Tuhan Allah: Kejadian 2:4-22

Tuhan Allah: Kejadian 2:4-22

Pendahuluan:

Dalam Kejadian 2:4-22, kita melihat peran Tuhan Allah (YHWH Elohim) dalam penciptaan manusia dan dunia tempat ia tinggal. Bagian ini bukan hanya menceritakan tentang penciptaan dalam aspek yang lebih terperinci, tetapi juga menunjukkan hubungan Allah dengan manusia dalam bentuk perjanjian dan pemeliharaan-Nya.

“Inilah riwayat langit dan bumi ketika mereka diciptakan, pada waktu TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit,” (Kejadian 2:4, AYT)

Nama "Tuhan Allah" (YHWH Elohim) dalam pasal ini memiliki makna yang sangat dalam. Elohim menekankan kuasa Allah sebagai Pencipta, sementara YHWH menekankan sifat pribadi-Nya dalam relasi perjanjian dengan manusia. Artikel ini akan menguraikan makna dari istilah Tuhan Allah dalam konteks penciptaan, perjanjian, serta penafsiran dari beberapa teolog Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, Louis Berkhof, dan R.C. Sproul.

I. Makna "Tuhan Allah" dalam Kejadian 2:4-22

1. Nama YHWH Elohim: Allah yang Berdaulat dan Berelasi

Dalam Kejadian 1, Allah disebut sebagai Elohim, yang menekankan kuasa dan keagungan-Nya dalam penciptaan. Namun, dalam Kejadian 2, istilah yang digunakan adalah YHWH Elohim, yang menggabungkan nama perjanjian Allah (YHWH) dengan *sebutan kuasa-Nya sebagai Pencipta (Elohim).

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan bahwa penggunaan dua nama ini dalam satu konteks menunjukkan bahwa Allah bukan hanya Allah yang transenden dan berkuasa, tetapi juga Allah yang dekat dan berhubungan dengan umat-Nya.

“Allah tidak hanya menciptakan manusia dan meninggalkannya begitu saja, tetapi Dia juga berelasi dengan manusia dalam kasih dan perjanjian.” – Herman Bavinck

John Calvin dalam Commentary on Genesis menekankan bahwa YHWH Elohim menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan atas ciptaan-Nya, tetapi juga Gembala yang memelihara umat-Nya dalam kasih dan kebenaran.

II. Penciptaan dan Pemeliharaan Tuhan Allah

1. Penciptaan Manusia: Debu dan Napas Allah

“Kemudian, TUHAN Allah membentuk manusia dari debu tanah dan mengembuskan napas kehidupan ke dalam lubang hidungnya sehingga manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kejadian 2:7)

Di sini, Allah digambarkan membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas kehidupan ke dalamnya. Dua aspek ini menunjukkan dua realitas manusia:

  1. Debu tanah → menunjukkan kelemahan dan ketergantungan manusia kepada Allah.
  2. Napas Allah → menunjukkan bahwa hidup manusia berasal dari Allah sendiri.

Louis Berkhof dalam Systematic Theology menjelaskan bahwa ini mencerminkan doktrin Providensia Allah, yaitu bagaimana Allah menopang dan memelihara manusia dengan kuasa-Nya.

“Manusia diciptakan bukan hanya dari materi, tetapi juga memiliki jiwa yang hidup, yang berasal dari Allah sendiri.” – Louis Berkhof

2. Taman Eden: Tempat Berkat dan Ketaatan

“Lalu, TUHAN Allah membuat sebuah taman di sebelah timur, di Eden, dan di sana Dia menempatkan manusia yang telah dibentuk-Nya itu.” (Kejadian 2:8)

Taman Eden bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga melambangkan tempat persekutuan antara Allah dan manusia.

John Calvin menafsirkan taman ini sebagai simbol perjanjian antara Allah dan manusia, di mana manusia dipanggil untuk hidup dalam ketundukan kepada kehendak Allah.

“Eden adalah gambaran dari berkat Allah, tetapi juga tempat ujian ketaatan manusia.” – John Calvin

3. Pohon Kehidupan dan Pohon Pengetahuan

“Dari dalam tanah, TUHAN Allah menumbuhkan segala jenis pohon yang enak dilihat dan baik untuk makanan. Pohon kehidupan juga ada di tengah-tengah taman itu beserta pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat.” (Kejadian 2:9)

Dua pohon yang disebutkan dalam ayat ini memiliki makna simbolis:

  • Pohon kehidupan → Melambangkan anugerah Allah yang memberikan hidup kekal.
  • Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat → Melambangkan ujian bagi manusia dalam hal ketaatan kepada Allah.

R.C. Sproul dalam The Holiness of God menjelaskan bahwa keberadaan dua pohon ini adalah bentuk kedaulatan Allah dalam menentukan standar moral, di mana manusia harus tunduk kepada hukum-Nya.

“Manusia diciptakan dengan kehendak bebas, tetapi tetap berada dalam otoritas Allah yang menentukan apa yang benar dan salah.” – R.C. Sproul

III. Perjanjian antara Tuhan Allah dan Manusia

1. Perintah Tuhan Allah kepada Manusia

“Kemudian, TUHAN Allah memberikan perintah kepada manusia itu, firman-Nya, ‘Kamu boleh makan dari segala pohon apa yang ada di taman ini, tetapi kamu jangan makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, sebab pada hari kamu memakannya, kamu pasti akan mati.’” (Kejadian 2:16-17)

Di sini kita melihat adanya Perjanjian Perbuatan (Covenant of Works), di mana manusia diberikan tanggung jawab moral untuk menaati Allah. Jika manusia taat, ia akan hidup. Jika melanggar, ia akan mati.

John Calvin menyebut perintah ini sebagai ujian iman manusia untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya kepada Allah.

“Allah menghendaki manusia hidup dengan iman, percaya kepada kebaikan-Nya, dan tidak mencari hikmat di luar kehendak-Nya.” – John Calvin

IV. Penciptaan Perempuan dan Institusi Pernikahan

1. Ketidaksempurnaan Manusia Tanpa Pendamping

“Kemudian, TUHAN Allah berfirman, ‘Tidak baik kalau manusia itu sendiri saja. Aku akan membuat baginya, penolong yang sepadan dengannya.’” (Kejadian 2:18)

Allah menciptakan manusia untuk hidup dalam relasi yang mencerminkan persekutuan dalam Tritunggal. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri, tetapi dalam komunitas dan relasi yang harmonis.

Herman Bavinck menekankan bahwa penciptaan perempuan bukan hanya sebagai pendamping, tetapi sebagai penolong yang sepadan, yang memiliki martabat yang sama di hadapan Allah.

“Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk mencerminkan kemuliaan Allah, masing-masing dengan perannya yang unik, tetapi sama dalam martabat.” – Herman Bavinck

2. Pernikahan sebagai Institusi Ilahi

“Tulang rusuk, yang telah TUHAN Allah ambil dari manusia itu, dibuat-Nya menjadi seorang perempuan dan dibawa-Nya kepada manusia itu.” (Kejadian 2:22)

Pernikahan dalam Kejadian 2 adalah institusi pertama yang ditetapkan oleh Allah, yang menjadi dasar hubungan antara laki-laki dan perempuan.

R.C. Sproul menjelaskan bahwa pernikahan bukan hanya kontrak sosial, tetapi sebuah perjanjian kudus yang mencerminkan hubungan Kristus dengan gereja.

“Pernikahan adalah simbol dari kasih setia Allah kepada umat-Nya, yang di dalamnya terdapat kesatuan, komitmen, dan anugerah.” – R.C. Sproul

Kesimpulan

Dalam Kejadian 2:4-22, kita melihat bahwa Tuhan Allah (YHWH Elohim) adalah Allah yang berdaulat, penuh kasih, dan setia dalam perjanjian-Nya dengan manusia.

Teolog-teolog Reformed seperti Calvin, Bavinck, Berkhof, dan Sproul menegaskan bahwa Allah tidak hanya menciptakan manusia, tetapi juga berelasi dengannya, memberikan perintah, dan menetapkan institusi pernikahan sebagai bagian dari rencana-Nya.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk:

  1. Hidup dalam ketundukan kepada Tuhan Allah
  2. Memahami perjanjian dan kehendak-Nya bagi kita
  3. Menghormati institusi yang telah Allah tetapkan

“TUHAN Allah adalah Gembala kita, yang tidak hanya menciptakan tetapi juga memelihara dan membimbing kita dalam kasih-Nya yang kekal.”

Next Post Previous Post