Filipi 2:5-8 :Tujuh Langkah Perendahan Diri Kristus
Pengantar:
Kerendahan hati Yesus Kristus adalah salah satu aspek teologi Kristen yang paling mendalam dan menginspirasi. Di dalam Filipi 2:5-8, Paulus menggambarkan bagaimana Kristus merendahkan diri-Nya secara bertahap sebagai contoh dan teladan bagi umat manusia. Teks ini menjadi pusat dari apa yang sering disebut sebagai Seven Self-Humbling of Christ, yaitu tujuh langkah perendahan diri yang dilakukan Yesus Kristus demi menebus manusia.Ayat-ayat ini tidak hanya mengajarkan tentang siapa Yesus itu, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai pengikut-Nya, seharusnya hidup.
Pendahuluan: Konteks dan Tujuan Surat Paulus
Surat Filipi ditulis oleh Paulus kepada jemaat di Filipi, salah satu kota di Makedonia yang sangat dekat dengan hati Paulus. Surat ini adalah surat yang penuh dengan sukacita dan penghiburan, meskipun Paulus menulisnya dari penjara. Dalam surat ini, Paulus mendorong jemaat Filipi untuk bersatu, rendah hati, dan melayani satu sama lain seperti Kristus melayani.
Bagian Filipi 2:5-8 dikenal sebagai Christ Hymn atau "Nyanyian Kristus," yang mungkin merupakan bagian dari himne Kristen awal yang digunakan dalam ibadah jemaat. Ayat-ayat ini menggambarkan bagaimana Yesus meninggalkan kemuliaan-Nya, menjadi manusia, dan akhirnya mati dengan cara yang paling hina, yaitu di kayu salib. Melalui kerendahan hati-Nya, Kristus memberi teladan sempurna bagi umat percaya tentang bagaimana hidup sebagai hamba.
Seven Self-Humbling of Christ: Tujuh Langkah Perendahan Diri Kristus
1. Yesus Kristus Memiliki Rupa Allah (Filipi 2:6)
Langkah pertama dari perendahan diri Kristus dimulai dengan pengakuan bahwa Yesus memiliki rupa Allah. Filipi 2:6 berkata, “yang walaupun memiliki rupa Allah, Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan.” Dalam frasa ini, Paulus menegaskan bahwa Yesus memiliki status yang setara dengan Allah sebelum Ia turun ke dunia sebagai manusia.
A. Kesetaraan dengan Allah
Kata "rupa" di sini tidak hanya merujuk pada penampilan luar, tetapi juga pada esensi dan sifat-Nya yang ilahi. Yesus memiliki segala hak, kuasa, dan kemuliaan yang sama dengan Allah Bapa. Dia adalah bagian dari Tritunggal yang kekal—Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, Yesus memiliki keilahian yang sepenuhnya.
Namun, meskipun memiliki kesetaraan dengan Allah, Yesus tidak melihat status Ilahi-Nya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dengan paksa atau digunakan untuk keuntungan diri-Nya sendiri. Ini menunjukkan kerelaan Yesus untuk melepaskan hak-Nya sebagai Allah demi melaksanakan rencana penyelamatan umat manusia.
B. Tidak Mempertahankan Kesetaraan dengan Allah
Yesus tidak egois atau sombong dalam memegang status-Nya sebagai Allah. Sebaliknya, Ia rela mengesampingkan hak-hak-Nya sebagai Allah untuk menjalani hidup sebagai manusia dan menanggung penderitaan. Ini adalah pelajaran penting tentang kerendahan hati dan pengorbanan. Meskipun Yesus memiliki segalanya, Ia bersedia melepaskan keistimewaan-Nya demi kita.
2. Yesus Kristus Mengosongkan Diri-Nya (Filipi 2:7a)
Langkah kedua dari perendahan diri Kristus adalah tindakan pengosongan diri-Nya. Paulus menulis, “Sebaliknya, Ia membuat diri-Nya tidak memiliki apa-apa.” Ini adalah konsep kunci dalam teologi Kristen yang dikenal sebagai kenosis, yaitu tindakan Yesus untuk mengosongkan diri-Nya dari keilahian-Nya untuk sementara waktu.
A. Pengosongan Diri dari Hak-Hak Ilahi
Pengosongan diri ini tidak berarti bahwa Yesus berhenti menjadi Allah atau kehilangan keilahian-Nya. Yesus tetap Allah yang sejati selama hidup-Nya di dunia. Namun, Ia memilih untuk tidak menggunakan hak-hak dan kuasa ilahi-Nya secara penuh. Sebagai contoh, meskipun Yesus memiliki kuasa untuk menghukum, Ia memilih untuk mengasihi dan mengampuni. Meskipun Ia dapat menggunakan kekuatan ilahi-Nya untuk menghindari penderitaan, Yesus memilih untuk taat dan menerima penderitaan demi menyelamatkan manusia.
Pengosongan diri ini adalah contoh luar biasa tentang kerendahan hati dan pengorbanan. Yesus rela melepaskan kemuliaan dan kenyamanan surgawi untuk turun ke dunia yang penuh dosa dan penderitaan.
B. Melepaskan Status Keilahian untuk Mengambil Bentuk Manusia
Pengosongan diri Yesus adalah bentuk kasih yang luar biasa. Ia memilih untuk hidup sebagai manusia yang terbatas, menghadapi kelemahan, kelelahan, dan kesakitan, meskipun Ia adalah Allah yang Mahakuasa. Pengosongan diri-Nya adalah langkah penting dalam proses penyelamatan umat manusia, karena hanya dengan menjadi manusia Yesus dapat menebus dosa manusia.
3. Yesus Mengambil Rupa Seorang Hamba (Filipi 2:7b)
Langkah ketiga dalam perendahan diri Yesus Kristus adalah bahwa Ia mengambil rupa seorang hamba. Filipi 2:7 berkata, “Ia menghambakan diri sebagai budak untuk menjadi sama dengan rupa manusia.” Yesus tidak hanya menjadi manusia, tetapi Ia menjadi seorang hamba yang melayani, bukan seorang raja yang memerintah.
A. Yesus Menjadi Hamba
Sebagai Allah, Yesus berhak untuk dilayani oleh seluruh ciptaan. Namun, Ia memilih untuk mengambil rupa seorang hamba yang melayani orang lain. Selama pelayanan-Nya di bumi, Yesus menunjukkan kerendahan hati ini dalam banyak cara, seperti ketika Ia membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-17). Tindakan ini adalah simbol dari sikap-Nya sebagai hamba yang melayani, meskipun Ia adalah Tuhan dan Guru.
Yesus menjadi teladan pelayanan yang sempurna. Ia tidak hanya mengajarkan tentang pentingnya melayani, tetapi Ia sendiri menjalani hidup sebagai hamba, bahkan sampai mati. Dengan mengambil rupa seorang hamba, Yesus menunjukkan bahwa pelayanan kepada sesama adalah salah satu bentuk tertinggi dari kasih.
B. Kehidupan Yesus yang Sederhana
Sebagai hamba, Yesus menjalani kehidupan yang sederhana. Ia lahir di palungan, bekerja sebagai tukang kayu, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap selama pelayanan-Nya. Meskipun Ia adalah Anak Allah, Yesus tidak hidup dalam kemewahan atau kekayaan duniawi. Kehidupan-Nya mencerminkan kerendahan hati yang mendalam dan pengabdian total kepada kehendak Allah Bapa.
4. Yesus Menjadi Sama dengan Manusia (Filipi 2:7c)
Langkah keempat dalam perendahan diri Yesus adalah bahwa Ia “menjadi sama dengan rupa manusia.” Meskipun Yesus adalah Allah, Ia mengambil bentuk manusia yang sepenuhnya, menghadapi segala kelemahan manusiawi kecuali dosa.
A. Inkarnasi: Allah Menjadi Manusia
Inkarnasi adalah salah satu misteri terbesar dalam iman Kristen. Allah yang kekal dan mahakuasa memilih untuk menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Ia lahir sebagai bayi, tumbuh sebagai anak, dan hidup sebagai manusia dewasa, merasakan segala keterbatasan dan kelemahan yang dialami manusia.
Namun, meskipun Yesus menjadi manusia, Ia tidak pernah berdosa. Ia hidup dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah Bapa, menunjukkan bahwa kehidupan yang penuh ketaatan dan kasih kepada Allah adalah mungkin, meskipun kita hidup dalam tubuh manusia yang rapuh.
B. Keterlibatan Yesus dalam Penderitaan Manusia
Dengan menjadi manusia, Yesus tidak hanya memahami penderitaan kita dari kejauhan, tetapi Ia juga mengalaminya sendiri. Yesus merasakan rasa lapar, haus, kelelahan, dan bahkan penderitaan fisik yang luar biasa ketika Ia disalibkan. Ini menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada manusia, karena Ia rela merendahkan diri-Nya untuk mengalami penderitaan yang sama dengan yang dialami umat manusia.
5. Yesus Merendahkan Diri-Nya (Filipi 2:8a)
Langkah kelima dari perendahan diri Yesus adalah bahwa Ia merendahkan diri-Nya. Filipi 2:8 berkata, “Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya.” Meskipun Yesus memiliki kuasa dan otoritas sebagai Anak Allah, Ia memilih untuk hidup dalam kerendahan hati yang luar biasa.
A. Ketaatan dan Kerendahan Hati Yesus
Kerendahan hati Yesus terlihat jelas dalam seluruh kehidupan-Nya. Ia tidak pernah menggunakan kekuasaan-Nya untuk keuntungan pribadi atau untuk memaksa orang lain mengikuti-Nya. Sebaliknya, Ia selalu menunjukkan kerendahan hati dalam pelayanan dan interaksi-Nya dengan sesama. Yesus tidak mencari penghormatan dari manusia, tetapi sepenuhnya mengabdikan diri untuk memuliakan Bapa.
Dalam Matius 11:29, Yesus berkata, “Belajarlah dari Aku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan kamu akan mendapat ketenangan untuk jiwamu.” Kerendahan hati Yesus adalah contoh yang harus diikuti oleh setiap orang percaya. Kita dipanggil untuk merendahkan diri, menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, dan melayani dengan hati yang tulus.
6. Yesus Taat Sampai Mati (Filipi 2:8b)
Langkah keenam dalam perendahan diri Yesus adalah ketaatan-Nya yang sempurna kepada Bapa. Paulus menulis bahwa Yesus “taat sampai mati.” Ketaatan ini adalah bukti dari kasih dan komitmen Yesus untuk menjalankan rencana keselamatan Allah.
A. Ketaatan Yesus yang Sempurna
Ketaatan Yesus bukanlah ketaatan yang setengah-setengah atau hanya pada saat-saat yang mudah. Yesus tetap taat kepada Bapa, bahkan ketika ketaatan itu berarti harus menghadapi penderitaan dan kematian. Di Taman Getsemani, Yesus berdoa agar cawan penderitaan itu dijauhkan dari-Nya, tetapi Ia tetap menyerahkan diri pada kehendak Bapa dengan berkata, “Namun, bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang terjadi” (Lukas 22:42).
Baca Juga: Filipi 2:9-11: Tujuh Pengangkatan Yesus Kristus dalam Kemuliaan
Ketaatan ini adalah bukti dari kasih Yesus kepada Bapa dan kepada umat manusia. Ia rela menyerahkan hidup-Nya demi keselamatan dunia. Melalui ketaatan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah adalah panggilan tertinggi bagi setiap orang percaya, meskipun itu berarti harus menghadapi pengorbanan.
7. Yesus Mati di Kayu Salib (Filipi 2:8c)
Langkah terakhir dari perendahan diri Yesus adalah kematian-Nya di kayu salib. Paulus menekankan bahwa Yesus “mati, bahkan mati di atas kayu salib.” Kematian di kayu salib adalah bentuk hukuman yang paling hina dan menyakitkan pada zaman Romawi. Namun, Yesus dengan rela menjalani kematian ini demi menebus dosa umat manusia.
A. Kematian yang Terhina
Kematian di kayu salib bukan hanya hukuman fisik yang menyakitkan, tetapi juga hukuman yang sangat memalukan. Orang yang disalibkan dianggap terkutuk oleh Allah (Ulangan 21:23). Namun, Yesus dengan rela menanggung penghinaan dan kutukan ini demi menyelamatkan manusia dari kutukan dosa.
Salib, yang dulunya adalah simbol kehinaan dan kutukan, kini menjadi simbol kasih dan pengorbanan Kristus. Melalui kematian-Nya di kayu salib, Yesus membayar harga penuh untuk dosa-dosa kita, memberikan jalan bagi manusia untuk diperdamaikan dengan Allah.
B. Salib Sebagai Puncak Kasih dan Pengorbanan Yesus
Kematian Yesus di kayu salib adalah puncak dari kasih dan pengorbanan-Nya. Ia menyerahkan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa dapat menerima hidup yang kekal. Dalam Yohanes 15:13, Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Kematian Yesus adalah manifestasi tertinggi dari kasih Allah kepada dunia. Melalui pengorbanan-Nya, setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat menerima pengampunan dosa dan hidup yang kekal bersama Allah.
Kesimpulan
Filipi 2:5-8 memberikan gambaran yang luar biasa tentang kerendahan hati dan pengorbanan Yesus Kristus. Melalui tujuh langkah perendahan diri ini, Yesus menunjukkan kasih yang luar biasa kepada umat manusia. Ia rela melepaskan kemuliaan-Nya sebagai Allah, mengosongkan diri-Nya, menjadi manusia, hidup sebagai hamba, dan taat sampai mati di kayu salib demi menyelamatkan kita dari dosa.
Perendahan diri Yesus menjadi teladan yang harus diikuti oleh setiap orang percaya. Kita dipanggil untuk hidup dalam kerendahan hati, melayani sesama, dan taat kepada Allah dalam segala hal, seperti yang dilakukan oleh Yesus.