Menyelami Kasih Sejati: Panduan dari Kitab Yohanes 13
Pendahuluan
Penutup
Dalam merangkum perjalanan kita hari ini, mari kita bersyukur atas petunjuk berharga yang kita temukan dalam teks Yohanes 13. Mengasihi sesama seiman bukan hanya perintah, melainkan panggilan untuk bertindak secara aktif, mengikuti jejak kasih-Nya. Dengan standar yang tinggi dan tujuan luar biasa, kita diajak untuk menciptakan kesaksian kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana kita bisa berfokus pada saudara seiman dan mengasihi mereka dengan benar? Teks Yohanes 13 kita hari ini akan mengajarkan tiga poin penting tentang mengasihi saudara seiman.
1. Mengasihi sebagai Suatu Perintah
1. Mengasihi sebagai Suatu Perintah
Poin ini mungkin terlihat klise pada pandangan pertama. Alkitab memang mengandung banyak perintah untuk mengasihi. Tetapi mengapa perlu menegaskannya di sini? Jawabannya simpel: karena kita sering kali tidak sepenuhnya memahami kebenaran sederhana ini.
Jika mengasihi dianggap sebagai perintah, berarti itu adalah suatu tindakan, bukan hanya perasaan. Tindakan yang disengaja, bukan yang muncul secara spontan. Manifestasi ketaatan, bukan sekadar kebiasaan. Singkatnya, kasih itu bersifat aktif, bukan pasif.
Contoh yang jelas untuk poin ini dapat ditemukan dalam karakteristik kasih sebagaimana tergambar dalam 1 Korintus 13:4-7. Dalam teks Yunani, semua karakteristik tersebut muncul dalam bentuk kata kerja aktif. Dengan demikian, kasih menjadi perasaan yang paling dalam yang diwujudkan ke dalam tindakan.
Jika mengasihi dianggap sebagai perintah, ini juga berarti bahwa mengasihi adalah kewajiban, bukan pilihan. Kewajiban di sini tentu saja tidak sama dengan keterpaksaan. Ada orang yang melaksanakan kewajibannya tanpa merasa terpaksa. Sebaliknya, ada yang terpaksa melakukan apa yang bukan menjadi kewajibannya. Kewajiban dan keterpaksaan tidak selalu harus dipertentangkan. Sebagai contoh, orang tua berkewajiban merawat dan menyekolahkan anak, tetapi mereka melakukannya bukan karena terpaksa. Di sisi lain, seorang sandera mungkin dipaksa untuk melakukan perbuatan yang bukan seharusnya menjadi kewajibannya.
Kewajiban muncul dari tugas dan peran yang diberikan. Seseorang yang memiliki tugas dan peran memiliki kemungkinan untuk tidak melaksanakannya, tetapi dia tidak memiliki pilihan. "Pilihan" untuk tidak memenuhi tugas adalah tindakan pembangkangan atau ketidaktaatan. Kewajiban tidak memberi ruang untuk pilihan.
2. Mengasihi dengan Standar
Jika mengasihi dianggap sebagai perintah, berarti itu adalah suatu tindakan, bukan hanya perasaan. Tindakan yang disengaja, bukan yang muncul secara spontan. Manifestasi ketaatan, bukan sekadar kebiasaan. Singkatnya, kasih itu bersifat aktif, bukan pasif.
Contoh yang jelas untuk poin ini dapat ditemukan dalam karakteristik kasih sebagaimana tergambar dalam 1 Korintus 13:4-7. Dalam teks Yunani, semua karakteristik tersebut muncul dalam bentuk kata kerja aktif. Dengan demikian, kasih menjadi perasaan yang paling dalam yang diwujudkan ke dalam tindakan.
Jika mengasihi dianggap sebagai perintah, ini juga berarti bahwa mengasihi adalah kewajiban, bukan pilihan. Kewajiban di sini tentu saja tidak sama dengan keterpaksaan. Ada orang yang melaksanakan kewajibannya tanpa merasa terpaksa. Sebaliknya, ada yang terpaksa melakukan apa yang bukan menjadi kewajibannya. Kewajiban dan keterpaksaan tidak selalu harus dipertentangkan. Sebagai contoh, orang tua berkewajiban merawat dan menyekolahkan anak, tetapi mereka melakukannya bukan karena terpaksa. Di sisi lain, seorang sandera mungkin dipaksa untuk melakukan perbuatan yang bukan seharusnya menjadi kewajibannya.
Kewajiban muncul dari tugas dan peran yang diberikan. Seseorang yang memiliki tugas dan peran memiliki kemungkinan untuk tidak melaksanakannya, tetapi dia tidak memiliki pilihan. "Pilihan" untuk tidak memenuhi tugas adalah tindakan pembangkangan atau ketidaktaatan. Kewajiban tidak memberi ruang untuk pilihan.
2. Mengasihi dengan Standar
Kita hidup di tengah krisis kasih. Bukan hanya kurangnya kasih yang memadai di dunia, tetapi juga kebingungan mengenai konsep kasih itu sendiri. Kebingungan ini tercermin dalam berbagai slogan populer: tidak setuju bukan berarti tidak mengasihi, menyatakan kebenaran dianggap sombong, menilai tindakan disamakan dengan menghakimi, dan sebagainya.
Tuhan Yesus tidak hanya memberikan perintah untuk mengasihi, tetapi juga menjelaskan bagaimana kita seharusnya mengasihi. Ada standar yang diberikan. Kita diminta mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (Yohanes 13:34b "sama seperti Aku telah mengasihi kamu").
Standar semacam ini membuat perintah tersebut dianggap sebagai yang baru (Yohanes 13:34a "Aku memberikan perintah baru kepadamu"). Perintah untuk mengasihi sesama umat perjanjian sebenarnya sudah ada sejak lama (Imamat 19:18 "orang-orang sebangsamu...sesamamu manusia"). Hanya saja, standar yang ditetapkan pada waktu itu tidak seberapa tinggi. Pada masa itu, Allah belum menjelma menjadi manusia sebagai puncak wujud kasih-Nya. Kini, standar kasih yang baru telah ditetapkan.
Bagaimana wujud konkret dari standar ini? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan konteks Yohanes 13 secara teliti.
Mengasihi seperti Yesus berarti mencintai saudara seiman hingga akhirnya. Keseluruhan cerita dan percakapan di Yohanes 13 dimulai dengan kalimat "Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya" ( Yohanes 131b). Yang ditekankan di sini adalah konsistensi, tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Yesus tahu bahwa Yudas akan mengkhianati-Nya (Yohanes 13:2). Dia tahu Petrus akan menyangkal-Nya (Yohanes13:36-38). Semua ini tidak pernah mengubah kasih-Nya kepada murid-murid-Nya.
Mengasihi seperti Yesus berarti merendahkan diri untuk melayani saudara seiman. Bukan kebetulan kalau konsistensi kasih Yesus dikaitkan dengan tindakan mencuci kaki (Yohanes 13:4-5). Yesus bahkan menetapkan tindakan itu sebagai teladan yang harus diikuti (Yohanes 13:12-15). Tanda nyata kasih adalah melepaskan semua kelebihan dan kebanggaan demi melayani orang-orang yang pasti (kelak) akan mengecewakan. Kita melepaskan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Mengasihi dengan kesadaran akan kemungkinan disakiti.
Mengasihi seperti Yesus berarti berani mengurbankan segalanya demi sesama. Teks kita hari ini diikuti oleh nubuat Yesus tentang kegagalan Petrus dalam memberikan nyawanya bagi-Nya (Yohanes 13:36-38). Petrus dengan tepat memahami harga yang harus dibayar untuk mengasihi seperti Yesus mengasihi murid-murid-Nya. Harganya mungkin adalah nyawa. Hanya saja, Petrus masih belum mampu melakukannya. Dalam teks lain, Yesus mengulang perintah untuk saling mengasihi seperti Dia mengasihi murid-murid-Nya (Yohanes 15:12), lalu memberikan keterangan tambahan langsung: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yohanes 15:13). Ayat sejajar ini semakin menegaskan arti mengasihi seperti Yesus telah mengasihi.
3. Mengasihi dengan Tujuan
Tuhan Yesus tidak hanya memberikan perintah untuk mengasihi, tetapi juga menjelaskan bagaimana kita seharusnya mengasihi. Ada standar yang diberikan. Kita diminta mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (Yohanes 13:34b "sama seperti Aku telah mengasihi kamu").
Standar semacam ini membuat perintah tersebut dianggap sebagai yang baru (Yohanes 13:34a "Aku memberikan perintah baru kepadamu"). Perintah untuk mengasihi sesama umat perjanjian sebenarnya sudah ada sejak lama (Imamat 19:18 "orang-orang sebangsamu...sesamamu manusia"). Hanya saja, standar yang ditetapkan pada waktu itu tidak seberapa tinggi. Pada masa itu, Allah belum menjelma menjadi manusia sebagai puncak wujud kasih-Nya. Kini, standar kasih yang baru telah ditetapkan.
Bagaimana wujud konkret dari standar ini? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan konteks Yohanes 13 secara teliti.
Mengasihi seperti Yesus berarti mencintai saudara seiman hingga akhirnya. Keseluruhan cerita dan percakapan di Yohanes 13 dimulai dengan kalimat "Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya" ( Yohanes 131b). Yang ditekankan di sini adalah konsistensi, tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Yesus tahu bahwa Yudas akan mengkhianati-Nya (Yohanes 13:2). Dia tahu Petrus akan menyangkal-Nya (Yohanes13:36-38). Semua ini tidak pernah mengubah kasih-Nya kepada murid-murid-Nya.
Mengasihi seperti Yesus berarti merendahkan diri untuk melayani saudara seiman. Bukan kebetulan kalau konsistensi kasih Yesus dikaitkan dengan tindakan mencuci kaki (Yohanes 13:4-5). Yesus bahkan menetapkan tindakan itu sebagai teladan yang harus diikuti (Yohanes 13:12-15). Tanda nyata kasih adalah melepaskan semua kelebihan dan kebanggaan demi melayani orang-orang yang pasti (kelak) akan mengecewakan. Kita melepaskan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Mengasihi dengan kesadaran akan kemungkinan disakiti.
Mengasihi seperti Yesus berarti berani mengurbankan segalanya demi sesama. Teks kita hari ini diikuti oleh nubuat Yesus tentang kegagalan Petrus dalam memberikan nyawanya bagi-Nya (Yohanes 13:36-38). Petrus dengan tepat memahami harga yang harus dibayar untuk mengasihi seperti Yesus mengasihi murid-murid-Nya. Harganya mungkin adalah nyawa. Hanya saja, Petrus masih belum mampu melakukannya. Dalam teks lain, Yesus mengulang perintah untuk saling mengasihi seperti Dia mengasihi murid-murid-Nya (Yohanes 15:12), lalu memberikan keterangan tambahan langsung: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yohanes 15:13). Ayat sejajar ini semakin menegaskan arti mengasihi seperti Yesus telah mengasihi.
3. Mengasihi dengan Tujuan
Perintah untuk saling mengasihi saudara seiman mungkin terlihat terlalu internal pada pandangan pertama. Kesan yang mungkin terbentuk bisa jadi eksklusif. Seolah-olah kurang peduli pada mereka di luar lingkaran itu.
Kesan ini akan hilang ketika kita memperhatikan tujuan di balik perintah ini: "Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jika kamu saling mengasihi" ( Yohanes 13:35). Ternyata, perintah ini memiliki tujuan yang melibatkan orang lain. Apa yang terjadi di antara para murid mengirim pesan kepada orang-orang di luar sana. Atau dengan kata lain, dari persaudaraan itu, kesaksian mengalir keluar.
Pentingnya menjadi murid-murid Yesus Kristus ditekankan di sini. Sebelum memberikan perintah ini, Yesus sudah menyampaikan tentang kematian-Nya (Yohanes 13:31-33). Bahkan Dia menegaskan bahwa tempat Dia pergi - yakni kayu salib dan surga - murid-murid-Nya tidak dapat mengikutinya saat itu (Yohanes13:33). Jika Guru mereka pergi sendirian, bagaimana orang lain akan mengenali mereka sebagai murid-murid-Nya? Bukankah selama ini orang mengenali mereka sebagai murid-murid karena kehadiran fisik bersama Tuhan Yesus? Ternyata, Sang Guru telah menetapkan tanda lain: saling mengasihi seperti mereka telah dikasihi oleh Guru mereka. Dengan kata lain, walaupun tubuh fisik Tuhan mungkin tidak selalu dapat terlihat, kasih-Nya tetap dapat terlihat dan dirasakan melalui persaudaraan murid-murid Tuhan.
Poin ini ter gambarkan dengan jelas dalam pernyataan Tertulianus, bapa gereja pada akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 Masehi. Seorang pembela gigih dan cendekia dalam kekristenan, Tertulianus, dalam salah satu tulisannya (Apology 39), mengisahkan bagaimana kasih yang menyatukan orang-orang Kristen telah menjadi daya tarik luar biasa di mata dunia:
Perbuatan-perbuatan kasih yang agung adalah yang terutama membuat banyak orang mengenali ciri khas kita: "Lihat," kata mereka, "bagaimana mereka mengasihi satu sama lain... bagaimana mereka bahkan bersedia mati demi sesama!" Tidak ada pertentangan menyedihkan yang mengganggu persaudaraan kita, [dan] kepemilikan keluarga, yang sering merusak persaudaraan di antara kalian, justru menciptakan ikatan kekeluargaan di antara kita. Bersama-sama dalam pikiran dan jiwa, kita tidak ragu untuk berbagi harta duniawi satu sama lain. Semua menjadi milik bersama, kecuali pasangan hidup kita.
Baca Juga: Pengertian Kasih Dalam Alkitab
Kesan ini akan hilang ketika kita memperhatikan tujuan di balik perintah ini: "Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jika kamu saling mengasihi" ( Yohanes 13:35). Ternyata, perintah ini memiliki tujuan yang melibatkan orang lain. Apa yang terjadi di antara para murid mengirim pesan kepada orang-orang di luar sana. Atau dengan kata lain, dari persaudaraan itu, kesaksian mengalir keluar.
Pentingnya menjadi murid-murid Yesus Kristus ditekankan di sini. Sebelum memberikan perintah ini, Yesus sudah menyampaikan tentang kematian-Nya (Yohanes 13:31-33). Bahkan Dia menegaskan bahwa tempat Dia pergi - yakni kayu salib dan surga - murid-murid-Nya tidak dapat mengikutinya saat itu (Yohanes13:33). Jika Guru mereka pergi sendirian, bagaimana orang lain akan mengenali mereka sebagai murid-murid-Nya? Bukankah selama ini orang mengenali mereka sebagai murid-murid karena kehadiran fisik bersama Tuhan Yesus? Ternyata, Sang Guru telah menetapkan tanda lain: saling mengasihi seperti mereka telah dikasihi oleh Guru mereka. Dengan kata lain, walaupun tubuh fisik Tuhan mungkin tidak selalu dapat terlihat, kasih-Nya tetap dapat terlihat dan dirasakan melalui persaudaraan murid-murid Tuhan.
Poin ini ter gambarkan dengan jelas dalam pernyataan Tertulianus, bapa gereja pada akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 Masehi. Seorang pembela gigih dan cendekia dalam kekristenan, Tertulianus, dalam salah satu tulisannya (Apology 39), mengisahkan bagaimana kasih yang menyatukan orang-orang Kristen telah menjadi daya tarik luar biasa di mata dunia:
Perbuatan-perbuatan kasih yang agung adalah yang terutama membuat banyak orang mengenali ciri khas kita: "Lihat," kata mereka, "bagaimana mereka mengasihi satu sama lain... bagaimana mereka bahkan bersedia mati demi sesama!" Tidak ada pertentangan menyedihkan yang mengganggu persaudaraan kita, [dan] kepemilikan keluarga, yang sering merusak persaudaraan di antara kalian, justru menciptakan ikatan kekeluargaan di antara kita. Bersama-sama dalam pikiran dan jiwa, kita tidak ragu untuk berbagi harta duniawi satu sama lain. Semua menjadi milik bersama, kecuali pasangan hidup kita.
Baca Juga: Pengertian Kasih Dalam Alkitab
Persaudaraan semacam ini tidak mungkin ada tanpa Kristus yang memulainya. Dialah yang menunjukkan kasih terbesar. Kasih itulah yang dicurahkan dalam hati kita dan memungkinkan kita untuk membagikannya kepada sesama. Sudahkah kita dicurahi kasih-Nya? Apakah kita siap membagikan kasih-Nya kepada sesama?
Dalam merangkum perjalanan kita hari ini, mari kita bersyukur atas petunjuk berharga yang kita temukan dalam teks Yohanes 13. Mengasihi sesama seiman bukan hanya perintah, melainkan panggilan untuk bertindak secara aktif, mengikuti jejak kasih-Nya. Dengan standar yang tinggi dan tujuan luar biasa, kita diajak untuk menciptakan kesaksian kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga perjalanan kita bersama tiga poin mengasihi ini membawa keberkahan dalam kehidupan kita dan memberikan inspirasi untuk terus menjalankan perintah-Nya dengan penuh kasih. Terima kasih telah menyertai perjalanan ini, dan semoga kasih-Nya senantiasa mengisi hati kita dan memancar ke sekitar kita. Selamat berjalan dalam kasih yang sejati!