Kasih dan Pelayanan: Kisah Pembasuhan Kaki (Yohanes 13:1-17)
Pendahuluan:
Dalam Injil Yohanes 13:1-17, kita disuguhkan dengan kisah yang menggugah hati tentang kasih, pengorbanan, dan teladan pelayanan yang dipersembahkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Kisah pembasuhan kaki ini tidak hanya menjadi bukti cinta-Nya yang mendalam, tetapi juga mengandung pesan-pesan mendalam tentang rendah hati dan pelayanan yang menjadi teladan bagi setiap pengikut Kristus. Mari kita telusuri lebih dalam tentang makna dan pesan yang terkandung dalam kisah yang menginspirasi ini.
Latar Belakang (Yohanes 13:1-3)
Kisah Pembasuhan Kaki diawali dengan pernyataan bahwa Yesus tahu jika hidupnya di dunia ini tidak lama lagi dan bahwa “ saat-Nya” telah tiba yang dalam bahasa Yunaninya ώρα dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai the hour, moment, time, atau short indefinite period of time (Yohanes 13:1).
Menurut Beasley-Murray, kalimat “ saatNya telah tiba ini” mempunyai arti di mana Allah akan memuliakan Yesus dan Yesus memuliakan Allah melalui kematian-Nya bagi keselamatan dunia (Yohanes 12:24-26), saat di mana dunia akan dihakimi dan iblis akan dikalahkan dan Yesus dimuliakan atau ditinggikan untuk melaksanakan kedaulatan Ilahi; saat di mana dia akan meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa.
Dalam konteks seperti itulah Yesus disebutkan yang secara literal berarti mengasihi milik-Nya sendiri (His own). Dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut diterjemahkan “ mengasihi murid-murid-Nya”, dan hal ini menegaskan bahwa Yesus mengasihi mereka lebih dari sekedar murid-murid-Nya, tetapi lebih tegas lagi mengasihi murid-murid yang menjadi miliki-Nya sendiri.
Bahkan Yesus disebutkan mengasihi yang dalam bahasa Indonesia “ sampai kepada kesudahannya.” Menurut Brown, kata mengasihi mempunyai dua arti:
pertama, mengasihi secara keseluruhan (completely) dan
kedua, sampai akhir hidup atau sampai mati.
Bruce menerjemahkan kata akhir hidup sebagai “uttermost,” sebuah kata yang di dalamnya terkandung kata “to the end” (sampai akhirnya) dan “absolutely” (secara mutlak atau penuh). Jadi pernyataan akhir hidup hendak menegaskan Yesus sungguh-sungguh mengasihi murid-murid-Nya dengan kasih yang penuh dan mengasihi sampai pada akhirnya, yang secara khusus dapat dipahami sampai akhir pelayanan-Nya di dunia ini atau sampai tugasnya berakhir yang mencapai puncaknya pada kematian-Nya di atas kayu salib.
Kontras dengan kasih Yesus yang sungguh dan sangat dalam kepada murid-murid-Nya, dalam Yohanes 13:2 disebutkan bahwa saat mereka sedang makan bersama, Iblis telah membisikkan ke dalam hati Yudas untuk mengkhianati Yesus. Kata yang dipakai di sini adalah hati yang memiliki beberapa arti: heart, inner self, mind, will, desire, dan intention. Jadi hati di sini mencakup “ pikiran dan kehendak” Yudas yang hendak mengkhianati Yesus.
Dalam Injil Yohanes 13:1-17, kita disuguhkan dengan kisah yang menggugah hati tentang kasih, pengorbanan, dan teladan pelayanan yang dipersembahkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Kisah pembasuhan kaki ini tidak hanya menjadi bukti cinta-Nya yang mendalam, tetapi juga mengandung pesan-pesan mendalam tentang rendah hati dan pelayanan yang menjadi teladan bagi setiap pengikut Kristus. Mari kita telusuri lebih dalam tentang makna dan pesan yang terkandung dalam kisah yang menginspirasi ini.
Latar Belakang (Yohanes 13:1-3)
Kisah Pembasuhan Kaki diawali dengan pernyataan bahwa Yesus tahu jika hidupnya di dunia ini tidak lama lagi dan bahwa “ saat-Nya” telah tiba yang dalam bahasa Yunaninya ώρα dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai the hour, moment, time, atau short indefinite period of time (Yohanes 13:1).
Menurut Beasley-Murray, kalimat “ saatNya telah tiba ini” mempunyai arti di mana Allah akan memuliakan Yesus dan Yesus memuliakan Allah melalui kematian-Nya bagi keselamatan dunia (Yohanes 12:24-26), saat di mana dunia akan dihakimi dan iblis akan dikalahkan dan Yesus dimuliakan atau ditinggikan untuk melaksanakan kedaulatan Ilahi; saat di mana dia akan meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa.
Dalam konteks seperti itulah Yesus disebutkan yang secara literal berarti mengasihi milik-Nya sendiri (His own). Dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut diterjemahkan “ mengasihi murid-murid-Nya”, dan hal ini menegaskan bahwa Yesus mengasihi mereka lebih dari sekedar murid-murid-Nya, tetapi lebih tegas lagi mengasihi murid-murid yang menjadi miliki-Nya sendiri.
Bahkan Yesus disebutkan mengasihi yang dalam bahasa Indonesia “ sampai kepada kesudahannya.” Menurut Brown, kata mengasihi mempunyai dua arti:
pertama, mengasihi secara keseluruhan (completely) dan
kedua, sampai akhir hidup atau sampai mati.
Bruce menerjemahkan kata akhir hidup sebagai “uttermost,” sebuah kata yang di dalamnya terkandung kata “to the end” (sampai akhirnya) dan “absolutely” (secara mutlak atau penuh). Jadi pernyataan akhir hidup hendak menegaskan Yesus sungguh-sungguh mengasihi murid-murid-Nya dengan kasih yang penuh dan mengasihi sampai pada akhirnya, yang secara khusus dapat dipahami sampai akhir pelayanan-Nya di dunia ini atau sampai tugasnya berakhir yang mencapai puncaknya pada kematian-Nya di atas kayu salib.
Kontras dengan kasih Yesus yang sungguh dan sangat dalam kepada murid-murid-Nya, dalam Yohanes 13:2 disebutkan bahwa saat mereka sedang makan bersama, Iblis telah membisikkan ke dalam hati Yudas untuk mengkhianati Yesus. Kata yang dipakai di sini adalah hati yang memiliki beberapa arti: heart, inner self, mind, will, desire, dan intention. Jadi hati di sini mencakup “ pikiran dan kehendak” Yudas yang hendak mengkhianati Yesus.
Hal ini tentunya sangat ironis, karena Yesus yang mengasihi murid-murid-Nya dengan kasih yang penuh dan mutlak tersebut justru dikhianati dan diserahkan ke tangan musuh oleh murid-Nya sendiri. Bahkan murid yang mengkhianati tersebut adalah salah satu murid yang juga dibasuh kakinya oleh Yesus.
Dalam Yohanes 13:3 disebutkan Yesus tahu dan sadar bahwa telah tiba saatnya untuk kembali kepada Bapa dan hal ini ditegaskan dengan pernyataan bahwa Ia sadar kalau Dia datang dari Allah. Dia bahkan diutus dan diberi otoritas oleh Allah untuk menggenapkan kehendak Allah yang berdaulat dalam menyelamatkan manusia yang berdosa.
Dalam Yohanes 13:3 disebutkan Yesus tahu dan sadar bahwa telah tiba saatnya untuk kembali kepada Bapa dan hal ini ditegaskan dengan pernyataan bahwa Ia sadar kalau Dia datang dari Allah. Dia bahkan diutus dan diberi otoritas oleh Allah untuk menggenapkan kehendak Allah yang berdaulat dalam menyelamatkan manusia yang berdosa.
Pernyataan ini juga menjadi pendahuluan penting bagi pembasuhan kaki, di mana Yesus yang sadar akan Keilahian-Nya dan bahwa Dia adalah “ Guru dan Tuhan” (Yohanes 13:13) rela melakukan pekerjaan yang rendah, sehingga kita yang adalah “ murid-murid-Nya” dipanggil dan tidak ada alasan untuk tidak meneladani-Nya.
2. Yesus membasuh kaki murid-murid (Yohanes 13:4-5)
Dalam Yohanes 13:2 disebutkan Yesus sedang makan bersamasama murid-murid-Nya dan dalam Yohanes 13:4 disebutkan: “ Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya.”
Yohanes 13: 4 seharusnya berbunyi “ Lalu bangunlah Yesus dari perjamuan tersebut.” Hal ini perlu digarisbawahi, mengingat bahwa pembasuhan kaki biasanya dilakukan sebelum orang memasuki ruang perjamuan, sedangkan Yesus melakukannya di dalam ruang perjamuan atau pada saat perjamuan. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus dengan sengaja melakukan hal ini dan hendak memakai budaya pembasuhan kaki tersebut sebagai media pengajaran bagi para murid-murid-Nya. Morris bahkan mengatakan bahwa pembasuhan kaki ini adalah perumpamaan melalui tindakan yang hendak meletakkan prinsip-prinsip agung berkenaan dengan pelayanan yang merendahkan diri yang mencapai puncaknya di kayu salib.
Dalam Yohanes 13:4b disebutkan bahwa Yesus menanggalkan jubahnya yang secara literal berarti pakaian secara umum, jubah atau jubah bagian luar. Kata ini berbentuk jamak dan hal ini hendak menunjukkan bahwa Yesus menanggalkan semua jubah luarnya dan mengikatkan yang kain lenan atau handuk di pinggangnya. Tindakan Yesus ini menunjukkan cara berpakaian seorang budak yang dipandang sangat rendah baik di kalangan orang Yahudi maupun orang kafir pada masa itu. Setelah membasuh kaki murid-murid dengan kedua tangan-Nya, Yesus kemudian mengeringkannya dengan kain atau handuk yang diikatkan di pinggangnya tersebut.
Pembasuhan kaki pada jaman itu memang diperlukan mengingat kondisi jalan yang berdebu dan umumnya orang-orang menggunakan sandal atau kasut yang terbuka yang diikatkan pada kaki. Kondisi tersebut menyebabkan kaki mereka kotor dan tuan rumah yang menyelenggarakan perjamuan atau yang mengundang makan akan menyiapkan seorang budak untuk membasuh kaki para tamu sebelum mereka memasuki ruang pesta. Tetapi dalam perjamuan tersebut, tuan rumah yang diyakini adalah Yesus, tidak menyiapkan seorang budak untuk membasuh kaki murid-murid yang saat itu menjadi tamu yang diundang.
Dalam situasi seperti itu, sebenarnya salah seorang murid dapat berinisiatif melakukan pembasuhan tersebut, tetapi murid-murid merasa bahwa mereka tidak layak melakukan pekerjaan yang rendah tersebut. Apalagi sebelumnya murid-murid sempat bertengkar perihal siapa di antara mereka yang terbesar dalam Kerajaan Surga (Lukas 22:24). Jadi tampaknya murid-murid merasa tinggi untuk melakukan pekerjaan pembasuhan kaki yang rendah tersebut.
Memang perlu dipahami bahwa pekerjaan membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan yang rendah dan pekerjaan tersebut biasanya akan dilakukan oleh seorang budak. Carson bahkan menegaskan bahwa banyak orang Yahudi yang memandang bahwa budak Yahudi tidak boleh diminta untuk membasuh kaki orang lain, tetapi tugas ini harus diberikan pada budak kafir (Mekhilta § 1 on Exodus 21:2).
Memang pembasuhan kaki pada jaman itu umum dilakukan oleh orang yang memiliki status lebih rendah kepada mereka yang memiliki status lebih tinggi atau orang yang sangat mereka hormati seperti: istri kepada suaminya, anak-anak kepada orang tua mereka dan murid-murid kepada para Rabi atau guru mereka. Dalam kisah ini, hubungan tersebut justru terbalik, tindakan yang mengejutkan dilakukan Yesus sebagai guru dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Carson yang mengatakan bahwa tindakan Yesus dalam membasuh kaki murid-murid-Nya adalah tindakan simbolis untuk menggambarkan pembasuhan atau penyucian yang diperlukan untuk keselamatan (Yohanes 13: 6-9) dan model untuk sikap hidup murid Kristus (Yohanes 13:12- 17) yang rela untuk menjadi hamba yang bersedia melakukan pelayanan yang rendah.
Baca Juga: Yohanes 13:1-17 (Paskah Dan Pembasuhan Kaki)
2. Yesus membasuh kaki murid-murid (Yohanes 13:4-5)
Dalam Yohanes 13:2 disebutkan Yesus sedang makan bersamasama murid-murid-Nya dan dalam Yohanes 13:4 disebutkan: “ Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya.”
Yohanes 13: 4 seharusnya berbunyi “ Lalu bangunlah Yesus dari perjamuan tersebut.” Hal ini perlu digarisbawahi, mengingat bahwa pembasuhan kaki biasanya dilakukan sebelum orang memasuki ruang perjamuan, sedangkan Yesus melakukannya di dalam ruang perjamuan atau pada saat perjamuan. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus dengan sengaja melakukan hal ini dan hendak memakai budaya pembasuhan kaki tersebut sebagai media pengajaran bagi para murid-murid-Nya. Morris bahkan mengatakan bahwa pembasuhan kaki ini adalah perumpamaan melalui tindakan yang hendak meletakkan prinsip-prinsip agung berkenaan dengan pelayanan yang merendahkan diri yang mencapai puncaknya di kayu salib.
Dalam Yohanes 13:4b disebutkan bahwa Yesus menanggalkan jubahnya yang secara literal berarti pakaian secara umum, jubah atau jubah bagian luar. Kata ini berbentuk jamak dan hal ini hendak menunjukkan bahwa Yesus menanggalkan semua jubah luarnya dan mengikatkan yang kain lenan atau handuk di pinggangnya. Tindakan Yesus ini menunjukkan cara berpakaian seorang budak yang dipandang sangat rendah baik di kalangan orang Yahudi maupun orang kafir pada masa itu. Setelah membasuh kaki murid-murid dengan kedua tangan-Nya, Yesus kemudian mengeringkannya dengan kain atau handuk yang diikatkan di pinggangnya tersebut.
Pembasuhan kaki pada jaman itu memang diperlukan mengingat kondisi jalan yang berdebu dan umumnya orang-orang menggunakan sandal atau kasut yang terbuka yang diikatkan pada kaki. Kondisi tersebut menyebabkan kaki mereka kotor dan tuan rumah yang menyelenggarakan perjamuan atau yang mengundang makan akan menyiapkan seorang budak untuk membasuh kaki para tamu sebelum mereka memasuki ruang pesta. Tetapi dalam perjamuan tersebut, tuan rumah yang diyakini adalah Yesus, tidak menyiapkan seorang budak untuk membasuh kaki murid-murid yang saat itu menjadi tamu yang diundang.
Dalam situasi seperti itu, sebenarnya salah seorang murid dapat berinisiatif melakukan pembasuhan tersebut, tetapi murid-murid merasa bahwa mereka tidak layak melakukan pekerjaan yang rendah tersebut. Apalagi sebelumnya murid-murid sempat bertengkar perihal siapa di antara mereka yang terbesar dalam Kerajaan Surga (Lukas 22:24). Jadi tampaknya murid-murid merasa tinggi untuk melakukan pekerjaan pembasuhan kaki yang rendah tersebut.
Memang perlu dipahami bahwa pekerjaan membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan yang rendah dan pekerjaan tersebut biasanya akan dilakukan oleh seorang budak. Carson bahkan menegaskan bahwa banyak orang Yahudi yang memandang bahwa budak Yahudi tidak boleh diminta untuk membasuh kaki orang lain, tetapi tugas ini harus diberikan pada budak kafir (Mekhilta § 1 on Exodus 21:2).
Memang pembasuhan kaki pada jaman itu umum dilakukan oleh orang yang memiliki status lebih rendah kepada mereka yang memiliki status lebih tinggi atau orang yang sangat mereka hormati seperti: istri kepada suaminya, anak-anak kepada orang tua mereka dan murid-murid kepada para Rabi atau guru mereka. Dalam kisah ini, hubungan tersebut justru terbalik, tindakan yang mengejutkan dilakukan Yesus sebagai guru dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Carson yang mengatakan bahwa tindakan Yesus dalam membasuh kaki murid-murid-Nya adalah tindakan simbolis untuk menggambarkan pembasuhan atau penyucian yang diperlukan untuk keselamatan (Yohanes 13: 6-9) dan model untuk sikap hidup murid Kristus (Yohanes 13:12- 17) yang rela untuk menjadi hamba yang bersedia melakukan pelayanan yang rendah.
Baca Juga: Yohanes 13:1-17 (Paskah Dan Pembasuhan Kaki)
Di pihak lain, Leon Morris melihat bahwa tindakan Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya dan kerelaan-Nya menjadi pelayan adalah sebuah teguran tajam atas sikap murid-murid yang mempertengkarkan siapakah yang terbesar di antara mereka (Lukas 22:24-27).17
3. Makna dan Teladan Pembasuhan Kaki (Yohanes 13:6-17)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pembasuhan kaki dipakai oleh Yesus sebagai media pengajaran bagi murid-murid-Nya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan Yesus dalam membasuh kaki murid-murid-Nya dapat dipahami dari dua sisi:
3. Makna dan Teladan Pembasuhan Kaki (Yohanes 13:6-17)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pembasuhan kaki dipakai oleh Yesus sebagai media pengajaran bagi murid-murid-Nya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan Yesus dalam membasuh kaki murid-murid-Nya dapat dipahami dari dua sisi:
Pertama, simbol dari pembasuhan dari dosa melalui darah Kristus di atas salib (Yohanes 13: 6-11).
Kedua, teladan untuk merendahkan diri dan rela melayani satu dengan yang lain yang harus dimiliki oleh setiap murid Kristus (Yohanes 13:12-17).
Barret menyebutkannya “ efficacious and Exemplary” dan menjelaskan: The public acts of Jesus on Calvary, and his private act in the presence of His disciples, are a like in that each is an act of humility and service, and that each proceeds from the love of Jesus for his own. The Cleansing of the disciples’ feet represent their cleansing from sin in the sacrificial blood of Christ (John 1:29; 19:34) .... In any case, the act of washing is what the crucifictions is, at once a divine deed by which men are released from sin and an example which men must imitate.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembasuhan kaki memiliki dua hal penting.
Barret menyebutkannya “ efficacious and Exemplary” dan menjelaskan: The public acts of Jesus on Calvary, and his private act in the presence of His disciples, are a like in that each is an act of humility and service, and that each proceeds from the love of Jesus for his own. The Cleansing of the disciples’ feet represent their cleansing from sin in the sacrificial blood of Christ (John 1:29; 19:34) .... In any case, the act of washing is what the crucifictions is, at once a divine deed by which men are released from sin and an example which men must imitate.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembasuhan kaki memiliki dua hal penting.
Pertama, melalui karya Kristus di atas salib, Allah telah membasuh atau menyucikan orang-orang yang datang kepada-Nya. Sekalipun demikian ada juga murid Yesus, yaitu Yudas yang tidak kudus dan akhirnya mengkhianati Dia.
Kedua, murid-murid adalah pelayan Kristus, yang menyebut Yesus “ Guru dan Tuhan” (Yohanes 13:13). Karena itu haruslah mereka mengikuti teladan-Nya dan rela merendahkan diri serta saling melayani. Murid-murid bahkan harus rela menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus (Matius 16:24; Markus 8:34, Lukas 9:23)