Amsal 23:1-16 - Peringatan Melawan Kemewahan dan Ketamakan

Matthew Henry (1662 – 1714).

BAHASAN : Amsal 23:1-16 - Peringatan Melawan Kemewahan dan Ketamakan
Amsal 23:1-16 - Peringatan Melawan Kemewahan dan Ketamakan
Amsal 23:1-3. “Bila engkau duduk makan dengan seorang pembesar, perhatikanlah baik-baik apa yang ada di depanmu. Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu! Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu.”
Dosa yang diperingatkan kepada kita di sini adalah kemewahan dan hawa nafsu daging, serta makan minum secara berlebihan. Ini adalah dosa yang paling mudah menyerang kita.
[1]. Di sini kita diberi tahu bilamana kita masuk ke dalam pencobaan dan sangat terancam jatuh ke dalam dosa ini:“ Bila engkau duduk makan dengan seorang pembesar, akan ada hidangan berlimpah di hadapanmu, beraneka macam makanan yang lezat, dan meja jamuannya dibentang luas seperti yang jarang engkau lihat.
Saat itu, seperti Haman, engkau tidak akan memikirkan hal lain selain kehormatan yang ditunjukkan kepadamu dengan cara ini (Ester 5:12), dan kesempatan yang engkau miliki untuk menyenangkan langit-langit mulutmu, dan lupa bahwa ada jerat yang terpasang untukmu.”
Godaan itu mungkin terasa lebih kuat dan lebih berbahaya bagi orang yang tidak terbiasa dengan jamuan-jamuan seperti itu, daripada bagi orang yang selalu duduk di hadapan meja yang penuh dengan makanan.
[2]. Di sini kita diperintah untuk melipat-gandakan kewaspadaan kita pada saat seperti itu. Kita harus :
(a). Menyadari diri sedang dalam bahaya: “Perhatikanlah baik-baik apa yang ada di depanmu, makanan dan minuman apa yang ada di depanmu, supaya engkau bisa memilih apa yang paling aman untukmu dan yang paling tidak membuatmu makan minum secara berlebihan.
Perhatikanlah teman seperti apa yang ada di depanmu, si pembesar itu sendiri, yang, jika ia bijak dan baik, akan menganggapnya sebagai penghinaan jika siapa pun dari tamu-tamunya bersikap tidak tertib di mejanya.”
Dan, jika demikian halnya bila kita duduk makan dengan seorang pembesar, jauh terlebih lagi bila kita duduk makan dengan Pembesar dari segala pembesar di meja Tuhan, kita harus memperhatikan baik-baik apa yang ada di depan kita, agar dalam hal apa pun kita tidak makan dan minum dengan cara yang tidak layak, yang tidak pantas, agar jangan meja itu menjadi jerat.
(b). Kita harus mengingatkan diri kita sendiri untuk bersikap sederhana dan tidak berlebihan: “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, maksudnya, tahanlah dirimu sendiri, seolah-olah ada pedang yang menggantung di atas kepalamu, dari semua perilaku yang berlebihan.
Perhatikanlah peringatan ini, jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan, supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat, atau peringatan ini, karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan – atau peringatan ini, para pemabuk tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah, menjadi pisau pada lehermu.”
Penutur bahasa Latin menyebut kemewahan dengan kata gula, yang artinya tenggorokan. “Angkatlah senjatamu melawan dosa itu. Lebih baik berpantang sehingga apabila engkau mulai bernafsu, engkau ketakutan tenggorokanmu akan putus daripada memanjakan dirimu sendiri dalam nafsu yang memabukkan.” Jangan pernah melahap tanpa malu-malu (Yudas 1:12), tetapi merasa takutlah apabila godaan ada di depan kita.
(c). Kita harus memikirkan alasan-alasan yang benar untuk memandang rendah secara kudus pemuasan-pemuasan terhadap hawa nafsu kedagingan: “Bila besar nafsumu, engkau harus mengendalikan dirimu sendiri dengan tekad bulat saat itu juga, dan dengan membayangkan kengerian-kengerian Tuhan. Bila engkau terancam bahaya untuk jatuh ke dalam sikap yang berlebihan, taruhlah sebuah pisau pada lehermu. Mungkin itu bisa langsung manjur. Tetapi itu saja tidak cukup: tebanglah akar-akarnya. Matikanlah hawa nafsu yang begitu berkuasa atas dirimu itu: jangan ingin akan makanannya yang lezat.”
Perhatikanlah, kita harus mencermati apa kelemahan kita sendiri, dan, jika kita mendapati diri kita kecanduan untuk memuaskan hawa nafsu daging, maka kita bukan saja harus waspada terhadap godaan-godaan dari luar, tetapi juga harus menundukkan kebobrokan yang ada di dalam diri.
Sudah menjadi sifat kodrati untuk menginginkan makanan, dan kita diajar untuk berdoa memintanya, tetapi nafsulah yang menginginkan makanan-makanan lezat, dan kita di dalam iman tidak bisa berdoa memintanya, karena sering kali makanan yang lezat itu bukanlah makanan yang sesuai bagi pikiran, tubuh, atau keadaan kita. Makanan yang lezat itu penipu, dan oleh sebab itu Daud tidak berdoa memintanya, tetapi berdoa melawannya (Mazmur 141:4). Makanan yang lezat itu menyenangkan bagi langit-langit mulut, tetapi mungkin membuat perut mulas-mulas, menjadi asam di sana, menyusahkan orang, dan membuatnya sakit. Makanan yang lezat tidak memberikan kepuasan yang dijanjikan bagi orang.
Sebab, orang-orang yang besar nafsunya, apabila sudah mengecap makanan yang amat lezat, tidak merasa senang. Mereka cepat bosan dengannya. Mereka ingin mencicipi lagi makanan lain yang lebih lezat. Semakin nafsu makan yang mewah dituruti dan dimanjakan, semakin ia bertambah konyol dan menyusahkan, dan semakin sulit dipuaskan. Makanan yang lezat akan membuat jenuh, tetapi tidak pernah membuat puas.
Tetapi makanan yang lezat adalah hidangan yang menipu terutama menurut pertimbangan ini, yaitu bahwa, meskipun menyenangkan tubuh, makanan itu merusak jiwa, membebani hati, dan membuatnya tidak layak untuk melayani Allah. Bahkan, makanan itu menjauhkan hati, dan mengasingkan pikiran dari kesenangan-kesenangan rohani, dan merusak kenikmatannya terhadap kesenangan-kesenangan itu. Jadi, mengapa kita harus mengidam-idamkan apa yang sudah pasti akan menipu kita?
----------
PERINGATAN MELAWAN KEMEWAHAN DAN KETAMAKAN.
Amsal 23:4-5. “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali.”
Sementara sebagian orang bernafsu besar (ayat 2), sebagian yang lain berkelakuan tamak, dan orang-orang inilah yang diperingatkan Salomo di sini (ayat 2). Dengan mengarahkan hati pada uang (meskipun itu tampak sebagai barang yang paling penting), orang menipu diri mereka sendiri, sama seperti bila mereka mengarahkan hatinya pada makanan lezat. Amatilah:
[I]. Bagaimana Salomo meminta orang tamak untuk tidak membanting tulang dan menyiksa dirinya sendiri (ayat 4): “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, untuk menambah harta dan membuat apa yang engkau miliki semakin berlimpah-limpah melebihi apa yang ada seka-rang.” Kita harus berusaha hidup dengan nyaman dan membuat persediaan bagi anak-anak dan keluarga kita, sesuai dengan kedudukan dan keadaan kita, tetapi kita tidak boleh mencari perkara-perkara besar.
Jangan menjadi orang yang berkeinginan menjadi kaya, yang menginginkannya sebagai kebaikan utama mereka dan merancangkannya sebagai tujuan tertinggi mereka (1 Timotius 6:9). Orang tamak menyangka ia berhikmat dengan membayangkan bahwa seandainya ia menjadi sedemikian kaya, maka ia akan benar-benar berbahagia. Tinggalkan niat itu, sebab itu adalah kesalahan. Hidup orang tidaklah tergantung dari pada kekayaannya (Lukas 12:15).
1. Orang-orang yang bersusah payah untuk melakukan perkara-perkara besar memenuhi tangan mereka dengan pekerjaan-pekerjaan yang lebih banyak daripada yang bisa mereka tangani, sehingga kehidupan mereka sungguh-sungguh membosankan dan senantiasa terburu-buru. Jadi, janganlah engkau menjadi orang bodoh seperti itu.
Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya. Apa yang engkau miliki atau lakukan, jadilah tuan atasnya, dan jangan menjadi budak untuknya seperti orang yang bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, dan semua itu demi menjadi kaya. Bekerja dengan secukupnya, supaya kita dapat membagi-kan sesuatu, adalah hikmat dan kewajiban kita (Efesus 4:28). Bekerja dengan melampaui batas, supaya kita dapat menimbun, adalah dosa dan kebodohan kita.
2. Mereka memenuhi kepala mereka dengan rencana-rencana yang lebih banyak daripada yang mereka mengerti, sehingga kehidupan mereka senantiasa diombang-ambingkan oleh kecemasan dan ketakutan. Tetapi janganlah engkau menyusahkan dirimu sendiri seperti itu: tinggalkan niatmu ini. Teruslah bekerja dengan tenang, jangan merancangkan cara-cara baru dan bersiasat dengan akal bulusmu untuk mencari temuan-temuan baru. Selaraskan dirimu dengan hikmat Allah dan tinggalkan hikmatmu sendiri (Amsal 3:5-6).
[II]. Bagaimana Salomo membujuk orang yang tamak untuk tidak berlaku curang dan menipu dirinya sendiri dengan mencintai dan mengejar secara berlebihan apa yang sia-sia dan hanya menyusahkan jiwa. Sebab :
1. Itu bukan hal yang pokok dan memuaskan hati: “Masakan engkau menjadi orang yang demikian bodoh sehingga mengarahkan pan-denganmu, melayangkan matamu dengan hasrat dan kekerasan, pada apa yang lenyap?” Perhatikanlah:
(a). Perkara-perkara dunia ini adalah perkara-perkara yang lenyap. Semua itu mempunyai keberadaan yang nyata di alam dan merupakan pemberian-pemberian yang nyata dari Pemeliharaan Allah, tetapi di dalam kerajaan anugerah, semua itu adalah sesuatu yang tidak nyata. Semuanya itu bukanlah kebahagiaan dan bagian untuk jiwa. Semuanya bukan seperti yang mereka janjikan atau yang kita harapkan. Mereka hanya untuk sekadar pamer, sebuah bayangan, sebuah dusta bagi jiwa yang mempercayai mereka. Mereka lenyap, sebab sebentar saja mereka tidak akan ada lagi, mereka tidak akan menjadi milik kita. Mereka akan habis karena digunakan. Semarak mereka akan berlalu.
(b). Oleh sebab itu, bodohlah kita jika mengarahkan mata kita kepada semuanya itu, mengaguminya sebagai perkara-perkara terbaik, menempatkan mereka sebagai barang-barang kita yang baik, dan bersusah payah untuk mencapainya sebagai tujuan akhir dari semua tindakan kita, terbang mengejarnya bak rajawali mengejar mangsanya.
“Masakan engkau mau melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak masuk akal seperti itu? Masakan engkau, makhluk yang berakal, mau mengejar-ngejar bayangan? Mata dibuat untuk melihat kekuatan-kekuatan yang berakal dan berbudi. Masakan engkau mau membuangnya begitu saja demi barang-barang yang tidak layak seperti itu? Menaruh tangan dan kaki pada dunia ini sudahlah baik, tetapi janganlah menaruh mata, mata akal budi padanya. Mata itu diciptakan untuk merenungkan perkara-perkara yang lebih baik. Masakan engkau, hai anakku, yang mengaku sebagai orang beragama, menghina Allah seperti itu (yang kepada-Nya mata kita harus selalu terarah) dan melecehkan jiwamu seperti itu?”
2. Kekayaan tidak bertahan lama dan tidak tetap. Kekayaan adalah sesuatu yang sangat tidak pasti. Sudah tentu demikian: tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang. Semakin kita mengarahkan mata kita untuk terbang mengejarnya, semakin ia akan terbang menjauh dari kita.
(a). Kekayaan akan meninggalkan kita. Orang bisa menggenggamnya erat-erat tetapi tidak untuk waktu yang lama. Entah ia harus diambil dari kita atau kita harus diambil darinya. Hasil usaha dikatakan mengalir seperti aliran sungai (Ayub 20:28, KJV), tetapi di sini dikatakan terbang seperti burung.
(b). Mungkin saja kekayaan meninggalkan kita secara tiba-tiba, sementara kita sudah sangat bersusah payah mendapatkannya dan sudah mulai sangat berbangga dan bersuka di dalamnya. Orang yang tamak duduk mengerami kekayaannya dan menetaskannya, sampai ia bersayap, seperti anak-anak ayam di bawah induknya, dan kemudian ia pergi menghilang. Atau, seolah-olah ada orang yang senang dengan unggas-unggas yang hinggap di ladangnya, dan menyebutnya sebagai miliknya sendiri karena ada di tanahnya, sementara, jika ia mencoba mendekati mereka, mereka akan segera merentangkan sayap dan terbang ke ladang orang lain.
(c). Sayap-sayap yang dengannya kekayaan terbang adalah buatannya sendiri. Pada dirinya sendiri, kekayaan sudah mengandung kecenderungan-kecenderungan untuk rusak, ia akan dirusakkan oleh ngengat dan karatnya sendiri. Ia akan lenyap sesuai dengan sifatnya, dan seperti segenggam debu yang, jika digenggam, berjatuhan melalui sela-sela jari. Salju akan bertahan sebentar saja, dan tampak indah di mata jika dibiarkan berserakan di tanah di mana ia jatuh, tetapi jika dikumpulkan dan didekapkan di dada, ia akan larut dan lenyap dengan tiba-tiba.
(d). Ia pergi tanpa bisa ditolak dan tanpa bisa dipanggil kembali, seperti rajawali terbang ke angkasa, yang terbang dengan sangat kencang (ia tidak bisa dihentikan), dan terbang menghilang dari pandangan dan dari panggilan (ia tidak bisa dibawa kembali). Seperti itulah kekayaan meninggalkan orang, dan meninggalkannya dalam kesedihan dan kesusahan jika hati mereka terpatri padanya.
----------
PERINGATAN MELAWAN KEMEWAHAN DAN KETAMAKAN.
Amsal 23:6-8. “Jangan makan roti orang yang kikir, jangan ingin akan makanannya yang lezat. Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia. "Silakan makan dan minum," katanya kepadamu, tetapi ia tidak tulus hati terhadapmu. Suap yang telah kaumakan, kau akan muntahkan, dan kata-katamu yang manis kausia-siakan.”
Mereka yang mencari kenikmatan jasmani dan bernafsu besar (ayat 2) senang pergi ke tempat-tempat yang dipenuhi canda tawa dan keriangan. Dan orang-orang yang tamak dan pelit, supaya bisa berhemat di rumah, akan senang diundang makan malam di rumah orang lain. Oleh karena itu, kedua-duanya di sini dinasihati untuk tidak lekas-lekas menerima kunjungan dari setiap orang, tetapi terutama untuk tidak memaksa diri untuk mengundang orang lain. Amatilah :
1. Ada orang yang berpura-pura menyambut teman-teman mereka, padahal mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati dan tulus ikhlas. Mereka bermulut manis, dan tahu apa yang harus mereka katakan: silakan makan dan minum, katanya, karena tuan rumah memang diharapkan bersikap ramah terhadap para tamunya. Tetapi, mereka kikir, dan kesal dengan setiap potong makanan yang dimakan oleh para tamunya, terutama jika mereka makan dengan cuma-cuma. Mereka ingin tampak royal dalam menjamu dan ingin mendapatkan pujian untuknya, tetapi karena mereka begitu mencintai uang mereka dan tidak mencintai teman-teman mereka, maka mereka pun tidak dapat merasakan penghiburan dari jamuan itu atau menikmati diri mereka sendiri atau teman-teman mereka.
Pesta orang kikir itu seperti penghukuman bagi dirinya sendiri. Jika orang begitu cinta diri, tamak, dan kikir sehingga ia tidak sampai hati mempersilakan teman-temannya menikmati apa yang dimilikinya, ia seharusnya tidak menambah kesalahannya dengan bersikap palsu dalam mengundang mereka, tetapi membiarkan dirinya mengakui sendiri siapa dia sebenarnya, agar orang bebal tidak akan disebutkan lagi orang yang berbudi luhur, dan orang penipu tidak akan dikatakan terhormat (Yesaya 32:5).
2. Orang tidak bisa merasakan penghiburan dalam menerima jamuan-jamuan yang diberikan dengan berat hati: “Jangan makan roti dari orang seperti itu. Biarlah dia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Jangan mengemis-ngemis kepada orang-orang yang berkelimpahan, atau membuat dirimu menjadi beban bagi siapa saja. Tetapi terutama janganlah engkau sudi berutang budi pada orang-orang yang kikir dan tidak tulus. Lebih baik sepiring sayur, disertai sambutan yang tulus, daripada makanan yang lezat tanpa itu.” Oleh karena itu :
\
(a). “Nilailah orang berdasarkan pikirannya. Sangkamu engkau menghormatinya ¬sebagai teman, sebagaimana engkau memandangnya, karena ia memuji-muji engkau, tetapi seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia (KJV: seperti apa yang dipikirkan orang di dalam hatinya, demikianlah ia – pen.), bukan seperti apa yang diucapkannya dengan lidahnya.” Siapa kita sebenarnya, baik terhadap Allah maupun manusia, tergantung bagaimana kita di dalam batin. Jadi, agama ataupun persahabatan itu tidak berarti apa-apa bila tidak disertai ketulusan dalam menjalankannya.
(b). “Nilailah makanan berdasarkan mudah tidaknya untuk dicerna dan apakah engkau bisa menerimanya. Ia memintamu untuk makan dengan cuma-cuma, tetapi, cepat atau lambat, ia akan mengungkapkan sifatnya yang pelit dan tamak. Dan seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia akan tampak, dan membuatmu mengerti bahwa engkau tidak diterima, maka pada saat itulah suap yang telah kaumakan, kau akan muntahkan. Memikirkannya saja akan membuatmu memuntahkan makanan yang sudah kaumakan, dan menelan kembali perkataan yang sudah kauucapkan dalam membalas pujian-pujiannya dan berterima kasih kepadanya atas keramahtamahannya. Kata-katamu yang manis, yang telah dia berikan kepadamu dan telah engkau berikan kepadanya, akan kausia-siakan.”
----------
PERINGATAN MELAWAN KEMEWAHAN DAN KETAMAKAN.
Amsal 23:9. “Jangan berbicara di telinga orang bebal, sebab ia akan meremehkan kata-katamu yang bijak.”
Di sini kita diperintah untuk tidak melemparkan mutiara kepada babi (Matius 7:6) dan tidak menunjukkan perkara-perkara yang sakral hanya untuk dihina dan diejek oleh para pencemooh yang cemar. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memanfaatkan semua kesempatan yang tepat untuk membicarakan perkara-perkara ilahi, tetapi,
1. Ada sebagian orang yang akan membuat lelucon tentang segala sesuatu, meskipun diucapkan dengan begitu bijaksana dan tepat. Orang-orang demikian tidak hanya meremehkan kata-kata orang bijak, tetapi juga bahkan meremehkan kebijaksanaan mereka, yang justru paling bermanfaat untuk membangun diri mereka sendiri. Mereka akan mencelanya dengan gencar, seolah-olah perkataan itu punya maksud buruk bagi mereka, sehingga mereka harus waspada terhadapnya.
2. Orang-orang yang berbuat demikian kehilangan manfaat yang bisa mereka dapatkan dari nasihat dan didikan yang baik. Dan orang bijak tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga disarankan, untuk tidak berbicara di telinga orang-orang bebal seperti itu. Biarlah mereka tetap bodoh, dan janganlah nafas yang berharga diembuskan dengan sia-sia untuk mereka. Jika apa yang dikatakan orang bijak dalam hikmatnya tidak mau didengar, maka biarlah ia diam saja, dan coba lihat apakah cara itu akan diperhatikan.
----------
PERINGATAN MELAWAN KEMEWAHAN DAN KETAMAKAN.
Amsal 23:10-11. “Jangan engkau memindahkan batas tanah yang lama, dan memasuki ladang anak-anak yatim. Karena penebus mereka kuat, Dialah yang membela perkara mereka melawan engkau.”
Perhatikanlah:
1. Anak-anak yatim mendapat perlindungan Allah secara khusus. Bersama Dia, bukan saja kasih sayang akan ditunjukkan kepada mereka (Hosea 14:4), tetapi juga keadilan akan diperbuat bagi mereka. Dia adalah Penebus mereka, Kerabat dekat mereka, yang akan berpihak pada mereka dan membela mereka dengan cemburu, karena Ia turut merasa terhina oleh kejahatan-kejahatan yang diperbuat terhadap mereka.
Sebagai Penebus mereka, Dia akan membela perkara mereka melawan siapa saja yang merugikan mereka. Dengan cara apa saja, Ia tidak hanya akan membela hak mereka dan memulihkannya kepada mereka, tetapi juga akan membalaskan kejahatan-kejahatan yang telah diperbuat terhadap mereka.
Dan Dia kuat, maha kuat. Kemahakuasaan-Nya dilibatkan dan dikerahkan untuk melindungi mereka, dan para penindas mereka yang paling congkak dan berkuasa sekalipun tidak hanya akan mendapati diri mereka sebagai lawan yang tidak seimbang untuk ini, tetapi juga akan mendapati bahwa mereka sendirilah yang akan terancam bahaya jika menentang kemahakuasaan-Nya.
2. Oleh sebab itu, setiap orang harus berhati-hati untuk tidak melukai mereka sedikit pun, atau melanggar hak-hak mereka, entah dengan memindahkan batas tanah yang lama secara diam-diam, atau dengan memasuki ladang mereka secara paksa. Sebagai anak yatim, mereka tidak mempunyai siapa pun untuk membetulkan kesalahan-kesalahan mereka, dan, karena masih anak-anak, mereka bahkan tidak sadar akan kejahatan yang diperbuat terhadap mereka. Rasa hormat, dan terlebih jauh lagi rasa takut akan Allah, akan menahan orang untuk melukai anak-anak, terutama anak-anak yatim.
----------
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN ORANGTUA.
Amsal 23:12-16. “Arahkanlah perhatianmu kepada didikan, dan telingamu kepada kata-kata pengetahuan. Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati. Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur.’
Inilah :
1. Orang tua yang sedang mendidik anaknya. Di sini ia diperlihatkan sedang membujuk anaknya untuk membaca buku, dan terutama membaca Kitab Suci dan pelajaran agamanya, untuk memperhatikan kata-kata pengetahuan, yang dengannya ia bisa mengetahui kewajibannya dan bahaya yang mengintainya serta kepentingannya. Dan tidak hanya mendengarkan kata-kata pengetahuan itu saja, tetapi juga mengarahkan hatinya kepadanya, bersuka di dalamnya, dan menunduk-kan kehendaknya pada kewenangannya. Hati diarahkan kepada didikan hanya apabila didikan diarahkan ke dalam hati.
2. Orang tua yang membetulkan anaknya. Orang tua yang berhati lembut hampir tidak sampai hati untuk melakukan ini. Tindakan tersebut amat berlawanan dengan pembawaannya. Tetapi ia mendapatinya sebagai hal yang perlu dilakukan. Itu adalah kewajibannya, dan oleh karena itu ia tidak berani menolak didikan apabila ada kesempatan untuk melakukannya (bila rotan tidak dipukulkan, anak menjadi manja). Ia memukulnya dengan rotan, memperbaiki kelakuannya dengan lembut, memberinya pukulan yang diberikan anak-anak manusia, bukan seperti yang kita berikan kepada binatang. Ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan.
Rotan tidak akan membunuhnya. Justru itu akan mencegah si anak membunuh dirinya sendiri dengan jalan-jalan yang keji itu, yang darinya ia perlu ditahan dengan rotan. Untuk saat ini pukulan itu tidak menggembirakan, tetapi menyedihkan, baik bagi orang tua maupun bagi si anak. Tetapi apabila pukulan itu diberikan dengan hikmat, dirancang demi kebaikan, disertai dengan doa, dan diberkati Allah, maka itu akan menjadi sarana yang membahagiakan untuk mencegah kehancuran totalnya dan menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.
Yang harus teramat sangat kita pedulikan adalah jiwa anak-anak kita. Janganlah sampai kita melihat jiwa mereka terancam bahaya masuk neraka tanpa menggunakan segala kemungkinan sarana, dengan sepenuh perhatian dan kepedulian, untuk merebut mereka kembali seperti merebut kayu dari api yang membakar untuk selama-lamanya. Biarlah tubuhnya menderita, asalkan rohnya diselamatkan pada hari Tuhan Yesus.
3. Orang tua yang membesarkan hati anaknya, memberi tahu anaknya:
(a). Bahwa apa yang diharapkannya adalah tidak lain demi kebaikan anaknya sendiri, yaitu agar hatinya bijak dan bibirnya mengatakan yang jujur, agar ia diatur oleh asas-asas yang baik, dan agar dengan asas-asas itu ia secara khusus memelihara ucapan lidahnya. Anak-anak yang belajar mengatakan yang jujur, dan tidak berani mengucapkan kata-kata jahat, diharapkan akan berbuat jujur ketika mereka tumbuh dewasa.
(b). Betapa terhiburnya orang tua jika dalam hal ini anaknya memenuhi harapannya: “Jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita, bersukacita di dalam engkau, bahkan hatiku, yang sudah berjerih payah membesarkan engkau, hatiku, yang sudah sering kali sakit karenamu, hendaknya engkau berusaha membalasnya dengan penuh rasa syukur.” Perhatikanlah, hikmat anak-anak akan menjadi kegembiraan orangtua dan guru-guru mereka, yang tidak akan merasakan kegembiraan besar selain melihat mereka hidup dalam kebenaran (3 Yohanes 1:4).
“Anak-anak, jika kalian menjadi bijak dan baik, taat dan patuh pada hati nurani, maka Allah akan senang kepadamu, dan itu akan menjadi sukacita kami. Dengan begitu, tahulah kami bahwa jerih payah kami dalam mendidik kalian sangatlah diberkati. Itu akan menjadi jawaban yang menghibur atas banyaknya doa yang sudah kami panjatkan untuk kalian. Hati kami akan diringankan dari banyak kekhawatiran, dan tidak akan perlu bertindak dengan begitu ketat dan keras dalam mengawasimu, dan itu sungguh lebih nyaman bagimu dan bagi diri kami sendiri. Kami akan bersukacita dalam harapan bahwa engkau akan menjadi pujian dan penghiburan bagi kami, jika memang kami akan hidup sampai tua, bahwa engkau akan menjunjung tinggi nama Kristus di tengah-tengah angkatanmu, dan bahwa engkau akan hidup nyaman di dunia ini dan berbahagia di dunia yang lain.”
Next Post Previous Post