PRINSIP IBADAH DALAM ALKITAB

Kata “ibadah” dalam Alkitab sangat luas, tetapi konsep asasinya baik dalam PL maupun PB ialah “pelayanan”. Kata Ibrani ‘avoda’dan Yunani ‘latreia’ pada mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba upahan. Dalam rangka mempersembahkan “ibadat”’ kepada Allah, maka para hamba-Nya harus meniarap – Ibrani “hisytakhawa”, atau Yunani “proskuneo”, dan dengan demikian mengungkapkan rasa takut penuh hormat, kekaguman dan ketakjuban penuh puja
PRINSIP IBADAH DALAM ALKITAB

Menyatakan pekerjaan para budak atau hamba di mana mereka melakukan pekerjaan mereka dengan ketundukan, ketaatan dengan rela sebab hidup mereka bukanlah milik mereka tetapi milik tuan yang telah membeli mereka. Demikian juga halnya dengan umat Kristen, darah Yesus telah membeli dan menjadikan mereka milik Tuhan Yesus (1 Korintus 6:19-20; Wahyu 5:9-10) Tuhan Yesus telah membeli orang percaya dengan darah-Nya dan tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa dan membuat orang percaya menjadi satu kerajaan dan imam-imam bagi Allah

Ibadah adalah “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”. Ibadah ialah aneka tindakan dan sikap yang menghargai dan menghormati kelayakan Allah semesta langit dan bumi yang agung. Jadi, ibadah berpusat kepada Allah dan bukan pada manusia. Di dalam ibadah, umat menghampiri Allah dengan bersyukur karena apa yang telah dilakukan-Nya bagi orang percaya di dalam Kristus dan melalui Roh Kudus. Ibadah menuntut komitmen iman dan pengakuan bahwa Dialah Allah dan Tuhan. 

Ibadah adalah hormat kepada Allah (Keluaran 20:16) yang dinyatakan dalam gerak isyarat dan perkataan tepat, pantas, tetapi juga dituntut oleh para nabi, dalam sikap perbuatan dan hidup (Amsal 5:21-24). Korban dipersembahkan kepada Allah sebagai persembahan berharga dari yang mengadakan korban, bukan sebagai makanan. 

J. L. Ch. Abineno dalam “Ibadah Jemaat” menunjuk bahwa kata “ibadah” yang biasanya digunakan dalam Perjanjian Baru, adalah terjemahan tiga istilah Yunani, yaitu pertama; “leiturgi” (Kisah Para Rasul 13:2) yang berarti “beribadah kepada Allah”; kedua; “latreia” (Roma 12:1) yang berarti “mempersembahkan seluruh tubuh”; ketiga; “threskeia” (Yakobus 1 ) yang berarti “pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan.

Unsur-unsur Ibadah Ibadah dalam Perjanjian Lama

Ibadah atau persembahan pribadi kepada Allah pertama kali terdapat dalam Kejadian 4:4 ketika Habel memberikan persembahan kepada Tuhan (Keluaran 24:26). Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah merupakan ungkapan batin seseorang yang mengakui bahwa Allah berdaulat, penuh kuasa dan baik. Atau ibadah adalah menunjukkan ketinggian spiritual seseorang yang disertai ungkapan pujian dan syukur kepada Tuhan, karena Ia patut disembah (Ayub. 1:20; Yosua 5 :14). 

Harus dipahami bahwa Allah adalah Allah yang transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari ciptaan-Nya” juga merupakan Allah yang berkomunikasi dengan umat manusia. Allah menerima penyembahan dari umat-Nya. Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang maha kudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan Israel (Keluaran 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36

Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan “Jahwe” sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam kehidupan Nasional Jahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan penting. 

Di samping tempat ibadah, orang Yahudi juga memiliki kalender tahunan untuk upacara agamawi. Di antaranya yang amat penting adalah: Hari Raya Paskah (Keluaran 12:23-27), Hari Raya Perdamaian (Imamat 16 : 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi (Keluaran12:14-20). 

Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari Raya agama lainnya. Ibadah di Sinagoge terdiri dari: Shema, doa, pembacaan Kitab Suci dan penjelasannya. Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban agama, yakni perintah-perintah Tuhan (Ulangan 11:8-11). 

Jadi, pada hakikatnya ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah, akan tetapi adalah mencakup pelaksanaan kewajiban agama, seperti: sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, Taurat dan doa. Dengan demikian, ibadah juga harus mengandung makna bagi hidup susila.

Dalam PL ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kejadian 24:26; Keluaran 33:9-34:8), tetapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mazmur 42:4; I Tawarikh 29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari korban-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mazmur 40:6; 50:7-15; Mikha 6:6-8).

Banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur 93; 95-100) dan doa–doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkannya untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ulangan 11:13) dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh. Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk menyatakan diri-Nya. 

Tetapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas dari fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari: Shema’, Doa-doa, dan Pembacaan Kitab Suci.

Ciri-ciri Ibadah PL Ciri utama ibadah PL adalah sistem persembahan korban (Bil. 28:1-29;40). Pengakuan dosa merupakan bagian penting dalam ibadah Perjanjian Lama. Dalam kitab Imamat 16:1-34, Allah telah menetapkan Hari Pendamaian bagi bangsa Israel sebagai saat pengakuan dosa nasional. 

Dalam doanya pada saat menahbiskan bait suci, Salomo mengakui pentingnya pengakuan dosa (1Raja-raja 8:30-39). Ketika Ezra dan Nehemia sadar betapa jauhnya umat Allah telah meninggalkan hukum-Nya, mereka memimpin seluruh bangsa itu di dalam suatu doa pengakuan dosa umum yang khusuk (Nehemia 9:1-38). Dalam penyembahan bangsa Israel kepada Allah, pujian menjadi unsur yang penting (Mazmur 100:4; 106:1; 111:1; 113:1; 117:1-2). 

Dalam PL penuh dengan nasihat untuk bernyanyi bagi Tuhan (1 Tawarikh 16:23; Mazmur 95:1; 96:1-2; Mazmur 98:1,5-6; 100:1-2). Unsur penting lainnya dalam ibadah ialah mencari wajah Allah dalam doa. Para orang saleh Perjanjian Lama senantiasa berkomunikasi dengan Allah melalui doa (Kejadian 20:17; Bilangan 11:2; 1 Samuel 8:6; 2 Samuel 7:27; Daniel 9:3-19). 

Ibadah juga harus mencakup membaca Alkitab di depan umum dan pemberitaannya secara benar. Pada zaman PL Allah mengatur supaya setiap tujuh tahun, pada Hari Raya Pondok Daun, umat Israel harus berkumpul untuk mendengarkan pembacaan Hukum Musa di muka umum (Ulangan 31:9-13). Contoh paling jelas dari unsur ibadah PL terjadi pada masa Ezra dan Nehemia (Nehemia 8:2-13). Pembacaan Alkitab menjadi bagian tetap dari ibadah. Persembahan dan persepuluhan diperintahkan kepada umat dimasa PL untuk dibawa, ketika umat Allah berkumpul di pelataran Tuhan (Mazmur 96:8; Mal. 3:10). 

Dalam agama Israel (seperti juga dalam agama Kristen dan Islam yang berasal dari agama Israel) terdapat suatu intoleransi. Hal itu disebabkan karena Allah, yang menyatakan diri di dalam agama-agama tersebut, adalah Allah yang mutlak, absolut, yang tuntutan-Nya mutlak kepada mereka yang percaya kepada-Nya. Sejak munculnya “Yahwisme” di atas panggung sejarah sampai pada masa kini, unsur intoleransi ini telah tampak. Hal itu membawa penganut agamanya pada suatu sikap imperialis terhadap agama-agama lain. 

Pada prinsipnya, agama-agama lain itu ditolak, meskipun ada unsur-unsur tertentu yang dapat diambil alih dari agama saingan itu serta dimasukkan ke dalam “Yahweisme”. Segera setelah “Yahweisme” bertemu dengan agama lain, timbullah suatu pergumulan dan dalam proses pergumulan itu ada berbagai unsur yang disesuaikan dengan “Yahweisme”, sedangkan unsur-unsur lain ditolak. Proses ini tentu memerlukan waktu yang lama bahkan berlangsung selama berabad-abad. Hal tersebut bahwa proses ini tidak pernah selesai, hanya terputus dengan tiba-tiba pada zaman pembuangan

Pelaksanaan Ibadah dalam Perjanjian Lama


Tiap agama mempunyai beberapa upacara atau ritus, melaluinya para pemeluk agama yang bersangkutan menghampiri dewanya. Akan tetapi dalam cerita tentang para Bapa Leluhur Israel terdapat penekanan yang kuat bahwa Allah-lah yang mendekati umat-Nya dan bukan sebaliknya. Mezbah-mezbah memang didirikan, tetapi dengan maksud untuk memperingati hubungan antara Allah dengan umat-Nya, dan bukan sekadar sebagai tempat-tempat di mana mereka dapat mendekati Allah. Dalam Kitab Kejadian, Abraham dihubungkan dalam hal tertentu dengan tempat-tempat di mana Mezbah-mezbah dibangun (Kejadian 12:6-8; 13:18; 21:23). 

Abraham melebihi Bapa-bapa Leluhur lainnya Abraham memiliki pengetahuan dan pemahaman yang khusus tentang Mezbah-mezbah itu serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya di mana Allah disembah secara lebih baik. Berkaitan dengan mezbah-mezbah itu, terdapat cerita lain tentang Allah menyatakan diri-Nya kepada salah seorang Bapa leluhur pada suatu saat yang penting tanpa diduga-duga sama sekali. Allah menyatakan diri-Nya kepada Abraham di Sikhem ketika ia baru saja tiba di tanah yang dijanjikan itu (Kejadian 12:6). 

Begitu juga Allah menyatakan diri-Nya kepada Abraham di Mamre ketika Abraham sedang berputus asa karena belum memiliki anak yang akan menjadi ahli warisnya yang sesungguhnya (Kejadian 18:1-5). Allah menyatakan diri-Nya kepada Yakub di Betel ketika ia sedang melarikan diri dari kemarahan kakaknya (Kejadian 28:10-22). Di Betsyeba Allah menyatakan diri-Nya kepada Ishak ketika keamanannya sedang terancam oleh bangsa Gerar (Kejadian 26:23-25) dan kepada Yakub sebelum ia berangkat ke Mesir (Kejadian 46:1-4). 

Pada masa-masa yang kemudian orang-orang Israel menolak tempat peribadahan ini karena telah digunakan untuk ibadah-ibadah kafir. Walaupun demikian para pencerita tadi tetap mengingat bahwa tempat –tempat tersebut memainkan suatu peranan penting dalam agama para Bapa leluhur. Hal ini membuktikan bahwa tradisi-tradisi mengenai agama para Bapa leluhur ini cukup mempunyai dasar. Pada tempat-tempat tersebutlah Allah membuat diri-Nya dikenal oleh Bapa-bapa Leluhur itu. 

Mengenai Yakub, jenis mezbah yang didirikan para Bapa leluhur itu hanya berbentuk tiang batu. Ibadah dilakukan dengan cara menuangkan minyak ke atas puncak tiang batu itu (Kejadian 20:18;35:14). Di saat yang sama, orang yang beribadah itu menyebut nama Allah sebagai respons kepada-Nya (Kejadian 12:8). Tidak diketahui tentang adanya peraturan-peraturan yang terinci mengenai korban persembahan pada zaman itu. Tidak ada seorang imam yang diangkat secara khusus untuk maksud itu. Pemimpin suku yang bersangkutan mempersembahkan korban-korban itu atas nama rakyatnya.

Dalam PL, Musa mengambil peranan penting bagi bangsa Israel untuk beribadah kepada YHWH yang menjadi satu-satunya figur yang harus disembah. Para penyembah di Israel kuno melakukan upacara kurban karena kesadaran bahwa mereka terasing dari Allah oleh karena dosa dan ketidaktaatan mereka. Mereka tahu hubungan mereka dengan Allah harus pulih kembali supaya mereka mendapat hidup sejati dan penuh damai. Sebagai langkah pertama dalam proses pendamaian ini, orang berdosa harus menghampiri mezbah Allah dengan membawa kurban. 

Ada empat hal yang dilakukan adalah: 

1. Pertama, binatang disembelih, suatu peristiwa yang mengingatkan orang berdosa akan akibat dosa, yakni mereka patut dihukum mati, karena kejahatan mengakibatkan kematian, dan itu berarti terpisah dari persekutuan dengan Allah yang tidak dapat membiarkan kejahatan. 

2. Kedua, imam mengambil darah kurban (yang sekarang mewakili kehidupan orang berdosa yang diserahkan kepada Allah) dan membawanya ke mezbah sebagai tindakan “pendamaian”, yakni masalah dosa telah diselesaikan, kemudian Allah dan orang berdosa dipersatukan kembali dalam persekutuan. 

3. Ketiga, mayat binatang diletakkan di atas mezbah di Bait Allah sebagai tanda bahwa orang-orang berdosa yang telah diampuni itu menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah; 

4. Keempat; Sebagian daging yang masih sisa dimakan dalam suatu santapan, yang menunjukkan bahwa orang berdosa telah dipulihkan hubungannya bukan hanya dengan Allah tetapi juga dengan orang-orang lain (persekutuan dengan manusia dan dengan Allah telah dipulihkan kembali). 

Jadi dalam PL, upacara pengorbanan merupakan suatu cara simbolis yang memungkinkan orang berdosa dipulihkan hubungannya dengan Allah. Kemudian muncullah sinagoge dan Bait Allah yang menjadi tempat umat Israel beribadah. Ibadah yang mereka lakukan dipimpin oleh imam yang berasal dari suku lewi yang memang dikhususkan untuk melayani. 

Dengan liturgi ibadah mereka: Shema, Doa-doa, Pembacaan Kitab Suci dan Penjelasan (Khotbah). Unsur-unsur ini pun tetap dipelihara dalam perkembangan liturgi lanjutnya hanya saja cara atau metode yang berbeda. Tidak hanya liturgi bahkan prinsip-prinsip dalam elemen-elemen ibadah PL pun masih dipelihara pada masa selanjutnya.

Adapun elemen tersebut menurut Webber mengemukakan ada lima elemen, yaitu: Pertama, ibadah adalah panggilan Allah. Allah yang memanggil umat-Nya untuk bertemu dengan-Nya. Kedua, umat Tuhan diatur dalam satu tanggung-jawab terstruktur. Artinya ada yang bertanggungjawab. Musa adalah pemimpin. Tetapi untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya adalah tugas Harun, Nadab, Abihu, 70 tua-tua Israel, pemuda dan umat. 

Dengan kata lain, elemen kedua adalah soal partisipasi dalam ibadah. Ketiga, pertemuan antara Allah dan Umat bersifat proklamasi Firman. Allah berbicara kepada umat-Nya dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Hal ini berarti ibadah belum-lah lengkap tanpa mendengar Firman Tuhan. Keempat, umat setuju dan menerima perjanjian dengan syarat-syaratnya yang memberi makna kepada komitmen umat secara subjektif untuk mendengar dan taat kepada Firman Allah. 

Dengan kata lain, aspek penting dalam ibadah adalah pembaharuan komitmen pribadi secara terus-menerus. Dalam ibadah umat Tuhan membaharui janji yang telah ada antara Allah dan umat-Nya sendiri. Kelima, puncak hari pertemuan itu ditandai dengan simbol pengesahan, satu materai perjanjian. Dalam PL Allah selalu menggunakan darah korban sebagai materai hubungan-Nya dengan manusia. Pengorbanan ini menunjuk kepada korban Yesus Kristus.

Ibadah dalam Perjanjian Baru

Pelaksanaan Ibadah pada Zaman Yesus Dalam PB kembali pula muncul ibadat di Bait Suci dan di Sinagoge. Kristus mengambil bagian dalam keduanya, tetapi Dia selalu menekankan bahwa ibadat adalah sungguh-sungguh kasih hati terhadap Bapa sorgawi. Dalam ajaran-Nya, mendekati Allah melalui perantaraan ritual dan imamat bukan saja tidak penting lagi, bahkan sekarang tidak perlu. Pada akhirnya ‘ibadat’ adalah ‘avoda’ atau ‘latreia’ yang sebenarnya, suatu pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah tidak hanya dalam arti ibadat di Bait suci, tapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Lukas 10:25; Matius 5:23; Yohanes 4:20; Yakobus 1:27).12

Korban Kristus disalib menggenapi sistem persembahan korban dalam ibadah di PL, maka di dalam ibadah Kristen tidak perlu pencurahan darah lagi (Ibrani 9:1-10:18). Melalui sakramen perjamuan kudus, gereja PB terus-menerus memperingati korban Kristus yang satu kali untuk selamanya (1Korintus11:23-26). Demikian pula, gereja dinasihatkan untuk senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya (Ibrani 13:15) dan untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1)

Pelaksanaan Ibadah pada Zaman Gereja Mula-mula

Memuji Allah sangat penting bagi ibadah Kristen. Pujian menjadi unsur penting dalam ibadah Kristen yang mula-mula (Kis. 2:46-47; 16:25; Roma 15:10-11; Ibrani 2:12). Ketika Yesus lahir, seluruh bala sorgawi tiba-tiba menyanyikan pujian (Lukas 2:13-14), dan gereja PB merupakan masyarakat yang menyanyi (1 Korintus 14:15; Efesus 5:19; Kolose 3:16; Yakobus 5:13). Nyanyian orang Kristen PB dinyanyikan baik dengan akal budi yaitu dengan bahasa yang dikenal maupun dengan bahasa roh. Mereka tidak pernah memandang nyanyian sebagai sekedar hiburan saja

Pelaksanaan Ibadah pada Zaman Para Rasul

Para rasul berdoa terus-menerus setelah Yesus naik ke sorga (Kisah Para Rasul 1:14) dan doa menjadi bagian tetap dari ibadah Kristen bersama (Kisah Para Rasul 2:42; 20:36; 1Tesalonika 5:17). Doa-doa ini bisa bagi diri mereka sendiri (Kisah Para Rasul 4:24-30) atau merupakan doa syafaat demi orang lain (Roma 15:30-32; Efesus 6:18). Pada segala waktu doa Kristen harus disertai ucapan syukur kepada Allah (Efesus 5:20; Filipi 4:6; Kol. 3:15,17; 1 Tesalonika 5:18). Sebagaimana halnya bernyanyi, doa dapat dipanjatkan dengan bahasa yang diketahui atau dengan bahasa roh (1 Korintus 14:13-15)

Pengakuan dosa juga merupakan hal penting dalam ibadah di PB. Demikian pula, dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan orang percaya untuk memohon pengampunan dosa (Matius 6:12). Yakobus menasihati orang percaya untuk mengakui dosa-dosa mereka satu terhadap yang lain (Yakobus 5:16). 

Melalui pengakuan tersebut orang percaya menerima kepastian akan pengampunan Allah yang murah hati (1 Yohanes 1:9). Pembacaan Alkitab menjadi bagian tetap dari ibadah di sinagoge pada hari Sabat (Lukas 4:16; Kisah Para Rasul 13:15); demikian pula, ketika orang percaya PB berkumpul untuk ibadah, mereka juga mendengarkan Firman Allah (1 Timotius 4:13; Kol. 4:16; 1 Tesalonika 5:27) bersama dengan ajaran, khotbah, dan nasihat berlandaskan pembacaan itu (1 Timotius 4:13; 2 Timotius 4:2; Kisah Para Rasul 19:8-10; 20:7). 

Persembahan dalam jemaat PB seperti Paulus menulis kepada jemaat di Korintus mengenai sumbangan untuk gereja Yerusalem, “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing sesuai dengan apa yang kamu per oleh menyisihkan sesuatu (1 Korintus 16:2). Dengan demikian, ibadah yang benar kepada Allah harus menyediakan kesempatan untuk memberikan persepuluhan dan persembahan orang percaya kepada Tuhan. Sebuah unsur unik dalam masyarakat PB yang menyembah ialah peranan Roh Kudus dan berbagai manifestasinya. 

Di antara manifestasi tersebut dalam tubuh Kristus terdapat karunia berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, ungkapan-ungkapan iman yang khusus, karunia-karunia penyembuhan, kuasa-kuasa mukjizat, nubuat, membedakan roh-roh, berbicara dengan bahasa roh, dan penafsiran bahasa roh itu (1 Korintus 12:7-10). 

Sifat kharismatik ibadah Kristiani mula-mula selanjutnya dilukiskan dalam petunjuk Paulus, “Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu; yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau pernyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun” (1 Korintus 14:26). 

Dalam Surat Korintus, Paulus memberikan prinsip-prinsip yang dengannya mereka mengatur aspek ini dari ibadah mereka (1 Korintus 14:1-33; 1 Korintus 14:1, 1 Korintus 14:39; 1 Korintus 14:1,39). Prinsip yang paling berpengaruh ialah bahwa pemakaian setiap karunia Roh Kudus selama ibadah harus memperkuat dan menolong seluruh jemaat (1 Korintus 12:7; 14:26). 

Unsur unik lainnya dalam ibadah PB ialah penyelenggaraan sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus (atau upacara “memecahkan roti” (Kisah Para Rasul 2:42) tampaknya dilaksanakan setiap hari sesudah hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:46-47) dan kemudian sekurang-kurangnya seminggu sekali (Kisah Para Rasul 20:7,11). Baptisan sebagaimana diperintahkan Kristus (Matius 28:19-20), terjadi bila ada orang yang bertobat dan ditambahkan kepada gereja (Kisah Para Rasul 2:41; 8:12; Kisah Para Rasul 9:18; 10:48; 16:30-33; 19:1-5).

Ibadah Menurut Kitab Ibrani

Ibadah zaman PL, kaum Israel datang ke Bait Suci hari demi hari dengan menaruh berbagai maksud. Di halaman (pelataran) Bait Suci orang dapat bergaul dan dapat mendengar pidato dan khotbah para Nabi (Yeremia 26: 2). Di situ penyembah dapat menaikkan doa pribadi seperti orang Farisi dan orang pemungut cukai dalam perumpamaan Tuhan Yesus (Lukas 18:10). Bila orang datang beribadat, hal itu tidak berarti bahwa mereka menonton saja bagaimana berlangsungnya suatu penyembelihan korban, tetapi mereka ikut berpartisipasi dalam mendekati Tuhan. 

Para Nabi mendakwa Israel karena partisipasi mereka tidak ditandai oleh kesungguhan. Hal itu berarti bahwa ada orang di Israel yang tidak sungguh-sungguh menyadari arti dan makna ibadat. Karena ibadat yang sebenarnya, seharus-nyalah bebas dan tanpa ikatan atau paksaan, yaitu suatu pemasrahan rohani dan bukan hanya suatu kehadiran begitu saja pada upacara-upacara keagamaan.

Yesus Kristus adalah pernyataan terakhir Allah, karena dalam pribadi-Nya Ia adalah Anak dan dalam pekerjaan-Nya adalah Imam. Sebagai Anak Ia melebihi malaikat-malaikat, pengantara-pengantara pernyataan lama dan Ia melebihi Musa seperti seorang anak melebihi seorang hamba. Yesus adalah Imam Besar yang ditunjuk Allah menurut peraturan Melkisedek, yang menggantikan keimaman Lewi. Ia juga adalah seorang yang mengenal kesusahan-kesusahan manusia. 

Penetapan Allah serta simpati manusia menjadikan Dia betul-betul Imam besar yang sempurna. Ia melayani di tempat Kudus yang sempurna dan Ia mempersembahkan korban yang sempurna. Persembahan ini karena merupakan persembahan sempurna dari ketaatan-Nya sendiri terhadap kehendak Allah, adalah berguna untuk menghapus dosa manusia, sebagaimana tidak pernah dapat dilakukan oleh darah binatang-binatang, dan keuntungan yang dibawa oleh pekerjaan imani kepada manusia ialah “hak menghampiri” hadirat Allah

BACA JUGA: IBADAH ORANG KRISTEN KEPADA TUHAN

Inti Pokok agama yang sebenarnya ialah “hak menghampiri” Allah, suatu hak yang bekerja melalui kebaktian (Ibrani 4:16; 7:25; 10:22; 12 : 22). Tetapi dosa merintangi hak menghampiri ini, merusakkan persekutuan dengan Allah yang merupakan summum bonum (kebaikan tertinggi) manusia. Jika manusia mau mencapainya, bagaimana juga ia harus “menerobos masuk” kepada Allah. 

Ritus-ritus hukum Yahudi – seluruh sistem keimaman, tempat kudus, dan korban-korban – berusaha untuk membawa dia ke sana, tetapi sayang sekali ritus itu tidak sanggup. Itu mungkin sanggup untuk mentahirkan daging, tetapi tidak dapat memurnikan suara hati. Kekristenan adalah agama yang terakhir karena, melalui pengorbanan Kristus, agama itu menjamin hak masuk, yang hanya dapat dibayang-bayangkan oleh agama Yahudi. Dengan Fakta Kristus, manusia berjalan “keluar dari dunia bayang-bayang masuk ke dalam lingkungan Kenyataan
Next Post Previous Post