Pendahuluan:
Baptisan merupakan salah satu sakramen penting dalam kehidupan umat Kristen, yang dianggap sebagai tanda perjanjian dan persekutuan dengan Allah. Namun, terdapat berbagai pandangan terkait siapa yang layak menerima baptisan, terutama mengenai baptisan anak.
Artikel ini akan menguraikan tiga aspek utama tentang baptisan anak: landasan teologis, keberatan yang muncul, dan tanggung jawab orang tua serta jemaat yang terkait dengan praktik ini.
1. Landasan Teologis Baptisan Anak
Baptisan anak dalam tradisi Kristen memiliki landasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitab dan teologi perjanjian. Terdapat beberapa ayat yang sering dikutip untuk mendukung praktik ini, serta argumen teologis dari sejarah gereja yang memperkuat pelaksanaan baptisan anak.
A. Baptisan Sebagai Tanda Perjanjian
Dalam teologi Reformed dan beberapa tradisi Kristen lainnya, baptisan dianggap sebagai tanda perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Baptisan menggantikan sunat sebagai tanda perjanjian, seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus dalam Kolose 2:11-12:
“Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh tangan manusia, tetapi dengan sunat yang dilakukan oleh Kristus, yaitu kamu dikuburkan bersama-sama dengan Dia dalam baptisan” (Kolose 2:11-12, AYT).
Ayat ini mengaitkan baptisan dengan sunat dalam Perjanjian Lama, yang diberikan kepada anak-anak sebagai tanda perjanjian Allah dengan Israel. Dalam Perjanjian Baru, baptisan dianggap sebagai tanda yang menggantikan sunat, dan karena sunat diberikan kepada anak-anak, maka baptisan juga dapat diberikan kepada anak-anak sebagai bagian dari umat Allah.
B. Teladan Keluarga dalam Kisah Para Rasul
Dalam Kitab Kisah Para Rasul, terdapat beberapa contoh keluarga yang menerima baptisan. Misalnya, Kisah Para Rasul 16:33 mencatat bahwa penjaga penjara Filipi dibaptis bersama keluarganya:
“Dan pada jam itu juga, pada waktu malam, penjaga itu membawa mereka dan membasuh luka-luka mereka, lalu segeralah ia dibaptis bersama-sama dengan seluruh keluarganya” (Kisah Para Rasul 16:33, AYT).
Meski tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ada anak-anak dalam keluarga tersebut, tradisi gereja meyakini bahwa "seluruh keluarga" yang disebutkan dalam ayat ini termasuk anak-anak. Hal ini menjadi dasar bagi keyakinan bahwa baptisan dapat diterapkan kepada anak-anak, sebagai bagian dari perjanjian keluarga dengan Allah.
C. Konsep Keselamatan Keluarga
Dalam beberapa bagian Alkitab, ada konsep bahwa keselamatan dapat diberikan kepada seluruh keluarga, bukan hanya kepada individu. Misalnya, janji Allah kepada Abraham dalam Kejadian 17:7 berbunyi:
"Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, bahwa Aku akan menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu" (Kejadian 17:7, AYT).
Allah tidak hanya berjanji kepada Abraham secara pribadi, tetapi juga kepada keturunannya. Dalam konteks Perjanjian Baru, gereja sering melihat baptisan sebagai penggenapan janji ini, bahwa anak-anak orang percaya juga termasuk dalam janji keselamatan Allah.
D. Tradisi dan Sejarah Gereja
Sejak abad-abad awal gereja, baptisan anak telah menjadi praktik yang umum. Bapa-bapa gereja seperti Augustine dan Cyprian mendukung baptisan anak sebagai bagian dari ajaran gereja yang sah. Gereja-gereja besar seperti Katolik, Ortodoks, dan berbagai denominasi Protestan juga mempraktikkan baptisan anak sebagai tanda masuknya seorang anak ke dalam persekutuan gereja dan perjanjian dengan Allah.
2. Keberatan Terhadap Baptisan Anak
Meskipun ada dukungan teologis yang kuat untuk baptisan anak, terdapat juga keberatan-keberatan yang diajukan oleh sebagian kelompok Kristen, terutama dari tradisi Baptis dan gereja-gereja yang mempraktikkan baptisan orang dewasa berdasarkan pengakuan iman pribadi.
A. Tidak Ada Contoh Spesifik dalam Perjanjian Baru
Salah satu keberatan utama terhadap baptisan anak adalah tidak adanya perintah atau contoh eksplisit dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa bayi atau anak-anak harus dibaptis. Mereka yang menolak baptisan anak berpendapat bahwa semua contoh baptisan dalam Perjanjian Baru melibatkan orang dewasa yang membuat keputusan sadar untuk mengikuti Kristus, seperti dalam kasus orang Etiopia dalam Kisah Para Rasul 8:36-38 atau orang-orang yang bertobat pada hari Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2:38-41.
Dalam kedua contoh tersebut, mereka yang dibaptis adalah orang-orang yang telah mendengar Injil, percaya, dan memilih untuk mengikuti Yesus. Oleh karena itu, para penentang baptisan anak menekankan pentingnya pengakuan iman pribadi sebelum menerima baptisan.
B. Baptisan Sebagai Tindakan Iman Pribadi
Keberatan lainnya berkaitan dengan pemahaman bahwa baptisan adalah tanda pertobatan dan iman seseorang. Dalam Matius 28:19-20, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk "membaptis mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus", namun ini dilakukan setelah seseorang menjadi murid dan percaya kepada Kristus.
Kelompok yang menolak baptisan anak berpendapat bahwa bayi atau anak-anak belum bisa memiliki pemahaman yang cukup untuk percaya dan bertobat, sehingga tidak tepat untuk membaptis mereka. Mereka lebih memilih untuk menunggu hingga seorang anak dapat mengaku imannya sendiri, dan kemudian menerima baptisan sebagai pengakuan iman pribadi.
C. Pemahaman tentang Baptisan dan Keselamatan
Beberapa kelompok Kristen juga mempertanyakan hubungan antara baptisan dan keselamatan. Mereka percaya bahwa baptisan adalah simbol luar dari pertobatan dan iman yang sudah ada di dalam hati seseorang. Jika seorang anak belum mampu untuk percaya atau bertobat, maka baptisan tidak memiliki arti yang penuh.
Dalam hal ini, baptisan anak dianggap tidak relevan karena keselamatan lebih ditentukan oleh hubungan pribadi dengan Kristus, bukan oleh ritual sakramental. Sebagian menekankan bahwa baptisan harus menjadi langkah sadar yang diambil oleh individu setelah pertobatan, bukan sesuatu yang dipaksakan sejak lahir.
3. Tanggung Jawab Orang Tua dan Jemaat
Bagi gereja-gereja yang mempraktikkan baptisan anak, tanggung jawab utama terletak pada orang tua dan jemaat untuk membesarkan anak tersebut dalam iman Kristen. Baptisan anak bukanlah akhir dari perjalanan rohani mereka, melainkan permulaan. Oleh karena itu, ada beberapa tanggung jawab penting yang harus diperhatikan.
A. Tanggung Jawab Orang Tua
Orang tua yang menyerahkan anaknya untuk dibaptis memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik anak tersebut dalam iman Kristen. Ini mencakup memberi teladan hidup yang mencerminkan ajaran Kristus, serta mengajarkan anak-anak tentang firman Tuhan dan pentingnya iman dalam kehidupan mereka.
Dalam tradisi Kristen, baptisan anak sering dianggap sebagai komitmen yang diambil oleh orang tua untuk memastikan bahwa anak tersebut akan dibimbing dalam iman hingga mereka dewasa dan mampu membuat keputusan sendiri untuk mengikut Yesus. Orang tua diharapkan mendukung perkembangan rohani anak mereka melalui doa, pembelajaran Alkitab, serta partisipasi dalam kegiatan gereja.
B. Tanggung Jawab Jemaat
Selain tanggung jawab orang tua, jemaat atau komunitas gereja juga memiliki peran penting dalam membesarkan anak-anak yang telah dibaptis. Ketika seorang anak dibaptis, jemaat berjanji untuk mendukung orang tua dalam membesarkan anak tersebut dalam iman Kristen.
Hal ini mencakup menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan rohani anak-anak, melalui pendidikan agama, keterlibatan dalam pelayanan, dan memberi teladan kehidupan yang mencerminkan kasih Kristus. Gereja berperan sebagai keluarga rohani yang membantu anak-anak memahami iman mereka dan mendorong mereka untuk berkomitmen pada Tuhan.
C. Pendewasaan dalam Iman dan Konfirmasi
Dalam tradisi yang mempraktikkan baptisan anak, sering kali ada upacara konfirmasi atau pengakuan iman ketika anak-anak mencapai usia tertentu, di mana mereka secara pribadi menyatakan iman mereka di hadapan jemaat. Konfirmasi ini adalah momen penting di mana seorang individu mengafirmasi imannya yang sebelumnya dinyatakan oleh orang tuanya melalui baptisan.
Ini menegaskan bahwa meskipun baptisan dilakukan pada saat anak belum bisa membuat keputusan sendiri, pada akhirnya mereka diharapkan untuk secara pribadi menyatakan iman mereka dan hidup sebagai murid Kristus.
Kesimpulan
Baptisan anak merupakan praktik yang kaya dengan makna teologis dan sejarah dalam banyak tradisi Kristen. Meskipun terdapat keberatan dari beberapa kelompok mengenai validitas teologis baptisan anak, banyak gereja memandangnya sebagai tanda perjanjian Allah dengan keluarga orang percaya, serta sebagai awal perjalanan rohani seorang anak.
Pada akhirnya, baptisan anak bukanlah tujuan akhir, melainkan titik awal dari perjalanan iman yang memerlukan dukungan dari orang tua, jemaat, dan anak itu sendiri ketika mereka dewasa. Semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak dibimbing dan dididik dalam iman hingga mereka dapat membuat keputusan sadar untuk mengikut Kristus.
------------------------
Pdt.Esra Alfred Soru.
Gereja-gereja Protestan dan juga gereja Katholik menerima praktek baptisan anak sedangkan gereja-gereja Pentakosta-Kharismatik menolak praktek baptisan anak ini dengan argumentasi bahwa tidak ada dasar di dalam Alkitab tentang baptisan anak-anak. Ini akhirnya bermuara pada upaya-upaya untuk melakukan baptisan ulang dengan cara selam. Mereka yang menolak praktek baptisan anak biasanya melakukan upacara penyerahan anak. Dasar yang mereka pakai adalah Matius 19:13-15.
|
gadget, bisnis, otomotif |
Matius 19:13-15 – (13) Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. (14) Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (15) Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ.
Menurut saya ini adalah dasar yang salah. Ayat ini bersifat deskriptif bukan didaktis. Ayat ini hanya menceritakan Yesus memberkati anak-anak saat itu dan tidak menyuruh gereja untuk membuat hal itu menjadi sebuah upacara khusus. Saya menerima praktek baptisan anak dan percaya bahwa praktek tersebut mempunyai landasan Alkitab yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tahu ada banyak orang menerima praktek baptisan anak tetapi sayangnya dasar yang mereka pakai adalah salah. Ada yang mendasarkan baptisan anak pada Matius 19:13-15.
Apa urusannya itu dengan baptisan? Gereja Katolik mengajarkan bahwa anak-anak dari keluarga Kristen harus dibaptis karena kalau sampai mereka mati pada masa anak-anak dan tidak sempat dibaptis maka mereka akan masuk neraka. Katolik memang mengajarkan bahwa anak-anak yang tidak sempat dibaptis (baik anak-anak dari orang Kristen maupun orang kafir) akan masuk ke neraka.
Itulah sebabnya dalam sejarah Katolik, pernah diadakan baptisan bagi seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya. Itu berarti baptisan menentukan selamat/tidak dan ini ajaran sesat “Salvation by works” (selamat karena berbuat baik). Ingat bahwa masalah baptisan tidak ada sangkut pautnya dengan selamat atau tidak. Setiap ajaran yang menjadikan baptisan menjadi syarat selamat adalah ajaran sesat. Karena itu kita akan mempelajari tentang masalah baptisan anak ini. Ada 3 hal yang akan kita pelajari :
I. LANDASAN TEOLOGIS BAPTISAN ANAK.
Landasan teologis bagi baptisan anak tidaklah didasarkan pada adanya ayat yang secara eksplisit memerintahkan baptisan anak. Orang-orang anti baptisan anak selalu bertanya : “Mana ada perintah di Alkitab untuk membaptis anak?” Saya menjawab : “Mana ada larangan di Alkitab untuk membaptis anak?” Jadi memang yang menjadi dasar baptisan anak itu bukannya ada perintah eksplisit melainkan pada sebuah teologia yang namanya “Covenant Theology” atau Teologia Perjanjian. Apa itu Teologia Perjanjian? Marilah perhatikan Gal 3:13-14.
Galatia 3:13-14 – “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis : “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu”
Pertanyaan pertama yang patut kita ajukan setelah membaca ayat ini adalah “apa itu berkat Abraham?” Atau “apa isi berkat Abraham itu?” Hal ini penting karena demi sampainya berkat itu kepada bangsa-bangsa lain (kita) Yesus Kristus bersedia menjadi kutuk di atas kayu salib. Yesus Kristus rela mati demi berkat itu. Mari perhatikan lagi Galatia 3:26 dan 29 :
Gal 3 :26, 29 – (26) “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. (29) Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.
Di sini kita bisa melihat bahwa ketika kita percaya pada Yesus Kristus, secara rohani kita juga adalah keturunan Abraham dan dengan demikian kita berhak untuk menerima janji Allah itu. Janji apa itu? Itulah janji yang ada di dalam berkat Abraham. Sekarang marilah kita melihat isi dari janji itu dan dengan demikian kita harus kembali kepada kitab Kejadian pasal 17 di mana Allah mengadakan perjanjian dengan Abraham.
Kejadian 17 :7 – “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu”.
Jadi rupanya berkat Abraham yang juga diterima oleh kita yang percaya kepada Kristus Yesus yang olehnya Yesus rela menjadi kutuk di atas salib adalah sebuah berkat rohani yaitu agar Allah menjadi Allah Abraham dan Allah keturunannya. Yesus rela menjadi kutuk di atas kayu salib agar Allah dapat menjadi Allah bagi Abraham dan keturunannya termasuk kita yang adalah keturunan Abraham secara rohani.
Selanjutnya untuk meneguhkan janji itu Allah memberikan suatu ordinasi yang harus dilakukan oleh Abraham dan keturunannya yakni ordinasi sunat.
Kejadian 17:10 – “Inilah perjanjian-Ku yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat.”
Sunat di sini adalah lambang dari perjanjian rohani itu serta materai kebenaran berdasarkan iman.
Roma 4:11 – “Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai materai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat…”
Jika sunat ini adalah materai kebenaran berdasarkan iman, maka setiap orang yang disunat dimasukkan atau terhisap ke dalam perjanjian kekal ini atas dasar iman. Lalu kapankah seorang keturunan Abraham disunat ?
Kejadian 17:12 – Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu.
Tadi dalam Roma 4 :11 dikatakan bahwa sunat itu diterima sebagai ‘ materai kebenaran berdasarkan iman’. Nah, kalau seorang anak disunat saat berumur 8 hari, maka iman siapa yang dipakai di dalam praktek sunat itu ? Iman anak itu sendirikah atau iman orang tuanya (Abraham) ? Sudah pasti iman orang tuanya (Abraham).
Jadi yang disunat ini adalah bayi yang belum mengerti apa-apa tentang masalah iman dan belum bisa beriman dari dirinya sendiri. Kalau begitu mengapa ia perlu disunat? Sebab itu adalah perintah Allah ! Menolak menyunatkan seorang anak hanya karena ia belum bisa beriman adalah melawan perintah Allah.Ingatlah bahwa Musa pernah mau dibunuh oleh Tuhan karena lalai menyunatkan anaknya.
Keluaran 4:24-26 – (24) Tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya. (25) Lalu Zipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan anaknya, kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil berkata: “Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku.” (26) Lalu TUHAN membiarkan Musa. “Pengantin darah,” kata Zipora waktu itu, karena mengingat sunat itu.
Jadi sunat itu adalah tanda perjanjian berdasarkan iman yang dilakukan pada keturunan Abraham secara jasmani pada saat mereka masih berumur 8 hari (belum bisa beriman dari diri sendiri).
Satu hal yang harus ditambahkan adalah bahwa Perjanjian yang ditandai dengan sunat ini bersifat kekal.
Kejadian 17:13 – Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal.
Anehnya adalah di dalam PB ada begitu banyak ayat Alkitab yang menganggap sunat tidak lagi penting dan mempunyai arti bagi seorang Kristen.
1 Korintus 7:19 – Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.
Gal 5:2,6,15 – (2) Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. (6) – Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih. (15) – Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya.
Mengapa demikian ? Karena tanda sunat tersebut telah diganti (atau adalah type) dengan baptisan. Ini berlaku setelah Yesus mati dan bangkit.
Kolose 2:11-12 – (11) Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, (12) karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.
Gal 3:27, 29 – (27) Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. (29) Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.
Louis Berkhof – Pada zaman PB, baptisan oleh otoritas ilahi menggantikan sunat sebagai lambang dan meterai pentahbisan dari perjanjian anugerah. Alkitab dengan tegas menekankan bahwa sunat sudah tidak bisa lagi berfungsi sebagai lambang dan meterai pentahbisan….Jika baptisan tidak menggantikan kedudukan sunat, maka PB tidak memiliki ritual pentahbisan. Tetapi jelas bahwa Kristus menggantikan sunat itu dengan baptisan, Matius 28:19-20; Markus 16:15-16. Baptisan sesuai dengan sunat dalam pengertian spiritual. (Teologi Sistematika 5, hal. 155-156).
Sekalipun tanda sunat itu telah digantikan dengan baptisan, namun perlu diingat bahwa perjanjian yang ditandai itu bersifat kekal. Dengan demikian kita dapat melihat kedudukan baptisan anak-anak dalam kerangka perjanjian Allah itu. Jika dalam sunat seorang bayi berumur delapan hari yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri boleh dan bahkan harus disunat, maka seorang anak yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri boleh bahkan harus dibaptiskan?
Jika dalam sunat seorang anak yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri dapat disunat dan masuk ke dalam perjanjian kekal itu atas dasar kepercayaan Abraham, maka dalam baptisan seorang anak yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri dimasukkan dalam keluarga Allah atas dasar kepercayaan orang tuanya. Ini adalah landasan teologis bagi baptisan anak-anak.
II. MENJAWAB KEBERATAN-KEBERATAN
Kita telah melihat dasar yang kuat tentang praktek baptisan anak-anak dari sudut pandang perjanjian anugerah yang bersifat kekal, namun demikian kita perlu melihat juga beberapa keberatan dari pihak Kharismatik-Pentakosta yang menolak baptisan anak-anak. Secara umum ada 2 keberatan yang mereka pegang yakni :
a. Tidak ada perintah untuk membaptiskan anak-anak dan juga tidak ada bukti atau contoh dalam Alkitab di mana anak-anak dibaptiskan.
Memang Alkitab tidak pernah memerintahkan kita secara eksplisit untuk membaptiskan anak-anak. Tetapi di dalam Alkitab juga tidak ada satu kata pun yang dapat ditafsirkan sebagai larangan untuk membaptis anak-anak. Oleh karena itu maka ketiadaan perintah untuk membaptis anak-anak itu tidak dapat merupakan bukti bahwa baptisan anak-anak adalah sesuatu yang tidak sah bahkan merupakan sebuah kejahatan.
Ingat bahwa kalau sesuatu tidak dicatat bukan berarti bahwa sesuatu itu dilarang. Contoh, pada perjamuan terakhir antara Yesus dan murid-murid-Nya tidak ada satu orang perempuan pun di yang mengikuti acara itu. Apakah itu berarti bahwa kaum perempuan dilarang mengikuti Perjamuan Kudus? Sering penganut paham baptisan selam menuntut bukti eksplisit atau perintah langsung untuk baptisan anak-anak.
Menurut mereka jika tidak ada perintah semacam itu maka baptisan anak-anak adalah sesuatu yang “ilegal”. Saya kira mereka lupa bahwa tidak pernah ada perintah langsung dari Alkitab untuk merubah hari sabat menjadi hari minggu di mana umat Kristiani berbakti. Kalau memang mereka konsisten dengan pandangan mereka, seharusnya mereka juga menolak beribadah pada hari minggu. Tetapi pada kenyataannya hal itu tidak dipersoalkan sama sekali.
b. Alkitab selalu menekankan pertobatan dan iman atau kepercayaan sebagai syarat baptisan.
Perhatikan kutipan-kutipan berikut :
John Wesley Brill : “Dalam Perjanjian Baru perkataan bertobat selalu mendahului perkataan baptisan (Matius 3:2,36; Kisah Para Rasul 2:37-41; 8:12; 18:8; 19:4). Hal itu menyatakan bahwa kanak-kanak tidak layak untuk dibaptiskan sebab mereka belum percaya.” (Dasar Yang Teguh, hal. 278).
Fu Xie : “Untuk dibaptis, seorang harus bertobat, percaya kepada Yesus dan atas kehendak sendiri memberikan dirinya untuk dibaptis. Seorang bayi tentunya belum bisa bertobat, ataupun percaya kepada Yesus, apalagi memberikan dirinya untuk dibaptis.”
Memang benar bahwa di dalam Alkitab kepercayaan dan pertobatan selalu mendahului baptisan. Tapi yang harus dipikirkan adalah ketika Alkitab membicarakan hal itu kepada siapakah perintah atau syarat itu ditujukan? Yang terpenting bukan hanya ada syarat tetapi juga syarat untuk siapa? Kalau kita teliti maka seluruh bagian Alkitab yang membicarakan hal ini ternyata diberikan kepada orang-orang dewasa yang sama sekali belum percaya kepada Kristus baik mereka maupun orang tua mereka.
Dalam Kis 2:38 Petrus memberikan syarat itu kepada orang-orang Yahudi yang belum percaya kepada Yesus yang menurut Petrus merekalah yang telah membunuh Yesus (Kis 2:23). Rasul Paulus perlu beriman dan percaya kepada Yesus sebelum dibaptis sebab ia bukan hanya tidak percaya pada Yesus sebelumnya tetapi juga sangat membenci dan menganiaya Yesus (Kis 8:1-3;9:5). Sida-sida dari Etiopia perlu beriman dan percaya sebelum dibaptis sebab ia tidak tahu apa-apa tentang Yesus. Kornelius perlu percaya kepada Yesus sebelum dibaptis karena ia justru bukan orang Israel.
Kepala penjara Filipi perlu percaya sebelum dibaptis karena ia tidak memiliki pengenalan sama sekali tentang Yesus sebelumnya, dll. Jadi kita dapat melihat bahwa syarat itu diberikan kepada orang dewasa (yang sudah bisa beriman dan percaya dari dirinya sendiri) dan orang-orang yang tidak memiliki latar belakang kepercayaan kepada Kristus baik secara pribadi maupun orang tua mereka.
Jadi seharusnya syarat ini tidak diterapkan kepada seorang anak. Bagaimana mungkin sebuah syarat yang bukan untuk anak-anak diterapkan pada anak-anak dan ketika anak-anak tidak memenuhi syarat tersebut lalu kita berkesimpulan bahwa mereka tidak boleh dibaptis.
Mengapa Alkitab tidak mempunyai contoh yang eksplisit tentang baptisan terhadap anak-anak orang percaya? Sebab yang dicatat Alkitab adalah periode pertama dari kekristenan. Pada saat itu belum ada orang yang telah percaya (orang Kristen) sehingga anak-anak mereka dibaptiskan. Seandainya ada pastilah ada anak-anak mereka yang dibaptis. Apa yang diceritakan Alkitab adalah periode pertama dari kekristenan. Dan selanjutnya yang terjadi dalam periode-periode berikutnya tidak lagi diceritakan oleh Alkitab. Dengan demikian kita tidak bisa memakai catatan sebuah periode sebagai standar dan patokan bagi periode-periode berikutnya.
William Barclay – “
Baptisan saat itu adalah untuk orang dewasa. Tidak dikatakan, bahwa Perjanjian Baru menentang baptisan anak-anak, tetapi baptisan anak-anak ada karena adanya keluarga Kristen, dan sering terjadi bahwa di kebanyakan tempat pekerjaan Paulus belum ada keluarga Kristen. Seorang datang kepada Kristus secara individual pada jemaat yang mula-mula, bahkan ia meninggalkan keluarganya”. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Roma, hal. 128)
Scheunemann – “Kalau dalam abad pertama titik berat baptisan adalah sebagai baptisan pertobatan dalam konteks misi, maka dengan timbulnya generasi kedua dan ketiga dalam jemaat Kristen, baptisan kanak-kanak dari keluarga Kristen makin mendapat tempat dan berjalan sejajar dengan baptisan pertobatan di daerah dan dalam situasi-kondisi misi”. (Apa Kata Alkitab Tentang Baptisan, hal. 20)
III. TANGGUNG JAWAB ORANG TUA dan GEREJA
Kita sudah melihat landasan Alkitab bagi baptisan anak. Jelas bahwa seorang anak dibaptis atas dasar iman dari orang tuanya. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa dosa anak-anak ditanggung orang tua sampai ia ditahbis sidi. Ini juga tidak berarti bahwa anak-anak itu pasti selamat. Prinsip secara umum tetap berlaku yakni yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi yang bisa masuk ke surga. Kalau tidak maka akan pergi ke neraka.
Yoh 3:16 – Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Itu berarti bahwa anak-anak yang telah dibaptis itu masih ada kemungkinan masuk neraka kalau mereka tidak percaya kepada Yesus. Untuk itu maka tanggung jawab orang tua dan gereja adalah menuntun anak-anak yang telah dibaptis itu sampai kepada iman yang sejati kepada Kristus.
Niftrik dan Boland : “Bila kita membaptiskan kanak-kanak, haruslah kita saling menginsafkan bahwa orang tua dan jemaat seluruhnya benar-benar bertanggungjawab atas janjinya untuk mendidik anak-anak yang dibaptiskan itu sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan mengantar anak-anak mereka kepada Tuhan Yesus yang mau menyertai dan memberkati anak-anak itu.” (Hal. 453)
Ini sesuai dengan Firman Tuhan dalam Ul 6:6-9 :
Ulangan 6:6-9 – (6) Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, (7) haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (8) Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, (9) dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Tanpa itu maka jangan heran bahwa kalau anda adalah orang percaya tapi anak-anakmu hidup dalam kejahatan. Misalnya keluarga Eli (Hofni dan Pinehas). Untuk itu kita bisa melakukannya dengan beberapa cara :
a. Mendoakan anak-anak
Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah dengan mendoakan anak-anak kita. Kita memohon kepada Tuhan agar kiranya Tuhan mau mengaruniakan anugerah-Nya kepada anak-anak dengan membuat mereka menjadi percaya kepada Kristus. Orang tua yang baik yang terbeban untuk keselamatan anak-anaknya adalah orang tua yang mau mendoakan anak-anaknya. Contohnya Agustinus. Mungkin anda tidak kenal siapa itu Agustinus. Ia adalah seorang bapa gereja yang sangat terkenal (lahir tahun 354).
Dr. Albert H. Freundt, Jr.: Mungkin Agustinus adalah orang yang paling berpengaruh dalam gereja mula-mula, nomor dua hanya di bawah rasul Paulus. Sekalipun pengaruhnya di Timur adalah sangat kecil, tetapi ia menjadi Bapa Gereja Barat yang terbesar – ‘History of Early Christianity’, hal 55.
Philip Schaff : Agustinus, … adalah seorang genius dalam filsafat dan theologia … suatu hati yang penuh dengan kasih kristen dan kerendahan hati – ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 997.
Ayahnya seorang kafir tetapi ibunya adalah seorang Kristen yang taat. Ibunya sangat merindukan agar Agustinus menjadi seorang Kristen. Ia tak henti-hentinya menasihati Agustinus dan menyuruhnya membaca Alkitab tapi semuanya tak digubris. Malah Agustinus terlibat dalam berbagai kejahatan seperti mencuri, dll.
Di usia 18 tahun ia meninggalkan kekristenan dan menganut aliran sesat Manichaeism. Di kemudian hari ia menganut Platonism, juga pernah menjadi seorang skeptik. Sejak kecil Agustinus punya masalah dengan keinginan seksnya yang tidak terkendali. Ia mempunyai seorang selir (hidup bersama selama 12 tahun) yang melahirkan seorang anak laki-laki baginya (bernama Deodatus), padahal saat itu Agustinus belum berusia 18 tahun.
Ia lalu meninggalkan selirnya itu dan bertunangan dengan seorang gadis muda tetapi sambil menjalin hubungan gelap dengan perempuan lain lagi. Ia sama sekali tidak bisa mengendalikan nafsu seksnya. Ia pindah ke Milan dan pada waktu sendirian di dalam taman, ia mendengar suara, mungkin dari anak tetangga, yang berkata: “TOLLE, LEGE” (= take up, read / ambillah, bacalah).
Ia lalu mengambil Kitab Suci dan ia mengambilnya dan membukanya pada Roma 13:13-14, yang berbunyi sebagai berikut: “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya”. Ini menyebabkan ia bertobat pada tahun 385 / 386 M, dan akhirnya ia dan anaknya lalu dibaptis oleh Ambrose pada Minggu Paskah tahun 387 M.
Perjalanan Agustinus sungguh panjang dan berliku tapi sebenarnya ada seorang perempuan yang setiap hari berdoa selama 20 tahun untuk pertobatannya. Perempuan itu adalah Monika ibunya.
Contoh lain adalah John Wesley dan Charles Wesley. John terkenal sebagai seorang pemimpin / pendiri gereja Methodist dan juga seorang teolog sedangkan Charles adalah seorang musikus gereja yang sangat handal yang menciptakan ribuan lagu gereja (lebih dari 6000) yang masih kita nyanyikan sampai sekarang seperti “Angin Ribut Menyerang” (KJ 30), “Mungkinkah Akupun Serta” (KJ 31), “Kau Yang Lama Dinantikan” (KJ 76), “Gita Sorga Bergema” (KJ 99), “Beribu Lidah Patutlah” (KJ 294), “Kristus Bangkit Soraklah” (KJ 188), dll. Di balik kesuksesan 2 orang ini, ada seorang ibu yang begitu setia mendoakan mereka. Ia adalah Susanna Wesley. Susanna selalu mendoakan anak-anaknya satu per satu setiap malam sebelum anak-anaknya tidur.
Pengalaman telah membuktikan bahwa ada begitu banyak anak menjadi percaya dan berguna bagi Tuhan karena doa yang setia dari orang tuanya terutama ibunya. Setialah berdoa untuk anak-anak saudara dan suatu saat nanti ketika saudara mungkin sudah di surga, anak-anakmu akan menyanyi : “Di doaku namaku disebut….di doa ibuku dengar ada namaku disebut”. Guru-guru Sekolah Minggu pun harus bisa mendoakan anak-anak Sekolah Minggunya agar mereka bisa percaya kepada Kristus.
b. Memberitakan Injil pada mereka
Selain doa, maka orang tua dan gereja juga harus berusaha memberitakan Injil pada anak-anak. Tentu berita Injil di sini harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman anak. Orang tua dapat saja memberikan cerita-cerita Alkitab setiap malam kepada anak sebagai persiapan baginya untuk mendengar Injil. Demikian juga guru Sekolah Minggu harus mempunyai program penginjilan untuk anak. Ingat bahwa apa yang ditanamkan pada anak usia dini sangat sukar untuk dihilangkan dari memorinya sampai masa tuanya.
c. Memberi teladan hidup Kristiani yang positif.
Selain 2 hal di atas, orang tua dan juga guru Sekolah Minggu harus dapat menunjukkan teladan hidup yang positif bagi anak. Ini akan menolong anak untuk mudah percaya kepada Injil. Saya semasa kecil tergolong anak yang suka pergi ke Sekolah Minggu tetapi pada satu saat saya benar-benar berhenti pergi ke sana. Mengapa? Karena pada satu kesempatan saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang guru Sekolah Minggu yang sementara mengajar kami tentang Alkitab, karena dikejutkan oleh seorang rekannya langsung berteriak dan memaki temannya itu dengan kata ”Anjing!”
Sejak itu saya sama sekali tidak tertarik lagi untuk pergi ke Sekolah Minggu dengan pemikiran bahwa guru Sekolah Minggu itu mengjari kami untuk tidak memaki tetapi dia sendiri ternyata memaki. Ini menunjukkan bahwa keteladanan begitu penting diperlukan bagi seorang anak. Adalah percuma bagi seorang anak jika ia diajarkan Injil oleh orang tuanya tetapi ia tidak melihat teladan hidup dari orang tuanya. Atau sebaliknya ia melihat hal-hal yang negatif dalam kehidupan keluarga seperti pertengkaran orang tua, kata-kata kotor, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dll.
Ingat bahwa apa yang dilihat anak pada masa kecil akan sukar dilupakannya hingga ia dewasa. Karena itu hai para orang tua, jadilah teladan bagi anak-anakmu di dalam rumah tanggamu. Jikalau kita sudah melakukan semuanya itu dengan setia maka biarkan urusan selanjutnya ada di dalam tangan Tuhan. Yang terpenting adalah kita dengan maksimal telah melakukan tanggung jawab kita sebagai orang tua Kristen.
BAPTISAN ANAK: LANDASAN, KEBERATAN DAN TANGGUNG JAWAB
– AMIN –