Teologi kemakmuran (Prosperity Theology ): Kesehatan dan kemakmuran
Pdt.Yakub Tri Handoko, Th.M.
Teologi kemakmuran (Prosperity Theology ): Kesehatan dan kemakmuran. “Theologi” kemakmuran (Prosperity “Theology”) adalah sebuah doktrin yang mengajarkan kesuksesan hidup secara jasmani sebagai tanda atau bukti orang tersebut diperkenan Allah.
Kemakmuran hidup ini terutama mencakup kekayaan dan kesehatan. Keadaan yang menyenangkan ini dianggap bisa terjadi karena ditentukan Allah sebelumnya (preordained) atau diberikan sebagai balasan atas doa atau tindakan tertentu (law of reciprocity).
Para penganut theologi ini juga menekankan bahwa kesuksesan di atas telah disediakan Allah bagi setiap orang Kristen. Hanya saja, Allah telah menetapkan instrumen atau syarat untuk menerima kesuksesan tersebut, yaitu melalui iman. Penekanan pada “iman” ini membuat “theologi” kemakmuran sering kali disebut sebagai Theologi Iman (Theology of Faith).
Istilah lain yang mirip dan sering dipakai adalah Word-Faith Theology. Menurut mereka, iman bukan hanya apa yang ada dalam hati orang percaya, tetapi harus dibuktikan secara konkret melalui perkataan positif (Robert Schuller, Norman Vincent Peale), visualisasi (Kenneth Copeland; Yonggi Cho) maupun investasi materi dalam bentuk persembahan (Oral Roberts).
Doktrin kemakmuran mulai populer di Amerika melalui pelayanan TV evangelist dan para pengkhotbah dari denominasi Pentakosta maupun Karismatik. Mereka menekankan bahwa Allah menginginkan semua orang Kristen untuk sukses dalam segala hal, termasuk secara jasmani. Para penganut ajaran ini menyatakan bahwa tujuan dari kesuksesan jasmaniah ini adalah untuk mendanai pekabaran Injil ke seluruh dunia. Tujuan seperti ini dianggap mendapat dukungan dari Ulangan 8:18 “Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian”.
SEJARAH Sebagian orang menelusuri cikal-bakal “theologi” kemakmuran sampai pada gerakan gnostik kuno abad ke-2 M, walaupun bukti-bukti yang dipaparkan masih bisa diperdebatkan. Hampir semua orang tampaknya setuju bahwa akar modern dari “theologi” kemakmuran terdapat pada diri E. W. Kenyon (1867-1948) dari Inggris. Ia berasal dari gereja Methodist, kemudian berpindah ke Baptis dan terakhir ke Pentakosta. Ia adalah seorang pengkhotbah, pendidik, dan penulis yang hebat.
Penekanannya pada ‘iman sebagai sarana mendapatkan janji Allah’ tertuang dalam 18 buku yang dia tulis. Salah satu frase yang berasal dari Kenyon dan terus dipakai sampai sekarang adalah “apa yang saya akui, itu yang saya miliki” (what I confess, I possess).
Para peneliti berbeda pendapat tentang pemikiran tertentu yang mempengaruhi Kenyon. Di satu sisi sebagian berpendapat bahwa ia dipengaruhi oleh filosofi Gerakan Zaman Baru dalam berbagai bentuknya (D. R. McConnell, A Different Gospel, hlm. 31-35; H. Terris Neuman, An Analysis of the Sources of the Charismatic Teaching of Positive Confession, hlm. 43), sedangkan di sisi lain sebagian peneliti menganggap ia dipengaruhi oleh para tokoh Pentakosta aliran Faith Cure, misalnya A. B.
Simpson dan A. J. Gordon (Joe McIntyre, E. W. Kenyon: The True Story). Beberapa ahli lain mengamini pengaruh Pemikiran Baru dalam konsep Kenyon, tetapi bersimpati terhadap usaha Kenyon mengintegrasikannya dengan Alkitab (William DeArteaga, Quenching The Spirit), sedangkan yang lain menolak latar belakang pemikiran tersebut tetapi lebih kritis terhadap doktrin Kenyon (Robert Bowman, Word-Faith Controversy).
Konsep di atas selanjutnya terus dikumandangkan oleh beberapa tokoh, misalnya Kenneth Copeland, Kenneth Hagin, Benny Hinn, Oral Roberts, Nasir Saddiki, Robert Tilton, T. D. Jakes, Morris Cerullo, Paul Crouch, Joel Osteen, John Avanzini, Fred Price, David (Paul) Yonggi Cho, dan Peter Popoff. Dari deretan nama tersebut, Hagin adalah yang terkemuka, sehingga dia sering kali disebut sebagai The Father of Faith Movement (Sherry Andrews, "Kenneth Hagin ‹ Keeping the Faith," Charisma, October 1981, hlm. 24), walaupun menurut jajak pendapat dari majalah yang sama Hagin hanya berada di urutan ke-3 setelah Pat Robertson dan Kenneth Copeland (Kenneth Hagin, Jr., Charisma, “Trend Toward the Faith Movement,” August 1985, hlm. 67-70). Hagin terkenal dengan kotbahnya tentang 4 formula menerima janji Allah: katakan – lakukan – terima – beritakan.
Ada dua faktor utama mengapa gerakan ini mampu menarik banyak pengikut. Faktor pertama adalah efek dari kebangkitan ekonomi dan sekularisasi. Pasca Perang Dunia II Amerika mengalami perkembangan ekonomi yang luar biasa. Kemakmuran merupakan hal yang sangat mudah didapat dan perlahan-lahan membentuk pola pikir yang materialistis. Situasi seperti ini akhirnya menimbulkan kekosongan batiniah dalam diri banyak orang. Nilai-nilai keagamaan dan mentalitas baru ini tampaknya sulit digabungkan. Dalam situasi seperti ini “theologi” kemakmuran menawarkan salah satu bentuk integrasi dari dua hal itu.
Faktor berikutnya adalah perkembangan Pemikiran Baru (New Thought). Kemiripan yang fundamental antara “theologi” kemakmuran dan Gerakan Zaman Baru – penekanan pada kemampuan aspek batiniah dan perkataan manusia, nilai-nilai keilahian manusia, kesuksesan dan kemakmuran - menunjukkan bahwa keduanya saling berkaitan (Hendrik H. Hanegraaff, Christianity in Crisis). Masyarakat Amerika yang telah diracuni paham pantheisme Timur melalui Pemikiran Baru dengan mudah beralih pada “theologi” kemakmuran yang menekankan hal-hal yang sama.
BEBERAPA KONSEP UTAMA
1. Orang Percaya
Sebagai ilah-ilah Kecil “Theologi” kemakmuran mempropagandakan suatu konsep bahwa orang percaya adalah ilah-ilah kecil. Teori seperti ini sebenarnya sudah lama diajarkan Kenyon. Dia menyatakan bahwa Allah dan manusia memiliki hakikat yang sama. Keduanya berbeda hanya dalam hal tingkatan, bukan natur (Hidden Man, hlm. 7).
Copeland mengajarkan bahwa alasan Allah menciptakan Adam adalah keinginan-Nya untuk mereproduksi diri-Nya. Adam bukanlah sesuatu yang sedikit seperti Allah, ia bukan hampir sama seperti Allah, ia bahkan tidak lebih rendah daripada Allah" ("Following the Faith of Abraham" tape # 01-3001). Ia bahkan menyebut Adam sebagai Allah yang memanifestasikan diri dalam daging (“Following the Faith of Abraham”). Manusia bisa berdiri di hadapan Allah tanpa merasa lebih rendah (Hagin, Zoe: The God-Kind of Life, 1989, hlm. 35).
Hinn menyebut Adam sebagai Superman pertama yang bisa terbang, karena untuk berkuasa atas burung Adam juga harus bisa melakukan apa yang dilakukan oleh burung. Hinn lebih jauh meyakini bahwa Adam dalam seketika bisa berada di bulan (Praise the Lord program, TBN, 26/12/1991). Teks Alkitab yang dianggap mendukung semua gagasan ini adalah Kejadian 1:26-27. Frase “gambar dan rupa Allah” dalam teks ini menurut mereka menunjukkan bahwa manusia adalah duplikasi Allah (C. Treat, “Believing in Yourself”, Casey Treat Ministries, tape 2).
Mereka selanjutnya mengajarkan bahwa hakikat ini hilang setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sebagai gantinya, manusia memiliki hakikat iblis. Melalui karya penebusan Kristus (lihat bagian selanjutnya), manusia kembali memiliki hakikat keilahian itu, sehingga orang percaya adalah allah (Hinn, “Our Position In Christ”, tape # AO31190-1; “Praise-athon”, TBN, November, 1990) atau ilah-ilah kecil (Paul Crouch, “Praise The Lord", TBN, 7/7/86). Orang percaya adalah Allah sama seperti pada peristiwa inkarnasi (Hagin, “The Incarnation”, Word Of Faith, Dec. 1980, 14).
Morris Cerullo dalam kotbahnya bahkan dengan berani berkata, “engkau bukan sedang melihat Morris Cerullo, engkau sedang melihat Allah, engkau sedang melihat Yesus” (Morris Cerullo, The Endtime Manifestation of the Sons of God, Morris Cerullo World Evangelism tape 1). Ketika orang percaya membaca Alkitab di mana Yesus berkata ‘Aku adalah’, mereka dapat berkata ‘aku juga’ (Copeland, “Believer Voice of Victory”, TBN, 9/7/87).
Dari sini terlihat bahwa orang percaya bukan hanya anak-anak Allah secara adopsi, tetapi anak-anak Allah dalam arti sehakekat dengan Yesus Kristus (Cerullo, Endtime Manifestation; Hinn, Our Position in Christ #2—The Word Made Flesh, Orlando Christian Center, 1991, videotape #255).
Konsep di atas merupakan dasar penting bagi “theologi” kemakmuran. Jika Allah dan orang percaya adalah sehakekat, maka orang percaya bisa melakukan apa saja yang dilakukan Allah. Teks yang sering dipakai sebagai dukungan adalah Kejadian 1 yang menceritakan kisah penciptaan melalui kata-kata Allah.
Sebagaimana Allah menciptakan sesuatu yang tidak ada (creatio ex nihilo) hanya melalui kata-kata, demikian juga orang percaya pasti mampu menciptakan apa saja dengan kekuatan kata-kata. Logika berpikir seperti ini sangat mudah ditebak. Konsep tentang manusia yang bisa mendapatkan apa saja yang mereka mau, menciptakan realitas dengan perkataan mereka dan memiliki kontrol atas segala situasi memang sangat dekat dengan konsep mendewakan diri sendiri.
Lebih jauh, Copeland menyatakan bahwa orang percaya tidak memiliki Allah di dalam diri mereka, karena mereka sendirilah Allah itu (Kenneth Copeland, “The Force of Love”, tape #02-0028). Allah dan orang percaya bersatu menjadi satu roh dan dengan demikian orang percaya seharusnya berdoa kepada diri mereka sendiri (Copeland, “Believer’s Voice of Victory”, Feb 1987, 9). Ia bahkan menyatakan bahwa Allah adalah kegagalan terbesar dalam Alkitab (“Praise-a-thon”, TBN, recorded 1988).
2. Yesus Kristus
Karena pada saat kejatuhan manusia ke dalam dosa mereka telah kehilangan hakikat keilahian dan mulai memiliki hakikat iblis, mereka perlu direstorasi pada keadaan semula. Untuk tujuan inilah Yesus Kristus menjadi manusia (berinkarnasi) dan melakukan karya penebusan. Jadi, keselamatan lebih dipahami sebagai pemusnahan natur setan dalam diri manusia dan restorasi natur Allah dalam diri manusia.
Para tokoh “theologi” kemakmuran menekankan bahwa selama hidup di dunia Yesus hanyalah manusia biasa, bukan Anak Allah (Frederick K. C. Price, Tape #RP 19, May 1993). Ia bukan Allah dan tidak pernah mengklaim diri sebagai Allah. Dia hanya mengklaim bahwa Dia berjalan di dalam Allah dan Allah di dalam Dia. (Copeland, “Take Time to Pray,” Believer’s Voice of Victory, Vol. 15, 2 February 1987, 9).
Dia mampu melakukan semua yang Dia lakukan karena kuasa dari Roh Kudus. Hinn bahkan berani mengajarkan bahwa tanpa bimbingan Roh Kudus, Yesus pasti akan berdosa (Good Morning, Holy Spirit, Thomas Nelson, 1990, 135). Konsep Yesus yang seperti ini sangat penting bagi penganut Theologi Kemakmuran. Sebagaimana Yesus – yang hanya seorang manusia – mampu melakukan berbagai mujizat melalui kuasa Roh Kudus, orang percaya juga mampu melakukan hal itu.
Orang percaya bahkan diberi janji akan menerima Roh secara tidak terbatas (Yoh. 3:34) dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada yang sudah dilakukan Yesus (Yoh. 14:12). Dipengaruhi oleh konsep Kenyon dalam berbagai bukunya – termasuk What Happened From The Cross To the Throne dan Identification: A Romance In Redemption – para tokoh Theologi Kemakmuran mengembangkan doktrin penebusan yang sesuai dengan sistem berpikir mereka.
Yesus bukan hanya mengalami kematian fisik, tetapi juga – yang terutama – kematian rohani, yang berarti pengambilan natur iblis (Hagin, The Name of Jesus, hlm. 31; Copeland, “The Great Exchange”, Believer’s Voice of Victory, Feb. 1996, hlm. 5). Yesus bukan hanya mengambil natur itu tetapi Ia juga menaati iblis (Copeland, “The Price of it All”, Believer’s Voice of Victory, Sept. 1991, hlm. 4-6; “What Happened From the Cross to the Throne?”, Kenneth Copeland Ministries, 1990, tape # 02-0017, side 2).
Price meyakini bahwa pengambilan natur iblis ini terjadi di Taman Getsemani (Identification #3, Ever Increasing Faith Ministries, 1980, tape #FP545), sedangkan Copeland memilih terjadi di kayu salib sesaat sebelum Yesus berseru “Allahku-Allahku mengapa engkau meninggalkan aku?” (Copeland, Classic Redemption, hlm. 13).
Kematian rohani inilah yang akhirnya menyebabkan Yesus mengalami kematian secara jasmani. Ayat yang dianggap mendukung pandangan ini adalah 2 Korintus 5:21. Dalam ayat ini tidak dikatakan bahwa Yesus mengambil atau menebus dosa, tetapi Ia menjadi dosa. Teks lain yang dipakai adalah Bilangan 21:9 (dikutip di Yoh. 3:14) yang menceritakan tindakan Musa meninggikan ular di padang gurun. Mengapa yang ditinggikan justru ular dan bukan domba? Copeland menjelaskan sesuai dengan wahyu yang dia terima dari Tuhan “karena yang tergantung di kayu salib adalah lambang dari setan” (“What Happenend from the Cross to the Throne”, Kenneth Copeland Ministry, 1990, tape #02-0017).
Tokoh “theologi” kemakmuran juga mengajarkan bahwa Yesus benar-benar turun ke dalam neraka. Kematian fisik saja dianggap tidak cukup untuk menghapuskan dosa kita (Hagin, The Name of Jesus, 29; “How Jesus Obtained His Name”, Kenneth Hagin Ministry, tape #44H01). Kalau hukuman dosa hanya digantikan melalui kematian di atas kayu salib, maka dua penjahat di sebelah Yesus juga dapat menebus dosa kita. Hukuman dosa adalah pergi ke neraka dan berada di sana beberapa waktu dalam keadaan terpisah dengan Allah (Price, Ever Increasing Faith Messenger, June 1990, hlm. 7).
Setelah tiga hari berada di neraka, Yesus mengalami kelahiran kembali dan saat itu merupakan awal keberadaan gereja (Capps, Authority In Three Worlds, 212 13). Kelahiran kembali ini merupakan suatu keharusan, karena Yesus telah menjadi dosa dan terpisah dari Allah (Paul Billheimer, Destined for the Throne, edisi khusus untuk TBN, Christian Literature Crusade, 1988 [edisi asli 1975]), hlm. 83-84).
Pandangan ini dianggap sesuai dengan Roma 8:29 yang menyebut Yesus sebagai “yang sulung” (prōtotokos) di antara semua saudara. Dasar lain yang dipakai adalah sebutan “Anak Tunggal” (the only begotten) yang biasa ditujukan pada Yesus. Sebutan “Anak Tunggal” ditafsirkan sebagai rujukan pada hasil kelahiran kembali (Hinn, Our Position in Christ Part 1, Orlando Christian Center, 1991, videotape #TV-254).
Doktrin penebusan seperti di atas memegang peranan penting dalam “theologi” kemakmuran. Natur iblis yang dimiliki manusia sudah diambil-alih oleh Yesus. Melalui kelahiran kembali yang dialami Yesus di neraka, orang percaya kembali menerima natur keilahian yang hilang. Dengan kata lain, manusia kembali berposisi sebagai Allah. Karena di dalam Yesus orang percaya telah dilahirkan kembali, mereka akan mampu melakukan apa pun yang Yesus lakukan selama mereka memiliki pengetahuan tentang firman Tuhan seperti Yesus (Copeland, Substitution and Identification, Kenneth Copeland Ministries, 1989, tape #00-0202).
Hinn menjelaskan, “Ia menjadi manusia supaya manusia menjadi seperti Dia. Ia menjadi kematian supaya orang-orang mati dapat hidup. Ia menjadi dosa supaya orang-orang berdosa dapat menjadi benar di dalam Dia. Dia menjadi satu natur dengan setan supaya mereka semua yang memiliki natur setan dapat mengambil bagian dalam natur Allah” (Benny Hinn program, TBN, 15/12/1990).
3. Kesehatan dan Kemakmuran
“Theologi” kemakmuran mengajarkan bahwa Allah menghendaki kita untuk hidup makmur (Copeland, Laws of Prosperity, hlm. 51). Mereka bahkan menganggap kemiskinan sebagai sebuah dosa (R. Tilton, “Success-n-Life” program, December 27, 1990). Mereka juga menandaskan bahwa Allah – dalam kasih dan kemurahan-Nya yang besar – menghendaki agar tidak ada satupun orang percaya yang pernah sakit.
Penyakit adalah usaha iblis merampok hak-hak ilahi orang percaya dalam memiliki kesehatan yang sempurna (Jerry Savelle, If Satan Can’t Steal Your Joy..., Harrison House, 1982). Setiap orang percaya akan berumur panjang di bumi tanpa mengalami penyakit dan akhirnya tertidur bersama dengan Tuhan (Hagin, Seven Things You Should Know About Divine Healing, hlm. 21). Hagin juga menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami sakit kepala selama 45 tahun (In the Name of Jesus, hlm. 44).
Berdasarkan keyakinan di atas, mereka menganggap tubuh yang sakit tidak bisa memuliakan Tuhan. Price mengajarkan bahwa Roh Kudus tidak mau tinggal di dalam tubuh seseorang yang buta maupun tuli, karena Ia tidak bisa melihat keluar maupun mendengarkan (“Is God Glorified Through Sickness?”, tape # FP605). Orang percaya harus mengabaikan gejala-gejala penyakit dan percaya bahwa mereka telah disembuhkan (Hagin, Right and Wrong Thinking, Kenneth Hagin Ministries, 1966; In the Name of Jesus, hlm. 44). Beberapa orang secara tegas menolak penggunaan obat-obatan medis (Price, Faith, Foolishness or Presumption?, Harrison House, 1979).
Ada beberapa dasar yang dipakai mereka untuk mengklaim kesehatan dan kemakmuran bagi setiap orang percaya. Pertama, kehidupan Yesus di dunia. Menurut mereka Yesus selama di dunia hidup sebagai orang kaya. Avanzini meyakini bahwa Yesus memiliki sebuah rumah besar yang bagus (“Believer’s Voice of Victory”, TBN 20/1/2001), mengenakan pakaianpakaian rancangan desainer (Yoh. 19:23-24; Believer’s Voice of Victory”, TBN 20/1/2001) dan memegang uang yang sangat banyak (“Praise the Lord”, TBN 15/8/1988).
Begitu kayanya Yesus, sampai-sampai pakaian-Nya pun diperebutkan orang sehingga terpaksa diadakan undian (Yoh. 19:23-24). Karena Yesus (dan pararasul) adalah orang-orang kaya, maka orang percaya seharusnya mengharapkan kesuksesan finansial yang sama (Avanzini, "Was Jesus Poor?”).
Dasar lain yang diajukan untuk mendukung “theologi” kemakmuran adalah tujuan kedatangan Yesus ke dalam dunia. Dalam Yohanes 10:10 dikatakan bahwa Yesus datang supaya orang percaya memiliki hidup yang berkelimpahan. Dalam 2 Korintus 8:9 juga disebutkan bahwa Yesus yang kaya mau menjadi miskin supaya kita kaya. Dua ayat ini ditafsirkan sebagai kelimpahan secara jasmani/materi. Ayat lain yang kadangkala dipakai adalah Roma 8:32. Kalau Allah saja memberikan Anak-Nya datang ke dalam dunia dan mati bagi manusia, maka Allah pasti akan memberikan segala sesuatu yang lain.
Dasar selanjutnya adalah nubuat nabi Yesaya (pasal 53:4-6) yang digenapi dalam pelayanan Yesus. Yesaya 53: 4 dikutip dalam Matius 8:17, sedangkan Yesaya 53:5-6 dikutip dalam 1 Petrus 2:24-25. Secara khusus pengikut “theologi” kemakmuran menyoroti bentuk present tense “kita menjadi sembuh” di Yesaya 53:5 (semua versi Inggris “we are healed”). Ayat ini dipahami secara hurufiah (kesembuhan fisik) dan dianggap berlaku secara terus-menerus, karena memakai present tense.
Dasar keempat yang dipakai adalah status orang percaya sebagai anak-anak Allah atau anak-anak Raja. Sebagai anak-anak Raja orang percaya pasti kaya. Price pernah mengatakan, “kalau mafia saja bisa mengendarai mobil Lincoln Continental, mengapa anak-anak raja tidak bisa?” (Faith, Foolishness or Presumption?, 1979, hlm. 74). Konsep seperti inilah yang sangat mempengaruhi berbagai langkah konkret yang diambil Yonggi Cho dalam usaha membangun gerejanya yang megah (Fourth Dimension).
Ayat terakhir yang sangat sering dikutip penganut “theologi” kemakmuran adalah 3 Yohanes 2. Mayoritas versi Inggris menerjemahkan ayat 2a dengan “saudara-saudaraku, aku berdoa semoga engkau sukses (prosper) dalam segala hal”. Mereka menafsirkan prosper di sini secara hurufiah merujuk pada kemakmuran materi.
4. Syarat Menerima Janji Allah
Dalam “theologi” kemakmuran diajarkan bahwa orang percaya pasti akan mendapatkan apa pun yang dia inginkan, karena semua itu sudah disediakan oleh Allah. Jika tidak terjadi kesembuhan (atau kekayaan), maka persoalannya terletak pada penerimaan kita, bukan pada pemberian Allah (Copeland, “The Great Exchange”, Believer’s Voice of Victory, Feb. 1996, hlm. 7; Hagin, The Name of Jesus, hlm. 141).
Allah selalu memberi, tetapi kita tidak selalu memenuhi persyaratan untuk menerima pemberian itu. Bagi orang percaya yang sungguh-sungguh, ia pasti menerima. Kalau ada orang Kristen yang sungguh-sungguh tetapi tidak menerima, maka hal itu hanyalah kebohongan semata-mata (Copeland, “The Great Exchange”, hlm. 7; Hagin, The Name of Jesus, hlm. 141).
Persyaratan utama yang harus dimiliki orang Kristen adalah iman yang sungguh-sungguh. Iman adalah sebuah kekuatan (Copeland, The Force of Faith, KCP Publications, 1989). Dengan kekuatan ini orang percaya dapat menggerakkan Allah. Bagi pengikut Theologi Kemakmuran, doa yang pengabulannya diserahkan pada kehendak Allah sama saja menganggap Allah sebagai pribadi yang bodoh (Price, “Ever Increasing Faith”, TBN, 16/11/1990). Sebaliknya, melalui kekuatan iman, orang percaya dapat melakukan apa saja yang mereka minta, sekalipun hal itu tampak mustahil (Mat. 17:20//Mrk. 11:23-24).
Tokoh “theologi” kemakmuran mengajarkan bahwa Allah terikat pada hukum spiritual dalam dunia roh dan hanya dapat bekerja melalui kekuatan iman (C. Capps, Authority in Three Worlds, hlm. 60-61). Allah taat pada perintah dan keinginan orang Kristen yang penuh iman (Copeland, Laws of Prosperity, hlm. 60-62). Mengapa Allah sedemikian tunduk kepada iman? Jawabannya adalah karena Allah merupakan keberadaan (Being) yang beriman. Ayat yang dipakai untuk mendukung pandangan ini adalah Markus 11:22 (“milikilah iman kepada Allah”).
Menurut penganut “theologi” kemakmuran, terjemahan ini tidak tepat, karena bentuk genitif theou (“Allah”) di ayat ini seharusnya diterjemahkan “iman milik Allah” (bdk. YLT dan footnote KJV).
Alasan lain yang mengapa Allah begitu terikat dengan iman orang percaya adalah konsep perjanjian Allah dengan Abraham. Menurut mereka, orang percaya – berdasarkan otoritas Firman – dapat memerintahkan Allah untuk melakukan bagian-Nya dalam perjanjian itu (Robert Tilton, God's Miracle Plan for Man, hlm. 36; Copeland, Our Covenant with God, hlm. 32).
Copeland bahkan mengajarkan bahwa Allah adalah pihak yang lebih lemah dalam perjanjian itu dibandingkan dengan Abraham (Legal and Vital Aspects of Redemption, 1985, tape #01-0403). Kualitas iman yang ditunjukkan haruslah istimewa.
Orang percaya harus mengimani kesaksian Firman Allah sekalipun kondisi fisik menunjukkan hal sebaliknya (Hagin, How to Turn Your Faith Loose, Faith Library Publications, 1979, hlm. 29). Sebagai contoh: orang sakit yang sudah didoakan tidak boleh menguji apakah kesembuhan sudah terjadi atau tidak, karena tindakan ini merupakan bentuk pengakuan negatif yang bisa membatalkan kuasa iman dan doa (Hagin, The Key to Scriptural Healing, Faith Library Publications, 1979, hlm. 30).
Selain harus memiliki kualitas iman yang luar biasa, orang percaya dituntut untuk mempraktekkan iman itu dalam beberapa langkah konkret. Orang percaya harus memvisualisasikan dalam pikiran apa yang mereka inginkan. Copeland mengajarkan untuk membangun gambaran pengharapan di dalam diri orang percaya dan memelihara firman itu di depan mata mereka (Copeland, Inner Image of the Covenant, tape, side 2). Visualisasi ini merupakan bahasa dalam kehidupan dimensi rohani (keempat) dan Roh Kudus berkomunikasi melalui cara itu (Cho, Fourth Dimension).
Langkah konkret lain yang harus dilakukan adalah perkataan/pengakuan positif. Orang percaya harus mengucapkan terus-menerus apa yang mereka imani, karena apa yang diakui itu pula yang didapat (Copeland, “Inner Image of the Covenant”, Kennneth Copeland Ministries, 1985, tape # 01-4406). Orang percaya dapat menentukan masa depan mereka sendiri melalui iman yang diucapkan dan pemanfaatan hukum spiritual (Copeland, Laws of Prosperity, hlm. 15; Capps, The Tongue A Creative Force, hlm. 117-118; Releasing the Ability of God, hlm. 98-99, 101-104).
Sebagaimana Allah hanya memakai kata-kata untuk menciptakan alam semesta, maka orang percaya juga dapat membuat sesuatu bisa terjadi melalui perkataan yang positif (Hagin, How To Turn, hlm. 23). Sebagaimana kata-kata yang positif dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa, demikian pula perkataan yang negatif akan menciptakan realitas yang negatif pula, karena menurut Amsal 18:21 “hidup dan mati dikuasai lidah” (Hagin, The Name of Jesus, 1986, hlm. 144).
Langkah konkret yang terakhir adalah tindakan memberi persembahan untuk hamba Tuhan atau pekerjaan Tuhan. Langkah ini didasarkan pada konsep hukum tabur-tuai. Beberapa ayat yang sering dipakai sebagai dukungan antara lain Maleakhi 3:10; Markus 10:30; Lukas 6:38; dan Galatia 6:17. Dengan menanam benih finasial melalui persembahan, orang percaya dapat menyebut imbalan apa yang mereka inginkan dan mereka akan mendapatkannya (J. Duplantis, “Name Your Seed!”, Believer's Voice of Victory, Jan. 1993, hlm. 23).
Mereka tidak jarang memakai nama Tuhan atau mengklaim mendengar suara Tuhan secara langsung guna mendapatkan persembahan yang banyak, seperti yang dilakukan Cerullo ketika ia berkata “maukah engkau menyerahkan dompetmu kepada-Ku - kata Allah - dan biarlah aku menjadi Tuhan atas dompetmu...Ya, dengan demikian engkau taat kepada suara-Ku” (“A Word from God at the Deeper Life World Conference,” Deeper Life, Mar. 1982, hlm. 15).
5. Sikap Terhadap Pandangan Lain
Para tokoh “theologi” kemakmuran memiliki cara tertentu untuk membentengi ajaran mereka dari berbagai kritikan. Mereka umumnya tidak mau dikritik maupun diajak dialog. Price menyatakan bahwa ia baru mau dikritik oleh mereka yang memiliki penganut sama atau lebih banyak daripada dia. Paul Crouch mengecam orang-orang yang melawan otoritas Copeland maupun Hagin serta menyatakan secara publik bahwa dia tidak mau berbicara atau melihat wajah dari orang-orang tersebut (“Praise-a-thon” TBN, 2/4/91).
Mereka yang mengkritik dianggap sebagai pemecah-belah tubuh Kristus. Hinn bahkan sudah terjebak pada pengkultusan individu ketika ia berkata “mereka yang menyerang Kenneth Copeland sedang menyerang hadirat Allah sendiri!” (“Benny Hinn” program, TBN, 8/6/1992).
Sikap superior di atas sangat berkaitan dengan otoritas utama yang mereka pakai sebagai dasar keyakinan. Yang paling penting bagi mereka adalah wahyu Allah secara langsung melalui komunikasi verbal dengan Allah, perjalanan di alam roh maupun berbagai penglihatan ilahi. Mereka lebih berpegang pada rhema (yang mereka pahami sebagai firman Allah yang spesifik pada waktu yang spesifik untuk orang yang spesifik) daripada logos (yang mereka pahami sebagai firman Allah yang tertulis).
Salah satu contoh adalah Copeland yang mengklaim bahwa penafsirannya terhadap sebutan Yesus sebagai yang sulung merupakan hasil pewahyuan langsung dari Allah (“What Happened from the Cross to the Throne” tape # 02-0017). Hinn juga menyebut pandangan tentang “ilah-ilah kecil” sebagai pengetahuan dari wahyu yang sesungguhnya (“Our Position In Christ”, tape # AO31190-1).
Ketika mengajarkan bahwa Allah terdiri dari 9 substansi yang berbeda, Hinn menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baru. Ia berkata, “apakah engkau berpikir engkau ada di gereja ini untuk mendengarkan hal-hal yang engkau sudah dengar selama 50 tahun?” (TBN, 3/10/91). Cerullo mengklaim bahwa rohnya pernah diangkat dan dibawa ke surga bertemu dengan Allah dalam wujud seperti manusia (The Miracle Book, Cerullo Word Evangelism, Inc., 1984, x-xi).
Mereka yang mengandalkan wahyu langsung dari Roh Kudus umumnya mengetahui bahwa ajaran mereka berkontradiksi dengan ajaran gereja pada umumnya (Hinn, Our Position in Christ #2—The Word Made Flesh, Orlando Christian Center, 1991, videotape #255; TBN, 15/12/1990). Mereka menyadari bahwa ajaran mereka dapat dikategorikan sebagai bidat dari sudut pandang Kekristenan mayoritas. Copeland mengaku mendengar suara Tuhan yang memerintahkan dia untuk lebih menuruti wahyu langsung daripada tradisi (“Substitution and Identification”, Kenneth Copeland Ministry, 1989, tape #00-0202).
Bagaimanapun, mereka tetap tidak mempedulikan itu. Bagi mereka, yang terpenting adalah wahyu langsung dari Roh Kudus. Ayat yang biasanya dipakai sebagai dukungan adalah 1 Yohanes 2:27 “Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari pada-Nya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya mengajar kamu tentang segala sesuatu dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta dan sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di dalam Dia”.
ANALISA KRITIS TERHADAP “THEOLOGI” KEMAKMURAN
1. Orang Percaya
Sebagai ilah-ilah Kecil Cara paling mudah untuk menunjukkan penyimpangan konsep “orang percaya sebagai “ilah-ilah kecil” adalah dengan menafsirkan Kejadian 1:26 secara tepat, karena ayat ini secara salah telah dijadikan dasar oleh penganut “theologi” kemakmuran. Apakah frase “menurut gambar dan rupa Allah” berarti manusia sehakekat dengan Allah? Tentu saja tidak.
Berdasarkan konteks Kejadian 1:26-27, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah memiliki dua makna. Pertama, sama seperti Allah yang berada dalam kejamakan yang tunggal, manusia juga diciptakan dalam kejamakan yang tunggal. Ayat 26 memakai struktur kalimat Ibrani yang unik yang menggabungkan subjek jamak (“Kita”) dengan kata kerja tunggal (“menjadikan”). Beberapa penafsir melihat ini sebagai jamak kemuliaan, tetapi pendapat ini sudah lama ditolak oleh mayoritas sarjana (Jouon).
Cara yang lebih tepat adalah melihat ayat ini apa adanya, yaitu adanya kejamakan dan ketunggalan dalam diri Allah. Hal ini didukung juga oleh ayat 27 “Maka Allah menciptakan manusia itu (tunggal) menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia (tunggal); laki-laki dan perempuan (jamak) diciptakan-Nya mereka (jamak)”.
Kejadian 2 juga mendukung ide kejamakan dalam ketunggalan. Ketika Adam sendirian Allah menganggap itu tidak baik (Kej. 2:18) dan Ia memberikan Hawa kepada Adam sebagai penolong (Kej. 2:21-23). Menariknya, pemberian penolong ini bukan supaya manusia menjadi dua, tetapi menjadi satu daging (Kej. 2:24).
Makna kedua dari gambar dan rupa Allah adalah manusia menjadi wakil Allah dalam mengelola bumi. Kejadian 1:26 secara eksplisit menjelaskan tujuan dari penciptaan menurut gambar Allah (“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa...”).
Beberapa argumen lain yang mendukung makna di atas antara lain: (1) ide tentang “gambar Allah” dan “tugas pengelolaan bumi” muncul bersama-sama lagi di Kejadian 9:1-2, 6; (2) konsep ini sesuai dengan budaya waktu itu yang menganggap raja/penguasa sebagai gambar Allah (wakil Allah), walaupun dalam Kejadian 1:26-27 gambar Allah tidak terbatas pada raja saja, tetapi berlaku untuk semua manusia; (3) konsep ini sesuai dengan penggunaan kata selem (gambar) yang sering dipakai untuk patung berhala (Bil. 33:52; 2Raj. 11:18; Yeh. 7:20; 16:17) yang dianggap sebagai representasi dewa.
Bantahan lain terhadap pandangan “theologi” kemakmuran juga dapat dilihat dari pemakaian kata demut (LAI:TB “rupa”) di Kejadian 1:26. Kata ini secara hurufiah berarti “kemiripan” (versi Inggris “likeness”). Yehezkiel memakai kata ini untuk menunjukkan bahwa apa yang dia lihat hanyalah keserupaan saja, bukan kesamaan natur (Yehezkiel 1:5, 10, 13, 16, 22, 26, 28; 8:2; 10:1, 10, 21, 22).
Penggunaan demut di Kejadian 1:26 justru dimaksudkan untuk mempertegas bahwa manusia bukanlah identik dengan Allah. Penambahan ini diperlukan karena kata selem agak bernuansa abstrak sehingga dikuatirkan bisa menimbulkan kesan bahwa manusia adalah benar-benar sama dengan Allah (Victor P. Hamilton, The Book of Genesis Chapters 1-17, NICOT, hlm. 135).
Bantahan lain terkait dengan perubahan natur manusia setelah kejatuhan: dari natur Allah menjadi natur iblis. Pandangan ini jelas merupakan kesalahan, karena status manusia sebagai gambar Allah tidak hilang setelah kejatuhan ke dalam dosa. Semua manusia tetap sebagai gambar Allah (Kej. 9:6; Yak. 3:9).
Kesalahan lain dari pengajar “theologi” kemakmuran terletak pada kerancuan arti natur/hakikat. Apa yang dimaksud dengan hakikat? Hakikat merujuk pada elemen dasar yang dimiliki suatu being yang membuatnya berbeda dibandingkan dengan being yang lain. Jika dikaitkan dengan Allah, maka hakikat Allah mencakup berbagai sifat Allah yang unik, misalnya Mahaada, Mahatahu, Mahakuasa, Mahabijaksana, kekal (tidak memiliki awal dan akhir), tidak terbatas, bebas, dan sebagainya. Semua sifat ini memang tidak pernah dimiliki manusia, baik sebelum maupun setelah kejatuhan ke dalam dosa, bahkan setelah ditebus Kristus sekalipun.
Terakhir, pengajar “theologi” kemakmuran telah salah memahami perbedaan makna dari istilah “anak Allah”. Menurut Vos, seperti dikutip George E. Ladd (A Theology of the New Testament, ed. rev., hlm. 159-160), istilah “anak Allah” bisa ditujukan pada empat kategori:
(1) semua manusia sebagai makhluk yang mendapatkan keberadaan dari Allah (Mal. 2:10; Lukas 3:38; Kis. 17:28-29);
(2) umat Allah sebagai objek kasih Allah (Kel. 4:22; Yohanes 1:12; 3:3; Rm. 8:14, 19; Gal. 3:26; 4:5);
(3) mesias dari keturunan (2Sam. 7:14);
(4) Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang memang sehakekat dengan Allah. Makna inilah yang diklaim oleh Yesus sehingga Dia akan dirajam batu oleh orang-orang Yahudi (Yohanes 5:18). Dari empat kategori “anak Allah” di atas, orang percaya hanya termasuk yang pertama dan kedua. Sebagai manusia – baik ditebus atau tidak ditebus – orang percaya adalah anak Allah dalam arti mendapatkan eksistensinya dari Allah. Sebagai orang pilihan, orang percaya telah diadopsi oleh Allah (Keluaran 4:22; Rm. 8:14-16) menurut anugerah-Nya (Ul. 7:7).
2. Yesus Kristus
Pandangan “theologi” kemakmuran yang memandang Yesus selama inkarnasi hanya sebagai manusia saja merupakan pandangan yang tidak sesuai dengan Alkitab. Dalam Filipi 2:6, kata Yunani hyparchōn (LAI:TB “dalam”; seharusnya “berada”) berbentuk present tense dan dengan demikian menyatakan suatu kondisi yang terus-menerus (Philipphians, EBC). Dalam banyak versi makna tersebut tidak terlihat dengan jelas (‘being/existing”; KJV/ASV/NIV/NKJV). Beberapa versi bahkan secara tidak tepat menerjemahkan hyparchōn dalam bentuk lampau (NASB “existed”; RSV “was”). Bentuk present tersebut menyiratkan bahwa Yesus terus-menerus berada dalam status-Nya sebagai Allah, termasuk selama inkarnasi-Nya.
Alasan lain yang mendukung pandangan bahwa selama di dunia Yesus tetap Allah adalah sifat hakikat keilahian yang tidak berubah. Kalau Yesus sebelum inkarnasi adalah Allah (Yoh. 1:1; Flp. 2:6), maka hakikat ini tidak akan bisa berubah. Perubahan menunjukkan ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Dua hal ini tidak mungkin terjadi pada diri Allah. Allah tidak berubah (Mal. 3:6; Yak. 1:17), begitu pula dengan Yesus sebagai Allah (Ibrani 13:8).
Yesus sendiri selama inkarnasi menunjukkan bahwa Dia adalah Allah. Ada banyak tindakan Yesus selama di dunia yang membuktikan hal itu (Millard J. Erickson, Christian Theology, 2nd edition, 1998, hlm. 700-704). Beberapa di antaranya adalah Yesus mengampuni dosa sehingga dianggap menghujat Allah oleh orang-orang Yahudi (Mrk. 2:5-7); Yesus mengklaim kesatuan dengan Bapa sehingga Dia akan dirajam batu (Yoh. 10:30-31); Yesus menyatakan kekekalan keberadaan-Nya dan menyamakan diri sebagai Yahweh di Perjanjian Lama (Yoh. 8:58 “before Abraham was, I am”).
Sekali lagi, Dia juga akan dilempari dengan batu karena pengakuan ini (Yoh. 8:59); Yesus menegaskan tuduhan orang Yahudi bahwa Ia mengklaim diri sebagai Anak Allah (Yoh. 19:7; Matius 26:63-64). Beberapa orang menganggap bahwa jawaban Yesus “engkau telah mengatakannya” berarti “engkau yang mengatakan, tetapi Aku sendiri tidak memaksudkan seperti itu”, tetapi pendapat ini tidak sesuai konteks. SeandainyaYesus tidak mengklaim hal itu, Dia dapat menyangkalnya dan dengan demikian akan bebas dari hukuman mati.
Kenyataannya, Yesus tidak melakukan penyangkalan; Yesus menerima pengakuan murid-murid bahwa Dia adalah Allah (Yoh. 20:28); Yesus menjanjikan bahwa Ia akan menyertai orang-orang percaya di segala zaman dan tempat (Mat. 18:20; 28:20); Yesus sering menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia. Sebutan ini merujuk pada figur ilahi di Daniel 7:13-14; Keilahian Yesus selama di dunia juga dapat dilihat dari sebutan khusus yang dialamatkan kepada-Nya, misalnya Allah, Anak Allah, Anak Tunggal Allah maupun Tuhan (Robert Duncan Culver, Systematic Theology: Biblical & Historical, 2005, hlm. 447-448).
Penganut “theologi” kemakmuran juga telah salah memahami signifikansi peristiwa turunnya Roh Kudus pada saat baptisan Yesus (Mat. 3:16-17). Peristiwa ini bukan dalam arti pemberian kuasa oleh Roh Kudus kepada Yesus. Sebaliknya, peristiwa ini harus dipahami dalam kaitan dengan ucapan dari sorga “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus adalah penggenap dari nubuat mesianis di Mazmur 2:7 dan terutama Yesaya 42:1 “...kepadanya aku berkenan...Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya...” (bdk. Yesaya 61:1-4//Luk. 4:17-21), bukan pemberian kuasa/hak-hak khusus maupun perubahan status dari manusia menjadi Allah (Carson, Matthew, EBC; Leon Morris, The Gospel Accroding to Matthew, PNTC, 1992, 68).
Yesus sedang diproklamasikan oleh Bapa sebagai Mesias Yang Menderita (The Suffering Messiah) di kitab Yesaya. Dari penjelasan ini terlihat bahwa turunnya Roh Kudus atas Yesus merupakan peristiwa yang unik dan tidak akan terulang pada siapa pun. Roh Kudus memang turun atas orang percaya (Kis. 1:8), namun hal ini dalam konteks pemberian kuasa untuk menjadi saksi.
Bagaimana dengan Yohanes 3:34 dan 14:12? Apakah teks ini mengajarkan bahwa orang percaya akan melakukan mujizat lebih besar dan banyak daripada yang dilakukan Yesus selama inkarnasi? Tidak! Dalam Yohanes 3:34, yang diberi Roh secara tidak terbatas adalah “siapa yang diutus Allah, yang menyampaikan firman Allah” dan ini merujuk pada Yesus (D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC, 1991, hlm. 213). Berdasarkan konteks yang ada, Yesus disebut sebagai yang datang dari atas (Ayb. 31) dan memberi kesaksian tentang Allah (Ayb. 32-33; bdk. 5:19-30; 6:37-40; 8:29).
Walaupun orang percaya di bagian lain juga dijanjikan akan menerima Roh Kudus (Yoh. 14:26; 15:26; 16:14), namun pemberian ini bukan tidak terbatas, karena setiap mereka akan diberi sesuai ukuran yang ditetapkan oleh Kristus (Ef. 4:7; Leon Morris, The Gospel According to John, NICNT, ed. rev., 1995, hlm. 218). Yohanes 14:12 juga tidak mengajarkan bahwa orang percaya akan melakukan mujizat yang lebih hebat dan banyak daripada yang Yesus lakukan. Kata “pekerjaan” (ergon) dalam Injil Yohanes tidak hanya merujuk pada mujizat.
Kata ini kadang menunjuk pada keseluruhan karya Kristus di dunia (5:36), iman/pertobatan (6:28-29), mujizat (6:30) atau ketaatan – entah kepada Allah maupun iblis (8:39-44). Jadi, “pekerjaan besar” yang dijanjikan di sini tidak hanya mujizat (Carson, The Gospel According to John, hlm. 495). Kemungkinan besar “pekerjaan” di sini merujuk pada pertobatan (Morris, The Gospel According to John, hlm. 573-574).
Seandainya pun mujizat memang termasuk dalam “pekerjaan”, hal itu tetap tidak mendukung konsep “theologi” kemakmuran, karena Injil Yohanes justru menunjukkan bahwa iman yang hanya didasarkan pada mujizat (tanda) dan materi bukanlah iman yang sejati (2:23-24; 6:26, 66; 20:29). Berkaitan dengan karya penebusan Kristus, semua karya penebusan telah genap di atas kayu salib. Yesus tidak perlu pergi dan menderita di neraka. Penebusan dosa sudah genap semua di kayu salib (Mat. 26:28; 1Ptr. 2:24; Kol. 1:20-22; Ibr. 10:10, 12, 14, 19, 20; 13:12).
Penebusan dosa ini membebaskan orang percaya dari kuasa kegelapan (Kol. 1:13-14; 2:14-15). Kegenapan karya Kristus di kayu salib ini paling jelas terlihat dari ucapan Yesus menjelang kematian-Nya, “sudah selesai” (Yoh. 19:30). Yesus memang harus menderita secara rohani, namun hal itu bukan berbentuk pengambilan natur iblis. Allah yang mahakudus tidak mungkin berubah menjadi iblis yang mahajahat.
Seandainya Yesus di kayu salib menjadi iblis, bagaimana Dia dapat mempersembahkan korban yang kudus (Ibrani 9:14; 1Ptr. 1:19)? Penderitaan rohani yang dialami Yesus adalah keterpisahan dengan Bapa (Mat. 27:46//Mrk. 15:34). Ini adalah inti dari hukuman neraka, yaitu keterpisahan total dari hadirat Allah. Dengan keterpisahan ini Yesus telah menanggung hukuman dosa yang paling berat.
Bagaimana dengan 2 Korintus 5:21? Apakah ayat ini mengajarkan bahwa Yesus mengambil natur iblis? Tentu saja tidak. Dalam teks ini tidak ada rujukan pada iblis sama sekali. Sebaliknya, berdasarkan keseluruhan konsep Alkitab, ayat ini seharusnya dipahami dalam konteks substsitusi (penggantian). Kristus menggantikan posisi orang-orang berdosa (Yes. 53:6, 12b; Gal. 3:13; 1Ptr. 2:24, bdk. Yesaya 53:5-6, 12) atau menjadi korban penghapus dosa (Yoh. 1:29; Ibrani 9:28).
Pemakaian ungkapan yang tidak lazim (“Ia menjadi/melakukan dosa”) di 2 Korintus 5:21 sangat bisa dimengerti, karena ayat ini kemungkinan besar merupakan kutipan Paulus dari formula kredo gereja mula-mula (Kasemann, diadopsi oleh Ralph P. Martin, WBC Vol 40: 2 Corinthians, elect. ed). Dengan kata lain, kosa kata dan tata bahasa di ayat ini memang bukan tipikal Paulus, sehingga sekilas sulit untuk dipahami. Bagaimanapun, mengingat ayat ini adalah kredo, maka maknanya harus dilihat dari keseluruhan ajaran Alkitab.
Pandangan yang menyamakan Yesus dengan iblis berdasarkan Yohanes 3:14-15 merupakan penafsiran yang tidak sesuai konteks. Poin analogi yang ditarik antara ular tembaga di Bilangan 21:8-9 dengan karya Kristus di atas kayu salib hanya terletak pada dua hal: sama-sama memberikan hidup dan sama-sama ditinggikan dari bumi (Carson, The Gospel According to John, hlm. 201).
Tidak ada indikasi dalam teks yang menyatakan bahwa ular tembaga adalah Yesus. Lebih jauh, bangsa Israel sendiri tidak memandang ular tembaga yang dibuat Musa sebagai representasi dari iblis. Seandainya ular tembaga tersebut melambangkan iblis, bagaimana mungkin Tuhan mengajarkan bangsa Israel untuk melihat iblis supaya tetap hidup? Pembuatan ular tembaga dimaksudkan Allah sebagai kejutan budaya (cultural shock): sebagaimana bangsa Israel merasa jijik dengan manna (roti dari sorga, Bil. 21:5), sekarang Tuhan justru memaksa mereka untuk melihat patung dari binatang yang paling menjijikkan bagi mereka (bdk. Kel. 4:1-7; R. B. Allen, EBC Vol. 2: Numbers, elect. ed.).
Sebutan prōtotokos (“yang sulung”; Rm. 8:29) maupun monogenēs (“anak yang tunggal”; Yoh. 1:14; 3:16, 18; 1Yoh. 4:9) untuk Yesus tidak merujuk pada kelahiran kembali Yesus di neraka (sebagaimana sering dipahami oleh penganut “theologi” kemakmuran). Sebutan prōtotokos untuk Yesus dalam Perjanjian Baru muncul sebanyak 5 kali (Rm. 8:29; Kolose 1:15, 18; Ibr. 1:6; Why. 1:5). Dari pemunculan ini terlihat bahwa posisi Yesus sebagai “yang sulung” harus dipahami dalam konteks kebangkitan-Nya (Kol. 1:18; Why. 1:5), bukan kelahiran-Nya di neraka! Lebih jauh, prwtotokos harus dipahami dalam arti keutamaan (Kol. 1:15), bukan sekadar urutan waktu dalam proses kelahiran.
Jika prōtotokos bermakna “urutan pertama”, bagaimana Yesus dapat disebut sebagai yang sulung di antara yang bangkit dari kematian, sedangkan pemuda Nain (7:11-16) dan Lazarus (Yoh. 11:43-44) sudah lebih dahulu bangkit? Dalam Septuaginta, makna keutamaan ini juga didukung oleh Perjanjian Lama. Dalam Septuaginta (LXX), kata prōtotokos dipakai untuk Daud dalam arti keutamaannya (Mzm. 89:21, 28).
Sehubungan dengan kata monogenēs, terjemahan tradisional “anak yang tunggal” merupakan hasil dari pemahaman etimologis (asal-usul kata) yang salah (D. A. Carson, Exegetical Fallacies, 2nd. ed., 1996, hlm. 30-31). Pandangan tradisional mengasumsikan bahwa monogenēs berasal dari kata monos yang berarti “satu” dan gennaō yang berarti “melahirkan”. Asumsi ini ternyata salah. Monogenēs berasal dari kata monos (“satu”) dan genos (“jenis”).
Jadi, monogenēs seharusnya diterjemahkan “hanya satu atau unik” dan tidak selalu berarti “satu-satunya yang dilahirkan”. Dalam Ibrani 11:17 Ishak disebut sebagai monogenēs Abraham, walaupun secara biologis Abraham memiliki anak-anak yang lain (Kej. 25:1-2). Jadi, monogenēs tidak berbicara tentang ide kelahiran sama sekali. Berdasarkan pemahaman baru ini, NIV menerjemahkan monogenēs untuk Yesus dengan “One and Only Son” (Yoh. 1:14; 3:16; 1Yoh. 4:9).
Bagian terakhir dari penebusan Kristus yang perlu dibahas adalah hasil dari penebusan tersebut. Apakah penebusan Kristus telah mengubah natur manusia yang sudah tercemar menjadi natur yang sempurna (bahkan menjadi natur Allah!)? Jawabannya adalah tidak. Karya Kristus mengubah status (dari orang berdosa menjadi orang benar), menghancurkan kuasa dosa dan mengalahkan kuasa kegelapan, namun pemulihan segala sesuatu (termasuk tubuh dan natur manusia) baru akan terjadi pada akhir zaman.
Orang percaya maupun segala ciptaan tetap hidup dalam penderitaan dan kesukaran sampai pemulihan itu terjadi (Rm. 8:19-21). Orang percaya masih harus berjuang untuk mematikan keinginan-keinginan daging yang jahat sebagai akibat dari keberdosaan manusia (Rm. 6:12-13; Galatia 5:16-17). Demikian pula tubuh orang percaya baru akan disempurnakan nanti setelah zaman ini berakhir (1Kor. 15:42-44, 51-55).
Dari semua penjelasan tentang Yesus Kristus di atas, tidak berlebihan apabila sebagian orang menyebut penganut “theologi” kemakmuran telah mengajarkan “Yesus yang lain” (2Kor. 11:3-4). Yesus yang diberitakan mereka benar-benar berkontradiksi dengan ajaran Alkitab. Sebagian orang bahkan menyebut pandangan mereka sebagai penghujatan terhadap Yesus: keilahian Yesus bukan hanya dilucuti, tetapi Dia bahkan disamakan dengan iblis.
3. Kesehatan dan Kemakmuran
Pandangan “theologi” kemakmuran yang meyakini bahwa selama di dunia Yesus adalah orang yang kaya merupakan pemikiran yang tidak memiliki dasar biblikal yang kuat. Walaupun tidak ada ayat yang secara eksplisit menyatakan bahwa Yesus adalah orang miskin, tetapi Alkitab memberikan beberapa teks implisit yang mengarah ke sana. Ketika Yesus masih kecil dan sesuai adat Yahudi dibawa ke bait Allah, orang tuanya hanya mampu mempersembahkan dua ekor anak burung merpati (Lukas 2:24).
Menurut Imamat 12:8 persembahan ini diizinkan untuk mereka yang miskin (Darrell Bock, Luke 1:1-9:50, BECNT, 1994, 237). Yesus juga tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20; Luk. 9:58). Pernyataan ini menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki tempat tinggal dan harus tetap berpindah-pindah tempat (D. A. Carson, Matthew, EBC; Bock, Luke 9:1-24:53, BECNT, 1996, 978-979).
Yesus juga pernah tidak memiliki uang sama sekali untuk membayar bea bait Allah (Mat. 17:24-27). Walaupun ayat ini lebih menyoroti kerendahhatian Yesus (Dia adalah Allah yang mengontrol alam dan bisa melakukan mujizat hebat, tetapi Dia tetap mau tunduk pada peraturan manusiawi supaya tidak menjadi batu sandungan), namun ayat ini tetap menunjukkan bahwa Yesus adalah orang yang miskin.
Bagaimana dengan Yohanes 19:23-24? Apakah pengundian pakaian Yesus membuktikan bahwa pakaian yang Dia kenakan sangat mahal? Dari perspektif budaya waktu itu, pembagian pakaian terpidana di kalangan para prajurit merupakan hal yang sudah biasa (Carson, The Gospel According to John, hlm. 611-612; Morris, The Gospel According to John, hlm. 715-716).
Mereka biasanya membagi-bagi pakaian yang dikenakan terpidana, yang meliputi pakaian dalam, jubah luar, sandal, ikat pinggang dan penutup kepala. Pengundian dilakukan karena setelah dibagi empat ternyata masih ada sisa, yaitu jubah Yesus. Mempertimbangkan bahwa jubah tersebut tidak berjahit – sehingga sayang kalau harus dipotong-potong (Yoh. 19:23b) – mereka memutuskan untuk membuang undi saja atas jubah itu.
Selama hidup Yesus di dunia, Dia tidak mungkin hidup dalam kekayaan, karena kalau Dia hidup dalam kekayaan maka hal itu berkontradiksi dengan ajaran-Nya. Syarat mengikuti Yesus justru adalah “menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Dia” (Mat. 10:38//Luk. 14:27; 16:24//Mrk. 8:34//Luk. 9:23), meskipun Yesus – dengan kekuasaan-Nya sebagai Allah - bisa menawarkan hal-hal yang menyenangkan manusia supaya memperoleh banyak pengikut. Dia sendiri mengatakan bahwa orang percaya akan menderita dalam dunia (Yohanes 16:33).
Orang yang mau mengikuti Dia harus meninggalkan harta miliknya (Mat. 19:16-26; Luk. 14:33). Dia juga mengajarkan murid-murid-Nya untuk tidak mengumpulkan harta di bumi (Mat. 6:19-24; Yoh. 6:27). Dia memperingatkan murid-murid terhadap bahaya ketamakan (Luk. 12:15). Ia bahkan melarang murid-murid untuk membawa barang-barang yang berlebihan dalam pelayanan mereka (Mat. 10:10//Mrk. 6:8). Sebaliknya, murid-murid harus belajar memberi, karena terlebih berkat memberi daripada menerima (Kis. 20:35).
Sikap Yesus di atas diteruskan oleh para rasul. Paulus memiliki prinsip “asal ada makanan dan pakaian sudah cukup” (1Timotius 6:8). Ia mengajarkan bahwa rasa cukup didapat dari proses belajar (Flp. 4:11) melalui kekuatan Tuhan (Flp. 4:13). Secara khusus dia bahkan menyebut orang yang mencari keuntungan dari ibadah sebagai orang yang tidak mengikuti ajaran sehat dari Tuhan Yesus (1Tim. 6:1-5). Dia bahkan menyebut cinta uang sebagai akar dari segala kejahatan dan ketamakan harta sebagai sumber keruntuhan dan ketidakbahagiaan (1Tim. 6:9-10).
Paulus tidak hanya bisa mengajar, tetapi hidupnya sendiri merupakan sebuah teladan kesederhanaan dan kasih terhadap sesama. Ia tidak mau menerima tunjangan, meskipun ia berhak untuk mendapatkannya (1Kor. 9:15-18). Ia sebaliknya malah harus bekerja sendiri (1Tes. 2:9). Selama pelayanan dia termasuk orang miskin (2Kor. 6:10) dan sering mengalami berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan (2Kor. 11:23-28). Beberapa kali dalam pelayanannya ia atau rekan-rekannya mengalami sakit (Flp. 2:25; 2Korintus 12:7-9; Galatia 4:13-14; 2Tim 4:20).
Menariknya, ia tampaknya tidak mampu menyembuhkan rekan-rekannya itu, walaupun dalam kasus-kasus tertentu ia bahkan berkali-kali dipakai Tuhan secara luar biasa (Kis. 14:8-10; 19:11; 20:9-10). Ia malah menasehati Timotius untuk melakukan pengobatan medis secara praktis (1Timotius 5:23).
Apakah penderitaan (kemiskinan dan penyakit) adalah akibat dari dosa atau kurang iman, seperti yang diajarkan “theologi” kemakmuran? Jika ditarik sampai pada permulaan penderitaan, maka secara umum jawabannya adalah “ya”. Penderitaan dan kematian merupakan hasil dari kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kejadian 3:14-19).
Bagaimanapun, tidak setiap penderitaan yang khusus pasti akibat dari dosa orang yang bersangkutan. Beberapa orang tampaknya mengalami sakit karena berdosa (Mzm. 6:2-3; 41:5; Markus 2:5, 9), tetapi beberapa yang lain bukan karena dosa mereka, misalnya Ayub (bdk. Ayb. 1:1), Asaf (Mazmur 73), orang buta sejak lahir (Yohanes 9:1-3).
4. Syarat Menerima Janji Allah
Penekanan “theologi” kemakmuran yang berlebihan terhadap kekuatan iman merupakan hal yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab secara keseluruhan. Alkitab memang mengajarkan pentingnya iman dalam menerima janji Allah (Mat. 8:13; 9:28-29; Mrk. 11:24), namun Alkitab juga mengajarkan bahwa tidak semua yang diimani orang percaya pasti akan diberikan.
Alkitab memberi tiga contoh yang sangat jelas. Pertama, Yesus. Dia menyadari bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah (Mrk. 14:36a), tetapi Ia langsung menyerahkan pengabulan doa-Nya kepada Allah (Mrk. 14:36b). Sebagai jawaban, Allah tidak mengambil cawan itu dari hidup Yesus. Kedua, Paulus. Dia pernah berdoa dengan sungguh-sungguh supaya Tuhan mengambil duri dalam dagingnya, tetapi Tuhan tidak mengabulkan doanya ini (2Korintus 12:8-9).
Ketiga, tokoh-tokoh iman di Ibrani 11. Hampir semua tokoh yang disebut dalam pasal ini belum atau tidak menikmati janji Allah dalam hidup mereka. Keistimewaan iman dari para tokoh iman di Ibrani 11 terletak pada ketekunan (perseverance) bukan kemakmuran (prosperity). Ibrani 11:39 secara khusus menyebutkan bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang mereka imani, sekalipun iman mereka memberikan kesaksian yang baik.
Secara rasional, penekanan pada ketidakmustahilan iman merupakan sesuatu yang sulit diterima. Jika setiap apa yang diimani secara tidak terbatas dapat menghasilkan realitas apa saja yang diinginkan, maka hal itu sangat tidak logis dan tidak sesuai fakta. Jika prinsip tersebut benar, maka setiap orang Kristen bisa menjadi siapa saja yang mereka mau atau memiliki apa pun yang mereka inginkan.
Jika ini benar, mengapa pengikut “Theologi” Kemakmuran tidak beriman supaya mereka tidak mengalami kematian secara fisik? Mereka seharusnya menyadari bahwa iman hanyalah sarana. Iman tidak memiliki kekuatan pada dirinya sendiri, karena iman bukanlah suatu substansi atau pribadi. Menurut istilah Hendrick Hanegraaf, mereka telah beriman kepada iman, bukan beriman kepada Allah (“Faith in Faith or Faith in God?”, Christian Research Journal, Winter/Spring 1990, hlm. 31).
Orang percaya seharusnya lebih berserah kepada Allah. Dalam Doa Bapa Kami Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk mencari kehendak Allah dahulu sebelum meminta sesuatu dari-Nya (Matius 6:9-13). Paulus hanya dapat membuat rencana, tetapi ia menyerahkan hasilnya pada Tuhan (Rm. 1:10; 15:32). Yakobus juga mengajarkan pentingnya memohon kehendak Tuhan untuk hidup (Yakobus 4:15), walaupun dia juga mengajarkan kekuatan iman dan doa (Yakobus 5:14-18). Secara khusus Yohanes mengajarkan bahwa semua doa orang percaya akan dikabulkan oleh Tuhan asalkan sesuai dengan kehendak Tuhan (1Yohanes 5:14).
BACA JUGA: KESELAMATAN HANYA DIDALAM YESUS
Konsep “theologi” kemakmuran tentang kekuatan perkataan juga tidak didasarkan pada ajaran Alkitab. Alkitab tidak pernah mengajarkan ada orang yang menerima pertolongan dari Tuhan karena dia terus-menerus mengucapkan kalimat-kalimat yang positif. Begitu pula tidak semua orang yang berkata-kata negatif akan menerima realitas yang negatif. Ayub sempat mengutuki kelahirannya (Ayb. 3:3), tetapi Tuhan tetap memulihkan hidupnya (Ayub 42:12-17).
Elia mengakui bahwa ia sudah tidak kuat dan ia ingin mati saja (1Raja-raja 19:4), tetapi ia justru tidak mengalami kematian sama sekali (2Raj. 2:11). Yunus enggan memberitakan Injil (bahkan berharap agar orang Niniwe dibinasakan Tuhan), tetapi penginjilannya justru lebih hebat (Yunus 3:5-10) daripada khotbah Petrus di Hari Pentakosta (Kis. 2:41). Ketika penginjilannya berhasil, Yunus bahkan ingin mati saja (Yunus 4:3), namun – sekali lagi – perkataan negatif itu tidak terjadi.
Bagaimana dengan visualisasi? Konsep ini dibangun murni dari pengalaman hidup yang khusus dari penganut “theologi” kemakmuran. Alkitab tidak pernah mengajarkan hal ini sama sekali. Sebaliknya, Alkitab justru mengajarkan bahwa iman adalah berharap pada sesuatu yang tidak dilihat (Ibrani 11:1). Selain itu, prinsip visualisasi tidak bisa diterapkan secara konsisten.
Jika Allah memberikan sesuatu tepat seperti yang divisualisasikan seseorang, maka orang itu harus memiliki pengetahuan yang sempurna tentang objek yang dia inginkan. Jika orang menginginkan sebuah mobil tertentu, ia harus mengetahui bagian dalam maupun luar mobil itu. Jika orang menginginkan jodoh, ia juga harus menguasai anatomi tubuh manusia secara detail.
Berkaitan dengan hukum tabur tuai dalam pemberian, Alkitab memang beberapa kali mengajarkan hal itu. Bagaimanapun, prinsip ini bukan satu-satunya dan bukan yang terbaik. Dalam beberapa kasus, janji tabur-tuai diberikan Allah justru karena ketegaran hati umat-Nya (Mal. 3:7-10). Umat Tuhan seharusnya menaati Dia atas dasar kasih (Matius 22:37-40). Orang percaya mengasihi karena Tuhan lebih dulu mengasihi (1Yohanes 4:10).
5. Sikap Terhadap Kritikan
Alkitab secara jelas memberikan pedoman untuk menilai apakah seseorang adalah nabi Allah atau nabi palsu: (1) apakah orang tersebut menyatakan nubuat yang tergenapi (Ul. 18:20-22)?; (2) apakah ajarannya sesuai dengan firman Tuhan (Ulangan 13:1-5)?; (3) apakah hidupnya menjadi teladan (Mat. 7:15-23)? Jika ada seorang yang mengklaim sebagai nabi/rasul tetapi melanggar salah satu kriteria di atas, maka orang itu layak dianggap sebagai nabi palsu. Dari tiga kriteria ini, para tokoh “theologi” kemakmuran paling tidak telah melanggar kriteria kedua, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Orang percaya seharusnya tidak terjebak pada pengagungan “pewahyuan” yang supranatural. Allah tidak mungkin memberikan wahyu yang baru, apalagi yang berkontradiksi dengan wahyu yang Dia berikan dalam Alkitab. Seandainya Allah menganggap bahwa apa yang Dia wahyukan melalui Alkitab masih kurang, maka Ia pasti akan menggerakkan para penulis yang lain menuliskannya.
Dalam beberapa kasus Allah justru memberikan penglihatan atau tanda yang spesifik kepada seseorang karena kelemahan dari orang tersebut, misalnya Allah memperlihatkan tanda luar biasa kepada Musa (Keluaran 4:1-4) dan Gideon (Hak. 6:36-40) yang tidak percaya. Allah memberikan penglihatan khusus kepada Petrus karena dia masih terikat dengan nilai budaya Yahudi yang emnganggap orang dari bangsa lain sebagai orang-orang najis (Kis. 10).
REFLEKSI
Publikasi tentang “keberhasilan” theologi kemakmuran memang banyak, tetapi sebenarnya ada publikasi yang menyedihkan. Pada tahun 1980 Harvet House menerbitkan sebuah buku karangan Larry Parker dengan judul “We Let Our Son Die” (Kami Membiarkan Anak Kami Mati). Buku ini menceritakan peristiwa tragis tentang bagaimana Larry dan istrinya yang sangat dipengaruhi “theologi” kemakmuran (atau Word-Faith Theology) menolak memberikan insulin kepada anak mereka, Wesley, yang menderita diabetes.
Sesuai prediksi medis, Wesley akhirnya mengalami koma diabetis. Situasi ini tidak menyurutkan “iman” mereka. Mereka terus mengucapkan kalimat-kalimat positif, sampai akhirnya Wesley meninggal dunia. Sekali lagi, iman mereka tidak tergoncang. Mereka bahkan mengadakan ibadah kebangkitan (bukan pemakaman!), tetapi tidak ada mujizat terjadi. Setelah selama 1 tahun memegang “iman” mereka, akhirnya mereka lelah dan diyakinkan bahwa mereka telah membunuh dan melecehkan anak mereka.
PENERAPAN:
Orang percaya seharusnya menyadari bahwa kasih yang terbesar telah diberikan Allah kepada kita ketika Dia memberikan Anak-Nya mati bagi kita (Roma 5:5-8). Allah tidak bisa lebih mengasihi kita. Dia sudah mengasihi kita tanpa batas. Sudah sepatutnya kita membalas kasih Tuhan dengan hidup hanya untuk memuliakan Tuhan (Westminster Catechism, pertanyaan 1). Semua yang ada di dunia ini memang diciptakan untuk kemuliaan Tuhan saja (Wahyu 4:11). Kita perlu menjadikan doa Agur sebagai doa kita, yaitu “jangan menjadi kaya sehingga melupakan Tuhan maupun terlalu miskin sehingga mencuri dan memalukan nama Tuhan” (Ams. 30:7-9).
Langkah-langkah konkret yang perlu kita lakukan antara lain: (1) jangan memberikan donasi maupun membeli produk-produk mereka; (2) beritahu orang-orang lain yang sekadar ikut-ikutan tren tetapi tidak memahami gambaran total dari kesalahan yang ada; (3) belajar doktrin dengan sebaik-baiknya. Teologi kemakmuran (Prosperity Theology ): Kesehatan dan kemakmuran.
-AMIN-