Galatia 2:12: Kompromi Petrus, Konfrontasi Paulus, dan Kesucian Injil

Galatia 2:12: Kompromi Petrus, Konfrontasi Paulus, dan Kesucian Injil

Pendahuluan

Peristiwa dalam Galatia 2:12 adalah salah satu momen paling dramatis dalam sejarah gereja mula-mula. Di sini, Rasul Paulus mengkonfrontasi Rasul Petrus (Kefas) secara terbuka karena sikapnya yang inkonsisten terhadap jemaat non-Yahudi.

"Karena sebelum orang-orang tertentu dari kalangan Yakobus datang, Kefas sudah biasa makan bersama orang-orang bukan Yahudi. Namun, ketika mereka datang, ia mulai undur dan memisahkan diri karena takut kepada kelompok orang yang bersunat." (Galatia 2:12, AYT)

Ayat ini bukan hanya kisah konflik personal, tetapi refleksi penting tentang teologi Injil, keberanian moral, dan bahaya legalisme dalam komunitas Kristen. Dalam teologi Reformed, perikop ini menyoroti keunggulan Injil anugerah dan pentingnya keteguhan dalam mempertahankan kebenaran doktrinal terhadap tekanan budaya atau agama.

Dalam artikel ini, kita akan mengkaji secara mendalam makna Galatia 2:12 berdasarkan pemikiran para teolog Reformed seperti John Calvin, R.C. Sproul, Herman Ridderbos, John Stott, dan Louis Berkhof.

Latar Belakang Historis

Galatia adalah wilayah di Asia Kecil di mana Paulus pernah memberitakan Injil dan mendirikan gereja-gereja. Setelah Paulus pergi, beberapa pengajar Yahudi Kristen datang dan mengajarkan bahwa untuk menjadi Kristen sejati, seseorang harus mematuhi hukum Musa — termasuk sunat.

Surat Galatia ditulis Paulus sebagai respons terhadap ancaman serius ini. Ia menegaskan bahwa pembenaran tidak datang melalui hukum Taurat, tetapi hanya oleh iman dalam Kristus (Galatia 2:16).

Peristiwa di Galatia 2:11-14 terjadi sebelumnya di Antiokhia, di mana Paulus secara terbuka menegur Petrus karena ketidakkonsistenannya dalam berelasi dengan orang non-Yahudi.

Eksposisi Galatia 2:12

1. “Sebelum orang-orang tertentu dari kalangan Yakobus datang...”

John Calvin menjelaskan bahwa orang-orang ini bukan diutus langsung oleh Yakobus (pemimpin gereja di Yerusalem), tetapi berasal dari kalangan yang mengidentifikasi diri dengan Yakobus, kemungkinan besar kelompok Yahudi Kristen yang sangat menekankan ketaatan terhadap hukum Yahudi.

Penting dicatat bahwa kehadiran mereka membawa tekanan sosial dan religius. Petrus, yang sebelumnya bersikap inklusif terhadap orang bukan Yahudi, mulai berubah sikap karena kehadiran mereka.

2. “Kefas sudah biasa makan bersama orang-orang bukan Yahudi.”

Petrus, setelah penglihatannya di Kisah Para Rasul 10 tentang Kornelius, telah memahami bahwa Injil melintasi batas-batas etnis. Ia makan bersama orang bukan Yahudi — sebuah tindakan yang, bagi Yahudi taat, dianggap menajiskan.

Namun tindakan Petrus menunjukkan penerimaan Injil sejati: bahwa dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan non-Yahudi (Efesus 2:14-16).

Herman Ridderbos menekankan bahwa ini adalah simbol utama dari kesatuan gereja: perjamuan makan bersama mencerminkan persekutuan Injil yang egaliter.

3. “Namun, ketika mereka datang, ia mulai undur dan memisahkan diri...”

Kata “undur” dan “memisahkan diri” (Yunani: aphorizo) menunjukkan tindakan disengaja dan progresif. Petrus secara perlahan menghindari persekutuan dengan orang non-Yahudi agar tidak mendapat tekanan dari kelompok Yahudi Kristen.

R.C. Sproul menekankan bahwa ini adalah bentuk kemunafikan rohani (hypokrisis) — suatu tindakan eksternal yang tidak sesuai dengan keyakinan internal. Petrus tahu bahwa persekutuan dalam Injil mencakup semua bangsa, tetapi ia berkompromi demi penerimaan kelompoknya.

4. “Karena takut kepada kelompok orang yang bersunat.”

Motivasi dari perubahan sikap Petrus adalah “takut”. Ini menunjukkan bahwa bahkan seorang rasul seperti Petrus bisa terpengaruh oleh tekanan sosial dan gagal berdiri teguh dalam kebenaran.

Dalam teologi Reformed, ini menggambarkan realitas dosa sisa (remaining sin) dalam diri orang percaya. Meskipun sudah dibenarkan, orang percaya masih bisa jatuh dalam dosa, termasuk ketakutan dan kompromi.

John Stott mencatat bahwa ini bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi telah menjadi ancaman terhadap kebenaran Injil — karena tindakan Petrus memberi kesan bahwa non-Yahudi hanya bisa diterima jika mengikuti hukum Yahudi.

Implikasi Teologis

1. Keutuhan Injil Dipertaruhkan

Louis Berkhof menegaskan bahwa jika tindakan Petrus dibiarkan, maka inti Injil — yaitu keselamatan oleh anugerah melalui iman — akan ternoda.

Paulus tidak sedang berdebat soal etika makan, tetapi tentang dasar pembenaran. Injil tidak boleh dikaburkan oleh persyaratan etnis atau legalistik.

2. Keteguhan dalam Doktrin Adalah Kasih Sejati

R.C. Sproul menyatakan bahwa konfrontasi Paulus terhadap Petrus adalah tindakan kasih yang sejati. Lebih baik menegur secara terbuka demi mempertahankan Injil, daripada membiarkan umat Allah tersesat.

Ini meneguhkan prinsip Semper Reformanda — gereja harus terus diperbaharui dan dikoreksi oleh Firman Allah, bahkan jika itu berarti menegur pemimpin rohani.

3. Legalism vs Grace: Perjuangan Sepanjang Sejarah

Herman Bavinck menggarisbawahi bahwa kecenderungan legalisme — menambahkan syarat manusiawi pada keselamatan — adalah ancaman utama Injil sepanjang sejarah gereja.

Galatia 2:12 menjadi contoh klasik bahwa legalisme bisa merasuk bahkan di kalangan pemimpin gereja, dan harus dilawan dengan kebenaran kasih karunia Allah.

Tema Utama Teologi Reformed dalam Galatia 2:12

1. Sola Fide (Pembenaran oleh Iman Saja)

Penolakan terhadap keharusan sunat dan hukum Yahudi menegaskan bahwa keselamatan bukan karena hukum, tetapi iman kepada Kristus saja.

2. Sola Gratia (Anugerah Allah Saja)

Kompromi Petrus memberi kesan bahwa manusia harus memenuhi syarat tertentu untuk diterima Allah. Paulus menolak ini, dan menegaskan bahwa penerimaan Allah sepenuhnya karena kasih karunia.

3. Kesatuan Tubuh Kristus

Tindakan Petrus merusak kesatuan gereja antara Yahudi dan non-Yahudi. Teologi Reformed menekankan bahwa dalam Injil, dinding pemisah telah dihancurkan (Efesus 2:14).

4. Otoritas Firman di Atas Jabatan

Paulus menunjukkan bahwa kebenaran Injil lebih tinggi daripada kedudukan rasuli sekalipun. Ini meneguhkan prinsip Sola Scriptura — bahwa Firman Allah adalah otoritas tertinggi.

Aplikasi Praktis Galatia 2:12

1. Waspadai Tekanan Sosial dalam Komunitas Kristen

Ketakutan akan penolakan sosial bisa membuat kita mengkompromikan kebenaran. Kita dipanggil untuk hidup berdasarkan Injil, bukan popularitas.

2. Tegur dengan Kasih Demi Injil

Ketika melihat ketidaksetiaan terhadap Injil, kita harus menegur dengan kasih, bukan demi menang debat, tetapi demi menjaga kemurnian Injil.

3. Jangan Tambahkan Persyaratan pada Injil

Kita harus berhati-hati agar tidak mengubah Injil menjadi sistem yang penuh syarat. Injil harus diberitakan murni: anugerah Allah dalam Kristus, diterima hanya oleh iman.

4. Jadilah Teladan Konsistensi Injil

Seperti Petrus, kita bisa gagal menunjukkan Injil melalui tindakan. Marilah kita menjadi teladan, bukan hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam tindakan yang mencerminkan kasih karunia.

Kesimpulan

Galatia 2:12 adalah panggilan yang kuat untuk:

  1. Menjaga kemurnian Injil dari legalisme dan tekanan budaya.

  2. Berani berdiri bagi kebenaran, bahkan terhadap otoritas tinggi.

  3. Menjadi konsisten antara keyakinan dan perbuatan.

  4. Menyadari bahwa hanya anugerah Allah, bukan hukum atau tradisi, yang menyelamatkan.

Dalam terang teologi Reformed, ayat ini meneguhkan komitmen kita pada sola fide, sola gratia, dan sola scriptura, sambil mengingatkan kita untuk rendah hati dan tetap waspada terhadap kecenderungan kompromi.

Next Post Previous Post