ULANGAN 21:10-14 (DUA ARTI PERNIKAHAN KRISTEN)
Oleh Pilipus Ferdinand.
Saudara-Saudara, belakangan ini kita sering mendengar beragam kasus penyimpangan seputar masalah pernikahan. Sebut saja kasus “kawin-kontrak” yang terjadi di Jawa Barat, fenomena “kawin-cerai” di kalangan selebritis, atau bahkan maraknya pernikahan di bawah umur yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur.
Saudara, faktor ekonomi, tuntutan adat, rendahnya tingkat pendidikan, atau bahkan tren gaya hidup, sering kali dijadikan alasan “pembenaran” atas berbagai penyimpangan ini. Dari alasan-alasan ini kita melihat adanya pemahaman yang keliru di masyarakat terhadap makna pernikahan. Pernikahan yang sakral itu justru telah dicemari oleh motivasi-motivasi yang keliru.
Saudara, faktor ekonomi, tuntutan adat, rendahnya tingkat pendidikan, atau bahkan tren gaya hidup, sering kali dijadikan alasan “pembenaran” atas berbagai penyimpangan ini. Dari alasan-alasan ini kita melihat adanya pemahaman yang keliru di masyarakat terhadap makna pernikahan. Pernikahan yang sakral itu justru telah dicemari oleh motivasi-motivasi yang keliru.
gadget, otomotif, bisnis |
Rupanya fenomena ini tidak saja terjadi di luar pernikahan Kristen. Kurangnya pemahaman akan makna pernikahan, telah membuat beberapa orang Kristen kerap kali memperlakukan pasangannya dengan semena-mena. Menganggap pernikahannya semata-mata sebagai sarana pemuas hasrat seksualnya. Bahkan tidak sedikit juga pasangan suami istri yang terlibat dalam kasus kekerasan yang berujung pada perceraian.
Saudara, sebagai orang percaya seharusnya kita tidak memaknai pernikahan sebagaimana orang dunia memaknainya. Sebaliknya kita harus memaknai pernikahan itu dari sudut pandang Tuhan. Sebab Ia telah mengatur pernikahan sedemikian rupa supaya kita dapat menjaga hidup kudus pernikahan kita.
Dari firman Tuhan yang kita baca ini, minimal ada dua arti yang harus kita pahami tentang bagaimana Tuhan mengatur pernikahan Kristen.
I. Pernikahan Kristen bukanlah semata-mata sarana pemuas hasrat seksual
Penjelasan
Saudara-saudara, ada seorang pemuda yang terikat pornografi. Ia begitu bergulat dengan dosa itu. Bertahun-tahun ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan itu. Namun semakin ingin ia melepaskan diri, dosa itu justru semakin kuat menggenggamnya. Pemuda itu begitu frustasi dengan kondisinya itu, akhirnya ia berpikir, “Ah… daripada jatuh terus dalam dosa ini, mengapa aku tidak menikah saja?” Saudara, barangkali pemuda itu telah menemukan solusi atas masalahnya. Namun benarkah ini yang diinginkan Tuhan?
Perikop ini menceritakan bagaimana orang Israel diberi izin untuk menikah dengan wanita asing yang ditawan dalam suatu peperangan. Sekilas nampaknya aturan ini berlawanan dengan perintah Tuhan dalam Ulangan 7:3, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka [bangsa Kanaan]: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki.”
Namun saudara, bila kita amati dengan seksama, kedua aturan ini tidaklah berlawanan. Sebab frasa “ke luar berperang” dalam kalimat “Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu….”(Ulangan 21:10) berarti bahwa peperangan itu bukanlah peperangan yang terjadi di daerah Kanaan, melainkan di daerah yang sangat jauh, yaitu di kota-kota yang tidak termasuk daerah yang diberikan Tuhan menjadi milik pusaka Israel.
Mungkin saja tentara Israel yang pergi berperang itu telah memiliki istri di kampung halamannya. Jadi pernikahan dengan tawanan wanita itu tentulah bukan dengan maksud membangun sebuah keluarga, namun agar mereka terhindar dari perzinaan. Kata “melihat” (ra’ah) dan kata “mengingini” (chashaq) dalam Ulangan 21: 11 berarti melihat dan mengingini secara seksual. Kedua kata ini juga muncul dengan nuansa yang sama dalam Kejadian 34. Di mana ketika Sikhem melihat Dina, ia pun mengingininya, dan akhirnya Dina pun dilarikan dan diperkosanya.
Saudara, dengan demikian jelas bahwa pernikahan dengan tawanan wanita itu lebih karena dorongan hasrat seksual mereka. Selain itu, karena wanita itu adalah seorang tawanan, mungkin saja tentara Israel akan memandang rendah pernikahan itu. Saudara, inilah yang diperingatkan Tuhan. Bagi Tuhan, sekalipun wanita itu adalah seorang tawanan, namun Israel tidak boleh meremehkan pernikahan itu. Di mata Tuhan, pernikahan itu tetap kudus, sehingga harus dipersiapkan dengan baik. Itulah sebabnya dalam Ulangan 21:12-13 Tuhan berkata, ”maka haruslah engkau membawa dia ke dalam rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya, memotong kukunya... dan tinggal di rumahmu selama sebulan.”
BACA JUGA: 1 TESALONIKA 5:19-22 (MEMADAMKAN ROH)
Saudara, tindakan membawa ke dalam rumah, mencukur rambut, memotong kuku dan menanggalkan pakaian merupakan tindakan simbolik yang melambangkan perpindahan tawanan wanita itu dari agamanya yang lama, dan menjadi bagian dari bangsa umat Allah. Ini berarti, melalui ritual pengudusan itu, status wanita ini pun telah berubah.
Dan waktu sebulan yang diberikan merupakan masa adaptasi yang harus dijalaninya untuk melepaskan kehidupannya yang lama dan belajar untuk mengenal dan menyembah Allah yang benar. Ini berarti, pernikahan itu justru membawa wanita itu ke dalam iman yang benar. Sedangkan bagi tentara Israel, waktu sebulan merupakan kesempatan yang ia miliki untuk mempersiapkan pernikahan itu dengan baik. Bukan dengan tergesa-gesa, apalagi hanya demi memuaskan hasrat seksualnya.
Jelas melalui peraturan ini, Tuhan ingin agar Israel tetap menjaga kekudusan di dalam pernikahan dan bertumbuh bersama di dalam Tuhan. Inilah sesungguhnya makna pernikahan itu.
Sejalan dengan makna ini, Yakub Susabda juga mengatakan, “Pernikahan Kristen merupakan sarana edukasi terbaik untuk membuat setiap orang percaya tumbuh bersama menjadi semakin serupa dengan Kristus.”
Ilustrasi
Saudara, Dimas dan Nining adalah sepasang pengantin baru. Untuk menghidupi keluarga barunya, Dimas membuka warung sembako kecil-kecilan di pasar dekat rumah mereka. Suatu kali ketika Dimas pulang dari warung, Nining mengeluh tentang rasa sakit luar biasa yang dirasakannya di bagian belakang kepalanya. Mereka kemudian pergi ke rumah sakit untuk memeriksa hal itu. Setelah melalui beberapa tahap pemeriksaan, akhirnya dokter memvonis Nining menderita tumor otak. Bila tidak segera diangkat, tumor ini akan mempengaruhi kinerja saraf-saraf motoriknya sehingga Nining tidak akan bisa menggerakkan anggota-anggota tubuhnya. Namun saudara, karena resiko kegagalan yang besar, Dokter pun akhirnya tidak berani melakukan operasi.
Saudara, hari-hari selanjutnya Nining hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Kini segala sesuatu harus dilakukan dengan bantuan orang lain. Setiap pagi sebelum berangkat ke warung, Dimas selalu memandikan istrinya, menyuapkan sarapannya, dan membaringkan istrinya itu di depan tv, sembari menunggunya pulang dari warung. Hampir dua jam sekali Dimas pulang ke rumah untuk mengecek keadaan istrinya.
Kondisi istrinya ini, ternyata berdampak juga pada kehidupan hubungan mereka. Sebagai laki-laki normal yang sudah menikah, tentu Dimas bergumul juga dengan hasrat seksualnya. Dalam pergumulan ini, tak jarang muncul pikiran untuk meninggalkan istrinya itu. Namun, karena kasihnya yang besar kepada istrinya, ia memilih untuk tetap bersama dan merawat istrinya itu.
Saudara, tidak terasa lima tahun sudah keadaan ini mereka jalani. Kondisi Nining semakin memburuk saja. Namun Dimas terus mencurahkan perhatiannya untuk merawat istrinya itu. Saudara, melihat pengorbanan suaminya, Nining begitu terharu. Lalu dengan suara setengah berbisik ia berkata kepada suaminya, “Mas Dimas… tak kusangka hidupku akan seperti ini, namun yang lebih tak kusangka lagi adalah melihat kebaikan dan ketulusan hatimu merawatku. Tadinya kupikir, mas tidak akan tahan dengan keadaanku dan pergi meninggalkanku.” Saudara, Dimas tidak mampu menjawab istrinya. Ia hanya bisa menangis dan memeluk istrinya itu. Sebulan setelah percakapan ini, Nining pun akhirnya dipanggil Tuhan. Di tengah kesedihan yang mendalam itu, Dimas nampak tegar.
Kesabaran dan ketulusan Dimas ini menunjukkan betapa ia tahu betul makna dari pernikahan Kristen. Bagi Dimas, bertahan dan merawat Nining lebih indah daripada meninggalkan isterinya itu hanya demi hasrat seksualnya.
Aplikasi
Saudara, saya tidak tahu apa yang saudara pikirkan saat ini. Mungkin seperti pemuda tadi, saudara pun tengah bergumul dengan hasrat seksual, dan berpikir bahwa pernikahan adalah solusinya. Atau bagi saudara yang telah menikah, mungkin saat ini saudara merasa kehidupan hubungan dengan pasangan mulai terasa dingin dan hambar, saudara lalu kecewa dan mulai berpikir untuk mencari kehangatan lain di luar sana. Seks juga adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk kita nikmati dalam pernikahan. Namun saudara, pernikahan bukanlah semata-mata urusan seksual. Lebih dari itu, pernikahan merupakan sarana di mana kita belajar saling mengasihi dan bertumbuh bersama di dalam Tuhan. Dengan memahami hal ini, tentu kita tidak akan tergesa-gesa memutuskan menikah, atau sebaliknya meninggalkan pasangan kita hanya ketika hasrat itu tidak terpuaskan lagi.
Hal yang kedua saudara,
II. Pernikahan Kristen adalah sarana untuk belajar menghargai pasangan
Penjelasan
Dalam Ulangan 21:14 Tuhan berkata, “Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya; tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaran uang; tidak boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkau telah memaksa dia.”
Dalam ayat ini Musa tidak sedang menganjurkan orang Israel untuk bercerai. Sebaliknya, perceraian diizinkan sebagai solusi atas kekerasan hati Israel yang tidak mau lagi menjaga pernikahannya itu. Perceraian dilakukan untuk melindungi nasib wanita yang diceraikan itu. Saudara, melalui pernikahan, status wanita itu telah berubah dari seorang tawanan menjadi seorang merdeka. Status itu tetap tidak boleh berubah sekalipun, karena kekerasan hati Israel, wanita itu kemudian diceraikan. Jadi penekanan ayat ini bukanlah pada perceraiannya, tetapi pada sikap menghargai terhadap wanita itu.
Saudara, frasa “tidak boleh menjualnya” atau “memperlakukannya sebagai budak” berarti bahwa wanita itu tidak boleh direndahkan statusnya atau diperlakukan sebagai barang dagangan. Sebaliknya, perintah untuk membiarkan wanita itu pergi sebagai seorang merdeka merupakan wujud penghargaan atas martabat wanita itu.
Melalui peraturan pernikahan ini, Tuhan ingin agar Israel tetap menjunjung tinggi harkat manusia, dan hal itu harus ditunjukkan dengan sikap menghargai status dan martabat wanita yang telah dinikahinya itu. Di sini kita melihat bahwa sikap penghargaan terhadap pasangan adalah hal yang sangat ditekankan dan penting di dalam pemaknaan sebuah pernikahan.
Saudara-saudara, sikap ini jugalah yang ditekankan Paulus dalam Efesus 5:22-25, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu.... Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”
Saudara, teladan akan hal ini juga telah diberikan oleh Kristus. Sebagai mempelai Pria, Kristus begitu menghargai dan mengasihi kita sebagai mempelai wanita-Nya. Bukan hanya menghargai, lebih dari itu Kristus bahkan rela memberikan seluruh hidup-Nya dan mati di kayu salib. Semua itu dilakukan-Nya agar kita boleh terus menjadi mempelai wanita-Nya dan hidup bersama-Nya dalam pernikahan Sorgawi.
Ilustrasi
Saudara, suatu kali tanpa sengaja Toni bertemu dan berkenalan dengan Susan. Perkenalan itu terjadi di dalam sebuah taksi. Perkenalan itu pun berlanjut dan singkat cerita, setelah merasa cocok mereka pun akhirnya menikah. Di awal pernikahan, mereka hidup bahagia dan dikaruniai 2 orang anak. Kehidupan ekonomi pun semakin membaik sehingga Toni tidak perlu lagi menjadi sopir taksi. Hal ini karena usaha bengkel motoryang mereka miliki di rumah, cukup ramai dikunjungi orang. Namun, kondisi ini ternyata membuat Toni lupa diri. Ia mulai sering berkumpul dengan teman-temannya dan larut dalam perjudian, sehingga ia tidak lagi memperhatikan bengkelnya. Semua urusan bengkel pun akhirnya diambil alih oleh Susan. Namun karena merasa sebagai tumpuan ekonomi keluarganya, Susan pun menjadi besar kepala. Toni tidak lagi dihargai sebagai kepala keluarga. Berkali-kali Toni diperlakukan layaknya seorang pecundang, harga dirinya diinjak-injak. Saudara, menerima penghinaan yang bertubi-tubi membuat Toni sangat membenci isterinya itu. Hingga suatu kali, saat pulang larut malam dengan kondisi mabuk, Toni pun mulai memukuli istrinya itu. Saudara, bukan hanya sekali Toni melakukan hal ini. Dan karena tidak sanggup lagi menerima perlakuan itu, Susan pun akhirnya menggugat cerai suaminya itu.
Saudara, kepahitan dan kegagalan yang Toni dan Susan alami ini adalah akibat dari tidak adanya sikap saling menghargai di antara mereka.
Aplikasi
Dari kisah nyata ini, kita melihat bahwa sikap saling menghargai adalah hal yang sangat penting di dalam pernikahan. Permasalahan yang timbul sering kali justru berawal dari tidak adanya sikap penghargaan terhadap pasangan. Saudara, Toni dan Susan telah mengalami kepahitan itu. Bagaimana dengan kita? Apakah selama ini kita telah menghargai pasangan kita? Adakah selama ini kita telah memperlakukan pasangan kita dengan penuh kasih dan hormat. Atau sebaliknya, sebagai suami kita justru menggunakan otoritas yang kita miliki untuk menekan istri kita, tidak memperdulikannya, atau bahkan memperlakukannya hanya sebagai “pembantu”? Atau sebaliknya sebagai istri, kita mulai tidak menghargai suami kita, ketika ia kehilangan pekerjaannya? Atau, hanya karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi, gaji yang lebih besar, maka kita mulai meremehkan pasangan kita dan tidak menghormatinya lagi?
Penutup
Saudara, sebagai orang percaya kita dipanggil untuk memaknai pernikahan sebagaimana Kristus memaknainya. Peraturan pernikahan diberikan agar kita dapat menjaga kekudusan pernikahan kita. Pernikahan bukanlah semata-mata tempat pemuas hasrat seksual. Lebih dari itu, pernikahan merupakan sarana untuk belajar saling menghargai, mengasihi dan bertumbuh bersama dalam iman kepada Tuhan.
Berangkat dari pemahaman ini, marilah kita mempersiapkan, menjaga, dan menjalani pernikahan kita dengan penuh tanggung jawab. Marilah kita juga memperlakukan pasangan kita sebagaimana Tuhan Yesus memperlakukan jemaat-Nya.
Memang saudara, menjalani kehidupan pernikahan bukan sesuatu yang gampang. Pribadi yang berbeda, sering kali membuat kehidupan pernikahan tidak semudah yang kita bayangkan. Namun ingatlah saudara, Tuhanlah yang telah merancang pernikahan kita. Ia tidak akan membiarkan kita menjalani pernikahan ini sendiri. Percayalah, Ia akan memampukan kita untuk menjalani kehidupan pernikahan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Amin