REFORMED SEJATI: PENENTUAN SEGALA SESUATU DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Reformed yang sejati, sekalipun di satu pihak memang mengajarkan bahwa segala sesuatu (termasuk dosa) ditentukan oleh Allah, tetapi di lain pihak tetap mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab. Tanggung jawab apa?
gadget, business |
a) Melakukan apa yang terbaik sesuai dengan Firman Tuhan. Rencana kekal dari Allah tidak kita ketahui, dan itu bukan pedoman hidup kita. Firman Tuhanlah yang merupakan pedoman hidup kita!
b) Kalau ia berbuat dosa apapun (menyalahi Firman Tuhan), maka ia tetap dianggap berdosa, dan ia tidak boleh mengentengkan dosa itu, apalagi menyalahkan Allah yang sudah menentukan dia untuk melakukan dosa itu.
Untuk membuktikan kata-kata saya bahwa ini memang adalah ajaran Reformed yang sejati, saya memberikan banyak kutipan di bawah ini.
Calvin: “we posited a distinction between compulsion and necessity from which it appears that man, while he sins of necessity, yet sins no less voluntarily” (= kami menempatkan suatu perbedaan di antara pemaksaan dan kepastian dari mana terlihat bahwa manusia, sementara ia pasti berdosa, tetapi ia berdosa dengan sukarela) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter IV, No 1.
Charles Haddon Spurgeon: “Let the providence of God do what it may, your business is to do what you can” (= Biarlah providensia Allah melakukan apapun, urusanmu adalah melakukan apa yang kamu bisa) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 43.
Loraine Boettner: “But while the Bible repeatedly teaches that this providential control is universal, powerful, wise, and holy, it nowhere attempts to inform us how it is to be reconciled with man’s free agency” (= Tetapi sementara Alkitab berulangkali mengajar bahwa penguasaan providensia ini bersifat universal, berkuasa, bijaksana, dan suci, Alkitab tidak pernah berusaha untuk memberi informasi kepada kita tentang bagaimana hal itu bisa diperdamaikan / diharmoniskan dengan kebebasan manusia) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.
Loraine Boettner: “Perhaps the relationship between divine sovereignty and human freedom can best be summed up in these words: God so presents the outside inducements that man acts in accordance with his own nature, yet does exactly what God has planned for him to do” (= Mungkin hubungan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia bisa disimpulkan dengan cara terbaik dengan kata-kata ini: Allah memberikan dorongan / bujukan dari luar sedemikian rupa sehingga manusia bertindak sesuai dengan dirinya, tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan baginya untuk dilakukan) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.
Charles Haddon Spurgeon: “man, acting according to the device of his own heart, is nevertheless overruled by that sovereign and wise legislation ... How these two things are true I cannot tell. ... I am not sure that in heaven we shall be able to know where the free agency of man and the sovereignty of God meet, but both are great truths. God has predestinated everything yet man is responsible” (= manusia, bertindak sesuka hatinya, bagaimanapun dikalahkan / dikuasai oleh pemerintahan yang berdaulat dan bijaksana ... Bagaimana dua hal ini bisa benar saya tidak bisa mengatakan. ... Saya tidak yakin bahwa di surga kita akan bisa mengetahui dimana tindakan bebas manusia dan kedaulatan Allah bertemu, tetapi keduanya adalah kebenaran yang besar. Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu tetapi manusia bertanggung jawab) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.
Charles Haddon Spurgeon: (tentang tentara yang tidak mematahkan kaki Kristus tetapi menusukNya dengan tombak - Yohanes 19:33-34).
“They acted of their own free will, and yet at the same time they fulfilled the eternal counsel of God. Shall we never be able to drive into men’s mind the truth that predestination and free agency are both facts? Men sin as freely as birds fly in the air, and they are altogether responsible for their sin; and yet everything is ordained and foreseen of God. The foreordination of God in no degree interferes with the responsibility of man. I have often been asked by persons to reconcile the two truths. My only reply is - They need no reconciliation, for they never fell out. Why should I try to reconcile two friends? Prove to me that the two truths do not agree. In that request I have set you a task as difficult as that which you propose to me. These two facts are parallel lines; I cannot make them unite, but you cannot make them cross each other” (= Mereka bertindak dengan kehendak bebas mereka, tetapi pada saat yang sama mereka menggenapi rencana yang kekal dari Allah. Apakah kita tidak akan pernah bisa menancapkan ke dalam pikiran manusia kebenaran bahwa predestinasi dan kebebasan agen / manusia dua-duanya merupakan fakta? Manusia berbuat dosa sebebas burung-burung yang terbang di udara, dan mereka semuanya bertanggung jawab untuk dosa mereka; tetapi segala sesuatu ditetapkan dan dilihat lebih dulu oleh Allah. Penetapan lebih dulu dari Allah sama sekali tidak mengganggu tanggung jawab manusia. Saya sering ditanya oleh orang-orang untuk mendamaikan dua kebenaran ini. Jawaban saya hanyalah - Mereka tidak membutuhkan pendamaian, karena mereka tidak pernah bertengkar. Mengapa saya harus mendamaikan 2 orang sahabat? Buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran itu tidak setuju / cocok. Dalam permintaan itu saya telah memberimu suatu tugas yang sama sukarnya seperti yang kaukemu-kakan kepada saya. Kedua fakta ini adalah garis-garis yang paralel; saya tidak bisa membuat mereka bersatu, tetapi engkau tidak bisa membuat mereka bersilangan) - ‘A Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord, vol VI - The Passion and Death of Our Lord’, hal 670-671.
Arthur W. Pink: “Two things are beyond dispute: God is sovereign, man is responsible. ... To emphasize the sovereignty of God, without also maintaining the accountability of the creature, tends to fatalism; to be so concerned in maintaining the responsibility of man, as to lose sight of the sovereignty of God, is to exalt the creature and dishonour the Creator” (= Dua hal tidak perlu diperdebatkan: Allah itu berdaulat, manusia itu bertanggung jawab. ... Menekankan kedaulatan Allah, tanpa juga memelihara pertanggungan jawab dari makhluk ciptaan, cenderung kepada fatalisme; terlalu memperhatikan pemeliharaan tanggung jawab manusia, sehingga tidak mengindahkan kedaulatan Allah, sama dengan meninggikan makhluk ciptaan dan merendahkan sang Pencipta) - ‘The Sovereignty of God’, hal 9.
Arthur W. Pink melanjutkan: “We are enjoined to take ‘no thought for the morrow’ (Matt 6:34), yet ‘if any provide not for his own, and specially for those of his own house, he hath denied the faith, and is worse than an infidel’ (1Tim 5:8). No sheep of Christ’s flock can perish (John 10:28,29), yet the Christian is bidden to make his ‘calling and election sure’ (2Peter 1:10). ... These things are not contradictions, but complementaries: the one balances the other. Thus, the Scriptures set forth both the sovereignty of God and the responsibility of man” [= Kita dilarang untuk ‘menguatirkan hari esok’ (Matius 6:34), tetapi ‘jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman’ (1Timotius 5:8). Tidak ada domba Kristus yang bisa binasa (Yohanes 10:28-29), tetapi orang kristen diperintahkan untuk membuat ‘panggilan dan pilihannya teguh’ (2Petrus 1:10). ... Hal-hal ini tidaklah bertentangan tetapi saling melengkapi: yang satu menyeimbangkan yang lain. Demikian Kitab Suci menyatakan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia] - ‘The Sovereignty of God’, hal 11.
Charles Hodge: “God can control the free acts of rational creatures without destroying either their liberty or their responsibility” (= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan bebas dari makhluk-makhluk rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun tanggung jawab mereka) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 332.
Mengomentari Lukas 22:22 Spurgeon berkata: “The decree of God does not lessen the responsibility of man for his action. Even though it is predetermined of God, the man does it of his own free will, and on him falls the full guilt of it” (= Ketetapan Allah tidak mengurangi tanggung jawab manusia untuk tindakannya. Sekalipun hal itu sudah ditentukan lebih dulu oleh Allah, manusia melakukannya dengan kehendak bebasnya sendiri, dan pada dialah jatuh kesalahan sepenuhnya) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 12, hal 18.
Edwin H. Palmer: “Hyper-Calvinism. Diametrically opposite to the Arminian is the hyper-Calvinist. He looks at both sets of facts - the sovereignty of God and the freedom of man - and, like the Arminian, says he cannot reconcile the two apparently contradictory forces. Like the Arminian, he solves the problem in a rationalistic way by denying one side of the problem. Whereas the Arminian denies the sovereignty of God, the hyper-Calvinist denies the responsibility of man. He sees the clear Biblical statements concerning God’s foreordination and holds firmly to that. But being logically unable to reconcile it with man’s responsibility, he denies the latter. Thus the Arminian and the hyper-Calvinist, although poles apart, are really very close together in their rationalism” (= Hyper-Calvinisme. Bertentangan frontal dengan orang Arminian adalah orang yang hyper-Calvinist. Ia melihat pada kedua fakta - kedaulatan Allah dan kebebasan manusia - dan, seperti orang Arminian, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat mendamaikan kedua kekuatan yang tampaknya bertentangan itu. Seperti orang Arminian, ia memecahkan problem itu dengan cara yang logis dengan menyangkal satu sisi dari problem itu. Sementara orang Arminian menyangkal kedaulatan Allah, maka penganut Hyper-Calvinisme meninggalkan fakta tanggung jawab manusia. Ia melihat pernyataan yang jelas dari Alkitab mengenai penentuan lebih dulu dari Allah dan memegang hal itu dengan teguh. Tetapi karena tidak mampu mendamaikannya secara logis dengan tanggung jawab manusia, ia menyangkal tanggung jawab manusia itu. Jadi orang Arminian dan orang hyper-Calvinist, sekalipun merupakan kutub-kutub yang bertentangan, sebetulnya sangat dekat dalam cara berpikirnya) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 84.
Catatan: Edwin Palmer memberikan pandangan Reformed yang sebenarnya dan membandingkannya dengan pandangan Arminian dan Hyper-Calvinist.REFORMED SEJATI: PENENTUAN SEGALA SESUATU DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA.