apa yang ia harapkan. Dan memang, TAK ADA PERATURAN LAIN DARI / TENTANG KEHIDUPAN YANG KUDUS DAN BENAR YANG DITULISKAN OLEH KRISTUS DARI PADA APA YANG TELAH DITETAPKAN OLEH MUSA; karena kasih yang sempurna kepada Allah dan kepada sesama kita mencakup kesempurnaan tertinggi dari kebenaran.].
Karena itu, kalau hukum moral dari hukum Taurat dibatalkan, maka jelas bahwa hukum kasih itu juga harus dibatalkan!
(2) Hukum kasih itu merupakan ringkasan dari seluruh hukum Taurat.
Calvin (tentang Mat 22:37): “What follows is an abridgment of the Law, which is also found in the writings of Moses, (Deuteronomy 6:5.) ... It now appears from this summary that, in the commandments of the Law, God does not look at what men can do, but at what they ought to do; ...” [= Yang berikut ini adalah suatu penyingkatan / ringkasan dari hukum Taurat, yang juga ditemukan dalam tulisan-tulisan Musa, (Ul 6:5). ... Sekarang terlihat dari ringkasan ini bahwa, dalam perintah-perintah hukum Taurat, Allah tidak melihat pada apa yang manusia bisa lakukan, tetapi pada apa yang mereka harus lakukan; ...].
William Hendriksen (tentang Mat 22:37-40): “Jesus here teaches that: a. The whole duty of man, the whole moral-spiritual law, can be summed up in one word: ‘love.’ ... This commandment is called the great(est) because it epitomizes the most excellent response to the Most Wonderful Being, and is basic to all other genuine love.” [= Yesus di sini mengajar bahwa: a. Seluruh kewajiban dari manusia, seluruh hukum Taurat yang bersifat moral-rohani, bisa diringkas dalam satu kata: ‘kasih’. ... Perintah ini disebut yang terbesar karena itu meringkas tanggapan yang paling bagus kepada Makhluk Yang Paling Ajaib, dan merupakan dasar dari semua kasih sejati yang lain.].
Bible Knowledge Commentary (tentang Mat 22:34-40): “Jesus’ quick reply summarized the entire Decalogue. He replied that the greatest commandment is to love the Lord... God with all one’s heart... soul, and... mind (cf. Deut 6:5). He added that the second commandment is to love one’s neighbor as oneself (cf. Lev 19:18). The first summarizes the first table of the Law, and the second summarizes the second table.” [= Jawaban yang cepat dari Yesus meringkas seluruh 10 hukum Tuhan. Ia menjawab bahwa perintah / hukum yang terbesar adalah mengasihi Tuhan ... Allah dengan seluruh hati ... jiwa, dan ... pikiran seseorang (bdk. Ul 6:5). Ia menambahkan bahwa perintah / hukum kedua adalah mengasihi sesama seseorang seperti dirinya sendiri (bdk. Im 19:18). Yang pertama meringkas loh (batu) pertama dari hukum Taurat, dan yang kedua meringkas loh (batu) yang kedua.].
Merupakan sesuatu yang konyol untuk mengatakan bahwa hukum moral dari hukum Taurat dibatalkan, dan digantikan oleh ringkasannya!
Bayangkan kalau saya berkhotbah, dan setelah menguraikan secara panjang lebar, pada bagian akhir saya memberikan ringkasan dari khotbah itu. Apakah bagi jemaat, seluruh penjelasan panjang lebar itu dibatalkan oleh ringkasannya??? Hanya orang bodoh yang mempercayai hal itu!!
(3) Pada hukum kasih itu tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Perjanjian Lama).
Mat 22:40 - “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
Barnes’ Notes (tentang Mat 22:40): “Verse 40. ‘On these two commandments hang ...’ That is, these comprehend the substance of what Moses in the law and what the prophets have spoken.” [= Ayat 40. ‘Pada kedua hukum inilah tergantung ...’ Artinya, ini mencakup zat / hakekat dari apa yang Musa dalam hukum Taurat dan apa yang kitab nabi-nabi telah katakan.].
Bible Knowledge Commentary (tentang Mat 22:34-40): “Jesus said, All the Law and the Prophets hang on these two commandments, that is, all the Old Testament develops and amplifies these two points: love for God and love for others, who are made in God’s image.” [= Yesus berkata, Seluruh hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tergantung pada dua hukum ini, yaitu, seluruh Perjanjian Lama berkembang dan menguatkan kedua poin ini: kasih untuk Allah dan kasih untuk sesama, yang dibuat dalam gambar Allah.].
b. Ro 13:8-10 - “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9) Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Calvin (tentang Roma 13:8): “Paul teaches us that the law is fulfilled when we love our neighbor, for no mention is here made of what is due to God, which ought not by any means to have been omitted. But Paul refers not to the whole law, but speaks only of what the law requires from us as to our neighbor. And it is doubtless true, that the whole law is fulfilled when we love our neighbors; for true love towards man does not flow except from the love of God, and it is its evidence, and as it were its effects.” [= Paulus mengajar kita bahwa hukum Taurat digenapi pada waktu kita mengasihi sesama kita, karena tak disebutkan di sini tentang apa yang menjadi hak Allah, yang tidak boleh dengan cara apapun untuk dihapuskan. Tetapi Paulus tidak menunjuk pada seluruh hukum, tetapi hanya berbicara tentang apa yang hukum Taurat tuntut dari kita berkenaan dengan sesama kita. Dan tak diragukan bahwa adalah benar bahwa seluruh hukum Taurat digenapi pada waktu kita mengasihi sesama kita; karena kasih yang benar terhadap manusia tidak akan mengalir kecuali dari kasih kepada Allah, dan itu adalah buktinya, dan seakan-akan adalah akibat / hasilnya.].
William Hendriksen (tentang Ro 13:8): “by adding ‘for he who loves his neighbor has fulfilled the law’ it is made clear that all those with whom the believer comes into contact - and of course particularly those with special needs - are included. In fact, in a sense no one is excluded from this all-embracing love. God’s holy law, to be sure, does not save anyone. ... Nevertheless, once a person has been justified by faith, he, out of gratitude, (is?) motivated and enabled by the Holy Spirit, desires to do what God wants him to do. And this is found in the law of the Ten Commandments, as summarized in Lev 19:18, and later in the words of Jesus as recorded in Matt. 22:39; Mark 12:31; Luke 10:27b.” [= dengan menambahkan ‘karena ia yang mengasihi sesamanya telah menggenapi / memenuhi hukum Taurat’ dibuat jelas bahwa semua mereka dengan siapa orang percaya berhubungan - dan tentu saja secara khusus mereka dengan kebutuhan-kebutuhan khusus - tercakup. Sebenarnya, dalam satu arti tak seorangpun dikeluarkan dari kasih yang memeluk semua ini. Hukum Taurat kudus dari Allah, pasti tidak mengecualikan siapapun. ... Sekalipun demikian, sekali seseorang telah dibenarkan oleh iman, ia, dari rasa terima kasih, dimotivasi dan dimampukan oleh Roh Kudus, ingin untuk melakukan apa yang Allah inginkan ia lakukan. Dan ini ditemukan dalam hukum dari 10 Hukum Tuhan, seperti yang diringkas dalam Im 19:18, dan belakangan dalam kata-kata Yesus seperti yang dicatat dalam Mat 22:39; Mark 12:31; Luk 10:27b.].
Ro 13:9 - “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”.
Kata ‘firman’ salah terjemahan, seharusnya adalah ‘hukum / perintah’.
KJV/RSV/NASB: ‘commandment’ [= hukum / perintah].
William Hendriksen (tentang Ro 13:9): “The very fact that Paul mentions these commandments in the order Nos. 7, 6, 8, 10 (cf. Exod. 20:1–17), not even mentioning the fifth and the ninth, but covering these with the summarizing expression ‘and whatever other commandment there may be,’ shows that it is not his main intention to enter into the substance of each separate ‘Thou shalt not.’ Rather he wishes to emphasize the one great truth, namely, that all these commandments touching the believer’s attitude toward his fellowmen ‘are brought together under one head’ in the one, great summarizing rule, ‘You shall love your neighbor as yourself.’ This proves that every negative command (‘You shall not’) is at bottom a positive command. The meaning, therefore is: ‘You shall love, and therefore not commit adultery but preserve the sacredness of the marriage-bond. You shall love, and therefore not murder but help your neighbor keep alive and well. You shall love, and accordingly not steal anything that belongs to your neighbor but rather protect his possessions. You shall love, and as a result not covet what belongs to your neighbor but rejoice in the fact that it is his.’” [= Fakta bahwa Paulus menyebutkan hukum-hukum ini dalam urutan No 7,6,8,10 (bdk. Kel 20:1-17), bahkan tidak menyebutkan hukum ke 5 dan ke 9, tetapi mencakup ini dengan ungkapan yang meringkas ‘dan firman (seharusnya ‘hukum’) lain manapun juga’, menunjukkan bahwa bukanlah maksud utamanya untuk masuk ke dalam substansi / pokok dari setiap ‘Jangan / Janganlah engkau’. Sebaliknya ia ingin menekankan satu kebenaran yang besar, yaitu, bahwa semua hukum-hukum ini menyentuh sikap orang percaya terhadap sesama manusianya ‘dibawa bersama-sama di bawah satu kepala’ dalam satu peraturan / hukum besar yang meringkas, ‘Kamu harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri’. Ini membuktikan bahwa setiap hukum yang bersifat negatif (‘Janganlah’) pada dasarnya adalah suatu hukum yang bersifat positif. Karena itu, artinya adalah: ‘Kamu harus mengasihi, dan karena itu tidak berzinah tetapi menjaga kekudusan dari ikatan pernikahan. Kamu harus mengasihi, dan karena itu tidak membunuh tetapi menolong sesamamu untuk tetap hidup dan sejahtera. Kamu harus mengasihi, dan karena itu tidak mencuri apapun yang merupakan milik sesamamu tetapi sebaliknya melindungi miliknya. Kamu harus mengasihi, dan sebagai akibatnya tidak mengingini apa yang merupakan milik dari sesamamu tetapi bersukacita dalam fakta bahwa itu adalah miliknya.’].
Catatan: kata-kata William Hendriksen ini jelas tidak menunjukkan bahwa 10 Hukum Tuhan dihapuskan dan digantikan hukum kasih! Sebaliknya 10 Hukum Tuhan itu tetap berlaku, dan ditafsirkan bersama-sama dengan hukum kasih, maka masing-masing menjadi hukum yang bersifat positif!!
Ro 13:10 - “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”.
William Hendriksen (tentang Ro 13:10): “In the words, ‘Love does no harm to the neighbor,’ we have an example of a figure of speech called litotes. This means that a negative expression of this type implies a strong affirmative. So, ‘He’s no fool’ may mean, ‘He is very shrewd.’ And similarly ‘Love does no harm to the neighbor’ means ‘Love greatly benefits the neighbor.’ ‘… does no harm’ is an understatement for ‘greatly benefits.’ The reason that this truth is here expressed negatively may well have been to make it coincide with the law’s prohibitions.” [= Dalam kata-kata, ‘Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia’, kita mempunya suatu contoh dari suatu gaya bahasa yang disebut LITOTES. Ini berarti bahwa suatu ungkapan dari jenis ini secara implicit menunjukkan suatu ungkapan positif yang kuat. Jadi, ‘Ia bukan orang tolol’ bisa berarti ‘Ia sangat cerdik / licik’. Dan secara sama / mirip ‘Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia’ berarti ‘Kasih sangat menguntungkan sesama manusia’ ‘... tidak berbuat jahat’ merupakan suatu pernyataan yang kurang / mengecilkan untuk ‘Kasih menguntungkan’. Alasan sehingga kebenaran ini di sini dinyatakan secara negatif bisa untuk membuatnya serupa dengan larangan-larangan hukum Taurat.].
John Stott (tentang Ro 13:8-10): “Now that Paul repeats in chapter 13 his statement about our fulfilling the law, he changes his emphasis from the means of the fulfilment (the Holy Spirit) to the nature of it (love). Law and love are often thought to be incompatible. And there are significant differences between them, law being often negative (‘you shall not’) and love positive, law relating to particular sins and love being a comprehensive principle. But the advocates of the ‘new morality’ or ‘situation ethics’ go considerably further than this. They insist that now ‘nothing is prescribed except love’. In fact ‘love is the end of law’ because law is no longer needed. Love has its own ‘built-in moral compass’ which discerns intuitively what a true respect for persons will demand in each situation. But this expresses a naïve confidence in love’s infallibility. The truth is that love cannot manage on its own without an objective moral standard. That is why Paul wrote not that ‘love is the end of law’ but that ‘love is the fulfilment of the law’. For love and law need each other. Love needs law for its direction, while law needs love for its inspiration.” [= Sekarang bahwa Paulus mengulang dalam pasal 13 pernyataannya tentang penggenapan kita tentang hukum Taurat, ia mengubah penekanannya dari cara / jalan penggenapan (Roh Kudus) kepada sifat dasarnya / hakekatnya (kasih). Hukum dan kasih sering dianggap tidak cocok. Dan di sana ada perbedaan-perbedaan yang menyolok di antara mereka, hukum sering bersifat negatif (‘jangan’) dan kasih bersifat positif, hukum berhubungan dengan dosa-dosa khusus dan kasih adalah prinsip yang luas / meliputi banyak hal. Tetapi pendukung-pendukung dari ‘moralitas baru’ atau ‘etika situasi’ berjalan sangat lebih jauh dari pada ini. Mereka berkeras bahwa sekarang ‘tak ada apapun yang diberikan sebagai peraturan kecuali kasih’. Sebetulnya ‘kasih adalah akhir dari hukum Taurat’ karena hukum Taurat tak lagi dibutuhkan. Kasih mempunyai ‘kompas moral yang terpasang tetap’ yang membedakan secara intuitif apa yang dituntut suatu rasa hormat yang benar untuk orang-orang dalam setiap situasi. Tetapi ini mengungkapkan suatu keyakinan yang naif / bodoh dalam ketidak-bisa-bersalahan dari kasih. Kebenarannya adalah bahwa kasih tidak bisa mengurus / mengatur dirinya sendiri tanpa suatu standard moral yang obyektif. Itu sebabnya Paulus bukannya menulis bahwa ‘kasih adalah akhir dari hukum Taurat’ tetapi bahwa ‘kasih adalah penggenapan dari hukum Taurat’. Karena kasih dan hukum Taurat saling membutuhkan. Kasih membutuhkan hukum Taurat untuk pengarahannya, sedangkan hukum Taurat membutuhkan kasih sebagai inspirasinya.].
c. Gal 5:14 - “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’”.
Kata ‘tercakup’ ini salah terjemahan.
KJV/RSV/NASB: ‘fulfilled’ [= digenapi].
Baca Juga: Pak Budi Asali, Apakah anda setuju dengan TULIP?
William Hendriksen (tentang Gal 5:14): “Paul quotes Lev. 19:18. One can also say that he is quoting the words of Jesus (Matt. 22:39, 40; Mark 12:31; Luke 10:27; cf. Matt. 7:12; 19:19; Rom. 13:8–10; and I Cor. 13). Love, then, is both the summary (interpretive epitome or condensation) and the realization in practice of the entire God-given moral law, viewed as a unit. .. the apostle here refers specifically to the second, not to the first, table of the law, but that first table is in the background, for the two are inseparable (I John 4:20, 21).” [= Paulus mengutip Im 19:18. Orang juga bisa mengatakan bahwa ia sedang mengutip kata-kata Yesus (Mat 22:39,40; Mark 12:31; Luk 10:27; bdk. Mat 7:12; 19:19; Ro 13:8-10; dan 1Kor 13). Jadi, kasih adalah baik ringkasan (ringkasan yang bersifat penafsiran atau penyingkatan) dan realisasi dalam praktek dari seluruh hukum moral yang diberikan oleh Allah, dipandang sebagai satu kesatuan. ... sang rasul di sini menunjuk secara khusus pada loh batu yang kedua dari hukum Taurat, bukan yang pertama, tetapi bahwa loh batu yang pertama ada di latar belakang, karena keduanya tak terpisahkan (1Yoh 4:20-21).].
Bdk. 1Yoh 4:20-21 - “(20) Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. (21) Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”.
John Stott (tentang Gal 5:14): “We must notice carefully what the apostle writes. He does not say, as some of the ‘new moralists’ are saying, that if we love one another we can safely break the law in the interests of love, but that if we love one another we shall fulfil the law, because the whole law is summed up in this one command, ‘You shall love your neighbour as yourself.’ What is the Christian’s relation to the law? The so-called ‘new morality’ forces the question upon us with some urgency. It is quite true that Paul says to us, if we are Christians, that we have been set free from the law, that we are no longer under the law and that we must not submit again to the ‘yoke of slavery’ which is the law (verse 1). But we must take pains to grasp what he means by these expressions. Our Christian freedom from the law which he emphasizes concerns our relationship to God. It means that our acceptance depends not on our obedience to the law’s demands, but on faith in Jesus Christ who bore the curse of the law when He died. It certainly does not mean that we are free to disregard or disobey the law. On the contrary, although we cannot gain acceptance by keeping the law, yet once we have been accepted we shall keep the law out of love for Him who has accepted us and has given us His Spirit to enable us to keep it. In New Testament terminology, although our justification depends not on the law but on Christ crucified, yet our sanctification consists in the fulfilment of the law. Cf. Romans 8:3, 4. Moreover, if we love one another as well as God, we shall find that we do obey His law because the whole law of God - at least the second table of the law touching our duty to our neighbour - is fulfilled in this one point: ‘You shall love your neighbour as yourself’, and murder, adultery, stealing, covetousness and false witness are all infringements of this law of love. Paul says the same thing in 6:2: ‘Bear one another’s burdens, and so fulfil the law of Christ.’” [= Kita harus memperhatikan dengan seksama apa yang sang rasul tulis. Ia tidak mengatakan, seperti beberapa dari ‘moralist baru’ sedang katakan, bahwa jika kita saling mengasihi kita bisa dengan aman melanggar hukum Taurat untuk / demi kepentingan kasih, tetapi (ia mengatakan) bahwa jika kita saling mengasihi kita akan menggenapi hukum Taurat, karena seluruh hukum Taurat diringkas dalam satu perintah ini, ‘Kamu harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri’. Apa hubungan orang Kristen dengan hukum Taurat? Apa yang disebut ‘moralitas yang baru’ menekankan pertanyaan ini kepada kita dengan mendesak. Adalah benar bahwa Paulus berkata kepada kita, jika kita adalah orang-orang Kristen, yang telah dimerdekakan dari hukum Taurat, bahwa kita tidak lagi berada di bawah hukum Taurat dan bahwa kita tidak boleh tunduk lagi kepada ‘kuk perhambaan’ yang adalah hukum Taurat (ayat 1). Tetapi kita harus berusaha keras untuk menangkap apa yang ia maksudkan oleh ungkapan-ungkapan ini. Kebebasan Kristen kita dari hukum Taurat yang ia tekankan berkenaan dengan hubungan kita dengan Allah. Itu berarti bahwa penerimaan kita tidak tergantung pada ketaatan kita pada tuntutan-tuntutan hukum Taurat, tetapi pada iman kepada Yesus Kristus yang memikul kutuk dari hukum Taurat pada waktu Ia mati. Itu pasti tidak berarti bahwa kita bebas untuk mengabaikan atau tidak mentaati hukum Taurat. Sebaliknya, sekalipun kita tidak bisa mendapatkan penerimaan dengan mentaati hukum Taurat, tetapi sekali kita telah diterima kita akan mentaati hukum Taurat dari kasih untuk Dia yang telah menerima kita dan telah memberikan RohNya untuk memampukan kita untuk mentaatinya. Dalam terminologi Perjanjian Baru, sekalipun pembenaran kita tidak tergantung pada hukum Taurat tetapi pada Kristus yang tersalib, tetapi pengudusan kita terdiri dari penggenapan hukum Taurat. Bdk. Ro 8:3-4. Selanjutnya, jika kita mengasihi satu sama lain maupun Allah, kita akan mendapati bahwa kita mentaati hukum TauratNya karena seluruh hukum Taurat Allah - setidaknya loh batu yang kedua dari hukum Taurat menyentuh kewajiban kita kepada sesama kita - digenapi dalam satu poin / pokok ini: ‘Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’, dan pembunuhan, perzinahan, pencurian, ketamakan dan saksi dusta adalah semua pelanggaran dari hukum kasih ini. Paulus mengatakan hal yang sama dalam 6:2: ‘Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.’].
Gal 5:1 - “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”.
Roma 8:3-4 - “(3) Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus AnakNya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, (4) supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.”.
-bersambung