KASIH KARUNIA: KEKUATAN YANG MEMAMPUKAN ORANG KRISTEN UNTUK HIDUP BAGI ALLAH

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
KASIH KARUNIA: KEKUATAN YANG MEMAMPUKAN ORANG KRISTEN UNTUK HIDUP BAGI ALLAH
KASIH KARUNIA: KEKUATAN YANG MEMAMPUKAN ORANG KRISTEN UNTUK HIDUP BAGI ALLAH -“(Galatia 2:19) Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; (2:20) namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. (2:21) Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus” (Galatia 2:19-21)

PENDAHULUAN: 

Jemaat Galatia adalah jemaat yang berada di kota-kota di bagian selatan Galatia yaitu antara lain: Antiokhia, Pisidia, Ikonium, Listra dan Derbe Jemaat dirintis oleh Paulus dan Barnabas dalam perjalanan misi Paulus yang pertama (Bandingkan: Kisah Para Rasul 13-14). 

Persoalan utama di dalam jemaat Galatia dimulai saat beberapa orang pengajar Yahudi Kristen menghasut dan mempengaruhi (Galatia 2:4; 3:1; 5:12) orang-orang Kristen yang masih baru di Galatia untuk kembali ke legalisme hukum Taurat dengan cara memaksa mereka agar disunat dan mengikat diri dengan hukum Taurat sebagai syarat utama untuk diselamatkan dan menjadi anggota gereja (Galatia 5).

Menanggapi masalah tersebut, Paulus menyampaikan ajaran dan pendiriannya (Galatia 1:11) dengan nada apologetis yang tegas dan tajam bahwa: 

(1) Satu-satunya syarat untuk selamat adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; 

(2) syarat-syarat yang dituntut hukum Taurat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kasih karunia Allah dalam Kristus untuk keselamatan (Galatia 5:1-6); 

(3) Orang diselamatkan dan menerima hidup kekal hanya oleh iman kepada Yesus Kristus, dan bukan oleh ikatan hukum Taurat (Galatia 2:16). 

Bahkan dalam konsili pertama gereja di Yerusalem, Paulus hadir dan kembali menegaskan pendiriannya tersebut hingga akhirnya konsili tersebut menghasilkan keputusan resmi bagi penyelesaian masalah tersebut (Kisah Para Rasul 15; Galatia 2:1-14). 

Dengan demikian surat Galatia ini merupakan surat pertama rasul Paulus yang ditulis kira-kira tahun 49 M, sebelum konsili pertama di Yerusalem tersebut dengan tujuan menangani doktrin soteriologis yang salah tentang syarat keselamatan, yaitu berdasarkan perbuatan (legalisme) dengan menunjukkan yang benar, yaitu berdasarkan kasih karunia.

PENGERTIAN KASIH KARUNIA

Kasih karunia dipakai sebagai terjemahan bahasa Ibrani “חן - khen”. Kata ini berarti perbuatan seorang atasan yang menunjukkan kebaikan kepada bawahannya padahal sebenarnya bawahan itu tidak layak menerimanya. Kasih karunia adalah pemberian Allah kepada manusia padahal manusia tidak pantas untuk menerimanya. Kata ini misalnya digunakan dalam Kejadian 6:7, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia (khen) di mata TUHAN”. Keluaran 33:17, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Juga hal yang telah kaukatakan ini akan Kulakukan, karena engkau telah mendapat kasih karunia di hadapan-Ku dan Aku mengenal engkau”.

Kata Yunani “χαρις - kharis” adalah kata benda yang biasa dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani “khen”. Kata “kharis” yang secara umum berarti “pemberian, hadiah, anugerah, kemurahan hati, dan karunia”. 

Dalam Perjanjian Baru kata kasih karunia atau anugerah ini dihubungkan dengan keselamatan dari Allah bagi manusia. Misalnya, Petrus dalam sidang pertama di Yerusalem mengatakan “Sebaliknya, kita percaya, bahwa oleh kasih karunia (kharitos) Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga” (Kisah Para Rasul 15:11). 

Paulus mengatakan dalam Efesus 2:5-7 “telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia (khariti) kamu diselamatkan -- dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya (kharitos autou) yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. Kepada Titus, Paulus juga menuliskan “Karena kasih karunia (kharis) Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Titus 2:11).

Istilah “kasih karunia” seringkali oleh beberapa orang disamakan dengan “belas kasihan”. Pengertian dari dua istilah ini seharusnya dibedakan. Anugerah, disebut juga kasih karunia (grace) adalah pemberian Allah yang tidak selayaknya diberikan kepada kita karena kita tidak pantas untuk menerimanya. 

Sedangkan belas kasihan (mercy), yang disebut juga rahmat adalah tindakan Allah yang tidak memberikan kepada kita apa yang sepatutnya kita terima, yaitu penghakiman dan ke neraka untuk selama-lamanya. Allah yang kaya dengan rahmatNya, Ia menahan murkaNya, dan sebaliknya memberi kita anugerahNya (Efesus 2:4). 

Jadi kasih Allah yang besar itu, dinyatakan dalam kemurahanNya melalui dua pemberian, yaitu kasih karunia dan rahmat. Perbedaan itu dapat digambarkan demikian, “Jika seseorang membunuh anak laki-laki anda dan dihukum mati, dan anda membiarkan hukuman berlaku itu adalah keadilan. 

Jika anda menyatakan supaya si pembunuh jangan dihukum mati, itulah belas kasihan atau rahmat. Jadi si pembunuh tidak menerima apa yang seharusnya dia terima karena kejahatannya. Namun, jika anda membawa si pembunuh anak anda itu ke rumah anda dan mengadopsinya sebagai anak anda, dan memberi dia seluruh kasih dan hak-hak istimewa serta warisan yang akan anda berikan kepada anak anda, itu kasih karunia atau anugerah.”

AJARAN YANG BENAR TENTANG KASIH KARUNIA

Kasih karunia pertama-tama muncul setelah Kejatuhan, tampak dalam janji Allah mengenai seorang Penebus (Kejadian 3:15). Kemudian, kasih nyaris didefinisikan Allah ketika Ia menjelaskan diri-Nya kepada Musa sebagai “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6). 

Kasih Karunia memperoleh bentuknya yang sempurna pada Perjanjian Baru, di dalam Yesus Kristus, Penebus yang dijanjikan Allah. Yohanes mengatakan “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:14). 

Frase Yunani “penuh kasih karunia dan kebenaran” adalah “plêrês kharitos kai alêtheias” yang diterjemahakan dengan “penuh anugerah dan kebenaran”. Selanjutnya Yohanes mengatakan, “sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia (kharis) dan kebenaran (alêtheia) datang oleh Yesus Kristus” (Yohanes 1:17).

Rasul Paulus menegaskan pentingnya hidup di dalam kasih karunia dengan berkata, “kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia”(Galatia 5:4). Bagi orang percaya, pembenaran tidak lagi tergantung kepada kepatuhannya terhadap hukum Taurat (legalisme), baik secara keseluruhan maupun sebagian (parsial) tetapi berdasarkan kasih karunia dalam Kristus (Roma 5:21; Efesus 2:8-9). 

Dalam Galatia 3:11, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa tidak seorangpun akan dibenarkan dengan mematuhi hukum Taurat, termasuk sepuluh perintah. Pembenaran dalam Perjanjian Lama berdasarkan perbuatan ketaatan pada hukum Taurat, tetapi pembenaran dalam Perjanjian Baru berdasarkan kasih karunia dalam Kristus. 

Ajaran tentang pembenaran berdasarkan anugerah dan iman merupakan ajaran yang sangat penting dalam Kekristenan karena ajaran ini membedakan Kekristenan dari agama lain yang menekankan keselamatan berdasarkan perbuatan. Rasul Paulus dengan tegas menolak para pengajar Yahudi Kristen yang menghasut dan mempengaruhi orang-orang Kristen yang masih baru di Galatia agar kembali ke legalisme hukum Taurat dengan cara memaksa mereka agar disunat dan mengikat diri dengan hukum Taurat sebagai syarat utama untuk diselamatkan dan menjadi anggota gereja (Galatia 5). 

Paulus menyampaikan ajaran dan pendiriannya bahwa satu-satunya syarat untuk selamat adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Galatia 2:16).; dan bahwa syarat-syarat yang dituntut hukum Taurat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kasih karunia Allah dalam Kristus untuk keselamatan (Galatia 5:1-6).

Injil kasih karunia adalah pesan yang konsisten dalam pemberitaan dan pengajaran rasul Paulus. Dalam Kisah Para Rasul, Lukas mencatat demikian, “Paulus dan Barnabas tinggal beberapa waktu lamanya di situ. Mereka mengajar dengan berani, karena mereka percaya kepada Tuhan. Dan Tuhan menguatkan berita tentang kasih karunia-Nya (tô logô tês kharitos autou) dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat” (Kisah Para Rasul 14:3). 

 Selanjutnya Lukas juga mencatat pengakuan rasul Paulus demikian, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (diamarturasthai to euaggelion tês kharitos tou theou)” (Kisah Para Rasul 14:3).

Rasul Paulus menyebutkan adanya Injil lain yang berbeda dari Injil kasih karunia yang diberitakannya (Galatia 1:6-7). Terhadap hal tersebut rasul Paulus sangat marah sehingga ia menyatakan, “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah (anathema ) dia. 

Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah (anathema ) dia”(Galatia 1:8-9). 

Kata Yunani “anathema (αναθεμα)” disini berarti “dihukum untuk binasa dan akan menerima murka Allah”. Paulus hanya dua kali menyebut anathema ini, yaitu dalam hubungannya dengan orang yang tidak mengasihi Tuhan (1 Korintus 16:22) dan orang yang memutarbalikan Injil (Galatia 1:8-9). Kepada mereka yang memberitakan Injil yang lain dari yang telah diberitakan Paulus sebagaimana yang dinyatakan oleh Kristus kepadanya, rasul Paulus megaskan bahwa hukuman (anathema) Allah ada ada orang tersebut.

Pertanyaannya ialah: Apakah Injil kasih karunia yang diberitakan Paulus itu? Berdasarkan Roma 1:16-17; 4:23-25; 1 Korintus 15:1-4; Galatia 1:12, bahwa karakteristik dan signifikansi Injil yang diberitakan Paulus adalah sebagai berikut: 

Pertama, karakteristik dari Injil kasih karunia itu adalah bahwa “injil itu adalah kekuatan Allah; Injil itu menyelamatkan; Injil itu adalah kebenaran Allah; Injil itu mengajarkan tentang orang yang benar hidup oleh iman; dan Injil itu adalah pernyataan Yesus sendiri” (Roma 1:16-17; Galatia 1:12). 

Kedua, signifikansi dari Injil kasih karunia itu adalah berita (kabar) bahwa “Yesus diserahkan untuk menerima hukuman mati atas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh kita manusia; Allah telah membangkitkan Kristus kemnbali dari antara orang mati; Kita akan dibenarkan (dinyatakan benar) dihadapan Allah apabila kita percaya akan berita mengenai kematian dan kebangkitan Yesus demi umat manusia itu; dan bahwa Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita, telah dikuburkan, dan Ia bangkit kembali pada hari yang ketiga” (Roma 4:23-25; 1 Korintus 15:1-4). 

Jika kita gabungkan ayat-ayat di atas maka kita akan menemukan fakta-fakta dasar yang diberitakan rasul Paulus dalam Injil kasih karunia yang menyelamatkan itu, sebagai berikut : 

(1) Kristus telah diserahkan oleh Allah Bapa untuk menerima hukuman mati (di kayu salib) atas dosa-dosa yang telah kita lakukan (disini terjadi karya pendamaian, penggantian, penebusan, pengampunan dan pembenaran); 

(2) Kristus telah dikuburkan; 

(3) Allah membangkitkan Dia dari antara orang-orang mati pada hari yang ketiga; 

(4) Kita akan menerima kebenaran (dibenarkan oleh) Allah apabila kita percaya akan semua fakta ini. Inilah fakta penting dan sederhana; tidak perlu ada embel-embel dan tambahan lainnya dari berita Injil yang menyelamatkan. Inilah Injil kasih karunia! 

Lalu, apakah ciri-ciri dari ajaran kasih karunia yang benar itu? 

Pertama, ajaran kasih karunia yang benar dalam Perjanjian Baru selalu berhubungan dengan Pribadi Kristus dan karyaNya yang sempurna (sudah selesai) di kayu salib. Yesus selalu dimuliakan saat Injil kasih Karunia diberitakan. Tidak ada kasih karunia tanpa Yesus Kristus! Karena itu, tidak ada pengajaran kasih karunia tanpa Yesus Kristus. Kita tidak dapat memisahkan Yesus Kristus dari kasih karunia. Jika ada orang-orang yang mengajarkan kasih karunia terlepas dari Kristus atau dengan kata lain tidak memuliakan Kristus dan karya-karyaNya, itu bukanlah Injil kasih karunia. 

Kedua, dalam Injil kasih karunia, Allah mengubah orang berdosa menjadi orang benar (Roma 3:21-26) dengan cara menjadikan kita benar dalam Kristus (2 Korintus 5:21) dan memberikan anugerah kebenaran kepada orang percaya (Roma 5:17). Pada saat kita menerima Kristus, kita ditempatkan dalam Kristus, dan seketika itu juga kita dibenarkan! Jadi pembenaran bukan karena kita melainkan karena Kristus. Kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita telah memenuhi segala tuntutan Allah, dan kita menerima kebenaran ini dengan iman (Roma 5:1-2). Jadi, kebenaran yang dimiliki orang Kristen adalah anugerah (Roma 5:17). 

Ketiga, dalam Injil kasih karunia, pembenaran orang Kristen (yang diperhitungkan dalam kematian Kristus) dibuktikan oleh kesucian hidup. Artinya, kita yang benar-benar telah diselamatkan (dibenarkan) tentulah akan menunjukkan buah dari kehidupan yang kudus. Perhatikan kata-kata rasul Paulus, “Sebab siapa yang telah mati (harafiah: dibenarkan), ia telah bebas dari dosa” (Roma 6:7). 

Jadi disini rasul Paulus jelas menghubungkan kematian Kristus dengan penghukuman sifat dosa yang dimiliki orang percaya (Baca: Roma 6:1-14). Artinya, kita telah dibebaskan dari dosa, sehingga dosa tidak lagi menguasai kita. Kita diikutsertakan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya. Hal inilah yang sesungguhnya menghasilkan pemindahan kekuasaan kehidupan lama kepada kekuasaan kehidupan baru. 

Kematian terhadap dosa bukanlah sesuatu yang abstrak dan sekedar harapan, melainkan kenyataan, karena Kristus telah mati bagi dosa dan kita diikutsertakan dengan Dia dalam kematianNya itu. Jadi pembenaran akan terlihat dalam kehidupan yang kudus. Iman yang tidak mengasilkan buah (kehidupan) yang kudus (baik) bukanlah iman sejati (Yakobus 2:14-17). Dengan demikian, ajaran tentang kasih karunia yang sejati harus dihubungan dengan kehidupan yang kudus.

Telah ada kekeliruan tentang Injil kasih karunia yang sejati, kekeliruan itu antara lain: 

Pertama, ada yang mengajarkan bahwa injil tidak berurusan dengan dosa. Ajaran ini jelas keliru! Karena, sebenarnya Injil adalah cara Allah menyelesaikan masalah dosa yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia (1 Korintus 15:1-4); 

Kedua, ada yang mengajarkan bahwa kita perlu menyampaikan injil yang berbeda untuk kelompok usia yang berbeda, yaitu Injil untuk lansia, Injil untuk para pemuda, dan Injil untuk anak-anak. Ini jelas keliru! Sebab Alkitab mengajarkan Injil yang sama untuk semua orang (Roma 1:16; Galatia 3:26-28); 

Ketiga, ada yang mengajarkan bahwa Injil akan diterima bila disampaikan dengan kepandaian dan dengan metode tertentu. Ini juga salah dan bertentangan dengan keyakinan rasul Paulus (1 Korintus 1:17-31; 2:4; 4:20); 

Keempat, ada yang menganggap bahwa kita diselamatkan karena perbuatan-perbuatan dan bukan hanya karena percaya pada Injil. Ini juga keliru karena membawa orang Kristen kepada legalisme (Galatia 3:1-8); 

Kelima, ada yang menganggap bahwa baptisan air adalah Injil yang menyelamatkan (1 Korintus 1:17). 

Ini juga keliru karena Alkitab menunjukkan bahwa baptisan air bukanlah anugerah yang menyelamatkan atau pun syarat keselamatan (1 Korintus 1:17). Baptisan air itu penting tetapi bukanlah syarat keselamatan. 

Makna Baptisan air adalah: 

(1) Tanda (kepada) pertobatan (Matius 3:11); 

(2) Tanda ketataan kepada perintah Tuhan, bahwa seseorang telah lahir baru atau telah diselamatkan (Matius 28:18,19); 

(3) Tanda simbolik dari persatuan dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Artinya, orang percaya yang telah lahir baru (atau dibaptis Roh Kudus), telah bersatu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya, dan secara simbolik persatuan tersebut ditunjukkan melalui peristiwa baptisan air (Roma 6); 

(4) Merupakan upacara (inisiasi) masuknya seseorang ke dalam keanggotaan tubuh Kristus yang kelihatan, disebut keanggotaan gereja lokal. 

(5) Merupakan kesaksian bahwa kita telah dimeteraikan dan menerima hidup baru dan mengambil bagian dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Roma 6:3-6). (6) Tanda bahwa kita menjadi pengikut atau murid Kristus yang sah (Matius 28:19,20).

AJARAN YANG SALAH TENTANG KASIH KARUNIA

Ajaran tentang kasih karunia telah disalah mengerti. Ajaran ini oleh beberapa orang dianggap sebagai ajaran murahan karena menekankan keselamatan bukan berdasarkan perbuatan tetapi semata-mata pemberian Allah. Kesalahpahaman ini sebenarnya muncul karena ada ajaran yang keliru tentang kasih karunia dalam Kekristenan. 

Dua pandangan yang mengajarkan secara keliru (sesat) tentang kasih karunia adalah universalisme dan antinominianisme. Orang-orang yang tidak dapat membedakan ajaran kasih karunia yang sejati dari kedua ajaran sesat (universalisme dan antinominianisme) tersebut segera menuduh setiap orang yang mengajarkan ajaran kasih karunia itu sama dengan universalisme atau pun antinominianisme. Disinilah kekeliruannya: menyamakan dan tidak bisa membedakan universalisme dan antinominianisme dari ajaran kasih karunia yang sejati, seperti yang diajarkan dalam Alkitab! Dan inilah akar dari kesalapahaman tersebut.

Pertama, ajaran sesat universalisme. Para pengikut ajaran ini beranggapan bahwa semua orang cepat atau lambat akan diselamatkan. Mereka menyatakan bahwa karena kasih karunia Tuhan maka semua orang akan diselamatkan meskipun semuanya tidak menyadari hal itu. Ajaran yang lebih baru dari universalisme mengajarkan bahwa semua orang saat ini diselamatkan, bahkan tanpa mempercayai Yesus Kristus. 

Universalisme juga mengajarkan bahwa neraka dan penghukuman kekal tidak sesuai dengan sifat kasih dan kemahakuasaan Tuhan. Pandangan ini mengajarkan bahwa pada akhirnya semua orang akan diselamatkan. Pandangan dari universalisme klasik mengajarkan bahwa orang-orang yang telah hidup dengan tidak bertanggung jawab akan dihukum segera setelah kematian, tetapi tidak seorang pun akan dihukum secara kekal. 

Dengan kata lain, penghukuman tersebut bersifat sementara sambil menanti datangnya keselamatan. Sedangkan neo universalismemengajarkan bawa semua orang saat ini diselamatkan, meskipun semuanya tidak menyadari hal itu. Saya menegaskan bahwa ajaran seperti itu adalah adalah dusta dari Iblis. Karena Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan hanya melalui Yesus Kristus (Yohanes 3:16; Kisah Para Rasul 4:12).

Kedua, ajaran sesat antinominianism. Para pengikut ajaran ini beranggapan bahwa kebebasan orang Kristen sama dengan kemerdekaan dari hukum. Antinomianisme secara harafiah berarti anti hukum. Penganut pandangan ini menolak untuk melakukan hukum Allah. 

Kesalahan dari pandangan ini terutama adalah bahwa anugerah dipakai sebagai ijin bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, orang Kristen memang telah dibebaskan dari hukum Taurat dan segala tuntutannya, tetapi bukan dari hukum Allah. Artinya orang Kristen bukanlah hidup tanpa hukum Allah yang mengaturnya karena saat ini mereka hidup berdasarkan hukum Kristus (Galatia 6:2). 

Kita dibebaskan dari hukum Taurat itu. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa kita bebas melanggar hukum Taurat jika kita tidak lagi berada di bawah kekuasaannya? Sama sekali tidak! Dibebaskan dari hukum Taurat oleh Kristus tidak berarti bebas untuk melakukan dosa. 

Dibebaskan dari dosa tidaklah sama dengan bebas berbuat dosa! Karena kita tidak hanya mati bagi hukum Taurat, tetapi juga mati bagi dosa (Roma 6:2). Artinya, kita tidak lagi berada dibawah kekuasaan dosa. Dosa tidak lagi berkuasa atas orang yang percaya, hal ini karena mereka tidak lagi berada dibawah hukum Taurat. Sebab orang yang berada dibawah hukum Taurat, ia juga berada di bawah kekuasaan dosa (1 Korintus 15:56; Roma 7:5-6). 

Jadi, kebebasan Kristen bukan berarti hidup tanpa hukum, sebab setiap orang Kristen akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri dihadapan Tuhan (Roma 14:12). Lawan dari kebebasan adalah perhambaan, dan orang Kristen sejati telah dibawa dari perhambaan dosa menuju suatu kedudukan yang merdeka dari perhambaan tersebut di dalam Kristus (Roma 6:6, 16-22; Galatia 5:1). Lawan dari antinominianisme adalah ketaatan pada hukum. Tetapi, taat pada hukum yang mana? Tentu saja bagi orang Kristen yang dimaksud adalah taat pada hukum Kristus.

HUKUM TAURAT DAN TUJUANNYA

Rasul Paulus dalam Galatia 6:2 mengingat orang Kristen di Galatia agar “anaplêrôsate ton nomon tou khristou (kamu memenuhi hukum Kristus)” dan menegaskan pentingnya hidup didalam kasih karunia dengan berkata, “kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia” (Galatia 5:4). 

Bagi orang percaya, pembenarannya tidak lagi tergantung kepada kepatuhannya terhadap hukum Taurat (legalisme), baik secara keseluruhan maupun sebagian (parsial). Orang Kristen tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah hukum Kristus. Dalam Galatia 3:11, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa tidak seorangpun akan dibenarkan dengan mematuhi hukum Taurat, termasuk sepuluh perintah. Faktanya, begitu kita datang kepada Kristus, kita telah mati bagi hukum Taurat (Roma 7:4-7). 

Kita dibebaskan dari hukum Taurat itu. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa kita bebas melanggar hukum Taurat jika kita tidak lagi berada di bawah kekuasannya? Sama sekali tidak! Dibebaskan dari hukum Taurat oleh Kristus tidak berarti bebas untuk melakukan dosa. 

Dibebaskan dari dosa tidaklah sama dengan bebas berbuat dosa! Karena kita tidak hanya mati bagi hukum Taurat, tetapi juga mati bagi dosa (Roma 6:2). Artinya, kita tidak lagi berada dibawah kekuasaan dosa. Dosa tidak lagi berkuasa atas orang yang percaya, hal ini karena mereka tidak lagi berada dibawah hukum Taurat. Sebab orang yang berada dibawah hukum Taurat, ia juga berada di bawah kekuasaan dosa (1 Korintus 15:56; Roma 7:5-6). Kematian dan kebangkitan Kristus membebaskan kita untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Tuhan.

Pertanyaannya, “apakah hukum Taurat itu dan mengapa hukum Taurat diberikan kepada Orang Israel?” Sejak zaman Adam sampai dengan diturunkannya hukum Taurat, manusia belum pernah memiliki suatu sistem atau perangkat hukum yang diberlakukan oleh Allah (Roma 5:13-14, perhatikan frase “sebelum hukum Taurat” dan frase “dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa”). 

Hukum Taurat diberikan kepada Musa sebagai suatu sistem perundang-undangan yang lengkap dan menyeluruh; Tidak boleh ditambah atau dikurangi (Ulangan 4:1-2). Hukum Taurat adalah satu kesatuan (Yohanes 1:17). Hukum Taurat itu harus dipatuhi secara keseluruhan, bukan sebagian (Yakobus 2:10-11; Galatia 3:10). 

Baik hukum moral, hukum sipil (yudisial), dan hukum seremonial yang dijabarkan oleh orang Yahudi dalam 613 perintah semuanya tanpa terkecuali harus dilakukan. Secara historis, hukum Taurat sebagai seperangkat aturan tidak pernah diberikan Allah kepada orang-orang bukan Yahudi; Hukum Taurat ini khusus diberikan Allah kepada bangsa Israel.

Ada empat tujuan utama mengapa Allah memberikan hukum Taurat, yaitu: 

Pertama, untuk menelanjangi dosa dan memperlihatkan kepada manusia keadaan mereka yang berdosa (Roma 3:19-20; 7:7,12-13); 

Kedua, untuk membuktikan ketidakberdayaan manusia, dimana sebagai orang berdosa menusia tidak dapat membenarkan diri melalui usahanya sendiri (Roma 7:18-23); 

Ketiga, untuk menubuatkan kedatangan Kristus melalui berbagai pola dan tata cara (ulangan 18:18-19: Kisah Rasul 3:22-26); 

Keempat, untuk melindungi dan memelihara Israel. Hukum Taurat itu bermanfaat untuk menjaga keutuhan bangsa Israel sehingga mereka sebagai suatu bangsa walaupun tercerai-berai selama sekian abad. Sampai sekarang bangsa itu masih ada untuk mencapai tujuan istimewa yang direncanakan Allah bagi mereka (Galatia 3:23).

KRISTUS MENGGENAPI HUKUM TAURAT

Rasul Paulus mengatakan bahwa “Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 10:4). Paulus sangat berhati-hati dan cermat dalam memilih kata-katanya dalam ayat ini. Ia tidak berkata bahwa hukum Taurat itu berakhir sebagai sebagian dari Firman Tuhan, karena “Firman Tuhan kekal selama-lamanya” (Mazmur 119:160). 

Kristus pernah mengatakan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Matius 5:17,18). 

Pertanyaannya, “dengan cara bagaimanakah Kristus menggenapi hukum Taurat?” Melalui tiga cara, yaitu: 

Pertama, melalui kehidupanNya yang sempurna Kristus menggenapi hukum Taurat. Ia melakukannya secara pribadi dan mematuhi hukum Taurat secara sempurna dengan kebenaranNya sendiri (Galatia 4:4-5); 

Kedua, melalui kematiannya sebagai korban tebusan. Kematian dan kebangkitan Kristus sebagai korban tebusan untuk memenuhi persyaratan hukum Taurat yang adil dan berkenaan dengan semua orang yang gagal mematuhinya dengan sempurna (1 Petrus 2:22-24); 

Ketiga, Kristus menggenapi hukum Taurat dengan menjadi Juruselamat dan Mesias yang dijanjikan oleh Allah (Yohanes 1:45; Lukas 24:44)

Ketika Paulus berkata bahwa “Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 10:4), maka yang dimaksud Paulus adalah bahwa bagi orang percaya, hukum Taurat itu berakhir sebagai suatu cara untuk mendapatkan kebenaran. Jadi jelaslah bahwa bagi orang percaya, pembenarannya tidak lagi tergantung kepada kepatuhannya terhadap hukum Taurat (legalisme), baik secara keseluruhan maupun parsial (sebagian). 

Kebenaran orang percaya diperoleh bukan karena mematuhi hukum Taurat melainkan hanya karena iman kepada Kristus (Roma 1:16-17; 5:1; Efesus 2:8). Pada waktu seseorang percaya kepada Kristus untuk mendapatkan keselamatan, pada saat itulah hukum Taurat tergenapi dan berakhir sebagai suatu jalan untuk mencapai kebenaran bagi orang itu (Kolose 2:13-14). 

Dalam konteks ayat ini Paulus tidak mengatakan bahwa yang dihapus adalah dosa-dosanya, melainkan “ketentuan-ketentuan hukumnya” atau peraturan-peraturannya. Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan hukum itu adalah seluruh sistem hukum Taurat yang dahulu ditetapkan Allah melalui Musa. Peraturan hukum Taurat itu menjadi penghalang antara Allah dan orang-orang yang melanggar peraturan itu sehingga harus “dihapuskan” terlebih dahulu, termasuk bagian yang disebut sepuluh Hukum. Ini jelas ditegaskan oleh Paulus dalam Kolose 2:16. 

Ketika sabat dibatalkan berarti semua hukum yang lain dibatalkan karena hukum Taurat itu adalah satu kesatuan (Yakobus 2:10-11; Galatia 3:10). Melalui kematianNya di kayu salib sebagai korban tebusan, Yesus Kristus telah membatalkan atau menghapus hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya (Efesus 2:14-15). 

Kata Yunani “telah membatalkan” adalah “katarghésaz” berasal dari kata “katargeó” yang berarti “membuat tidak berlaku lagi”. Frase “hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya” menunjukkkan dengan jelas bahwa seluruh sistem hukum Taurat Musa, termasuk sepuluh Hukum telah dibatalkan sebagai suatu sarana menuju kebenaran oleh karena Kristus telah mati dikayu salib. 

Jadi, supaya manusia dapat memperoleh kebenaran maka Yesus menghapus hukum Taurat dengan sekaligus membayar hukuman mati yang dijatuhkan oleh hukum Taurat itu, untuk semua orang yang berada dibawah hukum Taurat.

ORANG KRISTEN BERADA DALAM HUKUM KRISTUS

Berdasarkan penjelasan di atas perlu ditegaskan kembali bahwa kebenaran orang Kristen diperoleh bukan karena mematuhi hukum Taurat melainkan hanya karena iman kepada Kristus (Roma 1:16-17; 5:1; Efesus 2:8). Berkaitan dengan keselamatan ini ada dua ekstrem sesat yang harus ditolak oleh orang Kristen, yaitu antinominianisme dan legalisme. 

(1) Antinomianisme secara harafiah berarti anti hukum. Penganut pandangan ini menolak untuk melakukan hukum Allah. Kesalahan dari pandangan ini terutama adalah bahwa anugerah dipakai sebagai ijin bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, orang Kristen memang telah dibebaskan dari hukum Taurat dan segala tuntutannya, tetapi bukan dari hukum Allah. Artinya orang Kristen bukanlah hidup tanpa hukum Allah yang mengaturnya karena saat ini mereka hidup berdasarkan hukum Kristus. 

(2) Legalisme secara harafiah adalah lawan dari antinomianisme. Legalisme meninggikan hukum lebih dari anugerah. Pandangan ini meninggikan tradisi manusia menjadi sederajat dengan hukum Allah. Legalisme memaksa orang Kristen mengikat diri dengan hukum Taurat sebagai syarat utama untuk diselamatkan dan menjadi anggota gereja (Galatia 5). 

Kedua ekstrim sesat ini harus ditolak. Kebebasan Kristen bukan berarti hidup tanpa hukum, sebab setiap orang Kristen akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri dihadapan Tuhan (Roma 14:12). Dengan demikian, menjadi orang Kristen bukan berarti hidup tanpa hukum atau peraturan (antinomianisme), melainkan hidup dalam hukum Kristus (Galatia 6:2), yaitu kasih karunia (Roma 6:14).

Lalu, apakah hukum Kristus itu? Hukum Kristus berbeda dengan hukum Taurat. Hukum Kristus bukanlah kelanjutan dari hukum Taurat. Hukum Kristus adalah hukum kasih karunia. Hukum ini terdiri dari beberapa perintah baru (1 Timotius 4:4), beberapa perintah lama (Roma 13:9); dan beberapa perintah yang telah diperbaharui (Roma 13:4). Hukum kasih karunia mengajarkan etika, moral dan spiritual yang jauh melampaui hukum Taurat, karena hukum ini diukir dan ditulis oleh Roh Kudus dalam hati kita (2 Korintus 3:4-8).

Jadi pada dasarnya ialah, “kita tidak berada dibawah hukum Taurat; kita berada dibawah kasih karunia”. Kehidupan Kristen bukanlah tentang mematuhi peraturan tetapi tentang mengikut Kristus dengan iman (Bandingkan Kolose 2:20-23; Galatia 2:20-21). Apakah hal ini berarti kita bebas melanggar semua peraturan dan bahwa perintah-perintah Alkitab tidak berlaku bagi kita? Tidak, kebebasan seperti itu adalaha antinominianisme! Bukan kebebasan yang demikian yang Alkitab maksudkan. 

Mengikut Kristus dengan iman berarti mengasihi dan hidup dalam kasih karunia, bukan hidup dalam dosa (Galatia 5:6). Sebuah kehidupan yang mengasihi Tuhan dan sesama tentu sangat berlawanan dengan dosa. Paulus menegaskan, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Roma 6:1-2). 

Sebenarnya, orang yang hidup dalam kasih karunia di dalam Kristus telah mati terhadap dosa dan hidup bagi Allah! Dengan demikian, kasih karunia yang melimpah bukanlah ijin bagi ketidaktaatan!

Jadi, sejauh perintah-perintah itu menolong kita hidup dalam kasih karunia perintah-perintah itu berguna. Tetapi, jika memperlakukan perintah-perintah tersebut hanya sebagai aturan yang wajib diikuti dengan kemampuan kita, maka kita telah menyalahgunakannya. 

Seberapapun besarnya kemampuan kita, itu tidak akan pernah cukup. Karena itu, hidup dalam iman membuat kita wajib mematuhi sebuah hukum yang baru, yaitu hukum kasih karunia. Kegagalan untuk mengerti kebenaran sederhana ini adalah akar dari semua legalisme dan mentalitas perbuatan, dan membawa kembali ke hukum Taurat. 

Legalisme kebenaran karena perbuatan persis seperti yang Paulus tolak ketika ia berkata, “jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” (Kolose 2:21-23). 

Legalisme ini kemudian berevolusi ke dalam pengajaran terkini dalam kelompok-kelompok tertentu yang melarang orang Kristen : nonton televisi, nonton film, menggunakan internet, minum kopi (kafein), makan daging bagi, menari, dan segala larangan lainnya. 

KASIH KARUNIA MEMAMPUKAN ORANG KRISTEN HIDUP BAGI ALLAH

Kebenaran penting yang telah diabaikan oleh banyak orang Kristen adalah pernyataan bahwa “kita hanya bisa hidup bagi Allah (Galatia 2:19), apabila kita terlebih dahulu mengijinkan Kristus hidup melalui kita”. Beberapa orang Kristen telah berusaha untuk hidup bagi Allah dengan kekuatan mereka sendiri. Ini mustahil, sebab kehidupan Kristen tidak hanya sulit untuk dijalani bahkan mustahil dijalani dengan kekuatan kita sendiri. 

Seberapapun besarnya kemampuan kita untuk hidup bagi Allah dengan mematuhi hukum Taurat, itu tidak akan pernah cukup. Sebagai contoh, tidak lama setelah orang Israel mengatakan kepada Tuhan “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan’. Lalu Musa pun menyampaikan jawab bangsa itu kepada TUHAN” (Keluaran 19:8), segera setelah itu mereka melanggar perintah pertama dan kedua dari Sepuluh Perintah (Keluaran 20:1-18). Mereka membuat patung anak lembu emas di kaki gunung sinai untuk disembah (Keluaran 32). Artinya, semakin gigih kita merusaha menaati perintah Allah dan berusaha hidup bagiNya dengan kemampuan kita sendiri kita tidak akan mampu.

BACA JUGA: PENGERTIAN ANUGERAH ALLAH

Karena itu, rahasia kekuatan kehidupan Kristen adalah, “Kristus yang hidup melalui kita!” Bukan kita yang hidup bagi Yesus, tetapi Yesus hidup melalui kita. Rasul Paulus mengatakan, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus” (Galatia 2:20-21; Bandingkan 2 Korintus 4:10-11).

Ketika kita berfokus terhadap apa yang harus kita lakukan dengan kemampuan kita sendiri, kita menempatkan diri kita di bawah legalisme. Dan ini adalah sebuah kebodohan! Tetapi, ketika berfokus pada apa yang Kristus telah lakukan, kita berjalan dalam kekuatan supranatural kasih karunia. Kasih karunia memberitahu kita apa yang sudah Kristus genapkan dan selesai kerjakan di kayu salib bagi kita. 

Perhatikan kecaman Paulus kepada jemaat di Galatia yang ingin kembali kepada legalisme hukum Taurat, “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu? Hanya ini yang hendak kuketahui dari pada kamu: Adakah kamu telah menerima Roh karena melakukan hukum Taurat atau karena percaya kepada pemberitaan Injil? Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging? Sia-siakah semua yang telah kamu alami sebanyak itu? Masakan sia-sia! Jadi bagaimana sekarang, apakah Ia yang menganugerahkan Roh kepada kamu dengan berlimpah-limpah dan yang melakukan mujizat di antara kamu, berbuat demikian karena kamu melakukan hukum Taurat atau karena kamu percaya kepada pemberitaan Injil?” (Galatia 3:1-5).

Kata Yunani “bodoh” adalah “anoētos” yang berarti “tidak terpelajar; atau tidak berpengertian”. Kata ini digunakan sebanyak 6 kali dalam Perjanjian Baru Yunani (Galatia 3:1,3; bandingkan Lukas 24:25; Roma 1:14; 1 Timotius 6:9; Titus 3:3). 

Kata Yunani “mempesona” adalah “baskainō” yang berarti “menyihir, mempengaruhi, menipu”. Kata ini digunakan hanya 1 kali dalam Perjanjian Baru. Dibandingkan jemaat Galatia ada satu jemaat yang paling paling bermasalah, yaitu jemaat di Korintus. 

Jemaat Korintus ini bermasalah baik secara doktrinal, kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (insert), hubungan dengan persembahan berhala dan sebagainya. Sekalipun demikian, Paulus tidak pernah menyebut jemaat Korintus ini sebagai “orang-orang yang bodoh”. Reaksi Paulus ini menunjukkan bahwa ia begitu tidak senang terhadap legalisme hukum Taurat bagi keselamatan yang diajarkan dalam jemaat di Galatia. 

Sebab bagi pakar hukum Taurat yang telah diubahkan oleh Kristus ini jelaslah bahwa “Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat” (Galtia 2:16)

HUBUNGAN ANTARA KASIH KARUNIA DAN PERBUATAN BAIK

Salah satu cara kita diminta untuk memberi respon terhadap kasih karunia Allah adalah dengan melakukan pekerjaan baik. Pernyataan klasik tentang keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman” adalah frase Yunani “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman”, langsung diikuti oleh pernyataan ini “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). 

Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yg “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”. Jadi, pelayanan kita untuk Allah dilakukan karena rasa terima kasih kita untuk kasih karuniaNya, bukan sebagai upaya untuk menggantikan kasih karunia dengan pekerjaan atau perbuatan-perbuatan yang baik. 

Perhatikan apa yang Paulus katakan mengenai dirinya sendiri, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10). Rasul Paulus yang telah mengatakan bahwa ia diselamatkan hanya karena kasih karunia yang tidak sepatutnya ia terima, namun ia tidak duduk dan bermalas-malasan, melainkan melayani Tuhan dan bekerja dengan giat bagi Allah.


Telah disebutkan diatas, menurut Paulus dalam Efesus 2:8 bahwa kita tidak diselamatkan karena perbuatan-perbuatan. Tetapi menurut Yakobus, iman tanpa perbuatan adalah mati. Apakah Yakobus bertentangan dengan Paulus? Jawabannya tidak, karena Paulus dan Yakobus menggunakan kata “ergon” atau perbuatan/pekerjaan dengan pengertian yang berbeda. 

Ketika Paulus menyebut diselamatkan bukan karena perbuatan atau pekerjaan maka yang dimaksud adalah menunjuk kepada keinginan seseorang untuk memperoleh perkenan dan keselamatan melalui usaha menanati hukum taurat dengan kekuatan sendiri dan bukan melalui iman pada anugerah Tuhan. 

Sedangkan ketika Yakobus menggunakan kata perbuatan (ergon, bentuk tunggal dari erga yang berarti perbuatan atau pekerjaan) menunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang bersumber dari iman sejati dan kehidupan yang telah diselamatkan. Kata “ergon” dalam Yakobus menunjuk kepada kualitas dasar dari kehidupan seseorang yang dinyatakaan dengan perilakunya. 

Tindakan atau perbuatan seseorang mencerminkan fakta bahwa iman sejati ada di dalam perbuatan-perbuatan itu. Dengan demikian hubungan antara iman dan perbuatan adalah bahwa setelah diselamatkan kita harus aktif mengerjakan keselamatan itu didalam kehidupan kita dengan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan atau hal-hal yang kita kerjakan. (Filipi 2:12-13; Efesus 2:10, agatha). Perbuatan-perbuatan itu merupakan tanda apakah iman kita itu benar-benar hidup (Yakobus 2:14-17) dan tanda ketaatan iman kepada Allah, yang berbeda dengan setan yang percaya pada Allah tetapi tidak taat (Yakobus 2:18-20).

PENUTUP:

Jelaslah bahwa kasih karunia memampukan orang Kristen untuk hidup bagi Allah, memuliakan Kristus dan berbuat baik sesuai kehendak Allah. 

Karena itu, rasul Paulus melarang orang Kristen menjauh dari kasih karunia Allah dengan menasehati, “Jagalah supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang” (Ibrani12:15), tetapi justru Paulus memerintahkan orang Kristen agar “... jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus” (2 Timotius 2:1; Bandingkan Ibrani 13:9), dan bahwa “... Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Roma 5:2). 

Senada dengan Paulus, rasul Petrus memberikan nasehat yang penting dan sangat berharga ketika berkata “Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya” (2 Petrus 3:18). 

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “bertumbuhlah” adalah “auksanete”, merupakan bentuk kata kerja aktif imperatif atau kata kerja bentuk perintah. Kata “auksanete” ini berasal dari kata “auksano” yang berarti “tumbuh, bertambah, berkembang, dan bertambah besar”. 

Disini Petrus menasihati untuk bertumbuh dalam pengertian akan kasih karunia karena makin baik pengertian kita akan kasih karunia, makin baik kita akan menjalani hidup sebagai orang percaya. Cara untuk bertumbuh dalam pengertian akan kasih karunia berarti bertumbuh dalam pengetahuan akan Yesus Kristus, sebab kasih karunia bukanlah suatu konsep yang abstrak, tetapi suatu Pribadi. 

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “pengenalan” adalah “gnosis” yang berarti “pengetahuan yang sebenarnya”. Dengan demikian, cara kita bertumbuh dalam kasih karunia adalah dengan mengenal Yesus Kristus melalui persekutuan yang akrab dengan Dia, karena makin baik kita mengenal Yesus, makin banyak kita mengalami kasih karuniaNya.

Achenbach, Reinhard., 2012. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.
Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Browning, W.R.F., 2007. Kamus Alkitab. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Chang, Jimmy., 2012. Hidup Dalam Kesehatan Ilahi. Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta
Davids, Peter H., 2000. Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Baru. Terjemahan, Diterbitkan Departemen Literatur SAAT: Malang.
Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Gunawan, Samuel., 2014. Kharismatik Yang Kukenal dan Kuyakini. Penerbit Bintang Fajar Ministries: Palangka Raya.
Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini 1. Cetakan 11, Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 1, 2 & 3, Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.
Gutrie, Donald., 2009. Pengantar Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Haryono, Danie & Desi Damayanti, Penyunting., 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru, Penerbit Pustaka Phoenix: Jakarta.
Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary, volume 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.
Poerwadarminta, W.J.S., 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta
Prince, Derek., 2005. Iman Yang Olehnya Kita Hidup. Terjemahan, Penerbit Derek Princ Ministries Indonesia: Jakarta.
Ridderbos, Herman., 2004. Paul: An Outline of His Theology. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Ryken, Leland, James C. Wilhoit, Tremper Longman III, editor., 2002. Kamus Gambaran Alkitab.Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.
Scahnabal, Echhard J., 2010. Rasul Paulus Sang Misionaris: Perjalanan, Stategi dan Metode Misi Rasul Paulus. Terj, Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testamen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
KASIH KARUNIA: KEKUATAN YANG MEMAMPUKAN ORANG KRISTEN UNTUK HIDUP BAGI ALLAH.
Next Post Previous Post