TEOLOGI SALIB : ASPEK DASAR SALIB (1 KORINTUS 1:22-24)

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th. 

“Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Korintus 1:22-24). 
TEOLOGI SALIB : ASPEK DASAR SALIB (1 KORINTUS 1:22-24)
gadget, otomotif, bisnis
APA ITU SALIB 

Ketika saya membicarakan tentang salib, maka yang dimaksudkan bukanlah sekedar dua balok yang dipakukan bersama membentuk sebuah alat eksekusi kuno, melainkan kematian Kristus dan pengorbananNyalah yang dimaksudkan. Salib adalah pengorbanan Yesus sendiri, tempat ia dieksekusi mati bagi dosa-dosa manusia. Yesus Kristus dengan merendahkan diri menyerahkan tubuh-Nya untuk disalib bagi kita. Tetapi bahkan sebelum Yesus dipakukan di kayu salib, Ia terlebih dahulu menyerahkan tubuhNya untuk disiksa dengan kejam oleh para prajurit Romawi. 

Yesus dipukuli (Markus 14:16), janggutnya dicabut dan ia diludahi (Yesaya 50:6), serta Ia dicambuk (Markus 15:15). Cambuk yang dibuat untuk tujuan hukuman mati dirancang dan dibuat dari ikat pinggang yang dijalin dengan potongan-potongan kecil timah dan potongan-potongan tajam tulang atau gigi domba. Akibatnya, cambuk ini menusuk tubuh, mengoyak daging tubuh, dan menarik paksa darah keluar dengan setiap pukulannya. 

Para penyiksa juga menaruh mahkota duri di kepala-Nya, menyebabkan rasa sakit yang akut (Yohanes 19:2). Menanggung semua ini, rupa wajah dan tubuh Yesus menjadi buruk, berdarah dan penuh luka, sehingga rupanya tidak dikenali orang (Yesaya 53:2-3). 

Lebih lanjut, para prajurit menaruh balok kayu yang berat di pundak dan punggung atas-Nya, dengan kondisi tubuh yang sudah mengenaskan akibat cambukkan dan siksaan. Mereka memaksaNya untuk memikul balok itu sampai ke tempat penyaliban-Nya, sebuah tempat yang disebut Golgotha, atau dikenal dengan bukit tengkorak. 

Di bukit penyaliban itu, paku-paku ditancapkan ke pergelangan tangan dan kaki-Nya, dan Ia diangkat di salib itu untuk menanggung kematian secara perlahan-lahan akibat asphyxai, yaitu di mana kondisi tubuh tidak memperoleh cukup oksigen untuk menyuplai seluruh tubuh. 

Namun, puncak penderitaan Kristus bukanlah pada waktu ia didera atau saat Ia memikul kayu salib, ataupun saat paku-paku menghujam kedua pergelangan tangan dan kakinya. Puncak penderitaannya di kayu salib ialah ketika Ia berseru memanggil Allah Bapa-Nya, “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). 

Dari kekekalan sampai kekekalan, Yesus Kristus selali bersama dengan Allah Bapa. Tetapi pada peristiwa di kayu salib, Allah Bapa memalingkan wajah-Nya dari Sang Putra, yaitu saat Yesus harus menanggung seluruh dosa manusia. Penderitaan karena wajah Bapa dipalingkan dari-Nya merupakan penderitaan yang jauh lebih berat daripada semua penderitaan yang telah dialami-Nya. Demikian mengerikannya dosa-dosa manusia itu sehingga Allah Bapa pun memalingkan muka-Nya dari Putra Tunggal-Nya. Kasih-Nyalah yang menyebabkan Dia rela menanggung semua derita itu, semua karena kasih-Nya saja. 

Lalu, apakah ada penderitaan dan kematian lain dengan siksaan dan perubahan bentuk tubuh yang sangat buruk seperti yang dialami Yesus? Rasanya sulit untuk dibayangkan. Tetapi sekalipun ada yang demikian, tidak ada manusia yang pernah harus menderita dalam cara yang baru saja digambarkan di atas, sementara pada waktu yang sama memikul sendiri beban semua dosa, pemberontakan, dan pelanggaran seluruh umat manusia. Dengan cara ini, “beban” yang dipakukan ke salib itu jauh lebih berat dari pada beban satu manusia. Beban di salib yang ditanggung Yesus, yaitu dosa dan pemberontakan manusia, lebih berat ketimbang penderitaan-Nya sendiri. 

Kematian Kristus di kayu salib nampaknya bukan hanya merupakan suatu tontonan yang mengerikan, tetapi juga suatu penghinaan dan penolakan yang besar yang dilakukan manusia terhadapNya. Sehingga mungkin saja Iblis berpikir bahwa ia telah menggagalkan rencana penyelamatan Allah melalui kematian Kristus di salib. Namun ternyata hari Jumat Agung itu menjadi hari yang paling menentukan dan bersejarah di dalam sejarah penyelamatan Allah, karena pada waktu itu Iblis telah melakukan suatu kesalahan besar dengan menghasut orang-orang untuk menyalibkan Yesus. 

Justru di kayu salib itu Yesus mengalahkan Iblis dan menghancurkan pekerjaan-Nya (1 Yohanes 3:8). Di kayu salib itu Kristus memberikan “Pukulan Hebat Di kepala (PHD)” si ular tua, yaitu Iblis. Di kayu salib itu ketika Yesus mati bagi dosa-dosa kita (1 Korintus 15:1-4), rohNya turun ke alam maut di mana Ia mengalahkan Iblis dalam alam rohani (Efesus 4:8-9). 

Yesus telah mengalahkan setan sepenuhnya, permanen, selamanya dan tidak dapat dibatalkan (Kolose 2:15). Sejak saat itu, tidak ada yang Iblis dapat lakukan lagi untuk mengubah fakta bersejarah ini. Satu-satunya yang dapat dilakukan Iblis saat ini adalah menipu manusia untuk berpaling dari Injil kepada injil lain, filsafat manusia dan ajaran setan-setan. Itulah sebabnya jika kita berusaha melawan Iblis diluar dasar salib, kita akan dikalahkan. 

Tetapi jika kita melawannya dengan berdiri di atas karya salib Kristus, kita akan menang. Selain itu melalui kematian Yesus di salib itu, kuasa supranatural dilepaskan yang memampukan kita untuk bebas dari cengkeraman dosa dan setan sehingga kita bisa diselamatkan, disembuhkan, dibebaskan, dan diubahkan. Berdasarkan inilah kita bisa mengerti mengapa rasul Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus bahwa ia tidak ingin mengetahui atau memberitakan apa pun kecuali salib, dan bahwa ia tidak ingin mendengar perspektif lain atau ajaran baru lainya, tetapi hanya Kristus yang disalibkan saja (1 Korintus 2:2). 

ALASAN BANYAK ORANG KRISTEN TIDAK TAHU TENTANG MANFAAT SALIB 

Masih banyak orang Kristen tidak mengetahui tentang manfaat salib. Alasan utamanya adalah karena musuh telah meluncurkan suatu serangan ganas terhadap pengetahuan kita akan salib. Iblis ingin memudarkan Injil Kristus dengan doktrin-doktrin manusia yang tidak menghasilkan kuasa. Saat ini kita dapat lihat adanya serangan yang hebat terhadap ajaran yang sehat dari Injil yang murni. Ada upaya dan ajakan untuk berpaling dari Injil kepada filsafat-filsafat manusia dan ajaran-ajaran setan (1 Timotius 4:1). 

Ajaran-ajaran ini lebih berdasarkan pemikiran alami ketimbang ilahi; lebih berfokus pada mencoba mengubah orang-orang dengan kekuatan manusia dan pertimbangan pikiran daripada mengandalkan hikmat dan kekuatan Allah yang ada pada Injil (1 Korintus 1:22-24). Akibatnya, perubahan apa pun yang terjadi dalam hidup orang-orang yang yang bukan disebabkan oleh kuasa dan hikmat Allah di dalam Injil, hanyalah perubahan sementara dan segera akan memudar. 

Namun, alasan lain yang tidak kalah pentingnya mengapa banyak orang Kristen tidak banyak mengetahui manfaat salib adalah karena banyak pemimpin gereja tidak memiliki waktu mengkhotbahkan atau mengajarkan Injil; mereka jarang berbicara tentang manfaat dan efek dari karya Yesus yang sudah tuntas itu bagi kita. 

Sesungguhnya, manfaat dan dampak kematian Kristus tak terhingga bagi kita. Namun sayangnya, ketimbang mengkhotbahkan pesan Injil yang mengubahkan dan membebaskan itu, justru ada banyak pendeta dan pengkhotbah yang telah berpaling kepada pidato, politik, etika, khotbah motivasi dan inspirasional, serta lebih kecenderungan mengkhotbah teologi sosial dan kemakmuran. 

Sebagian dari mereka mungkin telah menganggap bahwa Injil adalah doktrin tidak berguna lagi dan ketinggalan zaman. Karena itulah rasul Paulus mengingatkan “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Timotius 4:3). 


Ketika berita salib yang dinamis dari Injil yang murni diganti dengan pesan “pertolongan terhadap diri sendiri dari Injil lain yang lebih populer dan menarik perhatian orang-orang, maka gereja Kristen akan segera kehilangan kuasa supranaturalnya. Pesan motivasi dan inspirasional yang dirangkai dengan kata-kata manis mungkin saja baik bagi emosi manusia, tetapi itu tidak dapat mengubah hati. Hanya Injil yang secara radikal dan penuh kuasa mampu mengubah hati manusia, dan itu terjadi ketika salib diberitakan. 

John Piper, pemimpin gereja baptis yang terkemuka saat ini mengingatkan, “Di antara kaum Injili hari ini, ada cara-cara lain yang secara efektif merendahkan kuasa dan otoritas khotbah yang Alkitabiah. Ada epistemonologi-epistemonologi subjektif yang merendahkan pernyataan proporsional. Ada teori-teori linguistik yang mengembangkan admosfir eksegetis yang ambigu. Dan ada relaivisme kultural yang populer, yang memungkinkan bagi jemaat untuk membuang sekehendaknya pengajaran Alkitabiah yang dirasakan tidak nyaman oleh mereka”.[2]

 Selanjutnya John Piper mengatakan, “Dimana hal-hal semacam ini berakar, Alkitab akan dibungkam dalam gereja, dan khotbah akan menjadi sebuah refleksi tentang isu-isu terkini dan opini-opini agamawi. Tentu saja bukan ini yang Paulus maksud ketika ia berkata kepada Timotius, ‘Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”.[3] 

Hal senada dikatakan oleh Guillermo Maldonado, seorang pemimpin Kharismatik terkemuka saat ini, “Jika kita tidak berhati-hati, kepercayaan dan pengajaran kita akan beralih dari kuasa kebenaran Allah menjadi teori tanpa kuasa. Filsafat buatan manusia terkadang memasukkan ide-ide yang menggerakkan semangat dan informasi yang sangat menarik, tetapi mereka pada akhirnya tidak berjiwa dan tidak bernyawa karena sekali lagi, mereka tidak mampu menghasilkan perubahan yang bertahan. 

Pesan salib mungkin bukan pesan paling populer pada saat ini, tetapi itu adalah kebenaran kekal; itu diberikan untuk semua orang di sepanjang masa... dan itu mendatangkan hasil yang langgeng”.[4] Perkataan John Piper dan Guillermo Maldonado tersebut di atas sesungguhnya merupakan teguran yang positif dan tepat bagi para pemimpin gereja, pendeta, pengkhotbah dan pengajar Alkitab masa kini. 

ASPEK-ASPEK DASAR SALIB KRISTUS 

Perlu bagi kita untuk memiliki pengertian yang jelas tentang apa yang Yesus telah capai melalui kematiannya di kayu salib. Berikut ini empat aspek dasar (esensial) dari salib Kristus yang harus diketahui. 

1. Kaya Kristus di kayu salib adalah ekspresi tertinggi dari kasih Allah. 

Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah menyediakan jalan untuk menyelamatkan manusia. Dengan kasih-Nya yang besar dan dalam berbagai cara serta tindakan-Nya, Allah menyatakan keselamatan dari-Nya (Ibrani 1:1,2). Perjanjian keselamatan[5] pertama diberikan kepada manusia sebagaimana tertulis dalam Kejadian 3:15. Ayat ini dikenal dengan istilah “protevangelium” karena merupakan nubuat pertama dari kabar baik tentang Kristus.[6] Selanjutnya Allah membuat perjanjian dengan Nuh, Abaraham, Musa dan Daud. Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa melalui keturunannya keselamatan sampai kepada bangsa-bangsa lain. 

Allah berjanji bahwa Mesias7 akan lahir dari keturunan Daud. Perjanjian itu telah digenapi oleh Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib. Dengan demikian, keselamatan itu berpusat pada karya Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib sebagai pernyataan kasih Allah yang terbesar (Yohanes 3:16). Allah telah memberikan pemberian terbesar (the greatest gift). 

Kata Yunani yang terjemahkan dengan “mengaruniakan” dalam Yohanes 3:16 adalah “edoken”, yaitu kata kerja aktif yang berarti “memberikan, menyerahkan, atau mengorbankan”. Saat Kristus diberikan kepada kita, Kristus diberikan sebagai korban untuk menghapus dosa dunia. Yohanes Pembaptis berkata, “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). 

Allah mengorbankan Anak-Nya sendiri merupakan demonstrasi tertinggi kasih-Nya bagi manusia. Rasul Paulus menyatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Ketika kita masih berdosa, Kristus mati bagi kita! Kita yang berdosa adalah kita yang penuh kesombongan, egois, kepahitan, penuh dendam, gosip, memfitnah, memandang rendah, penuh kebencian, hujat, serakah, sumpah serapan, iri hati, tidak adil berdusta, menipu, mencuri, membunuh, memperkosa, dan seterusnya. 

Ketika kita masih berdosa itulah Kristus telah mati untuk kita. Bahkan dalam keadaan jatuh kita sebagai orang berdosa dengan hati memberontak terhadap Dia, Allah memilih mengasihi kita dengan kasih-Nya yang tak bersyarat (Bandingkan Efesus 1:4). Ekspresi kasih-Nya yang pertama dan tertinggi adalah pengorbanan Kristus di kayu salib bagi kita. Salib adalah pengingat konstan bahwa Allah mengasihi kita! 

2. Karya Kristus di salib sudah tuntas dan sempurna. 

Rasul Yohanes menuliskan demikian, “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawaNya” (Yohanes 19:30). Ketika disalib sebelum mati Yesus berkata “sudah selesai” (Yohanes 19:30). Ini adalah kata yang paling berkuasa yang pernah Yesus ucapkan. 

Kata “sudah selesai” adalah kata Yunani “τετελεσται - tetelestai” ini berasal dari kata kerja τελεω – teleô, artinya "mencapai tujuan akhir, menyelesaikan, menjadi sempurna”. Kata ini menyatakan keberhasilan akhir dari sebuah tindakan. Paul Enns menyatakan, “Karya Kristus sesuai dengan tujuanNya datang ke dunia, digenapkan dalam Yohanes 19:30. 

Setelah enam jam di atas kayu salib Yesus berseru ‘sudah selesai!’ (Yunani: Tetelestai). Yesus tidak mengatakan ‘saya telah selesai!’, tetapi ‘sudah selesai!’. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepadaNya; karya keselamatan telah diselesaikan. Tensa bentuk lampau dari kata kerja ‘tetelestai’ dapat diterjemahkan ‘hal itu akan tetap selesai’, artinya pekerjaan itu untuk selamanya selesai dan akibat dari selesainya pekerjaan itu terus berlaku”.[7] 

Perlu ditambahkan, bahwa tetelestai adalah kata yang biasa diucapkan oleh seorang pemahat sewaktu ia selesai memahat sebuah patung. Sambil mengamati kembali hasil karyanya sang pemahat akan berulang-ulang berkata “tetelestai”. Artinya yang dikehendakinya tercapai secara tuntas.[8] 

Pernyataan Yesus ini melebihi suatu fakta. Ini adalah kebenaran yang harus diketahui oleh orang-orang percaya. Karya Kristus di kayu salib itu sudah tuntas, genap, sempurna dan permanen (tak dapat diubah). Tidak perlu ada ruang bagi perdebatan atau argumen tentang kebenaran ini. Tetelestai ini merupakan seruan kemenangan Yesus di kayu salib. 

Guillermo Maldonado mengatakan, “Pada waktu Ia membuat pernyataan ini, setiap kutuk manusia dipatahkan. Depresi, kemiskinan, penyakit, semua kuasa dosa dan maut ditiadakan”.[9] Selanjutnya ia mengatakan, “Jika Anda tahu bahwa karya Yesus sudah selesai. Anda tidak akan duduk dan menunggu, anda akan bertindak hari ini. 

Terimalah keselamatan anda, kesembuhan anda, kelepasan anda, transformasi anda, kebehasilan anda, atau mujizat anda sekarang”. Kristus telah melakukan hal-hal dimana tidak dapat dilakukan oleh siapapun selain Allah. Karena kasihNya, Ia yang tidak berdosa rela menjadi dosa karena kita, supaya kita dibenarkan olehNya (1 Korintus 5:21).[11] 

Yesus mati di salib untuk dosa-dosa kita supaya kita diselamatkan dan oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh (1 Petrus 2:22-24). Karena pengorbanan Kristus kita orang berdosa menjadi orang benar, yang sebenarnya mengalami kematian kekal menjadi mendapat hidup kekal, dari musuh Allah kini kita diangkat menjadi anak-anak Allah yang berhak menjadi waris bersama dengan Kristus dalam kerajaan surga. 

3. Karya Kristus di salib memberikan penyediaan total bagi manusia. 


Segala sesuatu yang kita butuhkan bagi masa lalu, bagi masa kini, bagi masa depan, dan bahkan bagi kekekalan telah Kristus sediakan melalui kematian-Nya di kayu salib. Bambang Wijaya, seorang pemimpin Kharismatik di Indonesia mengatakan, “Di kayu salib semua dosa kita telah diselesaikan secara tuntas. Di sana semua hukuman dosa yang seharusnya ditimpakan kepada kita telah ditanggung-Nya secara tuntas. 

Hal yang kita perlukan untuk keselamatan kita telah dibayar-Nya secara lunas. Semua penderitaan dan kebutuhan kita telah diselesaikan-Nya di kayu salib”[12].Segala yang kita perlukan hari ini, Yesus telah menyediakan solusinya melalui salib, kita hanya perlu menerimanya dengan iman. Ketika kita mengabaikan karya salib Kristus yang sudah tuntas bagi kita, hal itulah yang menyebabkan kita tidak menerima penyediaan total karya salib itu. 

Kita sering diajar secara salah bahwa karya salib Kristus hanya berurusan dengan penerimaan keselamatan, tetapi tidak berhubungan dengan menjalani kehidupan kita selanjutnya. Sampai kita memandang pada Salib, kita akan selalu mencari cara-cara lain untuk menyelesaikan masalah-masalah kita dan masalah-masalah dunia. 

Tidak ada cara lain, tidak ada sumber lain, yang akan membawa kita kepada kelepasan penuh dan bertahan selain salib saja. Jika memang ada, maka pengorbanan Kristus tidak akan diperlukan. Tidak ada apa pun selain karya Kristus saja yang bisa menyelamatkan, menyembuhkan dan membebaskan. Melalui karya salib, Kristus telah membuat penyediaan penuh bagi semua kebutuhan kita. Karena itu jika orang percaya kekurangan sesuatu, itu karena mereka kurang pengetahuan tentang karya salib yang telah tuntas itu. 

4. Karya Kristus di salib Kita menerima warisan rohani kita. 

Melalui salib, kita menerima warisan rohani kita berdasarkan Perjanjian Baru kita dengan Allah di dalam Kristus. Rasul Paulus mengatakan, “Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama. Sebab di mana ada wasiat, di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat itu. Karena suatu wasiat barulah sah, kalau pembuat wasiat itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat itu masih hidup” (Ibrani 9:15-17). 

Melalui kematian Kristus di kayu salib, warisan rohani kita yang menjadi kehendak Allah bagi kita diaktifkan, yaitu keselamatan, kesembuhan, kelepasan, dan berkat-berkat materi. Hutang dosa kita telah dibayar lunas, sehingga kita dipindahkan dari perbudakan dosa kepada Allah. Di kayu salib telah terjadi pertukaran kemiskinan kita dengan kekayaan kekal Yesus yang dimanifestasikan secara rohani maupun jasmani. 

Rasul Paulus menuliskan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga” (Efesus 1:3). Kehendak Allah telah ditetapkan di salib bahwa kita adalah waris bersama dengan Kristus, sepeti yang dikatakan Rasul Paulus, “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah” (Galatia 4:7). Kita hanya perlu percaya dan menerima apa yang Yesus telah selesaikan bagi kita. 

REFERENSI: 

[1] Sebagian dari materi ini diadopsi dari bab 17 buku Pelepasan Supranatural kaya Maldonado, Gullermo. [2] Piper, John., 2009. Supremasi Allah Dalam Khotbah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 28. [3] Ibit, hal. 29. [4] Maldonado, Gullermo., 2016. Pelepasan Supranatural. Terjemahan penerbit, Laight Publising: Jakarta, hal 267. [5] Kata Perjanjian merupakan terjemahan kata Ibrani BERIYTH sedangkan kata Yunaninya adalah DIATHEKE dan SUNTITHEMAI. Dalam Alkitab kata Perjanjian (covenant) mengacu pada suatu perjanjian atau kontrak antara sesama manusia, atau antara Allah dengan manusia. Dalam banyak kasus apabila sebuah perjanjian diadakan antara Allah dan manusia, Allah terlihat sebagai Inisiator/pihak yang memberi inisiatif. [6] Nubuat itu menekankan tiga hal yaitu: (1) Mesias atau Penyelamat yang akan datang adalah keturunan perempuan. Dengan demikian disini kelahiran Juruselamat dari seorang perawan diramalkan karena ayat ini menujuk pada “benih perempuan” yaitu Krisus yang lahir dari anak dara, Maria (Bdk. Matius 1:16); (2) akan ada permusuhan antara ular (Iblis) dan keturunan perempuan (Mesias); (3) Mesias atau Juruselamat itu akan mengalahkan si ular, tetapi dengan melakukan hal tersebut Mesias itu sendiri harus mengalami penderitaan. Perjanjian itu telah digenapi oleh Kristus melalui kematianNya di kayu salib. [7] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 167. [8] Wijaya, Bambang., 2009. Unfailing Hope. Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 161. [9] Maldonado, Gullermo., Pelepasan Supranatural, hal 281. [10] Ibid, hal. 281-282. [11] Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak berhubungan dengan dosa. Alkitab menandaskan bahwa Yesus “tidak mengenal dosa” (2 Korintus 5:21); dan bahwa Ia adalah “yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa” (Ibrani 7:26); dan bahwa “di dalam “Dia tidak ada dosa” (1 Yohanes 3:5). Pada saat memberitahukan bahwa Maria akan melahirkan Anak Allah, Gabriel menyebutkan Yesus sebagai "kudus" (Lukas 1:35). Iblis tidak berkuasa apa-apa atas diri Yesus (Yohanes 14:30); ia tak ada hak apa pun atas Anak Allah yang tidak berdosa itu. Dosalah yang membuat Iblis berkuasa atas manusia, tetapi di dalam Yesus tidak ada dosa. Alkitab menyatakan, walaupun Kristus dapat dicobai, namun Ia tidak dapat berbuat dosa sebab Ia tidak memiliki tabiat dosa (Ibrani 4:15). Sifat kemanusiaan Kristus memang dapat dicobai, tetapi sifat keilahian Kristus tidak dapat dicobai, karena Alkitab mengatakan Allah tidak dapat dicobai (Yakobus 1:13).Pencobaan-pencobaan yang datang kepada Yesus menunjukkan bahwa Ia benar-benar memiliki sifat manusia (Matius 4:1-11). Tetapi meskipun sifat kemanusiaanNya dapat dicobai, namun Kristus tidak dapat jatuh ke dalam dosa. Mengapa? Karena selain Ia tidak memiliki benih dosa di dalam diriNya, sifat kemanusiaanNya telah menyatu dengan sifat keilahianNya, dan dengan demikian kekudusanNya tersebut tidak dapat dipengaruhi atau dirusak oleh dosa dan faktor faktor duniawi lainNya. [12] Wijaya, Bambang., Unfailing Hope, hal. 161. 
Next Post Previous Post