Menjadi Sahabat Karib Allah: Perspektif Teologis dari Beberapa Pakar

Pengantar:

Salah satu konsep indah yang muncul dalam Alkitab adalah bahwa manusia dapat menjadi sahabat Allah. Dalam Yakobus 2:23, kita membaca bahwa "Abraham percaya kepada Allah, dan itu diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran, dan dia disebut 'Sahabat Allah.'" Menjadi sahabat Allah bukan hanya sebuah metafora, tetapi adalah kenyataan yang mengungkapkan hubungan intim yang bisa dimiliki seseorang dengan Allah melalui iman dan ketaatan.
Menjadi Sahabat Karib Allah: Perspektif Teologis dari Beberapa Pakar
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana menjadi sahabat karib Allah dipahami dalam Alkitab dan teologi Kristen. Kita juga akan melihat bagaimana konsep ini diterapkan dalam kehidupan orang percaya, serta mempelajari wawasan dari beberapa pakar teologi tentang makna dan pentingnya persahabatan dengan Allah.

1. Persahabatan dengan Allah dalam Alkitab

Persahabatan dengan Allah dalam Alkitab pertama kali jelas terlihat dalam kehidupan Abraham. Dalam Yakobus 2:23, Abraham disebut sebagai "sahabat Allah" karena imannya dan ketaatannya kepada perintah-perintah Allah. Hubungan Abraham dengan Allah adalah contoh dari kedekatan dan kepercayaan antara manusia dan Pencipta. John Stott, dalam bukunya The Message of Romans, menekankan bahwa Abraham menunjukkan ketaatan yang sepenuh hati kepada Allah, bahkan ketika diperintahkan untuk mengorbankan Ishak, anak yang sangat dia kasihi. Ketaatan ini menjadi tanda dari hubungan yang erat dan penuh kepercayaan dengan Tuhan.

2 Tawarikh 20:7 juga mengulangi tema yang sama, di mana Allah disebut sebagai sahabat Abraham. Dalam ayat tersebut, Raja Yosafat menyebut Abraham sebagai "sahabat Allah untuk selama-lamanya." Ini menandakan bahwa hubungan persahabatan dengan Allah bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga memiliki dampak kekal.

Tidak hanya Abraham, tetapi juga Musa digambarkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Allah. Dalam Keluaran 33:11, tertulis bahwa "TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka, seperti seseorang berbicara kepada temannya." Hubungan antara Musa dan Allah menunjukkan bahwa persahabatan dengan Allah bukanlah sekadar hubungan keagamaan yang formal, tetapi suatu bentuk keintiman yang melibatkan komunikasi yang dalam dan terbuka.

2. Persahabatan dengan Allah dan Iman

Salah satu ciri utama dari persahabatan dengan Allah adalah iman. Yakobus 2:23 dengan jelas menunjukkan bahwa iman Abraham kepada Allah diperhitungkan sebagai kebenaran, dan karena itulah dia disebut sebagai sahabat Allah. John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menekankan bahwa iman adalah dasar dari semua hubungan antara manusia dan Allah. Melalui iman, seseorang tidak hanya mempercayai keberadaan Allah, tetapi juga bersandar pada-Nya dalam segala hal, mempercayai kehendak dan rencana-Nya yang baik.

R.C. Sproul, dalam bukunya Faith Alone, menjelaskan bahwa iman kepada Allah bukan hanya percaya secara intelektual kepada keberadaan-Nya, tetapi mempercayakan seluruh hidup kepada-Nya. Sproul menegaskan bahwa iman yang sejati menghasilkan keintiman dengan Allah karena iman mengarahkan hati manusia untuk bergantung sepenuhnya pada kasih karunia-Nya. Dengan demikian, persahabatan dengan Allah menjadi mungkin ketika kita berserah sepenuhnya kepada-Nya dan hidup dalam ketaatan terhadap perintah-Nya.

Selain itu, Jonathan Edwards, dalam Religious Affections, menyatakan bahwa iman yang sejati bukan hanya soal percaya kepada Allah, tetapi juga soal mencintai Allah. Persahabatan dengan Allah, menurut Edwards, dibangun atas dasar kasih kepada Allah, yang merupakan hasil dari iman yang hidup. Ketika seseorang mengasihi Allah, dia akan merindukan untuk lebih dekat dengan-Nya, mendengarkan suara-Nya, dan mengikuti jalan-jalan-Nya.

3. Menjadi Sahabat Allah Melalui Ketaatan

Selain iman, ketaatan juga merupakan aspek penting dari persahabatan dengan Allah. Yohanes 15:14 menegaskan hal ini dengan kata-kata Yesus: “Kamu adalah sahabat-sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” Di sini, Yesus menghubungkan persahabatan dengan ketaatan kepada perintah-Nya. Persahabatan dengan Allah melibatkan komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, mengikuti ajaran-Nya, dan memuliakan-Nya dalam semua aspek kehidupan.

Dietrich Bonhoeffer, dalam bukunya The Cost of Discipleship, menekankan bahwa persahabatan dengan Allah tidak bisa terlepas dari pengorbanan dan penyerahan diri. Menurut Bonhoeffer, ketaatan kepada Allah sering kali menuntut kita untuk meninggalkan keinginan-keinginan duniawi dan memprioritaskan kehendak Allah. Persahabatan dengan Allah, oleh karena itu, bukanlah hubungan yang mudah, tetapi merupakan hubungan yang membutuhkan komitmen total.

Timothy Keller, dalam bukunya Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God, menekankan bahwa ketaatan kepada Allah bukan hanya tindakan yang kita lakukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai ungkapan cinta kita kepada-Nya. Ketika kita menaati Allah, kita menunjukkan bahwa kita menghormati-Nya sebagai Tuhan dan mengasihi-Nya sebagai sahabat. Ketaatan, menurut Keller, adalah hasil alami dari hubungan yang dekat dan penuh kasih dengan Allah.

4. Persahabatan dengan Allah dan Doa

Persahabatan dengan Allah juga melibatkan komunikasi yang intens, salah satunya adalah melalui doa. Doa adalah sarana di mana orang percaya dapat berbicara langsung kepada Allah, mengungkapkan isi hati mereka, dan mendengarkan suara-Nya. Dalam Matius 6:9-13, Yesus mengajarkan murid-murid-Nya bagaimana berdoa, dimulai dengan kata-kata “Bapa kami yang di surga.” Sebutan "Bapa" menunjukkan keintiman dan hubungan personal antara Allah dan umat-Nya.

John Owen, dalam Communion with God, menekankan bahwa doa bukan hanya sebuah tindakan spiritual, tetapi juga ekspresi dari hubungan yang hidup antara Allah dan manusia. Doa adalah tempat di mana persahabatan dengan Allah berkembang. Melalui doa, kita bisa berbicara kepada-Nya sebagai sahabat, mencurahkan keluh kesah, menyampaikan kebutuhan, dan mendengarkan petunjuk-Nya.

C.S. Lewis, dalam bukunya Mere Christianity, menyatakan bahwa doa adalah cara bagi kita untuk lebih mengenal Allah dan menyesuaikan hati kita dengan kehendak-Nya. Melalui doa yang tekun dan tulus, kita semakin dekat dengan Allah dan membangun hubungan persahabatan yang lebih dalam dengan-Nya.

5. Kasih Karunia Allah sebagai Dasar Persahabatan

Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa persahabatan dengan Allah bukanlah sesuatu yang bisa kita raih dengan usaha kita sendiri, tetapi merupakan anugerah dari Allah. Efesus 2:8-9 menegaskan bahwa keselamatan adalah pemberian Allah melalui kasih karunia, dan bukan hasil usaha manusia. John MacArthur, dalam bukunya The Gospel According to Jesus, menekankan bahwa persahabatan dengan Allah didasarkan pada kasih karunia-Nya, di mana Dia memanggil kita menjadi sahabat-Nya melalui karya penebusan Yesus Kristus.

MacArthur menjelaskan bahwa tanpa kasih karunia Allah yang dinyatakan melalui Yesus, kita tidak mungkin bisa memiliki hubungan yang dekat dengan Allah. Dosa memisahkan kita dari Allah, tetapi melalui kematian dan kebangkitan Kristus, hubungan yang terputus ini dipulihkan, dan kita diundang untuk menjadi sahabat-sahabat Allah. Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya untuk kita bisa masuk dalam hubungan yang akrab dengan Allah.

Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menambahkan bahwa kasih karunia Allah tidak hanya menyelamatkan kita, tetapi juga memampukan kita untuk hidup sebagai sahabat Allah. Bavinck menekankan bahwa kasih karunia ini memberi kita kekuatan untuk terus hidup dalam iman dan ketaatan, memungkinkan kita untuk menikmati hubungan yang penuh kasih dengan Allah setiap hari.

6. Persahabatan dengan Allah dan Kasih kepada Sesama

Salah satu bukti bahwa seseorang adalah sahabat Allah adalah kasih kepada sesama. 1 Yohanes 4:20 menyatakan, "Jika seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta." Persahabatan dengan Allah harus tercermin dalam bagaimana kita memperlakukan sesama. Jonathan Edwards, dalam Charity and Its Fruits, menekankan bahwa kasih kepada Allah tidak mungkin ada tanpa kasih kepada sesama. Kasih yang sejati kepada Allah akan mendorong kita untuk menunjukkan kasih dan kebaikan kepada orang lain.

Timothy Keller, dalam Generous Justice, juga menekankan bahwa persahabatan dengan Allah seharusnya mendorong kita untuk berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan. Kasih dan keadilan yang kita tunjukkan kepada sesama adalah hasil dari pengalaman kita tentang kasih Allah dalam hidup kita. Persahabatan dengan Allah bukan hanya tentang hubungan pribadi dengan-Nya, tetapi juga tentang bagaimana kita mempraktekkan kasih itu dalam dunia ini.

7. Persahabatan dengan Allah: Panggilan bagi Semua Orang Percaya

Alkitab menegaskan bahwa persahabatan dengan Allah bukan hanya untuk tokoh-tokoh besar seperti Abraham atau Musa, tetapi untuk semua orang percaya. Yohanes 15:15 menegaskan, "Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat." Yesus Kristus menawarkan persahabatan ini kepada semua murid-Nya, dan ini adalah panggilan bagi setiap orang yang mau hidup dalam hubungan yang dekat dengan-Nya.

Charles Spurgeon, dalam khotbah-khotbahnya, sering menekankan bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk mengalami keintiman dengan Allah. Spurgeon mengajarkan bahwa persahabatan dengan Allah adalah hak istimewa yang dimiliki setiap orang yang datang kepada-Nya melalui Yesus Kristus. Persahabatan ini bukan hanya sekadar perasaan, tetapi sebuah kenyataan spiritual yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui iman, doa, dan ketaatan.

Kesimpulan.

Menjadi sahabat karib Allah adalah salah satu panggilan tertinggi dalam kehidupan Kristen. Dari teladan Abraham, Musa, hingga ajaran Yesus Kristus, kita melihat bahwa persahabatan dengan Allah dibangun di atas dasar iman, ketaatan, kasih, dan kasih karunia. Para teolog seperti John Stott, John Calvin, Dietrich Bonhoeffer, dan Timothy Keller menekankan bahwa persahabatan ini tidak hanya melibatkan hubungan pribadi yang akrab dengan Allah, tetapi juga mempengaruhi bagaimana kita hidup di dunia ini, terutama dalam cara kita mengasihi dan melayani sesama.

Sebagai sahabat Allah, kita diundang untuk berjalan bersama-Nya, berbicara kepada-Nya dalam doa, mendengarkan petunjuk-Nya, dan hidup dalam kebenaran serta kasih yang Dia nyatakan kepada kita melalui Yesus Kristus. Persahabatan ini adalah anugerah yang luar biasa, yang membawa kita pada hubungan yang penuh dengan sukacita, kedamaian, dan pengharapan kekal bersama Allah.

Next Post Previous Post