1 PETRUS 2:18-25 (PENDERITAAN KRISTUS SEBAGAI TELADAN)

Pdt. Budi Asali, M.Div.
1 PETRUS 2:18-25 (PENDERITAAN KRISTUS SEBAGAI TELADAN). 1 Petrus 2: 18: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis”.

1) “Hai kamu, hamba-hamba”.
1 PETRUS 2:18-25 (PENDERITAAN KRISTUS SEBAGAI TELADAN)
otomotif, gadget, bisnis
a) Terjemahan.

Kata-kata ‘Hai kamu’ seharusnya tidak ada.

Kata ‘hamba-hamba’ diterjemahkan ‘servants’ (= pelayan-pelayan) oleh KJV/RSV/NASB, dan ‘slaves’ (= hamba-hamba) oleh NIV.

Kata Yunani yang dipakai adalah OIKETAI yang sebetulnya berarti ‘house servants’ (= pelayan-pelayan rumah). Barnes mengatakan bahwa ini berasal dari kata AIKOS yang berarti ‘house’ (= rumah). Barnes juga mengatakan (hal 1411) bahwa kata ini bisa menunjukkan bahwa mereka adalah hamba, tetapi bisa juga tidak. Tetapi kata-kata selanjutnya (ay 18-20) kelihatannya menunjukkan bahwa mereka adalah hamba.

Kata Yunani yang sama digunakan dalam Lukas 16:13 - “Seorang hamba (OIKETES) tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.’”.

b) Perbudakan pada jaman Romawi.

Barclay: “In the Roman Empire there were as many as 60,000,000 slaves. Slavery began with Roman conquests, slaves being originally mainly prisoners taken in war, ... It was by no means only menial tasks which were performed by slaves. Doctors, teachers, musicians, actors, secretaries, stewards were slaves. In fact, all the work of Rome was done by slaves. Roman attitude was that there was no point in being master of the world and doing one’s own work. Let the slaves do that and let the citizens live in pampered idleness” [= Dalam kekaisaran Romawi ada 60 juta budak. Perbudakan dimulai dengan penaklukan Romawi, mula-mula budak-budak pada umumnya adalah para tawanan perang, ... Bukan hanya tugas-tugas kasar / rendah yang dilakukan oleh budak-budak. Dokter-dokter, guru-guru, musisi-musisi, aktor-aktor, sekretaris-sekretaris, pengurus-pengurus rumah adalah budak-budak. Bahkan dalam faktanya semua pekerjaan Romawi dilakukan oleh budak-budak. Sikap Romawi adalah bahwa tidak ada gunanya menjadi tuan dari dunia tetapi melakukan pekerjaannya sendiri. Biarlah budak-budak yang melakukannya dan biarlah para warga negara (Romawi) hidup dalam kemalasan yang manja] - hal 210.

Barclay: “In Roman law a slave was not a person but a thing; and he had absolutely no legal rights whatsoever. ... The only difference between a slave and a beast or a farmyard cart was that a slave happened to be able to speak. ... In regard to a slave, his master’s will, and even his master’s caprice, was the only law. ... He did not possess even the elementary rights of a person and for him justice did not even exist” (= Dalam hukum Romawi seorang budak bukanlah seorang pribadi tetapi suatu benda; dan ia sama sekali tidak mempunyai hak-hak hukum apapun. ... Satu-satunya perbedaan antara seorang budak dan seekor binatang atau sebuah kereta pertanian adalah bahwa seorang budak bisa berbicara. ... Berkenaan dengan seorang budak, kehendak tuannya, dan bahkan perubahan pikiran secara tiba-tiba dari tuannya, adalah satu-satunya hukum. ... Ia bahkan tidak mempunyai hak-hak dasar dari seorang pribadi, dan bagi dia keadilan bahkan tidak ada) - hal 211.

c) Ini menunjukkan bahwa pada jaman itu banyak orang kristen yang adalah budak.

Alexander Nisbet: “It may be the lot of the Lord’s dearest people, not only to be in the rank of servants, which is a part of their likeness to their Lord for His outward state in the flesh, Phil. 2:7, but likewise to be by divine providence put to serve heathens, and the worst of heathens, that so the Lord may make them instrumental to do good to some of these, 2Kings 5:2,3, or convince them that God is with their servants, Gen. 3 1:44” (= Bisa merupakan nasib dari umat yang terkasih dari Tuhan, bukan hanya untuk berada dalam golongan pelayan-pelayan, yang merupakan sebagian dari kemiripan mereka dengan Tuhan mereka dalam keadaan lahiriahNya dalam daging, Filipi 2:7, tetapi juga untuk diletakkan oleh providensia ilahi untuk melayani orang-orang kafir, dan bahkan orang-orang kafir yang terburuk, sehingga Tuhan bisa membuat mereka sebagai alatNya untuk melakukan hal yang baik kepada sebagian dari mereka, 2Raja 5:2,3, atau meyakinkan mereka bahwa Allah menyertai pelayan-pelayan mereka, Kejadian 31:44) - hal 100.

Catatan: Kej 31:44 itu tidak cocok, rupanya salah cetak.

Pulpit Commentary: “The frequent mention of slaves in the Epistles shows that many of the first Christians must have been in a condition of servitude (comp. 1Cor. 7:21-23; Eph. 6:5-8; Col. 3:22; 1Tim. 6:1-2, etc.)” [= Seringnya penyebutan tentang budak-budak dalam surat-surat menunjukkan bahwa banyak dari orang-orang kristen mula-mula yang berada dalam keadaan perbudakan (bdk. 1Korintus 7:21-23; Efesus 6:5-8; Kolose 3:22; 1Timotius 6:1-2, dsb.)] - hal 74.

Bandingkan dengan ajaran GBI Tiberias / Pdt. Yesaya Pariadji: “Sesudah itu barulah Perjamuan Kudus dilaksanakan. Hamba-Nya Pdt. Yesaya Pariadji menantang peserta retret untuk maju ke depan untuk didoakan. Doa itu meliputi penyempurnaan kehidupan masa depan. Hamba-Nya menjelaskan melalui Perjamuan Kudus ada kuasa yang tiada taranya. Dengan kuasa-Nya Tuhan mampu menyiapkan anak-anak-Nya bukan hanya dalam tingkatan manager tetapi lebih dari itu yaitu tingkatan direktur keatas. Sebab kalau Allah sudah membuka tidak ada seorangpun yang bisa menutupnya” - ‘Majalah Tiberias’, Edisi V / 2001, hal 42.

Mengapa budak-budak kristen pada abad-abad awal itu tidak menjadi direktur? Rupanya rasul-rasul pada saat itu kurang manjur doanya, atau salah dalam melakukan Perjamuan Kudus, sehingga budak-budak kristen itu tetap tinggal sebagai budak! Seandainya Pdt. Yesaya Pariadji hidup pada saat itu, pasti para budak kristen itu sudah menjadi direktur-direktur.

Bandingkan juga hal ini dengan ajaran Theologia Kemakmuran, yang mengharuskan orang kristen kaya. Mengapa budak-budak itu tidak menjadi kaya? Apakah mereka semua tidak / kurang beriman, atau banyak dosa?

d) Kekristenan dan perbudakan.

Dalam keadaan seperti inilah muncul kekristenan dengan berita bahwa setiap orang berharga di mata Allah. Ada 2 hal yang bisa terjadi pada situasi ini:

1. Kadang-kadang budak dan majikannya sama-sama menjadi kristen, dan budak itu lalu memandang pada hubungan yang baru antara dirinya dengan majikannya, dan menjadikannya sebagai alasan untuk melalaikan tugasnya. Juga ada budak yang mengandalkan kebaikan dari majikan kristennya dan mengira bahwa fakta bahwa mereka berdua adalah orang kristen memberikan kepada mereka suatu hak untuk membuang disiplin dan hukuman.

Barclay: “But Peter is quite clear. The relationship between Christian and Christian does not abolish the relationship between man and man. The Christian must, indeed, be a better workman than anyone else. His Christianity is not a reason for claiming exemption from discipline’; it should bring him under self-discipline and make him more conscientious than anyone else” (= Tetapi Petrus cukup jelas. Hubungan antara orang kristen dan orang kristen tidak menghapuskan hubungan antara manusia dengan manusia. Orang kristen memang harus merupakan seorang pekerja yang lebih baik dari pada orang-orang lain. Kekristenannya bukanlah alasan untuk menuntut pembebasan dari disiplin’; itu seharusnya membawanya ke bawah pendisiplinan diri sendiri dan membuatnya lebih bersungguh-sungguh dari pada orang-orang lain) - hal 212.

2. Budak-budak bisa memberontak dan berusaha menghapuskan perbudakan sama sekali. Ini akan menyebabkan mereka dihancurkan, dan juga menyebabkan kekristenan mendapatkan nama buruk.

Barclay: “Some students are puzzled that no New Testament writer ever pleads for the abolition of slavery or even says in so many words that it is wrong. The reason was simple. To have encouraged the slaves to rise against their masters would have been the way to speedy disaster. There had been such revolts before and they had always been quickly and savagely crushed. In any event, such teaching would merely have gained for Christianity the reputation of being a subversionary religion. There are some things which cannot happen quickly; there are some situations in which the leaven has to work and in which haste is the surest way to delay the desired end. The leaven of Christianity had to work for many generations before the abolition of slavery became a practical possibility. Peter was concerned that Christian slaves should demonstrate to the world that their Christianity did not make them disgruntled rebels but rather workmen who had found a new inspiration towards doing an honest day’s work. It will still often happen that, when some situation cannot at the time be changed, the Christian duty is to be Christian within that situation and to accept what cannot be changed until the leaven has worked” (= Sebagian pelajar bingung karena tidak ada penulis Perjanjian Baru yang pernah meminta penghapusan perbudakan atau bahkan mengatakan bahwa hal itu salah. Alasannya sederhana. Mendorong budak-budak untuk memberontak terhadap tuan-tuan mereka merupakan jalan kepada bencana yang cepat. Sebelum saat itu sudah pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan dan mereka selalu dihancurkan dengan cepat dan kejam. Bagaimanapun juga, ajaran seperti itu hanya akan menyebabkan kekristenan mendapatkan reputasi sebagai agama yang bersifat subversif. Ada hal-hal yang tidak bisa terjadi dengan cepat; ada situasi-situasi dalam mana ragi harus bekerja dan dalam mana ketergesa-gesaan merupakan jalan yang paling pasti untuk menunda tujuan yang diinginkan. Ragi kekristenan harus bekerja untuk banyak generasi sebelum penghapusan perbudakan menjadi suatu kemungkinan yang praktis. Perhatian Petrus adalah supaya budak-budak kristen mendemonstrasikan kepada dunia bahwa kekristenan mereka tidak membuat mereka menjadi pemberontak-pemberontak yang tidak puas tetapi sebaliknya pekerja-pekerja yang telah menemukan suatu ilham baru untuk melakukan pekerjaan yang jujur. Masih sering terjadi bahwa pada waktu suatu situasi tidak bisa diubah pada saat itu, kewajiban orang kristen adalah untuk menjadi orang kristen dalam situasi itu dan menerima apa yang tidak bisa diubah sampai ragi telah bekerja) - hal 212-213.

Bandingkan kedua point di atas ini dengan kata-kata Paulus dalam 1Timotius 6:1-2 - “(1) Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang. (2) Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih”.

e) Kita harus melakukan tindakan mulia sekalipun kita berada di tempat yang rendah.

Pulpit Commentary: “The person addressed. ‘Servants.’ ... In lowly life there may be the working out of noblest principles. ... The greatest principles of grace can be exemplified in the humblest position. ... Where no great deed is apparent, there may be the greatest victories. These servants were not called to prominent places in Church life, nor to activity in public events, nor to anything the world counts great, but to patient endurance. Yet is anything harder, and therefore, greater? It requires greater force of Christian character to suffer than to act; many eyes are fixed on action, in suffering we are cast almost wholly on the unseen. ... Let the sufferer, him with few talents, him who is oppressed, know that in enduring well he may rank with Jesus Christ’s nobility” (= Orang yang dituju. ‘Pelayan-pelayan’. ... Dalam kehidupan yang rendah bisa ada pemraktekan prinsip-prinsip yang mulia. ... Prinsip-prinsip yang terbesar dari kasih karunia bisa ditunjukkan dalam posisi yang paling rendah. ... Dimana tidak ada tindakan besar yang nyata, dimana bisa ada kemenangan-kemenangan yang terbesar. Pelayan-pelayan ini tidak dipanggil kepada tempat-tempat yang menonjol dalam kehidupan Gereja, ataupun kepada aktivitas-aktivitas dalam kejadian-kejadian umum, ataupun kepada apapun yang dianggap besar oleh dunia, tetapi kepada sikap bertahan yang sabar. Tetapi adakah sesuatu apapun yang lebih sukar, dan karena itu lebih besar? Membutuhkan kekuatan yang lebih besar dari karakter kristen untuk menderita dari pada untuk bertindak; banyak mata ditujukan pada tindakan, dalam penderitaan kita dilemparkan hampir seluruhnya pada apa yang tidak terlihat. ... Biarlah orang yang menderita, ia dengan sedikit talenta, ia yang ditindas, tahu bahwa dalam bertahan dengan baik ia bisa digolongkan dengan kemuliaan Yesus Kristus) - hal 111.

Pulpit Commentary: “none may make the circumstances of their life an excuse for neglecting religion. ... It is for them to do their duty to God and to man in that station to which God has been pleased to call them. ... Men must not fret and chafe against the toils and privations of their lot; they must do their duty in it, and they will find peace and inward satisfaction” (= tidak seorangpun yang boleh membuat sikon dari kehidupan mereka sebagai suatu alasan / dalih untuk mengabaikan agama. ... Mereka harus melakukan kewajiban mereka kepada Allah dan kepada manusia di tempat dimana Allah berkenan memanggil mereka. ... Manusia tidak boleh bersungut-sungut dan jengkel terhadap kerja keras dan kemelaratan dari nasib mereka; mereka harus melakukan kewajiban mereka di dalamnya, dan mereka akan mendapatkan damai dan kepuasan batin) - hal 83-84.

2) “tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu”.

a) ‘tuan’.

Barnes mengatakan (hal 1411) bahwa kata yang diterjemahkan ‘tuan’ di sini adalah DESPOTAIS, berbeda dengan kata yang digunakan dalam Efesus 6:5 dimana digunakan kata Yunani KURIOIS.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “DESPOTAI, ‘masters’, is a strong word, denoting ‘absolute ownership and uncontrolled power’” (= DESPOTAI, ‘tuan-tuan’, adalah suatu kata yang kuat / keras, menunjukkan ‘kepemilikan mutlak dan kuasa yang tidak terkontrol’) - hal 114.

Dari kata Yunani ini diturunkan kata bahasa Inggris ‘despot’ yang artinya adalah ‘raja yang lalim’ / ‘tiran’.

b) ‘tunduklah’.

Alexander Nisbet mengatakan bahwa pada saat itu banyak orang kristen yang menganggap bahwa kebebasan kristen berarti mereka tidak perlu tunduk kepada pemerintah ataupun kepada tuan / majikan mereka. Dalam 1Petrus 2:13-17 Petrus menangani ketidak-tundukan kepada pemerintah, dan di sini Petrus menangani ketidak-tundukan kepada majikan / tuan.

c) ‘dengan penuh ketakutan’.

Calvin menafsirkan (hal 86) bahwa ‘ketakutan’ di sini harus diartikan sebagai ‘sincere and willing reverence’ (= rasa hormat yang tulus dan rela).

d) Perintah ini masih relevan pada jaman sekarang, sekalipun sudah tidak ada perbudakan.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “Nor can we argue that this teaching does not concern us since slavery is a thing of the past. There are in life comparable position in business or in household, in college and indeed in the Church, in which others are set over us. It is then our Christian calling to be submissive, co-operative and uncomplaining, even if pained by unfair treatment” (= Kita tidak bisa berargumentasi bahwa ajaran ini tidak berurusan dengan kita karena perbudakan merupakan suatu hal di masa lalu. Dalam kehidupan ada posisi yang bisa disamakan dalam bisnis atau dalam rumah tangga, dalam sekolah / fakultas, dan bahkan dalam gereja, dalam mana ada orang-orang yang diletakkan di atas kita. Maka merupakan panggilan kristen bagi kita untuk tunduk, bekerja sama dan tidak mengeluh, bahkan jika disakiti oleh perlakuan yang tidak adil) - hal 115.

Saya berpendapat bahwa sekalipun perintah ini memang bisa diberlakukan pada saat ini, tetapi itu tidak mutlak. Sebagai seorang pegawai / pelajar, tentu saja kita bisa saja keluar dari pekerjaan / sekolah kalau kita diperlakukan secara tidak adil, apalagi kalau hal itu betul-betul keterlaluan. Tetapi sebagai seorang istri / anak, hal ini lebih mutlak, karena istri tidak boleh menceraikan suaminya, dan anak tidak boleh memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Dalam gereja hal ini tidak bisa dimutlakkan, karena kalau dimutlakkan, itu bisa membahayakan. Calvin mengatakan (hal 87) bahwa ada orang-orang yang menggunakan bagian ini untuk mengatakan bahwa orang-orang kristen harus tunduk kepada Paus, tidak peduli bagaimana menyedihkan dan tidak dapat ditoleransinya pemerintahan mereka. Calvin mengatakan bahwa ini merupakan sesuatu yang ‘absurd’(= menggelikan), dan juga menunjukkan betapa beraninya mereka mempermainkan Firman Allah.

3) “bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis”.

Jay E. Adams: “no slave could excuse his bad behavior on the basis of bad treatment by his master” (= tidak ada budak boleh memberikan dalih / alasan tentang sikapnya yang buruk berdasarkan perlakuan yang buruk oleh tuannya) - hal 87.

1 Petrus 2: 19: “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung”.

1) “Sebab adalah kasih karunia”.

Kata ‘kasih karunia’ di sini merupakan terjemahan hurufiah, karena dalam bahasa Yunaninya digunakan kata KHARIS. Tetapi Calvin mengatakan bahwa di sini kata itu harus diartikan ‘praise’ (= pujian), atau ‘worthy of praise’ (= layak dipuji); sedangkan Barnes mengatakan (hal 1412) bahwa artinya adalah bahwa hal itu merupakan sesuatu yang diterima oleh Allah.

NIV: ‘For it is commendable’ (= Karena itu merupakan sesuatu yang patut dipuji).

Calvin juga mengatakan (hal 87-88) bahwa pada saat itu kata-kata ini merupakan sesuatu yang penting, karena pelayan-pelayan / budak-budak itu berada dalam keadaan yang buruk, dan mereka dianggap tidak lebih dari ternak. Satu-satunya hal yang harus mereka lakukan adalah memandang kepada Allah.

2) “jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung”.

Kata ‘kehendak’ sebetulnya tidak ada.

NIV: ‘if a man bears up under the pain of unjust suffering because he is conscious of God’ (= jika seseorang bertahan di bawah rasa sakit dari penderitaan yang tidak adil karena ia sadar akan Allah).

Bagian ini menunjukkan bahwa seseorang harus melakukan hal itu bukan karena ia memandang manusia, tetapi karena ia memandang Allah.

Calvin: “For conscience towards God means this, that one performs his duty, not from a regard to men, but to God. ... It is, in short, a general truth, that what we do is approved by God, if our object be to serve him, and if we are not influenced by a regard to man alone” (= Karena kesadaran terhadap Allah berarti ini: bahwa seseorang melakukan kewajibannya, bukan dari hormat kepada manusia, tetapi kepada Allah. ... Singkatnya, merupakan suatu kebenaran yang umum bahwa apa yang kita lakukan disetujui oleh Allah, jika tujuan kita adalah untuk melayani Dia, dan jika kita tidak dipengaruhi oleh hormat kepada manusia saja) - hal 88.

Bdk. Kolose 3:22 - “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan”.

Pulpit Commentary: “that is, consciousness of God’s presence, of his will, of our duties to him” (= yaitu, kesadaran tentang kehadiran Allah, tentang kehendakNya, dan tentang kewajiban-kewajiban kita kepadaNya) - hal 75.

Barnes’ Notes: “Our proper business in life is, to do the will of God; to evince the right spirit, however others may treat us; and to show, even under excessive wrong, the sustaining power and the excellence of true religion. Each one who is oppressed and wronged, therefore, has an eminent opportunity to show a spirit which will honour the gospel; and the slave and the martyr may do more to honour the gospel than if they were both permitted to enjoy liberty and life undisturbed” (= Urusan kita yang benar dalam kehidupan adalah melakukan kehendak Allah; menunjukkan semangat yang benar, bagaimanapun orang-orang lain memperlakukan kita; dan menunjukkan, bahkan di bawah hal-hal salah yang sangat banyak, kuasa yang menopang dan keunggulan dari agama yang benar. Karena itu, setiap orang yang ditindas dan disalahi, mempunyai suatu kesempatan yang menyolok untuk menunjukkan suatu semangat yang akan menghormati injil; dan seorang budak dan seorang martir bisa melakukan sesuatu yang lebih menghormati injil dari pada jika mereka diijinkan untuk menikmati kebebasan dan kehidupan yang tidak diganggu) - hal 1412.

1 Petrus 2: 20: “Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah”.

1) “Sebab dapatkah disebut pujian”.

KJV: ‘For what glory is it’ (= Karena apa kemuliaannya).

NASB: ‘For what credit is there’ (= Karena apa bagusnya). RSV/NIV » NASB.

2) “jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa”.

Ada kekurangan dalam terjemahan Kitab Suci Indonesia di sini, dan TB2-LAI tidak memperbaikinya.

KJV: ‘if, when ye be buffeted for your faults, ye shall take it patiently?’ (= jika, pada waktu kamu dipukul karena kesalahan-kesalahanmu, kamu menerimanya dengan sabar?).

NIV: ‘if you receive a beating for doing wrong and endure it?’ (= jika kamu menerima suatu pukulan karena melakukan hal yang salah dan menahannya?).

Calvin berkata bahwa sebetulnya kalau kita menderita pukulan / dihukum karena kita berbuat dosa, dan kita menanggungnya dengan sabar, maka itu juga merupakan sesuatu yang baik. Jadi, di sini Petrus hanya mengatakan ini dalam suatu perbandingan.

3) “Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita”.

Di sini terjadi kekurangan yang sama seperti di atas.

KJV: ‘but if, when ye do well, and suffer for it, ye take it patiently’ (= tetapi jika pada waktu kamu berbuat baik, dan menderita karenanya, engkau menerimanya dengan sabar).

NIV: ‘But if you suffer for doing good and you endure it’ (= Tetapi jika kamu menderita karena melakukan hal yang baik dan kamu menahannya).

Dibandingkan dengan point 2) di atas, maka ini tentu merupakan sesuatu yang lebih baik.

4) “maka itu adalah kasih karunia pada Allah”.

NIV: ‘this is commendable before God’ (= ini merupakan sesuatu yang patut dipuji di hadapan Allah).

Sama seperti pada awal dari 1 Petrus 2: 19, di sini digunakan kata Yunani KHARIS.

1 Petrus 2: 21: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya”.

1) “Sebab untuk itulah kamu dipanggil”.

Calvin menganggap (hal 89) bahwa sekalipun pembicaraan mulai 1 Petrus 2: 18 berhubungan dengan pelayan / hamba, tetapi ay 21 ini tidak boleh dibatasi oleh pokok tersebut. Jadi, bagian ini dianggap berlaku umum untuk semua orang kristen.

2) “karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya”.

a) Terjemahan.

KJV: ‘because Christ also suffered for us, leaving us an example, that ye should follow his steps’ (= karena Kristus juga menderita untuk kita, meninggalkan kita suatu teladan, supaya kamu mengikuti langkahNya).

RSV/NIV/NASB menggunakan kata ganti orang seperti dalam Kitab Suci Indonesia.

KJV bisa berbeda karena menggunakan manuscripts yang berbeda. Clarke menganggap bahwa manuscripts yang benar menggunakan ‘kamu’, bukan ‘kita’. Pulpit Commentary juga mengatakan (hal 75) bahwa manuscript yang tertua menggunakan ‘kamu’.

b) Ada perubahan dalam pemikiran Petrus tentang penderitaan Kristus.

Pulpit Commentary mengatakan (hal 94) bahwa merupakan sesuatu yang menarik untuk memperhatikan adanya perubahan dalam pemikiran Petrus tentang penderitaan Kristus. Dulu hal itu merupakan semacam batu sandungan baginya (Matius 16:21-22), tetapi sekarang ia mengatakan bahwa itu merupakan teladan bagi kita.

c) Tidak semua yang Kristus lakukan harus kita teladani.

Calvin: “it is necessary to know what in Christ is to be our example. He walked on the sea, he cleansed the leprous, he raised the dead, he restored sight to the blind: to try to imitate him in these things would be absurd. For when he gave these evidences of his power, it was not his object that we should thus imitate him. ... We ought, therefore, to exercise in this respect a right judgment; as also Augustine somewhere reminds us, when explaining the following passage, ‘Learn of me, for I am meek and lowly in heart.’ (Matt. 11:29.) And the same thing may be learnt from the words of Peter; for he marks the difference by saying that Christ’s patience is what we ought to follow” [= adalah perlu untuk mengetahui apa dalam Kristus yang harus menjadi teladan kita. Ia berjalan di laut, Ia mentahirkan orang yang sakit kusta, Ia membangkitkan orang mati, Ia memulihkan penglihatan orang buta: mencoba untuk meniru Dia dalam hal-hal ini merupakan sesuatu yang menggelikan. Karena pada waktu Ia memberikan bukti-bukti kuasaNya ini, bukanlah merupakan tujuanNya bahwa kita meniru Dia. ... Karena itu, dalam hal ini kita harus menggunakan penghakiman / penilaian yang benar; seperti Agustinus juga pernah mengingatkan kita, pada waktu menjelaskan text yang berikut ini, ‘Belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati’ (Matius 11:29). Dan hal yang sama bisa dipelajari dari kata-kata Petrus; karena ia menunjukkan perbedaan dengan mengatakan bahwa kesabaran Kristus adalah apa yang harus kita ikuti] - hal 89.

Kata-kata Calvin memang benar. Tidak semua tindakan Kristus harus kita teladani, dan jelas bahwa penderitaan / kematian Yesus Kristus yang bersifat menggantikan kita / menebus dosa kita, tidak mungkin kita teladani.

Bdk. Mazmur 49:8-9 - “(8) Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya, (9) karena terlalu mahal harga pembebasan nyawanya, dan tidak memadai untuk selama-lamanya”. Ini salah terjemahan.

NIV: ‘No man can redeem the life of another or give to God a ransom for him - the ransom for a life is costly, no payment is ever enough’ (= Tak seorangpun bisa menebus nyawa orang lain atau memberi kepada Allah suatu tebusan untuknya - tebusan untuk suatu nyawa sangat mahal, tidak ada pembayaran yang bisa mencukupi).

d) Kita baru bisa menjadikan Kristus sebagai teladan kita kalau kita sudah menerima Dia sebagai Pengganti kita dalam memikul hukuman dosa / Penebus kita.

Pulpit Commentary: “We must begin with ‘Christ suffered for us’ if we are to live like Christ. Only when I look to his cross as the great act of his love, by which he gave himself wholly for me and bore the burden of my sin, do I receive the power to follow him and live as he lived. ... Unless the sufferings of Christ are to us the propitiation for our sins, they will never be to us the pattern for our lives. Unless they are the pattern for our lives, it is vain to fancy that they are the propitiation for our sins. What God has joined together let not man put asunder. ‘Christ has suffered for us’ - there is the whole gospel; ‘leaving us an example’ - there is the whole law” (= Kita harus mulai dengan ‘Kristus menderita untuk kita’ jika kita mau hidup seperti Kristus. Hanya pada saat saya memandang kepada salibNya sebagai tindakan besar / agung dari kasihNya, dengan mana Ia menyerahkan diriNya sendiri seluruhnya untuk saya dan memikul beban dosa saya, maka barulah saya menerima kuasa untuk mengikuti Dia dan hidup sebagaimana Ia hidup. ... Kecuali penderitaan Kristus merupakan perdamaian untuk dosa-dosa kita, maka penderitaan itu tidak akan pernah menjadi pola untuk kehidupan kita. Kecuali penderitaan Kristus merupakan pola kehidupan kita, adalah sia-sia untuk mengkhayalkan bahwa penderitaan itu adalah pendamaian untuk dosa-dosa kita. Apa yang dipersatukan oleh Allah, janganlah diceraikan / dipisahkan oleh manusia. ‘Kristus telah menderita untuk kita’ - di situlah seluruh Injil; ‘meninggalkan teladan bagi kita’ - di situlah seluruh hukum) - hal 95,96.

1 Petrus 2: 22: “Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulutNya”.

Calvin: “He then declares that there was in Christ the highest perfection of innocency, such as no one of us can dare claim for himself. It hence appears more fully how unjustly he suffered beyond all others. There is, therefore, no reason why any one of us should refuse to suffer after his example, since no one is so conscious of having acted rightly, as not to know that he is imperfect” (= Ia lalu menyatakan bahwa dalam Kristus ada kesempurnaan tertinggi dari ketidak-berdosaan, seperti yang tidak seorangpun dari kita berani mengclaim untuk dirinya sendiri. Karena itu makin terlihat betapa Ia menderita secara tidak adil melebihi semua yang lain. Karena itu, tidak ada alasan mengapa ada di antara kita yang menolak untuk mengikuti teladanNya, karena tidak seorangpun yang begitu sadar bahwa ia telah bertindak dengan benar sehingga tidak mengetahui bahwa ia tidak sempurna) - hal 90.

1 Petrus 2: 23: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita,

Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”.
1) “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam”.

Pada waktu Yesus mengatakan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu munafik (Mat 23:15,29), seperti kuburan (Matius 23:27), ular beludak (Matius 23:33), dan bahwa setan adalah bapa mereka (Yohanes 8:44), itu tidak bisa dianggap sebagai caci maki, tetapi sebagai teguran / kecaman karena dosa-dosa mereka.

2) “tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”.

a) Terjemahan.

TB2-LAI: “tetapi Ia menyerahkan diriNya kepada Dia yang menghakimi dengan adil”.

NIV: ‘Instead, he entrusted himself to him who judges justly’ (= Sebaliknya, Ia mempercayakan diriNya sendiri kepada Dia yang menghakimi dengan adil).

Sebetulnya, baik kata ‘nya’ dalam TB1-LAI, maupun kata ‘diriNya’ dalam TB2-LAI, maupun kata ‘himself’ (= diriNya sendiri) dalam NIV, tidak ada dalam bahasa aslinya.

Pulpit Commentary mengatakan (hal 76) bahwa kata kerja ‘menyerahkan’ tidak mempunyai obyek dalam bahasa aslinya. Jadi terjemahan hurufiahnya adalah: “tetapi Ia menyerahkan kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”.

Lalu para penafsir menyuplai obyeknya secara berbeda-beda. Ada yang menambahkan ‘diriNya sendiri’, ‘perkaraNya’, ‘penderitaanNya’, atau ‘mereka yang memberikan penderitaan kepadanya’.

Calvin menyuplai dengan kata-kata ‘his cause’ (= perkaraNya).

Clarke mengatakan (hal 855) bahwa Latin Vulgate dalam ayat ini berbunyi: ‘He delivered himself to him who judged unrighteously’ (= Ia menyerahkan diriNya sendiri kepada dia yang menghakimi dengan tidak benar / tidak adil), dan kata ‘dia’ dianggap menunjuk kepada Pontius Pilatus. Clarke menambahkan bahwa ada beberapa pengkritik yang menerima terjemahan ini, tetapi tidak ada bukti yang cukup untuk menerima terjemahan ini sebagai terjemahan yang benar / asli. Barnes mengatakan hal yang sama (hal 1413).

b) ‘Menyerahkan kepada Allah’ berarti ‘tidak membalas dendam’.

Bandingkan dengan:

· Roma 12:19 - “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan”.

· Ulangan 32:35 - “HakKulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka”.

Calvin: “he who leaps to take vengeance, intrudes into what belongs to God, and suffers not God to perform his own office” (= ia yang melompat untuk membalas dendam, mencampuri ke dalam apa yang menjadi milik Allah, dan tidak membiarkan Allah untuk melakukan fungsi / kewajibanNya) - hal 91.

Ini tidak boleh diartikan bahwa kita tidak membalas karena kita menginginkan bahwa Allah membalas dendam untuk kita. Bandingkan dengan:

¨ Matius 5:44 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.

¨ Lukas 23:34 - “Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.’”.

c) Bagaimanapun juga, kata-kata ‘Dia, yang menghakimi dengan adil’ memberikan penghiburan bagi kita yang ditindas. Kalau kita ditindas, dan kita menyerahkannya kepada Allah, maka Ia akan menghakimi dengan adil (pada waktuNya, dan dengan caraNya!).

Calvin: “Peter adds this for the consolation of the godly, that is, that if they patiently endured the reproaches and violence of the wicked, they would have God as their defender. ... as though he had said, ‘It behoves us calmly to bear evils; God in the meantime will not neglect what belongs to him, but will shew himself to be a righteous judge.’ However wanton then the ungodly may be for a time, yet they shall not be unpunished for the wrongs done now to the children of God” (= Petrus menambahkan ini untuk menghibur orang-orang saleh, yaitu, bahwa jika mereka menahan dengan sabar celaan dan kekerasan / kekejaman dari orang-orang jahat, maka mereka akan mempunyai Allah sebagai pembela mereka. ... seakan-akan ia berkata: ‘Adalah perlu bagi kita untuk dengan tenang menanggung kejahatan; dalam pada itu Allah tidak akan mengabaikan apa yang menjadi bagianNya, tetapi akan menunjukkan diriNya sendiri sebagai Hakim yang benar / adil’. Maka betapapun tak terkendalinya orang-orang jahat untuk sementara waktu, tetapi mereka tidak akan tidak dihukum untuk kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan sekarang terhadap anak-anak Allah) - hal 90.

1 Petrus 2: 24: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh”.


1) “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib”.

a) ‘di dalam tubuhNya’.

Matthew Poole mengatakan (hal 907) bahwa kata ‘tubuh’ di sini tidak boleh diartikan bahwa Kristus hanya menderita dalam tubuh-Nya, tidak dalam jiwaNya. Ini harus diartikan sebagai suatu synecdoche (= suatu gaya bahasa dimana seluruhnya diwakili oleh sebagian, atau sebagian diwakili oleh seluruhnya), yang menunjuk kepada seluruh hakekat manusia dari Yesus Kristus.

Bdk. Yesaya 53:10 - “Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya”.

KJV: ‘his soul’ (= jiwanya).

NIV: ‘his life’ (= nyawanya).

Dalam bahasa Ibraninya memang ada kata NEPHES, yang artinya ‘jiwa’.

b) ‘di kayu salib’.

Calvin: “he expressly adds, ‘on the tree,’ because he could not offer such an expiation except on the cross” (= ia menambahkan secara jelas ‘di kayu salib’, karena ia tidak bisa menawarkan penebusan seperti itu kecuali pada salib) - hal 92.

c) Petrus tidak bisa tidak membicarakan penebusan Kristus.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “It is particularly noteworthy that in a context in which Peter is primarily concerned to exhort his readers to follow Christ’s example and patiently endure unjust treatment, once he has introduced the subject of Christ’s suffering, he cannot refrain from giving explicit mention of its unique atoning character” (= Merupakan sesuatu yang secara khusus perlu diperhatikan bahwa dalam suatu kontext dalam mana Petrus terutama sedang mempersoalkan untuk mendesak pembacanya untuk mengikuti teladan Kristus dan dengan sabar menahan perlakuan yang tidak adil, sekali ia telah membicarakan pokok tentang penderitaan Kristus, ia tidak bisa menahan untuk tidak menyebutkan secara explicit tentang sifat penebusannya yang unik) - hal 120.

Penerapan: adalah aneh kalau ada pendeta / penginjil / pengkhotbah / guru Sekolah Minggu yang bisa membicarakan Natal / Jum’at Agung / Paskah, tetapi sama sekali tidak memberitakan Injil ataupun membicarakan penebusan yang Kristus lakukan bagi manusia berdosa! Seorang pemberita Firman Tuhan seharusnya mempunyai jiwa penginjilan seperti Petrus!

2) “supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran”.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “The verb APOGINESTHAI, ‘being dead,’ occurs nowhere else in the Greek Bible. It means literally ‘to be away’ or ‘removed from’, ‘to depart’; and the participle here used is found in classical Greek writers to describe ‘the departed’, i.e. ‘the dead’. Here the word describes what sinners are to become in relation to their sins, because Christ bore these sins for them (cf. 4:1; Rom. 6:2,11). The idea is that, Christ having died for sins and to sin, as our proxy or substitute, our consequent standing before God is that of those who have no more connection with our old sins, or with the life of sinning” [= Kata kerja APOGINESTHAI, ‘mati terhadap dosa’, tidak muncul di tempat lain dalam Alkitab Yunani. Artinya secara hurufiah adalah ‘berada jauh’ atau ‘disingkirkan dari’, ‘pergi’; dan bentuk participle yang digunakan di sini ditemukan dalam penulis-penulis Yunani klasik untuk menggambarkan ‘orang yang sudah pergi’, yaitu ‘orang mati’. Di sini kata itu menggambarkan orang-orang berdosa harus menjadi apa dalam hubungannya dengan dosa-dosa mereka, karena Kristus memikul dosa-dosa ini untuk mereka (bdk. 4:1; Roma 6:2,11). Pemikiran / gagasannya adalah bahwa karena Kristus telah mati untuk dosa-dosa dan bagi dosa, sebagai wakil atau pengganti, maka sebagai akibatnya kedudukan kita di hadapan Allah adalah seperti mereka yang tidak lagi mempunyai hubungan dengan dosa-dosa lama, atau dengan kehidupan yang berdosa] - hal 121.

3) “Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh”.

Barnes’ Notes: “Sin is often spoken of as a disease, and redemption from it as a restoration from a deadly malady” (= Dosa sering dibicarakan sebagai suatu penyakit, dan penebusan darinya sebagai suatu pemulihan dari penyakit yang mematikan) - hal 1414.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “Here, as Theodore said, is ‘a new and strange method of healing; the doctor suffered the cost, and the sick received the healing’” (= Di sini, seperti dikatakan oleh Theodore, ada ‘suatu metode penyembuhan yang baru dan aneh; sang dokter memikul biayanya, dan si sakit menerima penyembuhan’) - hal 121.

Catatan: Perhatikan bahwa kata-kata ini diterapkan secara rohani, bukan secara jasmani!

1 Petrus 2: 21-24: “(21) Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya. (22) Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulutNya. (23) Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. (24) Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh. (25) Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu”.

Pulpit Commentary menganggap bahwa di sini Petrus menjelaskan secara berlama-lama dan secara cukup terperinci penderitaan fisik yang Yesus alami untuk menebus dosa kita. Sekalipun ia mengakui bahwa merupakan sesuatu yang memungkinkan untuk terlalu memainkan perasaan dari para pendengar pada waktu menceritakan hal-hal ini, tetapi ia juga mengingatkan bahwa kita bisa jatuh ke extrim yang lain, yaitu dengan sama sekali tidak mau membicarakan penderitaan fisik yang Yesus alami bagi kita. Ini salah, karena hal itu dibutuhkan orang kristen untuk bisa membangkitkan semangatnya.

Pulpit Commentary: “Note, too, that the apostle dwells on the sufferings, the actual mental and physical pain, and not only on the fact of death. The loving memory of the eye-witness of his Lord’s Passion retains each incident of the slow torture, the buffeting, the mocking, the livid weals of the cruel scourge, the fainting form bearing the heavy cross, and the unmoved meekness in it all. Sensuous representation of Christ’s sufferings have often been carried too far, but surely there is a danger of going to the other extreme; and every Christian life needs for its vigour a believing and realizing contemplation of the sufferings of Christ endured for and instead of us” (= Perhatikan juga bahwa sang rasul berlama-lama dalam menyatakan penderitaan-penderitaan itu, rasa sakit secara mental yang sungguh-sungguh dan secara fisik, dan bukan hanya pada fakta dari kematian. Ingatan kasih dari saksi mata tentang penderitaan Tuhannya mempertahankan setiap peristiwa dari penyiksaan yang lambat itu, pemukulan, pengejekan, bilur-bilur yang merah kebiru-biruan dari pencambukan, kondisi yang lemah pada saat memikul salib yang berat, dan kelembutan yang tidak berubah di dalam semua itu. Memang penggambaran yang berhubungan dengan perasaan tentang penderitaan Kristus seringkali dilakukan terlalu jauh, tetapi pasti juga ada bahaya untuk pergi ke extrim satunya; dan setiap kehidupan kristen membutuhkan untuk semangatnya suatu perenungan yang dipercayai dan disadari tentang penderitaan-penderitaan Kristus yang dialami untuk kita dan sebagai ganti kita) - ‘The First Epistle General of Peter’, hal 95.

Bandingkan pandangan Pulpit Commentary di atas ini dengan pandangan Leon Morris di bawah ini.

Pada waktu membahas tentang pencambukan dalam Yohanes 19:1, Leon Morris mengatakan bahwa para penulis Injil hanya menyatakan hal itu secara singkat (dengan satu kata saja), karena mereka tidak mau membangkitkan emosi pembacanya.

Leon Morris (NICNT): “It is a further example of the reserve of the Gospels that they use but one word to describe this piece of frightfulness. There is no attempt to play on our emotions” (= Itu merupakan contoh lagi tentang sikap hati-hati dari Injil-injil dimana mereka menggunakan hanya satu kata untuk menggambarkan potongan yang menakutkan ini. Tidak ada usaha untuk mengambil keuntungan secara tidak benar dari emosi kita) - ‘The Gospel according to John’, hal 790.

Dalam pembahasan tentang penyaliban dalam Yohanes 19:18, ia mengatakan hal yang serupa.

Leon Morris (NICNT): “John describes the horror that was crucifixion in a single word. As in the case of the scourging, he simply mentions the fact and passes on. Popular piety, both Protestant and Catholic, has often tended to make a great deal of the sufferings of Jesus, to reflect on what was done and to dwell on the anguish He suffered. None of the Gospels does this. The Evangelists record the fact and let it go at that. The death of Jesus for men was their concern. They make no attempt to play on the heartstrings of their readers” (= Yohanes menggambarkan kengerian penyaliban dalam satu kata. Seperti dalam kasus pencambukan / penyesahan, ia hanya menyebutkan fakta itu dan lalu melanjutkan ceritanya. Orang-orang saleh yang terkenal, baik Protestan maupun Katolik, sering cenderung untuk menekankan penderitaan Yesus, merenungkan apa yang dilakukan / terjadi, dan berlama-lama dalam menyatakan penderitaan yang Ia derita. Tidak ada dari Injil-injil yang melakukan hal ini. Mereka tidak berusaha untuk mengambil keuntungan yang tidak benar dari perasaan hati dari pembaca mereka) - ‘The Gospel according to John’, hal 805-806.

Dan dalam tafsirannya tentang Lukas 23:33, Leon Morris juga mengatakan hal yang kurang lebih sama.

Leon Morris (Tyndale): “Crucifixion was a slow and painful death, but it is noteworthy that none of the Evangelists dwells on the torment Jesus endured. The New Testament concentrates on the significance of Jesus’ death, not on harrowing our feelings” (= Penyaliban merupakan kematian yang lambat dan menyakitkan, tetapi patut diperhatikan bahwa tidak seorangpun dari para Penginjil / Penulis Injil yang berlama-lama dalam menyatakan siksaan yang dialami oleh Yesus. Perjanjian Baru memusatkan perhatian pada arti dari kematian Yesus, bukan untuk menggaru / melukai perasaan kita) - hal 326.

Saya memang tidak setuju dengan cara yang digunakan oleh sebagian pengkhotbah yang memang betul-betul berusaha membangkitkan emosi dari para pendengarnya pada waktu sang pengkhotbah menggambarkan penderitaan Kristus. Misalnya dengan secara sengaja menggunakan suara yang menyerupai orang yang menangis (Catatan: ini berbeda dengan kalau pengkhotbah tersebut betul-betul menangis; dalam hal ini tentu ia tidak bisa disalahkan). Menurut saya cara ini sengaja mempermainkan emosi dari para pendengar.

Tetapi saya tidak sependapat dengan Leon Morris kalau kita tidak boleh membicarakan penderitaan Kristus secara mendetail, karena hal itu selalu mempermainkan perasaan pendengar. Kita bisa melakukan hal itu, bukan dengan tujuan mempermainkan emosi para pendengar, tetapi untuk memberi pengertian kepada pikiran mereka tentang hebatnya penderitaan fisik yang Kristus alami bagi mereka, dengan tujuan supaya mereka makin merasakan kasih Kristus kepada mereka, sehingga merekapun bisa lebih mengasihi Kristus.

Geldenhuis mempunyai pandangan berbeda mengapa para penulis Injil hanya menceritakan secara singkat penderitaan fisik yang Yesus alami, yaitu supaya perhatian pembaca tidak dipusatkan pada penderitaan fisik dari Yesus saja dan dengan demikian mengabaikan penderitaan rohaniNya yang merupakan hakekat terdalam dari penderitaan Yesus.

Norval Geldenhuys (NICNT): “the physical agony which Jesus had to endure was but the faintest reflection of the spiritual suffering He had to undergo as the Bearer of the sin of lost mankind. For this reason the Gospels give practically no details of His physical suffering, so that the reader’s attention should not be concentrated upon outward things and thus overlook the deepest essence of His suffering” (= penderitaan fisik yang harus dialami oleh Yesus hanyalah merupakan bayangan yang paling lemah tentang penderitaan rohani yang harus Ia alami sebagai pemikul dosa dari umat manusia yang terhilang. Untuk alasan ini Injil-injil secara praktis tidak memberikan hal-hal terperinci dari penderitaan fisikNya, sehingga perhatian pembaca tidak terpusatkan pada hal-hal lahiriah dan dengan demikian mengabaikan hakekat terdalam dari penderitaanNya) - hal 608.

1 Petrus 2: 25: “Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu”.

1) “Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali”.

Calvin: “‘For ye were as sheep.’ This also has Peter borrowed from Isaiah, except that the Prophet makes it a universal statement, ‘All we like sheep have gone astray.’ (Isaiah 53:6.) ... The meaning then is, that we are all going astray from the way of salvation, and proceeding in the way of ruin, until Christ brings us back from this wandering. And this appears still more evident from the clause which follows, ‘but are now returned to the Shepherd,’ &c.; for all who are not rules by Christ, are wandering like lost sheep in the ways of error. Thus, then, is condemned the whole wisdom of the world, which does not submit to the government of Christ” [= ‘Karena dahulu kamu seperti domba’. Ini juga dipinjam oleh Petrus dari Yesaya, kecuali bahwa Yesaya membuatnya menjadi pernyataan yang bersifat universal, ‘Kita sekalian / semua kita sesat seperti domba’ (Yesaya 53:6). ... Maka artinya adalah bahwa kita semua sesat dari jalan keselamatan, dan berjalan di jalan kehancuran, sampai Kristus membawa kita kembali dari penyimpangan ini. Dan ini kelihatan lebih jelas dari kalimat berikutnya, ‘tetapi sekarang kamu telah kembali kepada Gembala’, dst; karena semua yang tidak diperintah oleh Kristus sedang mengembara / menyimpang seperti domba yang hilang di jalan kesalahan. Maka demikianlah dikecam seluruh hikmat dari dunia, yang tidak tunduk pada pemerintahan Yesus Kristus] - hal 94.

2) “kepada gembala dan pemelihara jiwamu”.

a) Editor dari Calvin’s Commentary (hal 94, footnote) memberikan pandangan Macknight yang beranggapan bahwa kata ‘Gembala’ di sini diambil dari Yeh 34:23, sedangkan kata ‘Bishop’ / ‘Overseer’ diambil dari Yehezkiel 34:11, yang dalam Septuaginta berbunyi: ‘I will oversee them’ (= Aku akan mengawasi / menilik mereka).

b) ‘gembala’.

Gembala memberikan pimpinan, penjagaan, dan juga pemeliharaan / pemberian kebutuhan. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan rohani maupun jasmani.

Dan tentang pencukupan kebutuhan rohani, Pulpit Commentary berkata: “He himself is the Pastures as well as the Shepherd of the soul, and ever gives himself to satisfy the hunger of the human heart” (= Ia sendiri adalah padang rumput maupun Gembala dari jiwa, dan selalu memberikan diriNya sendiri untuk memuaskan rasa lapar dari hati manusia) - hal 97.

c) “pemelihara”.

KJV: ‘Bishop’ (= Uskup).

RSV/NASB: ‘Guardian’ (= Penjaga).

NIV: ‘Overseer’ (= Pengawas / penilik).

Pulpit Commentary: “The original meaning of the word is ‘overseer,’ and that suggests the vigilant inspection which he exercises over his Church. The good Shepherd knows each sheep by name, and his watchful eye is on every one of the flock. The title is the condensation into one word of the solemn clause in the apocalyptic vision of the Christ in the midst of the golden lamps, which tells how ‘his eyes were as a flame of fire,’ and of the sevenfold ‘I know thy works,’ which heralds each message to the Churches” (= Arti orisinil dari kata itu adalah ‘pengawas / penilik’, dan itu menunjukkan pemeriksaan yang bersifat waspada yang Ia jalankan atas GerejaNya. Sang Gembala yang baik mengetahui nama setiap domba, dan mataNya yang berjaga-jaga memperhatikan setiap domba. Gelar itu merupakan penyingkatan menjadi satu kata dari kalimat dalam penglihatan apokaliptik dari Kristus di tengah-tengah kaki dian emas, yang menceritakan bagaimana ‘mataNya bagaikan nyala api’, dan dari 7 x kata-kata ‘Aku tahu pekerjaanmu’ yang memberitakan setiap berita / pesan kepada Gereja-gereja) - hal 97.

Barnes’ Notes: “The word rendered ‘bishop,’ (e]piskopoj,) means ‘overseer.’ ... It is applied in the New Testament to those who are appointed to watch over the interests of the church, and especially to the officers of the church. Here it is applied to the Lord Jesus as the great Guardian and Superintendent of his church; and the title of Universal Bishop belongs to him alone” [= Kata yang diterjemahkan ‘uskup’ (e]piskopoj), berarti ‘penilik / pengawas’. ... Dalam Perjanjian Baru itu diterapkan kepada mereka yang ditetapkan untuk berjaga-jaga terhadap kepentingan gereja dan khususnya kepada pejabat-pejabat dari gereja. Di sini itu diterapkan kepada Tuhan Yesus sebagai Penjaga dan Pengawas dari gerejaNya; dan gelar Uskup Universal hanya menjadi milikNya saja] - hal 1414.

d) ‘jiwamu’.

Barnes (hal 1414) menekankan kata ‘jiwamu’ di sini, dan mengatakan bahwa sekalipun Yesus juga memperhatikan tubuh kita (bdk. Matius 15:32), tetapi Ia lebih mementingkan pemeliharaan dan penjagaan terhadap jiwa kita.

Penerapan: apakah saudara juga lebih mementingkan jiwa saudara dari pada tubuh saudara? Dan dalam memperhatikan orang lain, apakah saudara juga lebih mementingkan jiwanya dari pada tubuhnya?

e) ‘gembala dan pemelihara jiwamu’.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “in principle, ‘pastor’ and ‘bishop’ are not two distinct offices, but alternative names for men called to the same kind of ministry in the Church of God. So Peter exhorts elders or presbyters to function both as shepherds and bishops (5:1-2); and Paul exhorts ‘bishops’ (whom Luke describes as elders or presbyters of the church) to function as pastors (Acts 20:17,28)” [= dalam prinsipnya, ‘gembala’ dan ‘uskup’ bukanlah dua jabatan yang berbeda, tetapi sebutan yang lain untuk orang-orang yang dipanggil kepada pelayanan dari jenis yang sama dalam Gereja Allah. Oleh sebab itu Petrus mendesak tua-tua atau penatua-penatua untuk berfungsi baik sebagai gembala dan uskup (5:1-2); dan Paulus mendesak ‘uskup’ (yang digambarkan oleh Lukas sebagai tua-tua atau penatua-penatua dari gereja) untuk berfungsi sebagai gembala (Kis 20:17,28)] - hal 122.

Kis 20:17,28 - “(17) Karena itu ia menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua jemaat datang ke Miletus. ... (28) Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya sendiri”.

1Petrus 5:1-2 - “(1) Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. (2) Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri”.

Dalam ay 2 ada perbedaan terjemahan antara TB1-LAI, TB2-LAI dan RSV di satu pihak, dengan KJV/NIV/NASB di pihak lain, karena adanya perbedaan manuscripts.

KJV: ‘Feed the flock of God which is among you, taking the oversight thereof, not by constraint, but willingly; not for filthy lucre, but of a ready mind’ (= Berilah makanan kawanan domba Allah yang ada di antara kamu, dengan melakukan penilikan / pengawasan terhadapnya, bukan dengan paksaan, tetapi dengan rela; bukan untuk uang yang kotor, tetapi dari pikiran yang siap / rela).

NIV: ‘Be shepherds of God's flock that is under your care, serving as overseers - not because you must, but because you are willing, as God wants you to be; not greedy for money, but eager to serve’ (= Jadilah gembala dari kawanan domba Allah yang ada di bawah pemeliharaanmu, dengan melayani sebagai penilik / pengawas - bukan karena engkau harus, tetapi karena engkau rela melakukannya, sebagaimana Allah menghendakinya; bukan dengan ketamakan akan uang, tetapi dengan keinginan untuk melayani).

NASB: ‘shepherd the flock of God among you, exercising oversight not under compulsion, but voluntarily, according to the will of God; and not for sordid gain, but with eagerness’ (= gembalakanlah kawanan domba Allah di antaramu, dengan melakukan pengawasan bukan di bawah paksaan, tetapi dengan sukarela, sesuai kehendak Allah; dan bukan untuk keuntungan yang kotor, tetapi dengan keinginan).

Alan M. Stibbs (Tyndale): “It also implies that in the Church the only ‘chief Shepherd’ (5:4), and the one supreme, indispensable Bishop, is Christ Himself, not some other earthly Pope or Primate” [= Secara tak langsung ini menunjukkan bahwa dalam Gereja satu-satunya Gembala Kepala / Agung (5:4), dan satu-satunya Uskup tertinggi dan yang sangat diperlukan, adalah Kristus sendiri, bukan Paus atau Uskup tertinggi duniawi yang lain] - hal 122.

Matthew Poole: “This he adds for the comfort (as of all believers, so) particularly of servants, that even they, as mean as they were, ... yet were under the care and tuition of Christ” (= Ini ia tambahkan untuk penghiburan bagi semua orang percaya, tetapi khususnya pelayan-pelayan, bahwa sekalipun mereka begitu hina, ... tetapi mereka ada di bawah perhatian / pemeliharaan dan perlindungan dari Kristus) - hal 908.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post