ARTI KAKI DIAN EMAS DALAM WAHYU 1:12-16

Pdt. Budi Asali, M.Div.

Wahyu 1:12-16

Wahyu 1:12: “Lalu aku berpaling untuk melihat suara yang berbicara kepadaku. Dan setelah aku berpaling, tampaklah kepadaku tujuh kaki dian dari emas”.
ARTI KAKI DIAN EMAS DALAM WAHYU 1:12-16
1) Arti dari ‘kaki dian’.

Wahyu 1: 20c memberikan arti dari ketujuh kaki dian itu karena ay 20c itu berbunyi: ‘ketujuh kaki dian itu ialah ketujuh jemaat’. KJV/RSV/NIV/NASB menerjemahkan ‘jemaat’ dengan ‘churches’ (= gereja-gereja).

2) Penyimbolan sebagai ‘kaki dian’.

a) Gereja disimbolkan dengan kaki dian, dan ini menunjukkan misi yang benar dari gereja. Kaki dian berfungsi sebagai tempat dari lampu / api / lilin yang memberikan terang bagi kegelapan. Cahaya / terang menunjuk pada Injil.

James B. Ramsey: “It beautifully and forcibly expresses the true mission of the visible church. A candlestick, or lampstand as this was, like those in the tabernacle and temple, is for the purpose of holding up light in the darkness. The church is God’s appointed light-bearer in this dark world. ... Her great, and indeed her only business, is to hold fast this truth and hold it forth, until its light penetrates into the darkest corners of the earth” (= Ini secara indah dan kuat menyatakan misi yang benar dari gereja yang kelihatan. Kandil, atau kaki dian seperti ini, seperti yang ada di Kemah Suci dan Bait Allah, berfungsi untuk memegang / mengangkat terang dalam kegelapan. Gereja adalah pembawa terang yang ditetapkan / diangkat oleh Allah dalam dunia yang gelap ini. ... Urusannya yang besar, dan bahkan satu-satunya urusannya, adalah memegang erat-erat kebenaran ini dan membicarakannya, sampai terangnya menembus ke sudut-sudut tergelap dari dunia) - hal 79.

Penerapan:

Kalau kita tidak memberitakan Injil, maka kita tidak melaksanakan misi yang Tuhan berikan kepada kita sebagai gereja. Karena itu gereja harus banyak memberitakan Injil, baik oleh pendeta / penginjil melalui mimbar di dalam gereja, maupun oleh jemaat secara pribadi di luar gereja.

b) Penyimbolan gereja sebagai ‘kaki dian emas’ berhubungan dengan Matius 5:14 - ‘Kamu adalah terang dunia’.

Dengan demikian yang dimaksud dengan ‘terang’ bukan hanya Injil / Firman Tuhan, tetapi juga perbuatan baik kita yang memuliakan Allah. Bandingkan dengan Matius 5:16 - “Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”.

Penerapan:

Tidak cukup bagi kita untuk hanya memberitakan Injil, kita juga harus berusaha hidup baik / benar untuk bisa bersinar bagi Kristus!

3) Kaki dian itu terbuat dari emas. Apa artinya?

Adam Clarke: “they are here represented as golden, to show how precious they were in the sight of God” (= mereka di sini digambarkan sebagai emas untuk menunjukkan betapa berharganya mereka dalam pandangan Allah) - hal 973.

James B. Ramsey: “Like the candlestick in the tabernacle, these are ‘golden’. While this may represent the required purity of the church, it certainly does represent its actual preciousness” (= Seperti kandil dalam Kemah Suci, mereka terbuat dari emas. Sementara ini bisa menggambarkan kemurnian yang diinginkan dari gereja, itu pasti juga menggambarkan berharganya gereja) - hal 89.

Perhatikan bahwa ke 7 gereja dalam Wahyu 2-3 punya banyak cacat cela, bahkan ada satu yang hanya dikecam tetapi sama sekali tidak dipuji, yaitu gereja di Laodikia (tetapi awas, ini tetap bukan gereja sesat!). Tetapi tetap semua gereja itu dilambangkan dengan ‘kaki dian emas’, yang menunjukkan bahwa mereka berharga di mata Tuhan.

James B. Ramsey: “Imperfect, therefore, as the visible church is, and always has been; marred, as was the church of Sardis and of Laodicea, by the corruptions that still dwell in the hearts of her members, and by false professors, she is still, in the eyes of our Redeemer, infinitely more precious than all the kingdoms of the world and the glory of them. Even the churches of Sardis and Laodicea have a golden candlestick as their symbol, as well as the pure and uncensured churches of Smyrna and Philadelphia. ... Beware, then, that you do not under-estimate this ‘golden’ instrumentality and representative of God’s kingdom. Ever remember that the government, the ordinances, the offices, the discipline, and the spiritual enterprises of this church are divinely appointed; they are heavenly means of a heavenly power for heavenly ends. To neglect or turn away from the privileges of this church is to reject God and His Son. If you have any love to the King Himself, and to His invisible spiritual kingdom, you cannot but love and cherish this visible kingdom which He has ordained to represent it and to be the channel of its blessings to a perishing world” (= Karena itu, sekalipun gereja yang kelihatan ini tidak sempurna, dan dari dulu selalu demikian; dirusak / dikotori, seperti gereja Sardis dan Laodikia, oleh kejahatan yang tetap tinggal dalam hati anggota-anggotanya, dan oleh profesor-profesor palsu, ia tetap, di mata Penebus kita, jauh lebih berharga dari semua kerajaan dunia dan kemuliaannya. Bahkan gereja Sardis dan Laodikia mempunyai kaki dian emas sebagai simbol mereka, sama seperti gereja Smirna dan Filadelfia yang murni dan tak bercela. ... Karena itu, hati-hatilah supaya engkau tidak menganggap rendah alat dan wakil kerajaan Allah dari ‘emas’ ini. Ingatlah selalu bahwa pemerintahan, peraturan, jabatan, disiplin, dan usaha / proyek rohani dari gereja ini ditetapkan oleh Allah; mereka adalah cara surgawi dari kuasa surgawi untuk tujuan surgawi. Mengabaikan atau berbalik dari hak-hak gereja ini berarti menolak Allah dan Anak-Nya. Jika engkau mempunyai kasih terhadap sang Raja sendiri, dan terhadap kerajaan-Nya yang bersifat rohani dan tak terlihat, engkau pasti mengasihi dan menghargai kerajaan yang terlihat ini, yang telah Ia tentukan untuk mewakilinya dan untuk menjadi saluran berkatnya bagi dunia yang sedang menuju kebinasaan) - hal 91-92.

Penerapan:

Berapa berharganya gereja kita ini di mata saudara? Ini bisa terlihat dari beban saudara untuk kemajuan gereja. Ini terlihat dari berapa banyak dan sungguh-sungguhnya saudara berdoa untuk gereja. Ini terlihat dari mau atau tidaknya saudara melayani Tuhan dalam gereja. Ini terlihat dari maunya saudara menghadiri aktivitas gereja. Ini terlihat juga dari persembahan saudara untuk Tuhan melalui gereja. Karena itu renungkan hal-hal itu, dan pikirkan apakah hidup saudara menunjukkan bahwa gereja ini berharga di mata saudara? Jangan karena gereja mempunyai cacat cela, lalu saudara mengabaikan gereja atau bersikap masa bodoh terhadap gereja. Ingat bahwa gereja Sardis, dan bahkan gereja Laodikia, tetap dilambangkan dengan kaki dian emas!

Herman Hoeksema menambahkan lagi satu arti dari ‘emas’, yaitu bahwa emas itu bersifat ‘incorruptible’ / ‘imperishable’ (= tak bisa rusak / binasa). Tetapi bagaimana ini bisa diharmoniskan dengan fakta bahwa gereja lokal itu bisa menjadi rusak / sesat? Karena itu saya tidak setuju dengan arti ini.

4) Kaki dian emas ini mirip dengan yang ada dalam Kemah Suci / Bait Allah.

a) Dari Keluaran 25:31-39 Keluaran 37:17-24 1Raja 7:49 terlihat bahwa dalam Kemah Suci maupun Bait Allah juga ada tujuh kaki dian emas, yang disebut ‘kandil’ (NIV/NASB/RSV: ‘lampstand’ ; KJV: ‘candlestick’).

Adam Clarke: “This reference to the temple seems to intimate that the temple of Jerusalem was a type of the whole Christian Church” (= Hubungan dengan Bait Allah kelihatannya menunjukkan bahwa Bait Allah di Yerusalem merupakan suatu TYPE dari seluruh Gereja Kristen) - hal 973.

b) Hoeksema (hal 40) berpendapat bahwa ada 2 perbedaan antara kandil dalam Kemah Suci / Bait Allah dengan 7 kaki dian emas yang dilihat oleh rasul Yohanes ini. Perbedaannya adalah:

1. Kandil dalam Kemah Suci / Bait Allah itu, ketujuh lampunya membentuk suatu garis lurus, sedangkan 7 kaki dian emas dalam kitab Wahyu ini membentuk lingkaran. Ini terlihat dari Wahyu 1:13 di mana dikatakan bahwa Anak Manusia itu ada di tengah-tengah kaki dian itu, dan juga dari Wahyu 2:1 di mana dikatakan bahwa Yesus ‘berjalan di antara ke tujuh kaki dian emas itu’.

2. Kandil dalam Kemah Suci / Bait Allah itu merupakan satu kesatuan, sedangkan 7 kaki dian emas dalam Kitab Wahyu ini merupakan 7 buah lampu yang terpisah.

Memang dalam Perjanjian Lama gereja dipersatukan oleh kesatuan fisik, yaitu bangsa Israel. Tetapi dalam Perjanjian Baru, kesatuan gereja hanyalah secara rohani.

William Hendriksen: “In the Tabernacle there was one lampstand with seven lamps; here in Revelation we have seven lampstands. The reason for the difference is that during the old dispensation there was a visible unity, the Jewish church-state, whereas the churches of the new dispensation find their spiritual unity in Christ” (= Dalam Kemah Suci ada satu kandil dengan 7 lampu; di sini dalam Kitab Wahyu kita mempunyai 7 kandil. Alasan perbedaan itu adalah bahwa selama Perjanjian Lama terdapat suatu kesatuan yang kelihatan, yaitu gereja-negara Yahudi, sedangkan gereja-gereja dalam Perjanjian Baru mendapatkan kesatuan rohani mereka dalam Kristus) - hal 58.

Wahyu 1:13: “Dan di tengah-tengah kaki dian itu ada seorang serupa Anak Manusia, berpakaian jubah yang panjangnya sampai di kaki, dan dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas”.

1) ‘Dan di tengah-tengah kaki dian itu ada seorang serupa Anak Manusia’ (bdk. Wahyu 2:1 - ‘Dia ... berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu’).

James B. Ramsey: “It is His presence that makes them shine; the withdrawal of His supplies or care would leave them in utter darkness and utterly worthless. What more worthless than a candlestick in the dark, without a light? So nothing is more worthless than a church without Christ” (= KehadiranNyalah yang membuat mereka bersinar; penarikan suplai atau perhatian-Nya, akan meninggalkan mereka dalam kegelapan dan ketidakberhargaan total. Apa yang lebih tidak berharga dari kandil dalam kegelapan, tanpa terang? Demikian juga tidak ada yang lebih tidak berharga dari suatu gereja tanpa Kristus) - hal 84.

Herman Hoeksema: “She is a light, not of herself, but, as is clearly indicated by the fact that Christ stands, or walks, in the midst of the seven golden candlesticks, only through her fellowship with Christ in the Spirit. The Lord is her light, and apart from Christ she is in darkness and lies in the midst of death” (= Ia adalah terang, bukan dari dirinya sendiri, tetapi, seperti ditunjukkan secara jelas oleh fakta bahwa Kristus berdiri atau berjalan di tengah-tengah ketujuh kandil emas, hanya melalui persekutuannya dengan Kristus dalam Roh. Tuhan adalah terangnya, dan terpisah dari Kristus ia ada dalam kegelapan dan berada di tengah-tengah kematian) - hal 40.

Penerapan:

Karena itu, supaya kita bisa bersinar, kita harus dekat dengan Tuhan, dan banyak bersekutu dengan Tuhan. Saat Teduh, di mana kita berdoa dan membaca Firman Tuhan secara pribadi, harus kita lakukan dengan disiplin dan sungguh-sungguh! Bdk. Yohanes 15:4-5 - “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”.

2) ‘ada seorang serupa Anak Manusia’ (Bdk. Daniel 7:13-14).

a) Ini menunjuk kepada Tuhan Yesus dalam Hakekat manusia-Nya.

Tetapi mengapa diberi kata ‘serupa’? Karena di sini Yesus menampakkan diri dalam kemuliaanNya, sehingga ada perbedaannya dengan Yesus dalam perendahanNya yang dulu dilihat oleh Yohanes (sebelum kematianNya).

b) Tetapi seorang penafsir mengatakan bahwa ini justru menunjuk pada keilahian Yesus.

Geoffrey B. Wilson: “The word ‘like’ not only affirms a similarity with man, but also indicates that he is more than man and thus points to his deity” (= Kata ‘serupa’ bukan hanya menegaskan kemiripan dengan manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa ia lebih dari manusia, dan dengan demikian menunjuk pada keilahian-Nya) - hal 22.

c) Pentingnya penglihatan tentang Kristus pada awal Kitab Wahyu.

Leon Morris (Tyndale): “The placing of this vision of Christ right at the beginning of the book is significant. ... The Christians were a pitiably small remnant, persecuted by mighty foes. To all outward appearance their situation was hopeless. But it is only as Christ is seen for what He really is that anything else can be seen in its true perspective” (= Penempatan penglihatan tentang Kristus ini pada awal dari kitab ini merupakan hal yang penting. ... Orang-orang Kristen adalah sisa kecil yang harus dikasihani, dianiaya oleh musuh-musuh yang kuat. Dilihat dari luar / secara lahiriah, situasi mereka tidak ada harapan. Tetapi hanya jika Kristus dilihat sebagaimana adanya maka segala sesuatu yang lain bisa dilihat secara benar) - hal 52.

Saat Teduh saya pada tanggal 10 Agustus 1998, memberikan penggambaran yang menarik tentang bagaimana melihat Kristus dalam setiap keadaan dan saat, yang menyebabkan kita bisa selalu bergembira.

Saat Teduh itu mengatakan bahwa dalam kitab-kitab Injil Yesus pernah 3 kali berkata ‘be of good cheer’ (= bergembiralah). Pertama dalam Matius 9:2 di mana Ia berkata kepada orang lumpuh (KJV): ‘be of good cheer, thy sins be forgiven thee’ (= bergembiralah, dosamu telah diampuni). Lalu dalam Matius 14:27 Ia berkata kepada murid-murid yang sedang ketakutan karena badai (KJV): ‘Be of good cheer; it is I; be not afraid’ (= bergembiralah, ini Aku, jangan takut). Lalu dalam Yohanes 16:33 Ia berkata (KJV): ‘In the world ye shall have tribulation: but be of good cheer; I have overcome the world’ (= Dalam dunia kamu akan mendapatkan penganiayaan: tetapi bergembiralah; Aku telah mengalahkan dunia).

Lalu buku Saat Teduh itu menyimpulkan sebagai berikut:

“Cheer up - your sins are gone! Cheer up, He is with you in the storm! Cheer up, the future holds victory! Past, present, future!” (= Bergembiralah - dosamu sudah hilang! Bergembiralah, Ia bersamamu dalam badai! Bergembiralah, masa depan memegang kemenangan! Lampau, sekarang, akan datang!) - ‘Bread For Each Day’, August 10.

Catatan: dalam ketiga ayat di atas KJV memberikan terjemahan hurufiah.

3) ‘berpakaian jubah yang panjangnya sampai di kaki, dan dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas’.

a) Ada yang menganggap bahwa ini adalah pakaian imam besar, dan dengan demikian menunjukkan Yesus sebagai Imam Besar kita.

William Barclay: “The word which describes the robe is PODERES, ‘reaching down to the feet’. This is the word which the Greek Old Testament uses to describe the robe of the High Priest (Exodus 28:4; 29:5; Leviticus 16:4)” [= Kata yang menggambarkan jubah adalah PODERES, ‘mencapai kaki’. Ini adalah kata yang digunakan oleh Perjanjian Lama berbahasa Yunani untuk menggambarkan jubah Imam Besar (Keluaran 28:4; 29:5; Imamat 16:4)] - hal 45.

William Barclay: “Josephus also describes carefully the garments which the priests and the High Priest wore when they were serving in the Temple. They wore ’a long robe reaching to the feet,’ and around the breast, ‘higher than the elbows,’ they wore a girdle which was loosely wound round and round the body. The girdle was embroidered with colours and flowers, with a mixture of gold interwoven (Josephus: The Antiquities of the Jews, 3.7:2,4). All this means that the description of the robe and the girdle of the glorified Christ is almost exactly that of the dress of the priests and of the High Priest” [= Josephus juga menggambarkan secara teliti pakaian yang dikenakan oleh imam-imam dan Imam Besar pada waktu mereka melayani dalam Bait Allah. Mereka mengenakan ‘jubah panjang yang mencapai kaki’, dan mengelilingi dada, ‘lebih tinggi dari siku’, mereka memakai sabuk yang dililitkan pada tubuh secara longgar. Sabuk itu disulam dengan warna-warna dan bunga-bunga bercampur emas (Josephus: The Antiquities of the Jews, 3.7:2,4). Semua ini berarti bahwa penggambaran dari jubah dan sabuk dari Kristus yang telah dimuliakan hampir persis dengan pakaian imam-imam dan Imam Besar] - hal 45.

b) Tetapi ada yang tidak setuju pada penafsiran di atas.

Beasley-Murray: “While it is true that the high priest wore such a robe, it was also worn by men of rank generally, and there is no need to bring in the high priest here” (= Sekalipun memang benar bahwa imam besar mengenakan jubah seperti itu, tetapi itu juga dikenakan oleh orang-orang yang berkedudukan tinggi pada umumnya, dan tidak perlu memasukkan imam besar di sini) - hal 66-67.

Leon Morris sejalan dengan Beasley-Murray.

Wahyu 1:14: “Kepala dan rambut-Nya putih bagaikan bulu yang putih metah, dan mataNya bagaikan nyala api”.

1) Rambut putih menunjukkan usia lanjut / kekekalan (bdk. Daniel 7:9), dan kekekalan menunjukkan keilahian.

Homer Hailey lebih memilih untuk menafsirkan bahwa kepala dan rambut putih menunjukkan kemurnian dan kekudusan, tetapi ia mengatakan bahwa kekekalan bisa diambil sebagai arti sekunder (hal 110).

Leon Morris menambahkan satu arti lagi untuk rambut putih, yaitu ‘kebijaksanaan’, dan Steve Gregg menambahkan arti ‘honor’ (= kehormatan).

2) Mata yang seperti nyala api (bdk. Daniel 10:6) menunjukkan kemahatahuan dan juga kemarahan yang suci (holy anger) terhadap dosa.

Pulpit Commentary: “His eyes were as a flame of fire, piercing men through and through, burning up all hypocritical pretence” (= Mata-Nya bagaikan nyala api, menembus manusia, membakar semua kepura-puraan yang bersifat munafik) - hal 16.

Wahyu 1:15: “Dan kaki-Nya mengkilap bagaikan tembaga membara di dalam perapian; suara-Nya bagaikan desau air bah”.

1) ‘Dan kaki-Nya mengkilap bagaikan tembaga membara di dalam perapian’ (bdk. Daniel 10:6 Yehezkiel 1:7).

a) Logam apa yang dimaksud di sini?

Kitab Suci Indonesia menterjemahkan ‘tembaga’ (= copper).

KJV: ‘brass’ (= kuningan).

RSV/NIV/NASB: ‘bronze’ (= perunggu).

Kata Yunani yang diterjemahkan ‘tembaga membara’ adalah CHALKOLIBANOS.

William Barclay: “No one really knows what the metal is. Perhaps it was that fabulous compound called ‘electrum’, which the ancients believed to be an alloy of gold and silver and more precious than either” (= Tidak seorangpun yang betul-betul tahu ini logam apa. Mungkin itu adalah campuran yang menakjubkan yang disebut ‘electrum’, yang dipercaya oleh orang-orang kuno sebagai campuran dari emas dan perak, dan lebih berharga dari keduanya) - hal 49.

Beasley-Murray: “John’s word for bronze denotes a very precious metal, compounded of gold and silver, beloved of the ancients for its flashing qualities” (= Kata yang dipakai oleh Yohanes untuk perunggu menunjukkan logam yang sangat berharga, campuran emas dan perak, disenangi oleh orang-orang kuno karena berkilau) - hal 67.

b) Macam-macam penafsiran tentang bagian ini.

· William Barclay: “The brass stands for strength, for the steadfastness of God; and the shining rays stand for speed, for the swiftness of the feet of God to help his own or to punish sin” (= kuningan melambangkan kekuatan dan keteguhan / ketidak-berubahan / kesetiaan Allah; dan sinar yang berkilauan melambangkan kecepatan, kecepatan kaki Allah untuk menolong milikNya atau menghukum dosa) - hal 50.

· Pulpit Commentary: ini menunjukkan ‘firmness, might and splendour’ (= keteguhan / ketegasan, kekuatan, dan kemegahan).

· Adam Clarke mengatakan bahwa kaki yang seperti tembaga membara ini merupakan simbol dari ‘stability and permanence’ (= kestabilan dan keabadian), karena tembaga dianggap sebagai logam yang paling tahan lama.

· Kaki yang seperti tembaga membara ini menunjukkan Providence (= pelaksanaan Rencana Allah) yang tidak bisa ditahan.

· Kaki ini menginjak-injak kuasa kegelapan, semua musuh-musuh-Nya, sampai semua hancur terbakar. Bdk. Mal 4:3 yang menunjukkan janji Tuhan bagi orang percaya bahwa nanti kita akan menginjak-injak orang jahat.

· Kaki yang seperti tembaga membara ini menunjukkan api yang menghanguskan dari penghakiman-Nya yang mendekat.

Saya condong pada 2 penafsiran yang terakhir (bdk. Wahyu 2:18).

2) ‘suara-Nya bagaikan desau air bah’ (bdk. 14:2 19:6).

NIV: ‘his voice was like the sound of rushing waters’ (= suaraNya adalah seperti bunyi air yang mengalir dengan deras).

KJV/Lit: ‘his voice as the sound of many waters’ (= suaraNya seperti bunyi banyak air).

Jadi, ini bisa menunjuk pada bunyi air bah, air terjun, atau ombak lautan. Ini juga merupakan penggambaran suara Allah oleh Yehezkiel dalam Yehezkiel 1:24 dan Yehezkiel 43:2.

Barnes’ Notes: “Nothing could be a more sublime description of majesty and authority than to compare the voice of a speaker with the roar of the ocean” (= Tidak ada apapun yang bisa memberikan penggambaran yang lebih indah / agung tentang keagungan dan otoritas dari pada membandingkan suara si pembicara dengan deru lautan) - hal 1549.

Renungkan: apakah Firman Tuhan memang mempunyai otoritas dalam hidup saudara? Kalau saudara mendengar teguran terhadap kehidupan saudara, baik itu datang dari mimbar maupun dari seseorang secara pribadi, apakah saudara mau tunduk, atau bahkan menjadi marah? Kalau saudara mendengar / membaca suatu ajaran yang mempunyai dasar Kitab Suci yang benar, tetapi bertentangan dengan kepercayaan saudara selama ini, apakah saudara tunduk dan mau mengubah pandangan saudara?

Wahyu 1:16: “Dan di tangan kanan-Nya Ia memegang tujuh bintang dan dari mulut-Nya keluar sebilah pedang tajam bermata dua, dan wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik”.

1) ‘di tangan kanan-Nya Ia memegang tujuh bintang’.

William R. Newell: “‘In his right hand’ - the place of power and authority, as well as possession” (= ‘di tangan kananNya’ - tempat kekuatan dan otoritas, juga kepemilikan) - hal 28.

2) ‘dari mulutNya keluar sebilah pedang tajam bermata dua’.

a) Dalam Kitab Suci, pedang adalah simbol dari otoritas dan kuasa untuk menghukum orang jahat (bdk. Roma 13:4). Tetapi pedang juga bisa menunjuk pada Firman Tuhan (bdk. Yesaya 49:2 Efesus 6:17 Ibrani 4:12), sehingga bagian ini menunjukkan Yesus sebagai nabi.

b) Hendriksen berkata bahwa bagian ini tidak boleh diartikan sebagai pengaruh yang manis dan lembut dari Injil dalam misinya untuk mempertobatkan orang, karena dalam Wahyu 2:16 dikatakan ‘Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini’. Jadi ini ditujukan kepada mereka yang menolak untuk bertobat.

3) ‘wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik’ (Bdk. Matius 17:2 Kisah Para Rasul 9:3-5).

Ini menunjukkan kemuliaan yang luar biasa. Tadinya Kristus rela merendahkan diri-Nya dengan berinkarnasi / menjadi manusia, sehingga tidak terlihat kemuliaan-Nya. Tetapi setelah Ia bangkit dari antara orang mati, dan lebih-lebih setelah Ia naik ke surga, maka Ia dimuliakan sehingga bersinar seperti matahari.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-AMIN-
Next Post Previous Post