SILOGISME “CORPUS DELICTI” PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.Th

Pdt.Samuel T.Gunawan, M.Th.
SILOGISME “CORPUS DELICTI” PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.Th
SILOGISME “CORPUS DELICTI” PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.Th. Logical fallacy (kesalahan logika) yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th[1] dalam buku MENEMUKAN KEKRISTENAN YANG HILANG di halaman halaman 41-44. 

Kesalahan logika ini disebabkan salah satu premisnya (premis 1) tidak benar, sehingga simpulannya tidak valid. Premis 1 tidak benar karena tidak didukung oleh data Alkitab dan tafsir yang sehat. Telah terjadi kesalahan eksegesis (exegetical fallacy) terhadap data Alkitab yang dijadikan sebagai ayat acuannya (Yehezkiel 28:1-19) dengan memasukkan pendapatnya sendiri dengan tafsiran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan terjadinya kesalahan logika dalam silogisme tersebut. Dengan demikian slogan yang seringkali didengungkannya, 'memberitakan firman Tuhan yang murni' patut dipertanyakan.[2]

Pengantar:

Salah satu kesalahan yang seringkali dilakukan oleh para teolog dan pengajar Alkitab adalah keinginan untuk menjawab pertanyaan yang Alkitab sendiri bungkam mengenai hal itu. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa kita perlu berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan sembrono bagian-bagian tertentu dari Alkitab dengan metode hermeneutik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[3] Juga tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dari luar Alkitab maupun pengalaman spiritual dengan bukti yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab. 

Selama bertahun-tahun saya berpegang pada definisi teologi Charles C. Ryrie ini. Ia mendefinisikan teologi sebagai suatu interpretasi yang rasional mengenai iman Kristen. Dimana ada tiga unsur di dalam konsep umum teologi yaitu: (1) Teologi dapat dimengerti, artinya teologi dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang teratur dan rasional. (2) Teologi menuntut adanya penjelasan, dimana selanjutnya melibatkan eksegesis dan sistematisasi. (3) Iman Kristen bersumber pada Alkitab. Dengan demikian teologi Kristen merupakan suatu studi yang berdasarkan Alkitab. 

Selanjutnya Ryrie menyimpulkan bahwa teologi merupakan penemuan, penyusunan, dan penyajian kebenaran-kebenaran tentang Allah.[4] Karena pendirian inilah saya mempertanyaan silogisme Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th tersebut. 

Selain itu, ada dua alasan lainya mengapa saya memberikan koreksi terhadap ajaran “Menjadi Corpus Delicti” Pdt. Dr. Erastus Sabdono Tersebut, yaitu: (1) Buku Menemukan Kekristenan Yang Hilang (dan buku-buku lainnya) yang berisi ajaran Corpus Delicti yang ditulis oleh beliau sudah dipublikasikan secara luas karena itu terbuka untuk mendapat pujian maupun kritikan. (2) Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th adalah seorang pemimpin Kristen yang cukup dikenal di Indonesia, khususnya dikalangan Pentakostal dan Kharismatikal, serta memiliki pengikut yang banyak (tidak hanya dikalangan GBI Rohobot Ministries saja). 

Selain itu beliau juga seorang pendeta dan pengajar pasca sarjana STTB Jakarta. Karena beliau memang cukup dikenal (sebagai seorang Arminian tentunya), maka banyak orang yang beranggapan bahwa semua yang dikatakan dan diajarkan oleh beliau itu pasti benar tanpa menganalisa terlebih dahulu pengajaran yang disampaikan tersebut apakah telah berdasarkan data-data Alkitab yang tepat dan akurat. Dengan demikian, pengajaran yang salah yang disampaikan beliau melalui mimbar dan literatur kepada jemaat yang tidak tahu apa-apa, namun karena yang menyampaikannya adalah orang yang terkenal (bahkan populer), maka jemaat menganggap informasi tersebut pasti benar seluruhnya. 

Adapun silogisme yang saya permasalahkan dalam buku tersebut adalah sebagai berikut: 

Premis (1) : Lucifer pada mulanya merupakan satu-satunya mahluk yang segambar dengan Allah. 

Premis (2) : Lucifer hendak menyamai Allah. 

Simpulan (3) : Karena itu semua mahluk yang segambar dengan Allah hendak menyamai Allah. 

Negasi simpulan (4) : Ada mahluk yang segambar dengan Allah dan tidak hendak menyamai Allah 

Berikut ini beberapa catatan penting dan penjelasan saya berhubungan dengan kesalahan logika dari silogisme induktif Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. 

1. Pernyataan premis 1 dalam silogisme Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th di atas tidak benar karena tidak didukung data-data Alkitab. Menurut Alkitab satu-satunya mahluk ciptaan yang segambar dengan Allah adalah manusia. Tidak ada dibagian manapun yang menyatakan bahwa malaikat diciptakan segambar dengan Allah. Dengan demikian, ia telah memasukan pendapatnya sendiri dan menganggapnya sebagai kebenaran. Itu sebuah kesalahan dalam eksegesis. 

Premis 1 yang menyatakan bahwa Lucifer (Iblis) diciptakan segambar dengan Allah adalah sebuah kesalahan. Silogisme itu dibuat oleh yang bersangkutan dalam rangka menguatkan pendapatnya bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan menjadi 'corpus delicti' untuk membuktikan kesalahan Iblis. Berikuti kutipan pernyataannya, “Oleh karena itu untuk membuktikan kesalahan Lucifer, Allah harus membuat mahluk lain yang segambar denganNya dan tunduk sepenuhnya kepadaNya; tidak hendak menyamai Allah seperti Lucifer. 

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa sebenarnya Allah menciptakan manusia bukan sekedar ingin memiliki mahluk yang segambar diriNya untuk mengelola sebuah taman. Ia juga bukan Allah yang kurang kasih sayang sehingga hendak memiliki mahluk ciptaan untuk dikasihi. Sejatinya tentu ada rancangan atau agenda Allah yang lebih besar daripada ha-hal tersebut. Ternyata manusia diciptakan untuk menggenapi rencana Bapa, yaitu mengalahkan Iblis atau membuktikan bahwa Iblis bersalah. Manusia diciptakan agar menjadi corpus delicti”.[5] 

2. Istilah corpus delicti adalah terminologi hukum, tetapi pemakaian istilah itu untuk kasus kejatuhan Iblis kemungkinan adalah konsep dari Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th sendiri, karena tidak ada dicantumkannya pendapat para ahli Alkitab dan pakar teologi yang dirujukannya untuk mendukung pendapat tersebut. 

Pendapatnya bahwa tujuan Allah menciptakan manusia agar menjadi corpus delicti ini juga saya pertanyakan! Mengapa? Masakan rentetan panjang sejarah manusia dipergunakan Allah hanya untuk membuktikan kesalahan Iblis? Ada berapa banyak manusia yang telah menjadi korban agar didapatkan bukti bahwa Iblis bersalah? Betapa kejamnya Allah jika demikian! Bukankan Alkitab menyingkapkan bahwa kesalahan Iblis atau disebut juga Satan[6] itu telah terbukti dengan pemberontakan yang dilakukannya. 

Paul Enns mengatakan, “Kejatuhan Setan dijabarkan di Yehezkiel 28 dan Yesaya 14. Karena dosanya Setan dilemparkan dari hadirat Allah (Yehezkiel 28:16). Alasan bagi kejatuhan Setan adalah kesombongannya; hatinya ditinggikan oleh karena keindahannya, dan hikmatnya menjadi korup (Yehezkiel 28:16). Pernyataan menunjukkan Setan harus memiliki tingkatan yang luar biasa yang memimpin ia pada kesombongannya. Yesaya 14:12-14 kemudian menjelaskan menjabarkan dosanya yang memimpin pada kejatuhan”.[7] 

Kemudian Paul Enns juga mengatakan, “Sebagai kerub yang diurapi, Setan memimpin suatu pasukan malaikat, kemungkinan besar sepertiga dari semua malaikat dalam kejatuhannya (Yehezkiel 28:16-17; Wahyu 12:4)”[8] 

Serupa itu, Tony Evans mengatakan, “Wahyu 12:4 menunjukkan bahwa sepertiga malaikat di surga membelot bersama Setan”.[9] Lalu bukti apa lagi yang diperlukan untuk menunjukkan kesalahannya? Kesalahan Iblis itu sudah dibuktikan dengan tindakan pemberontakannya dan dengan demikian tidak diperlukan lagi bukti-bukti lainnya. Manusia tidak pernah diciptakan Tuhan dengan tujuan hanya untuk membuktikan kesalahan Iblis, yang dalam istilah Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th menjadi “corpus delicti”. 

3. Kata “Lucifer” yang seringkali digunakan beberapa penafsir Alkitab sebagai mengacu kepada Iblis tidak terdapat dalam naskah asli Perjanjian Lama bahasa Ibrani. Istilah “Lucifer” ini merupakan kata Latin yang digunakan Santo Joremi untuk menerjemahkan Vulgata (Alkitab bahasa Latin) pada abad ke 4. Alkitab Vulgata ini dipakai dikalangan Katolik.[10] 

Jadi, dalam teks Ibrani, kata “הילל בן שחר - heylel ben-syakhar’; adalah sebagai berikut “הילל – heylel” adalah kata Ibrani untuk “bintang Timur” atau “planet Venus”, sedangkan “בן שחר - ben-syakha” adalah kata Ibrani “putra Fajar” atau secara harafiah “anak Fajar”. Beberapa penafsir Alkitab memang melihat Yesaya 14:12 ini sebagai mengacu kepada kejatuhan Iblis, tetapi ini hanya merupakan tafsiran. 

Karena jika kita meneliti konteks Yesaya 14:1-23, ayat ini sebenarnya mengacu pada raja Babel. Ada dua kemungkinan raja Babel yang dirujuk dalam ayat ini, yaitu: (a) Nebukadnezar; atau (b) raja Babel yang bernama Heylel bin Syakhar. 

4. Seandainya Yesaya 14:12-14 ini memang dimaksudkan mengacu pada Iblis, maka lebih tepat menyebutnya sebagai personifikasi dari Iblis di bawah figur raja Babel. (catatan: Demikian Yehezkiel 28:1-19 lebih baik menganggapnya sebagai pesonifikasi dari Iblis dibawah figur raja Tirus). Dengan demikian, gelar “Bintang Timur” dalam ayat ini dapat mengacu pada raja Babel maupun Iblis. Jika kemungkinan tafsirannya demikian maka perlu ditegaskan dua hal, yaitu: 

a. Sebenarnya “Lucifer” bukanlah nama melainkan gelar yang dikenakan pada malaikat kerub yang tertinggi dan terhormat dihadapan Allah. Namun pernyataan bahwa Lucifer adalah malaikat ditentang oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. Ia menganggap bahwa Lucifer adalah mahluk yang berbeda malaikat dan tidak tergolong sebagai malaikat. 

Ia menyatakan demikian, “Selama ini hampir semua orang Kristen menganggap bahwa Lucifer adalah malaikat. Ini tidak tepat, atau bisa dikatakan salah besar. Pandangan yang salah ini cukup signifikan merusak berbagai pandangan dalam doktrin Kristen, seperti mengenai keselamatan, kesempurnaan Kristiani dan lain sebagainya”.[11] Namun pernyataan bahwa Lucifer bukanlah tergolong malaikat bertentangan dengan pendapat banyak ahli Alkitab dan pakar teologi. 

Perhatikan penjelasan dari pakar-pakar teologi berikut ini! Charles C. Ryrie, menyatakan “Setan termasuk dalam golongan malaikat-malaikat kerubim (Yehezkiel 28:14). Rupanya dia adalah ciptaan yang tertinggi (Yehezkiel 28:12)”.[12] 

Serupa itu, John F. MacArthur menjelaskan, “Setan dan Iblis adalah malaikat-malaikat yang jatuh. Segala hal yang diketahui mengenai kejatuhan Setan diungkapkan kepada kita dengan tidak begitu kentara oleh Alkitab”.[13] Bahwa Iblis atau Setan termasuk malaikat golongan kerubim didukung oleh teks Masoret. 

Terjemahan AITB “Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga” dalam teks Masoret adalah “engkau (‘at) adalah kerub”.[14] Kata “Lucifer” ini berasal dari kata Ibrani “héylél” berarti “yang bersinar, pembawa terang, atau bintang timur” (Lihat, Yesaya 14:12).[15] Dalam Septuaguinta kata “héylél” diterjemahkan dengan kata Yunani “heôsphoros”.[16] 

Paul Enns menyatakan, bahwa “setelah kejatuhannya, malaikat kerub ini tidak pernah lagi disebut dengan sebutan yang terhormat itu”.[17] Jadi, dibawah personifikasi raja Bebal, gelar “bintang timur” memang pernah dikenakan pada Iblis tetapi gelar itu telah dicabut dari Iblis dan tidak berhak lagi digunakannya. 

Saat ini yang sungguh-sungguh berhak menggunakan gelar “Bintang Timur” adalah Tuhan Yesus Kristus, yaitu dalam kemuliaanNya sesudah kebangkitanNya. Rasul Yohanes mencatat perkataan Kristus demikian, “Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, Bintang Timur yang gilang-gemilang” (Wahyu 22:16). 

b. Namun, dalam teks Yunani ada perbedaan yang signifikan antara gelar “bintang timur” dalam Yesaya 14:12 yang mengacu kepada Iblis, dan gelar “Bintang Timur” yang dikenakan kepada Yesus Kristus. Teks Ibrani “bintang timur, putra fajar” dalam Yesaya 14:12 adalah “הילל בן שחר - heylel ben-syakhar” diterjemahkan dalam Septuaginta (PL berbahasa Yunani) dengan “ο εωσφορος ο πρωι - ho heôsphoros ho prôi”. 

Sedang “Bintang Timur yang gilang-gemilang” dalam Wahyu 22:16 dalam teks Yunani ditulis dengan “ο αστηρ ο λαμπρος και ορθρινος - ho astêr ho lampros kai orthrinos”. Jadi, dalam teks Yunani kata “bintang timur” yang mengacu pada Iblis berbeda dengan kata “Bintang Timur” yang dikenakan pada Yesus Kristus. Dengan demikian gelar “bintang timur” dalam Yesaya 14:12 berbeda dengan gelar “Bintang Timur” dalam Wahyu 22:16. 5. 

Lalu bagaimana dengan pendapat Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th yang mengatakan bahwa “Lucifer pada mulanya diciptakan segambar dengan Allah”, berdasarkan penafsiran dari frase “gambar dari kesempurnaan engkau” dalam Yehezkiel 28:12? Ia mengatakan demikian, “Dalam Yehezkiel 28:12 kita temukan pernyataan yang luar biasa: ‘Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah’. 

Berarti Lucifer segambar dengan Allah, seperti manusia. Ini perbedaannya lagi dengan malaikat, yang tidak diciptakan segambar dengan Allah”.[18] Pendapat tersebut tentu saja salah! Berikut ini penjelasan-penjelasan dari saya: 

a. Menurut Alkitab, satu-satunya mahluk yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah adalah manusia. Hal ini secara gamblang dijelaskan dalam Alkitab di Kejadian 1:26a, “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Manusia pada waktu diciptakan sempurna tanpa cacat atau cela sedikitpun dalam seluruh keberadaannya. Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi. Manusia adalah mahluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan kuasa atas seluruh ciptaan kerena Ia adalah “gambar” dan “rupa” Allah (Kejadian 1:26). 

Tidak heran jika Pemazmur dalam kekagumannya berkata, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub 7:17,18). Kata “gambar” diterjemahkan dari kata Ibrani “tsélém” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. 

Kata “rupa” dalam bahasa Ibrani adalah “demúth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Jadi menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral.[20] 

Baik laki-laki dan perempuan dijadikan menurut gambar dan rupa Allah dan inilah yang membedakan mereka dari semua ciptaan yang lain. Manusia serupa dengan Allah terutama terutama dalam kemampuan moral dan rohaninya yang diciptakan dengan kemampuan untuk dapat hidup benar dan kudus (Efesus 4:24). Ia diberi kemuliaan dan kehormatan melebihi ciptaan-ciptaan yang lain yang memiliki akal budi yang juda mencerminkan Pribadi sang Pencipta.[21] 

a. Paul Enns menjelaskan demikian, “Para malaikat tidak diciptakan berdasarkan gambar Allah, karena itu, mereka tidak memiliki akhir kemuliaan yang dimiliki manusia yang telah ditebus oleh Kristus. Pada masa akhir, manusia yang ditebus akan ditinggikan di atas malaikat (1 Korintus 6:3)”.[19] 

b. Mungkin ada yang bertanya, “bagaimana kalau landasan dari premis 1 tersebut memakai ayat di Kejadian 1:26?” Karena kata “Kita dalam ayat tersebut mungkin dapat mengacu pada Allah dan malaikat. Dengan demikian, Allah lebih dulu menciptakan malaikat segambar denganNya, kemudian menciptakan manusia yang segambar dengan mereka, yaitu segambar dengan Allah dan malaikat. 

Jawaban saya terhadap pendapat tersebut sebagai berikut. Tidak perlu memaksakan menafsir kata 'Kita' di Kejadian 1:26 sebagai menunjuk kepada Allah dan malaikat-malaikat. Lebih baik dan lebih dapat dipertanggungjawabkan melihatnya sebagai Allah sendiri sekaligus petujuk dari diversitasNya. Karena Allah disebut jamak dalam ayat 26 dan Ia juga tunggal dalam ayat 27.[27] 

Donald C. Stamps menjelaskan "ungkapan ini (baiklah Kita) mengandung suatu implikasi awal mengenai Allah Tritunggal.[28] 

Paul Enns menjelaskan, “Istilah Allah dalam Kejadian 1 adalah Elohim, yang adalah bentuk jamak untuk Allah. Meskipun hal ini tidak secara eksplisit mengajarkan Trinitas, namun pasti boleh dilihat dalam bentuk kata ganti jamak “Kita” ... dalam Kejadian 1:26”.[29] Sementara itu Wolf Herbert menjelaskan, “Kata ganti orang pertama jamak, “Kita”, dalam Kejadian 1:26 mengantisipasi pulralitas manusia laki-laki dan perempuan, dan juga menyatakan sesuatu tentang eksistensi Ilahi. 

Hubungan antara manusia dengan manusia mencerminkan persekutuan dan interaksi di dalam ke-Allahan, suatu hubungan yang digambarkan oleh Perjanjian Baru sebagai Tirinitas”. Jadi saya berpendapat bahwa lebih baik tidak berspekulasi untuk menyatakan bahwa malaikat adalah gambar Allah dengan menggunakan kata “Kita” dalam ayat di Kejadian ini. Karena tidak ada dukungan dari seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

c. Sejalan dengan disiplin keilmuan yang muncul belakangan, diyakini di sini bahwa terjemahan dari ‘betsaléménú’ (dalam gambar Kita) dan ‘kiemuthénú (menurut rupa Kita) seharusnya berbunyi ‘seperti gambar Kita dan menurut rupa Kita’. Artinya manusia bukanlah hanya diciptakan dalam gambar Allah, dia adalah gambar Allah. 

Sebagaimana pada masyarakat Timur Dekat Kuno, gambar-gambar atau patung-patung mewakili dewa-dewa dan raja-raja, sehingga mereka pada akhirnya dapat saling dipertukarkan, demikian juga manusia sebagai gambar Allah diciptakan untuk mewakili Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi atas semua ciptaan.[22] 

Kata Ibrani “tsélém” dan “demúth” tersebut dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan “imago” dan “similitudo”. Pada waktu dosa masuk ke dalam manusia, gambar Allah pada manusia itu rusak tetapi tidak dihapus atau gambar itu tidak hilang begitu saja. Sebab kalau gambar Allah itu hilang maka manusia bukan lagi mahluk hidup yang rasional. 

Bukti lebih lanjut bahwa gambar itu tidak hilang diketahui dari pemakaian Alkitab akan hal tersebut setelah kejatuhan.[23] Rujukan yang jelas mengenai tidak lenyapnya gambar Allah (imago dei) setelah kejatuhan adalah Mazmur 8:6. 

Penebusan manusia, kelahiran kembali, dan penyucian berfungsi untuk memperbaharui kembali manusia yang percaya menurut gambar Kristus yang pada gambar tersebut, pada suatu hari nanti kita akan secara sempurna disesuaikan (Roma 8:29; 2 Korintus 3:18; Efesus 2:8-10.[24] Penebusan itu perlu untuk menunjukkan gambar Allah yang tidak hilang pada manusia. Berbeda dengan manusia, para malaikat yang jatuh dan memberontak tidak ditebus dan tidak ada penyediaan keselamatan bagi mereka, melainkan ditetapkan untuk dihukum.[25] 

d. Kata gambar yang ditujukan kepada manusia dalam Kejadian 1:26 berbeda dengan kata gambar yang disebutkan dalam Yehezkiel 28:12. Frase “gambar dari kesempurnaan” yang disebutkan dalam Yehezkiel 28:12 (AITB, RSV), yang ditafsir sebagai merujuk kepada Iblis atau Setan itu adalah frase Ibrani “khôtém tokhníth”. Dimana kata “khôtém” tersebut berbeda artinya dari kata “tsélém” seperti yang dikenakan kepada manusia dalam kejadian 1:26. 

Telah disebutkan di atas bahwa kata “tsélém” atau “gambar” berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Artinya manusia bukanlah hanya diciptakan dalam gambar Allah, tetapi manusia itu adalah gambar Allah. Sedangkan kata gambar (“khôtém”) yang dipakai dalam Yehezkiel 28:12 menujuk kepada “penutup atau meterai” dan bukan gambar dalam pengertian “segambar”. 

Anton T. Peterson mengatakan bahwa dalam Teks Masoret frase “gambar dari kesempurnaan engkau” adalah “engkau yang memeteraikan, atau pemeterai (khôtém) jumlah, ukuran, simetri, yaitu “kesempurnaan” (tokhníth). Pemakaian ini tidak muncul ditempat lain dalam Perjanjian Lama, dan terjemahan versi-versi lainnya sangat beragam. 

Sebuah naskah, LXX, Siria, dan Vulgata berbunyi, “Engkaulah pemeterai (hôtam) jumlah, dan seterusnya, seperti dalam teks Masoret. Versi Siria dan Vulgata berbunyi, cincin meterai dari yang serupa (tabnít) dengan Allah. Terjemahan lain yang diajukan adalah “engkau bijak hingga sempurna (‘at hãkãm letaklít)”.[26] 

Jadi berdasarkan penjelasan Anton T. Peterson tersebut tidaklah tepat menyimpulkan bahwa frase “gambar dari kesempurnaan” tersebut sama dengan kata segambar dengan Allah seperti yang ditafsirkan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. 6. Di atas, ketika mempersoalkan silogisme Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, saya hanya mempersoalkan pernyataan premis 1 dan simpulannya yang tidak valid. 

Mengapa saya tidak mempersoalkan premis 2 adalah karena nampaknya seluruh agumennya dibangun di atas penyataan dalam premis 1 dan pernyataan premis 2 itu benar. Tetapi walaupun premis 2 benar dan karena premis 1 salah maka simpulannya pasti salah. Selanjutnya, saya tidak melihat ada hubungan sebab akibat antara premis 1 dan premis 2 sehingga menghasilkan simpulan seperti itu. Kesalahan simpulan tersebut di dalam logika disebut dengan “generalisasi tergesa-gesa”. Sebagaimana di dalam menafsirkan Alkitab ada syarat-syarat (hermeneutikal dan eksegetikal) yang harus dipatuhi agar menghasil tafsiran yang benar dan sehat, demikian juga di dalam logika ada aturan-aturan yang harus diikuti. 

Jadi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th bukan hanya mengabaikan syarat tafsir Alkitab yang sehat dan wajar tetapi juga mengabai syarat logika yang absah dalam silogisme “Menjadi Corpus Delicti” tersebut. 

Adapun syarat logika yang sehat adalah: (1) Penalaran harus berdasarkan kenyataan atau premis-premisnya harus benar. (2) Pemikiran yang diajukan harus disertai alasan-alasan yang tepat dan memadai. (3) Argumentasinya harus mengikuti alur pikiran logis dan absah. 

Menurut penilaian saya, bahwa dalam silogisme Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th tersebut premis 1 tidak memenuhi syarat (1) dan (2) di atas. Dan simpulannya salah karena tidak memenuhi alur pikiran logis dan absah sebagaimana syarat (3) di atas. Lebih jauh, saya melihat konsekuensi logis dari ajaran corpus delicti-nya Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th tersebut antara lain: 

Meragukan kebaikan Tuhan sebab ajaran ini menyatakan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia adalah agar menjadi corpus delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis. Pertanyaan saya: apakah Tuhan kekurangan kerjaan sehingga rentetan panjang sejarah manusia dipergunakan Allah hanya untuk membuktikan kesalahan Iblis? Lalu, ada berapa banyak manusia yang telah menjadi korban dan akan menjadi korban demi untuk mendapatkan bukti bahwa Iblis bersalah? Betapa kejamnya Allah jika demikian! Dimana kebaikan dan kasih Tuhan? Bukankan Alkitab menyingkapkan bahwa kesalahan Iblis atau disebut juga Satan[30] itu telah terbukti dengan pemberontakan yang dilakukannya? Lagi pula menurut Alkitab, tujuan hidup kita adalah untuk kemuliaan Tuhan (Roma 11:33-36). 

Arah tujuan kita di dunia ini adalah Tuhan, Sang Pencipta. Apapun yang kita lakukan haruslah untuk memuliakan Tuhan. Rasul Paulus mengatakan, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). 

Ini berarti memuliakan Tuhan merupakan tujuan tertinggi manusia. Dan, kesimpulan akhir yang ditulis dalam ajaran “Menjadi Corpus Delicti” ala Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th menunjukkan bahwa ajaran Menjadi Corpus Delicti ini berbau Perfeksionisme (kesempurnaan Kristen tanpa dosa). Perhatikan pernyataannya dalam 2 foto berikut yang saya ambil dari “Menjadi Corpus Delicti” dalam buku Menemukan Kekristenan yang Hilang dan dalam artikel “Raja Tirus Dalam Taman Eden” dari Bulletin Truth Voice : (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1063335220382325&set=p.1063335220382325&type=3&theater) (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1063335390382308&set=p.1063335390382308&type=3&theater). Walaupun saya belum meneliti lebih jauh mengenai hal ini, tetapi Toni Budianto melihat bahwa konsepnya Corpus Delicti Pdt. Dr. Erastus Sabdono tersebut mungkin saja diambil dari ajaran Saksi-Saksi Yehovah, karena kemiripan ajarannya dengan ajaran mereka. (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1254450607927801&set=p.1254450607927801&type=3&theater)

(a) meragukan kebijaksaan Tuhan, dengan mempertanyakan mengapa Tuhan tidak langsung membinasakan Iblis seketika ketika Ia berdosa. 
'
(b) Meragukan kemahatahuan Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa membuktikan kesalahan Iblis. Padahal, seperti dalam penjelasan saya di awal tulisan ini, bahwa pemberontakan Iblis adalah bukti dari kesombongannya melawan Allah. Jadi tidak perlu ada yang namanya corpus delicti dalam kasus ini karena bukti sudah ada. Dan hukuman sudah ditetapkan bagi Iblis dan pengikut-pengikutnya. 

(c) Meragukan kemahakuasaan Tuhan karena manusia yang diciptakan Tuhan yang menjadi corpus delicti itu ternyata jatuh juga dalam pemberontakan juga. Dengan kata lain Tuhan tidak becus. Bukankah Tuhan dalam kedaulatanNya telah menetapkan hukuman neraka kepada Iblis yang memberontak itu. Bukankah Alkitab menyatakan bahwa neraka telah disediakan untuk Iblis dan pengikut-pengikutnya? Yesus sendiri mengatakan, "Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya" (Matius 25:41). 

Jadi hukuman akhir yaitu neraka untuk Iblis sudah ditentukan/ditetapkan sejak kejatuhannya. Wahyu 20:10 mengatakan, “dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya”. Allah berdaulat dan Ia akan melaksanakan apa yang sudah menjadi penentuan (keputusanNya). 

Tetapi untuk sementara ini, saya berpendapat bahwa ajaran Menjadi Corpus Delicti itu lebih mengarah ke Perfeksionisme. 

7. Perfeksionisme adalah ajaran yang mengajarkan kesempurnaan kehidupan Kristen dan bahwa orang Kristen tidak mungkin lagi berbuat dosa selama hidup di dunia ini.[31] Prefeksionisme juga disebut Eradikasionisme karena mengajarkan bahwa adalah mungkin untuk membasmi (mengeradikasi) natur dosa sepenuhnya, sehingga ketika seseorang menjadi Kristen, maka sejak saat itu menjadi sepenuhnya suci dan bersih dari dosa.[32] 

Terhadap ajaran Perfeksionisme ini, pakar teologi Dispensasional Charles C. Ryrie menjelaskan, “Ada sementara pihak yang mengajarkan bahwa orang-orang percaya tidak lagi mungkin berbuat dosa. Pandangan seperti ini disebut kesempurnaan (Perfeksionisme) yang tidak berdasarkan Alkitab. Orang percaya telah dianggap tercabut dari akar dosa. Padahal tidak seorang Kristen pun yang dapat mengalami kesempurnaan yang sama sekali bebas dari pengaruh dosa di masa hidup ini sebelum tiba masa kebangkitan”. 

Serupa dengan Ryrie, Pakar teologi Reformed Anthony A. Hoekema menjelaskan, “Walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi yang baru, akan tetapi mereka belum mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; Mereka masih harus bergumul melawan dosa. 

Di Kolose 3:10 manusia baru yang telah dikenakan oleh orang percaya dideskripsikan sebagai manusia yang terus menerus diperbaharui; Pembeharuan ini merupakan proses seumur hidup”.[33] Ayat-ayat Perjanjian Baru yang biasanya dipakai untuk mendukung ajaran perfeksionisme antara lain: Filipi 3:16; 1 Tesalonika 5:23; Kolose 1:28; Ibrani 6:1; 1 Yohanes 3:9; 5:18, dan Matius 5:48. Walaupun Matius 5:48 disebut paling terakhir, justru ayat tersebut yang paling sering dikutip untuk mendukung ajaran Perfeksionisme. Lalu apakah maksud sebenarnya dari ucapan Yesus dalam Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna”? Berikut ini beberapa catatan dari saya: 

a. Kedua kata “sempurna” dalam ayat di atas adalah terjemahan dari kata Yunani “teleios-τέλειός” yang artinya adalah “utuh, komplit, tak bercacat dan dewasa”. 

Rasul Paulus dalam 1 Korintus 2:6 menggunakan kata “teleios” yang terjemahkan dengan kata “matang (mature)” dalam RSV, NIV dan AITB. Contoh lain dalam Filipi 3:15, kata sifat “teleios” diterjemahkan sebagai “matang” dalam RSV dan NIV. Jadi sempurna menurut Alkitab tidaklah sema dengan kesempurnaaa seperti yang diajarkan Perfeksionisme. Kesempurnaan berarti kedewasaan dan kematangan kehidupan Kristen. 

Charles C. Ryrie menjelaskan, “Kenyataannya, pengajaran Alkitab tentang kesempurnaan berarti kematangan, kedewasaan, kepenuhan dan kelengkapan. Kesempurnaan menurut Alkitab tidak bertentangan terhadap keadaan berdosa melainkan terhadap ketidakdewasaan, dan merupakan sesuatu yang diharapkan dari orang-orang percaya di dunia ini”.[34] Serupa itu, Millard J. Erickson mengatakan, “Istilah Yunani “teleios” yang dipakai (untuk kita) dalam dalam Matius 5:48 sama sekali tidak berarti ‘tanpa cacat’ atau ‘tanpa cela’, tetapi lengkap”.[35] 

b. Perhatikan bahwa Matius 5 ini merupakan etika Kerajaan yang sampaikan oleh Yesus bagi pengikut-pengikutNya. Jadi ayat 48 merupakan kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya. Namun ayat ini tidak hendak membicarakan kesempurnaan kita, tetapi menekan kesempurnaan Allah yang menjadi standar hidup kita, sebagai acuan kehidupan pengikut Kristus. Sebagai analogi, kita harus kudus karena Allah adalah kudus (1 Petrus 1:16).

 Apakah perintah ini serta merta membuat kita menjadi orang Kristen yang tidak dapat berbuat dosa? Analogi lain, kita mengasihi orang lain karena Allah adalah kasih dan telah menunjukkan kasihNya kepada kita (1 Yohanes 4:7-12). Apakah dengan adanya perintah kasih ini, membuat kita menjadi orang yang benar-benar bebas dari perasaan membenci? Namun, fakta bahwa kita masih bisa berbuat dosa, tidak mengubah tuntutan untuk kita hidup kudus. Fakta bawa kita masih bisa membenci, tidak mengubah tuntutan untuk kita teus mengasihi. 

Kita tidak mungkin mencapai ukuran kesempurnaan Allah, sebagaimana dikatakan Henry C. Thiessen, “Bagaimanapun gigihnya kita berusaha dan bagaimanapun jauhnya kita telah maju dalam hidup suci, persesuaian sepenuhnya dengan Kristus baru dapat terwujud ketika ‘yang sempurna tiba’ dan ‘yang tidak sempurna itu lenyap’ (1 Korintus 13:10).”[36] Namun ketidakmampuan kita bukan berarti kita boleh mengabaikan standar ini. Kita harus sebisa mungkin untuk menggapai titik yang tertinggi. Anthony A. 

Hoekema mengatakan, “Apakah kita masih ingat bahwa kita dipanggil untuk sasaran yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu ‘menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah’ (2 Korintus 7:1)? Sasarn itu tidak akan tercapai di dalam kehidupan ini; akan tetapi kita harus mencobanya setiap hari untuk menjangkaunya. 

Seperti yang pernah dikatakan Robert Browning, ‘Jangkauan manusia harus melampuai pencapaiannya, jika tidak, apa manfaat sorga baginya?”[37] Jadi, melalui proses yang panjang pengudusan progresif kita terus-menerus diubah dari satu kemuliaan kepada kemuliaan yang lain (2 Korintus 3:18). 

c. Kita hanya mampu menjalani kehidupan Kristen didasarkan pada anugerah Allah di dalam Kristus Yesus. Tuntutan terhadap kesempurnaan (Matius 5:48) justru berfungsi untuk memperjelas keberdosaan dan ketidakberdayaan kita. Karena itu yang kita bisa lakukan adalah beriman secara sungguh-sungguh kepada korban Kristus yang sempurna di kayu salib. Karena Kristuslah Pencipta dan Penyempurna iman kita (Ibrani 12:2). 

Jadi, ketika kita taat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang merefleksikan kesempurnaan Allah Bapa dan memuliakanNya (Matius 5:16), itu semata-mata anugerahNya. Perhatikan apa yang Paulus katakan mengenai dirinya sendiri, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10). 

d. Melalui perbuatan-perbuatan baik orang-orang yang tidak percaya akan melihat terang Kristus di dalam kita. Itulah sebabnya Yesus menegaskan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16). 

Kata Yunani “kalá erga” menunjuk kepada perbuatan baik dalam pengertian moral, kualitas dan manfaat. Perbuatan baik adalah cermin dari kualitas hidup. Kehidupan yang baru dalam Kristus dimaksudkan untuk menghasilkan perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan. Pernyataan klasik tentang keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman”, langsung diikuti oleh pernyataan ini “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). 

Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yang “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”. 

Jadi perbuatan baik (agothos) dapat didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam Allah seperti yang dinyatakan dalam Yohanes 321. Perbuatan-perbuatan itu bisa juga dikategorikan sebagai pekerjaan iman (1 Tesalonika 1:3). Namun harus diingat, sekalipun iman yang sejati pasti diikuti oleh adanya perbuatan baik, pengudusan dan ketaatan tetapi yang menyebabkan kita diselamatkan adalah iman, dan sama sekali bukan perbuatan-perbuatan baik itu. 

e. Namun, seperti dikatakan Henry C. Theessen, “kita harus berhati-hati untuk tidak beranggapan bahwa kehidupan yang tidak sempurna dan penuh dengan kelemahan itu adalah kehidupan yang normal. 

Bila ajaran kesempurnaan tanpa dosa itu tidak alkitabiah, maka ajaran ketidaksempurnaan penuh dosa juga merupakan ajaran yang tidak alkitabiah. Alkitab samasekali tidak menoleransi dosa dalam kehidupan orang percaya, melainkan secara tegas melarangnya dan bahkan menuntut agar kita hidup dengan penuh kemenangan atas dosa. 

Pertanyaan Paulus, ‘bolehkan kita bertekun dalam dosa?’ (Roma 6:1) langsung dijawab dengan sangat tegas, ‘sekali-kali tidak! Bukanlah kita telah mati terhadap dosa, bagaimana kita masih dapat hidup di dalamnya?’ (Roma 6:2). Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa orang yang terus hidup di dalam dosa ‘tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah’ (1 Korintus 6:10).”[38] (Catatan: Koreksi Terhadap Ajaran Perfeksionisme ini akan saya lanjutkan dalam Ibadah Raya GBAP Bintang Fajar Palangka Raya pada tanggal 24 Juli 2016) 

8. Karena tanggapan saya terhadap silogisme induktif Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th ini berkaitan dengan logika, dan beberapa dari jemaat (juga pembaca artikel ini nantinya) ada yang kurang mengerti hal logika ini. Berikut catatan saya mengenai hukum dan syarat logika yang benar. 

a. Hukum-hukum Logika. Rick Cornish menyatakan bahwa “pilar-pilar yang mendasar untuk pemikiran, pencarian kebenaran, dan pengumpulan pengetahuan ialah hukum-hukum logika”.[39] Ini adalah bagian dari akal sehat yang diberikan oleh Tuhan. Hukum-hukum logika mengatur tentang bagaimana kita berpikir. Hukum logika adalah alat yang membantu bagaimana berpikir logis. Melalui hukum logika akan dapat diketahui apakah sesuatu itu kontradiksi atau tidak, benar atau tidak benar, absah atau tidak absah. 

Selanjutnya Rick Cornish menyebutkan tiga hukum logika yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu : hukum non kontradiksi, hukum identitas, dan hukum excluded middle.[40] Berikut ini penjelasan hukum logika tersebut dengan beberapa penyesuian, untuk melengkapi penjelasannya. 

(1) Hukum non kontradiksi. Hukum non kontradiksi menyatakan bahwa dua pernyataan yang kontradiktif tidak mungkin benar kedua-duanya pada saat yang bersamaan dan pengertian yang sama. Jadi “menurut hukum non kontradiksi A adalah A dan bukan non A pada waktu yang sama dan mengenai hal yang sama”.[41] 

Atau seperti yang dikatakan R.C Sproul, “A tidak dapat A dan Non A pada saat yang sama dan dalam pemahaman yang sama”.[42] Contohnya, seseorang tidak mungkin berbicara dan sekaligus tidak berbicara pada saat yang bersamaan dan dalam hubungan yang sama. 

(2) Hukum identitas. Hukum identitas menyatakan bahwa sesuatu adalah dirinya dan bukan yang lain. Atau dikenal dengan rumusan “A adalah A dan bukan yang lain”. Contohnya, Allah adalah Allah dan bukan seseorang atau sesuatu yang lain; atau saya adalah saya bukan orang lain atau yang lainnya. 

(3) Hukum excluded middle. Hukum excluded middle menyatakan bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri atau bukan dirinya sendiri. Atau dikenali dengan rumusan “A atau Non A”. Tidak dapat diterima kedua-duanya benar pada saat yang sama dan hubungannya yang sama. Contohnya, anda pastilah sedang membaca buku ini atau tidak membacanya. Anda tidak bisa menyatakan bahwa anda sedang membaca dan tidak membaca pada waktu yang bersamaan, atau anda tidak bisa berada ditengah tengah dari keduanya. 

b. Syarat-Syarat Logika. Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menyebutkan bahwa, “struktur inheren dari akal manusia dapat dilihat melalui tiga tindakan dari pikiran itu: (1) pengertian, (2) penilaian, dan (3) pemikiran. 

Ketiga tindakan dari pikiran ini diungkapan dalam: (1) istilah, (2) preposisi, dan (3) argumentasi. Istilah itu bisa jelas atau tidak jelas. Preposisi bisa benar atau tidak benar. Argumentasi bisa sahih secara logika atau tidak sahih”.[43] 

Selanjunya Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menjelaskan “suatu istilah itu jelas bila istilah itu dapat dimengerti dan tidak kabur. Sebuah preposisi adalah benar bila preposisi itu cocok dengan realita dan menyatakan keadaannya. 

Sebuah argumentasi adalah sahih bila kesimpulan yang diambil sesuai dengan dasar-dasar pemikiran. Apabila argumen itu bebas dari kekeliruan logika, maka kesimpulan yang diambil itu pasti benar”.[44] Karena logika adalah bagaimana berpikir benar untuk mendapatkan kesimpulan yang benar, maka harus ada norma atau aturan yang ditaati.

 W. Poesporodjo & Ek. T. Gilarso menyebutkan tiga syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu pemikiran atau penalaran dapat menghasilkan kesimpulan yang benar.[45] Ketiga persyaratan itu adalah sebagai berikut dengan beberapa penyesuaian untuk melengkapi penjelasan. 

(1) Penalaran harus berdasarkan kenyataan atau premis-premisnya harus benar. Suatu penalaran, meskipun logis bila tidak berdasarkan kenyataan atau premis-premis yang benar maka pemikiran tersebut tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar. 

Perhatikan contoh silogisme berikut ini: “Semua manusia berkaki empat (premis 1); Sokrates adalah manusia (premis 2); Karena itu Sokrates berkaki empat (kesimpulan)”. Premis 1 dalam silogisme di atas tidak didasarkan pada kenyataan. Yang benar adalah bahwa semua manusia itu berkaki dua bukan berkaki empat. Sedangkan premis 2 berdasarkan kenyataan, bahwa Sokrates adalah manusia. Karena salah satu premis tersebut keliru atau tidak berdasarkan kenyataan maka hasilnya adalah kesimpulan yang tidak benar (tidak absah). 

(2) Argumentasinya harus mengikuti alur pikiran logis dan absah. Suatu pemikiran, walau pun premis-premisnya benar, tetapi jika alur atau langkah-langkahnya tidak tepat, maka kesimpulannya juga tidak akan tepat. Jika alurnya logis dan tepat, maka kesimpulannya disebut absah. 

Karena itu, arthur F. Holmes menegaskan bahwa dalam penalaran “argumennya harus absah, atau dengan kata lain, kesimpulannya harus logis mengikuti hubungan antara premis-premisnya”.[46] Perhatikanlah contoh berikut: “Semua sapi itu binatang (premis 1); Semua kuda itu binatang (premis 2); Jadi sapi itu sama dengan kuda (kesimpulan)”. Premis 1 dan premis 2 dalam kalimat di atas benar, tetapi kesimpulannya yang salah karena alur argumentasinya tidak logis dan tidak tepat, yaitu tidak ada kaitannya antara premis-premis dan kesimpulan. 

(3) Pemikiran yang diajukan harus disertai alasan-alasan yang tepat dan memadai. Pernyataan atau pendapat yang tidak dibuktikan atau tidak didukung oleh alasan-alasan yang memadai tidak dapat diterima sebagai pemikiran yang absah. Perhatikan contoh berikut: “Semua tetangga saya mempunyai mobil (premis 1); Budi teman saya juga mempunyai mobil (premis 2); Karena itu saya pun harus mempunyai mobil (kesimpulan)”. Dalam pemikiran tersebut, alasan yang diajukan tidak tepat sehingga tidak memadai untuk kesimpulan yang diambil. 


Penutup: 

Berdasarkan tanggapan di atas, perlu bagi kita sebagai orang Kristen untuk terus menerus melatih dan mengembangkan pikiran kita, sehingga menjadi semakin tajam, tepat dan benar. Kita juga perlu untuk memiliki standar penalaran yang tinggi. Dan, logika adalah bagian penting dari suatu penalaran yang tajam. Sebagai contoh, beberapa orang Kristen dengan mudahya mengadopsi satu kepercayaan atau melakukan praktek tertentu tanpa secara seksama mengevaluasi argumen-argumen yang digunakan untuk mendukung kepercayaan atau praktek-praktek tersebut. Kita perlu menerapkan kembali metode orang-orang Berea yang mempelajari Kitab Suci setiap hari untuk mencari tahu apakah yang diajarkan para rasul itu benar (Kisah Para Rasul 17:10-11).[47] 

Jadi, pada dasarnya kita harus berpikir sebagaimana Allah memberi dan merancangnya bagi kita. Kita perlu berpikir tentang Allah, tentang iman kita, dan tentang hidup kita. https://teologiareformed.blogspot.com/

REFERENSI:SILOGISME “CORPUS DELICTI” PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.Th 

[1] Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th adalah pendeta dan gembala Rehobot Ministries di Jakarta. Meraih Gelar S1 dari Seminary Bethel, Magister Teologia dari STT Jakarta, dan Doktor Teologia dari STT Baptis Indonesia Semarang. 

[2] Sabdono, Erastus., 2016. Menemukan Kekristenan Yang Hilang. Diterbitkan oleh Rehobot Literatur: Jakarta, hal. 37-48. 

[3] Hermeneutika yang dalam bahasa Inggris adalah hermeneutics berasal dari kata Yunani hermeneutikos yang berasal dari akar kata Hermeneuo yang artinya menginterpretasikan, menjelaskan, menterjemahkan atau menafsirkan. Kata Ibraninya adalah pathar yang berarti “menafsir”. Hermeneutika dapat didefinisikan sebagai “bagian teologi yang bersifat ilmiah dan seni yang memperhatikan prinsip-prinsip dan peraturan tertentu dengan melibatkan diri penafsirnya untuk tujuan mencari maksud yang ingin disampaikan oleh penulis Alkitab”. Definisi yang sederhana berbunyi“hermeneutika adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip penafsiran Alkitab.” 

[4] Dikutip dari: Gunawan, Samuel T., 2009. Pembimbing Teologi Sistematika. Modul, diterbitkan BESEI Ministries: Palangka Raya, hal. 1 
[5] Sabdono, Erastus., Menemukan Kekristenan Yang Hilang, hal. 42-43. 

[7] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 362. ( Paul Enns adalah Profesor teologi Sistematika dari Dallas Seminary). 

[6] Charles F. Beker menyebutkan bahwa Iblis juga disebut sebagai Satan. Kata Iblis dalam bahasa Yunani adalah “Diabolos” dalam KJV diterjemahkan “Devil” sebanyak 35 kali (AITB pada umumnya menerjemahkannya Iblis). Sedangkan kata “Satan” dalam KJV ditemukan sebanyak 19 kali dalam Perjanjian Lama dan 36 kali dalam Perjanjian Baru. Kata Ibrani Satan dan kata Yunani Satanos, yang dalam KJV pada umunya diterjemahkan Satan, dalam AITB diterjemahkan dengan Iblis. Kata Satan dalam bahasa Ibrani berarti “pendakwa atau lawan”. (Beker, Charles F., 2009. A Dispensational Theology. Terjemahan, Penerbit Pustaka Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 289). [8] Ibid, hal. 363. 
[9] Evans, Tony., 2004. Who is The King of Glory. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam, hal. 222. 

[13] MacArthur, John F., 2005. Kemuliaan Sorga. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam, hal. 162. (John F. Arthur adalah pendeta dan gembala Grace Cummunity Churc dan kepala The Master’s College and Seminary). 

[10] Kata “Lucifer” digunakan oleh Santo Joremi 3 kali dalam terjemahannya, yaitu Alkitab berbahasa latin versi Vulgata. Kata “Lucifer” baru dikenal pada abad 4 Masehi, sebelumnya kata ini tidak pernah dikenal ada dalam Perjanjian Lama bahasa asli Ibrani, Aram, maupun Yunani (Septuaginta). (Tentang Santo Joremi ini, lihat: Wongso, Peter., 1992. Sejarah Gereja. Seminari Alkitab Asia Tenggara: Malang, [11] Sabdono, Erastus, Raja Tirus dalam Taman Eden, dalam bulletin Truth Voice, hal. 20. [12] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 183. (Charles C. Ryrie adalah Profesor teologi Sistematika di Dallas Seminary). 
[14] Peterson, Anton T, Yehezkiel dan Daniel, dalam Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 2 terjemahkan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 803. (Anton T. Peterson adalah Profesor Bidang Literatur dan Bahasa Perjanjian Lama di Bethel College). 

[25] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal.291. 

[15] Achenbach, Reinhard., 2008. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan (2012), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta; Douglas, J.D., ed, 1996. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I dan II. Terj, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta, hal 196. [16] Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 454-457. [17] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2. hal. 362. 
[22] Merrill, Eugene H., Pengantar Pentateukh, dalam Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 35. (Eugene H. Merrill adalah Profesor bahasa-bahasa dan studi Perjanjian Lama di Dallas Seminary). [18] Sabdono, Erastus, Raja Tirus dalam Taman Eden, dalam bulletin Truth Voice, hal. 27. [19] Ibid. [20] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 259-260. [21] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas, hal. 36. 
[24] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 260. 
[23] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas, hal. 36. 

[33] Hoekema, Anthony H., 2010. Diselamatkan Oleh Anugerah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 283. (Anthony A. Hoekema adalah teolog reformed dan pengajar di Calvin College dan profesor teologi sistematis di Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan). 

[26] Peterso Anton T, dalam Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 2, hal. 802-803. [27] Letham, Robert., 2010. Allah Trinitas. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 20-21. [28] Full Life Bible Studi, hal. 5. 
[30] Charles F. Beker menyebutkan bahwa Iblis juga disebut sebagai Satan. Kata Iblis dalam bahasa Yunani adalah “Diabolos” dalam KJV diterjemahkan “Devil” sebanyak 35 kali (AITB pada umumnya menerjemahkannya Iblis). Sedangkan kata “Satan” dalam KJV ditemukan sebanyak 19 kali dalam Perjanjian Lama dan 36 kali dalam Perjanjian Baru. Kata Ibrani Satan dan kata Yunani Satanos, yang dalam KJV pada umunya diterjemahkan Satan, dalam AITB diterjemahkan dengan Iblis. Kata Satan dalam bahasa Ibrani berarti “pendakwa atau lawan”. (Beker, Charles F., 2009. A Dispensational Theology. Terjemahan, Penerbit Pustaka Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 289). [29] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2, hal. 247. [31] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 311. [32] Beker, Charles F., A Dispensational Theology. hal. 588. 
[34] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 311. 

[45] Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso., Logika Ilmu Menalar, hal. 20-22; Bandingkan dengan Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth, hal. 148. 

[35] Erickson, Millard J., 2004. Teologi Kristen, Jilid 3, terjemahan, penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 199. (Millard J. Erickson adalah Asisten profesor dalam bidang Biblika dan Apologetika di Wheaton College; Pengajar dan Dekan di Bethel Theological Seminary). 
[36] Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 449. (Henry C. Thiessen adalah profesor Literatur dan Eksegesis Perjanjian Baru di Dallas Tehological Seminary; Profesor Biblika dan Filsafat di Wheaton College). [37] Hoekema, Anthony H., Diselamatkan Oleh Anugerah, hal. 301. [38] Thiessen, Henry C., Lectures in Systematic Theology, hal 448-449. [39] Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal. 36. [40] Ibit, hal. 37. 
[43] Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 18-19. (Peter Kreeft dan Ronald K. Tacell adalah 2 orang profesor filsafat di Boston College). [41] Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth, hal. 153. [42] Sproul, R.C., Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics, hal. 36. [44] Ibit, hal. 19 
[46] Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth. hal. 148. 

[47] Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy. Terjemahan, Universal Press Sindicate, hal. 4.

Next Post Previous Post