PENGKHOTBAH 2:12-16 - KEUNGGULAN HIKMAT DIBANDING KEBODOHAN
Matthew Henry ( 1662 – 1714).
PENGKHOTBAH 2:12-16 - KEUNGGULAN HIKMAT DIBANDING KEBODOHAN.
PENGKHOTBAH 2:12-16 - KEUNGGULAN HIKMAT DIBANDING KEBODOHAN.
Setelah pertama mencoba menemukan kepuasan melalui ilmu pengetahuan, kemudian di dalam kenikmatan indra, dan kemudian menggabungkan keduanya juga, di sini Salomo membandingkan satu sama lain dan membuat penilaian tentang masing-masing.
[I]. Ia merenungkan baik hikmat maupun kebodohan. Sebelum ini ia telah mempertimbangkan kedua hal tersebut (Pengkhotbah 1:17).
Namun, supaya tidak disangka terlampau cepat membuat penilaian, di sini ia kembali mengamati untuk melihat kalau-kalau setelah ditinjau ulang, setelah mendapat pandangan dan pikiran kedua kalinya, ia dapat memperoleh kepuasan lebih besar dibanding yang pertama dalam penyelidikannya. Ia merasa muak dengan kesenangan-kesenangannya, dan oleh sebab itu ia menjauhi semua itu agar bisa mempertimbangkannya kembali. Jika setelah merenungkan kembali perkara itu keputusannya masih tetap sama, maka penilaiannya itu pastilah meyakinkan.
Sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Terutama sang raja ini yang memiliki begitu banyak dari dunia ini hingga memiliki banyak pengalaman dan hikmat untuk membuat penilaian. Pengalaman yang membingungkan tidak perlu diulang. Tidak seorang pun bisa mengharapkan kepuasan duniawi lebih besar daripada Salomo, atau memperoleh wawasan lebih mendalam terhadap asas moral. Ketika seseorang telah melakukan sesuatu yang mampu dikerjakannya, maka hal itu tetap saja apa yang telah dilakukan orang.
Marilah kita belajar :
Marilah kita belajar :
(1). Untuk tidak memperturutkan hati dengan sikap congkak bahwa kita pasti mampu memperbaiki apa yang telah dilakukan dengan baik sebelum kita. Marilah kita dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. Pikirkanlah betapa tidak pantas kita mencoba memperbaiki perbuatan orang-orang yang lebih baik daripada kita. Lebih baik kita akui betapa kita berutang budi kepada mereka (Yohanes 4:37-38).
(2). Menyetujui penilaian Salomo tentang hal-hal duniawi, dan tidak berencana mengulangi pengalamannya. Kita tidak pernah boleh berpikir memiliki kesempatan menguntungkan seperti dia yang mempunyai pengalaman itu, atau mampu menjalaninya dengan hikmat setara dia tanpa mendatangkan bahaya kepada diri sendiri.
[II]. Salomo jauh lebih memilih hikmat daripada kebodohan. Jangan keliru beranggapan seolah-olah ia, saat berbicara tentang kesia-siaan pengetahuan manusia, sekadar bertujuan menyenangkan orang dengan hal yang tampak seakan bertentangan. Atau seolah-olah ia hendak menulis (seperti yang pernah dilakukan seorang cendekiawan ternama) ‘Encomium moriƦ’ – Tulisan berisi pujian bagi kebodohan.
Tidak, ia sedang menegakkan kebenaran suci.
Tidak, ia sedang menegakkan kebenaran suci.
Oleh karena itulah ia berhati-hati supaya tidak disalah mengerti. Katanya, aku segera melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, sama seperti terang melebihi kegelapan. Kegemaran terhadap hikmat, meskipun belum cukup untuk bisa membuat orang bahagia, masih lebih penting daripada kegemaran terhadap anggur. Hikmat menerangi jiwa dengan penyingkapan-penyingkapan mengejutkan dan berbagai petunjuk yang penting untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Sebaliknya, kenikmatan indra (tampaknya hal inilah yang terutama dimaksudkan dengan kebodohan di sini) mengeruhkan dan memudarkan pikiran seperti yang diakibatkan oleh kegelapan. Kenikmatan indra menggelapkan mata manusia, membuatnya tersandung dan tersesat. Atau, meskipun hikmat dan pengetahuan tidak akan membuat bahagia seseorang (Rasul Paulus menunjukkan jalan yang lebih utama lagi daripada karunia-karunia, yaitu anugerah), jauh lebih baik memilikinya daripada tidak, berkenaan dengan keamanan, kenyamanan, dan manfaat bagi kita sekarang ini. Mata orang berhikmat ada di kepalanya (Pengkhotbah 2:14), yaitu tempat seharusnya mata berada, siap melihat bahaya yang harus dihindari dan keuntungan yang nanti bisa dimanfaatkan.
Orang bijaksana menggunakan akalnya ketika ia perlukan, melihat-lihat sekelilingnya dan cepat tanggap. Ia tahu ke mana ia harus melangkah dan di mana ia harus berhenti. Sebaliknya, orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan. Ia langsung merasa tidak mengerti, bertindak gegabah, dan kebingungan, sehingga tidak tahu harus ke mana. Ia juga bisa merasa terlampau malu hingga tidak bisa melangkah maju. Orang yang bijaksana dan penuh pertimbangan mampu mengendalikan kegiatannya dan bertindak pantas serta aman, seperti orang yang berjalan di siang hari.
Sebaliknya, orang yang gegabah, tidak berpengetahuan, dan suka bermabuk-mabukan, akan selalu membuat kesalahan besar, dan terperosok ke dalam ngarai demi ngarai. Semua rencana dan kesepakatannya sungguh bodoh, serta menghancurkan semua urusannya. Oleh sebab itu per olehlah hikmat, per olehlah pengertian.
[III]. Namun demikian, ia menegaskan bahwa berkenaan dengan kebahagiaan serta kepuasan kekal, hikmat dunia ini hanya memberikan sedikit keuntungan kepada manusia, sebab:
(1). Nasib orang bijaksana dan orang bodoh serupa. "Memang benar bahwa orang bijak jauh melebihi orang bodoh dalam hal yang berkenaan dengan melihat ke depan dan berpandangan dalam, namun sangat mungkin mereka sering kali tidak berhasil. Melalui pengalaman pribadi, aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua (Pengkhotbah 2:14).
Orang-orang yang sangat memperhatikan kesehatan mereka, juga jatuh sakit seperti halnya orang-orang yang mengabaikannya, sedangkan orang-orang yang paling menaruh syak justru diperdaya." Daud mengamati bahwa orang-orang yang mempunyai hikmat mati dan tertimpa bencana seperti halnya orang-orang bodoh dan dungu (Mazmur 49:11; Pengkhotbah 9:11).
Bahkan lebih dari itu, sejak dahulu telah diamati bahwa kekayaan menopang orang bodoh, dan orang dungu sering kali justru paling berhasil, sementara para pembuat rencana meramalkan malapetaka bagi diri mereka sendiri. Penyakit dan pedang yang sama menghabisi orang bijak maupun orang bodoh.
Salomo menerapkan pengamatan memalukan ini pada diri sendiri (Pengkhotbah 2:15), bahwa meskipun ia orang bijaksana, ia tidak boleh bermegah karena kebijaksanaannya. Maka aku berkata dalam hati saat aku mulai merasa bangga dan aman: Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku.
Salomo menerapkan pengamatan memalukan ini pada diri sendiri (Pengkhotbah 2:15), bahwa meskipun ia orang bijaksana, ia tidak boleh bermegah karena kebijaksanaannya. Maka aku berkata dalam hati saat aku mulai merasa bangga dan aman: Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku.
Sebab demikianlah yang dikatakan dalam naskah asli: "Mengenai aku, hal itu terjadi padaku. Apakah aku kaya? Banyak orang yang seperti halnya Nabal, hidup mewah seperti aku. Apakah orang bodoh jatuh sakit dan terjatuh? Demikian juga aku, bahkan aku sendiri. Baik kekayaan maupun hikmatku tidak akan membuatku aman. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat? Mengapa aku harus bersusah payah meraih hikmat, padahal dalam hidup ini hikmat itu mendatangkan faedah yang begitu kecil saja bagiku? Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun sia-sia."
Beberapa orang menjadikan pernyataan ini sebagai pembetulan terhadap apa yang dikatakan sebelum ini seperti misalnya 11, " Maka kataku: 'Inilah yang menikam hatiku.' Aku begitu bodoh karena berpikir bahwa orang berhikmat dan bodoh sederajat." Namun, sebenarnya mereka memang tampak demikian, berkenaan dengan nasib sama yang menimpa mereka, dan oleh sebab itu pernyataannya tadi lebih merupakan penegasan atas apa yang telah dikatakannya sebelumnya, bahwa orang bisa saja menjadi ahli pikir yang hebat dan seorang politikus besar, namun tidak bahagia.
(2). Orang berhikmat dan orang bodoh sama-sama terlupakan (Pengkhotbah 2:16): tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh. Telah dijanjikan kepada orang benar bahwa mereka akan diingat selama-lamanya.
Kenangannya akan diberkati. Tidak lama lagi mereka akan bercahaya seperti bintang. Akan tetapi, tidak ada janji semacam itu mengenai orang berhikmat di dunia ini, yang akan mengabadikan nama mereka. Sebab, hanya nama-nama yang ada terdaftar di sorga sajalah yang diabadikan, sedangkan nama orang-orang bijak dunia ini tercatat bersama nama orang-orang bodoh dalam debu, sebab pada hari-hari yang akan datang ke semuanya sudah lama dilupakan. Apa yang sering dibicarakan dalam satu angkatan, akan dilupakan dalam angkatan berikutnya, seolah-olah tidak pernah ada.
Orang-orang baru dan hal-hal baru akan menggantikan kenangan yang lama, yang dalam waktu singkat akan dipandang rendah dan akhirnya terkubur dalam kelupaan. Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah pembantah dari dunia ini? (1 Korintus 1:20). Untuk alasan inilah Salomo bertanya, bagaimanakah orang yang berhikmat mati? Sama seperti orang yang bodoh. Ada perbedaan besar di antara kematian orang saleh dan orang fasik, namun tidak demikian halnya di antara kematian orang berhikmat dan orang bodoh. Orang bodoh dikuburkan lalu dilupakan (8:10). Tak ada orang yang mengingat orang yang miskin yang dengan hikmatnya menyelamatkan kota itu (9:15).
Jadi bagi keduanya, kuburan bagaikan negeri segala lupa. Ketika tidak terlihat lagi selama beberapa waktu, orang berhikmat dan terpelajar akan dilupakan orang. Angkatan baru yang timbul tidak mengenalnya.