Kekudusan Allah: Nahum 1:6

Kekudusan Allah: Nahum 1:6

Pendahuluan

Kekudusan Allah sering menjadi tema yang ditekankan dalam seluruh Alkitab, namun juga menjadi aspek yang paling menakutkan sekaligus menghibur bagi umat manusia. Dalam Nahum 1:6, gambaran tentang kekudusan Allah ditampilkan dalam bentuk yang penuh kuasa, membangkitkan rasa gentar, sekaligus memperlihatkan keindahan moral dari Allah yang sepenuhnya suci. Ayat ini tidak hanya menunjukkan murka Allah atas dosa, tetapi juga mengajarkan bahwa kekudusan-Nya adalah dasar dari penghakiman yang adil dan kasih yang murni.

Artikel ini akan mengupas Nahum 1:6 secara ekspositori dengan pendekatan teologi Reformed dan menjelaskan bagaimana kekudusan Allah menuntut penghormatan, pertobatan, serta pengharapan di dalam anugerah.

Teks Nahum 1:6 (TB)

"Siapakah yang tahan menghadapi gemas-Nya? Dan siapakah yang tahan terhadap murka-Nya yang menyala? Kehangatan amarah-Nya tercurah seperti api dan gunung-gunung pun runtuh di hadapan-Nya."

Latar Belakang Historis dan Teologis

Kitab Nahum berbicara tentang penghakiman Allah atas bangsa Asyur, khususnya kota Niniwe. Setelah pertobatan semu di masa Yunus, Niniwe kembali kepada kekerasan, penindasan, dan penyembahan berhala. Nahum diutus untuk menyampaikan bahwa Allah tidak akan membiarkan dosa tak dihukum. Namun, lebih dalam dari sekadar penghakiman historis, pesan Nahum mengarah pada pewahyuan karakter Allah: kekudusan-Nya yang tidak mentoleransi kejahatan.

John Calvin mencatat bahwa:

"Kekudusan Allah membuat-Nya tidak dapat berdamai dengan dosa. Itu bukan karena Ia tidak mengasihi manusia, tetapi karena Ia mengasihi kebenaran dan keadilan secara sempurna."

Eksposisi Nahum 1:6

1. “Siapakah yang tahan menghadapi gemas-Nya?”

Pertanyaan retoris ini menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat berdiri tegak di hadapan kekudusan Allah yang sedang murka terhadap dosa. Kekudusan Allah bukan hanya atribut moral, melainkan juga kuasa aktif yang menolak dan menghancurkan dosa.

Menurut Stephen Charnock dalam The Existence and Attributes of God, “Kekudusan adalah atribut utama Allah yang memisahkan-Nya dari segala ciptaan yang berdosa. Ia adalah terang yang tidak dapat didekati oleh manusia berdosa tanpa perantaraan anugerah.”

Ayat ini dengan jelas menampilkan kekudusan Allah sebagai kekuatan yang tak dapat ditolak ketika Ia menghadapi kejahatan. Ini mengingatkan kita akan peristiwa di Sinai ketika umat Israel ketakutan terhadap nyala dan gemuruh hadirat Allah (Keluaran 19:16-20).

2. “Dan siapakah yang tahan terhadap murka-Nya yang menyala?”

Murka Allah dalam teologi Reformed tidak dipandang sebagai luapan emosi yang tidak terkendali, tetapi sebagai manifestasi kekudusan-Nya terhadap dosa. Dalam kekudusan-Nya, Allah tidak bisa mentolerir ketidakadilan.

R.C. Sproul menulis dalam The Holiness of God:

"Murka Allah bukan kebalikan dari kasih-Nya. Murka adalah ekspresi kasih-Nya terhadap kebenaran dan kebencian-Nya terhadap kejahatan. Karena Allah adalah kudus, maka Ia pasti murka terhadap dosa."

Kata “menyala” menunjukkan intensitas murka ini, yang bersumber dari kekudusan moral Allah. Ini juga menjadi pengingat bahwa kekudusan bukanlah sesuatu yang pasif—itu adalah kekuatan aktif yang bekerja dalam penghakiman maupun penyucian.

3. “Kehangatan amarah-Nya tercurah seperti api…”

Perumpamaan api sangat sering digunakan dalam Kitab Suci untuk menggambarkan kekudusan Allah. Dalam Imamat 10:2, api dari hadirat Tuhan membakar Nadab dan Abihu karena mereka membawa api asing ke hadapan-Nya. Di sini, api menjadi simbol kekudusan yang menghukum penyembahan yang tidak benar.

Jonathan Edwards dalam karya terkenalnya The Justice of God in the Damnation of Sinners mengatakan:

“Kekudusan Allah seperti api yang membakar segala sesuatu yang tidak sesuai dengan-Nya. Ini adalah kekudusan yang menyucikan orang benar dan menghancurkan orang fasik.”

Dalam konteks Nahum, api bukan hanya simbol murka, tetapi kekudusan yang aktif menghancurkan Asyur karena ketidakmurnian dan kejahatannya.

4. “…dan gunung-gunung pun runtuh di hadapan-Nya.”

Gunung-gunung sering kali dipakai dalam Alkitab sebagai lambang kekuatan, stabilitas, dan keteguhan. Namun, di hadapan Allah yang kudus, tidak ada yang kukuh. Bahkan gunung-gunung runtuh.

Matthew Henry menafsirkan bagian ini:

“Jika hal-hal yang paling kokoh dan kuat pun runtuh di hadapan kekudusan Allah, betapa lebih lemah lagi manusia berdosa yang mencoba berdiri di hadapan-Nya tanpa Kristus?”

Kekudusan Allah mengguncang ciptaan, menghancurkan tatanan dunia yang berdosa, dan membangun kerajaan kebenaran.

Kekudusan Allah dalam Teologi Reformed

1. Kekudusan sebagai Atribut Terutama

Dalam kerangka teologi Reformed, kekudusan Allah dipandang sebagai atribut utama yang mendasari semua atribut lainnya. Allah tidak hanya berkuasa, Ia kudus dalam kuasa-Nya; tidak hanya pengasih, tetapi kudus dalam kasih-Nya.

Louis Berkhof menulis:

“Kekudusan adalah yang paling mendasar dari semua atribut Allah. Kekudusan adalah keindahan moral-Nya yang sempurna dan menjadi dasar dari penghakiman maupun kasih karunia.”

2. Kekudusan Allah dan Dosa Manusia

Dosa adalah pelanggaran terhadap kekudusan Allah. Dalam sistem Reformed, total depravity (kerusakan total manusia) menunjukkan bahwa manusia dalam keadaan jatuh tidak bisa mendekati Allah yang kudus kecuali melalui perantaraan anugerah.

Teolog Reformed seperti Cornelius Van Til menekankan bahwa kekudusan Allah menciptakan jurang antara manusia dan Allah, dan hanya melalui Kristus jurang itu dapat diseberangi.

3. Kekudusan dan Penghakiman

Nahum 1:6 menunjukkan bahwa kekudusan Allah bukanlah sesuatu yang netral, melainkan kekuatan aktif yang menuntut penghukuman atas dosa. Ini ditegaskan dalam pengajaran Reformed tentang penghakiman akhir, di mana kekudusan Allah dinyatakan secara sempurna.

Westminster Larger Catechism 113 menyatakan bahwa:

"Kekudusan Allah adalah alasan Ia membenci dan menghukum dosa, serta menghendaki umat-Nya untuk hidup kudus."

Kekudusan Allah dan Kristus

Dalam Kristus, kekudusan Allah dinyatakan secara sempurna. Ia adalah Anak yang dikuduskan oleh Bapa (Yohanes 10:36) dan menjadi korban kudus yang memperdamaikan manusia berdosa dengan Allah yang suci.

Yesaya melihat kekudusan Allah di bait suci dan berseru, “Celakalah aku!” (Yesaya 6:5). Namun, melalui bara dari mezbah (melambangkan pengampunan melalui korban), bibirnya disucikan. Inilah gambaran Injil: kekudusan Allah yang membinasakan dosa, namun juga menyucikan orang berdosa melalui pengorbanan Kristus.

Aplikasi Praktis dari Kekudusan Allah

1. Takut akan Allah yang Kudus

Mengetahui bahwa Allah adalah kudus seharusnya membangkitkan rasa takut yang kudus dalam diri kita. Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat (Amsal 9:10). Bukan ketakutan yang menjauh, tetapi ketakutan yang mendekat dengan hormat.

2. Bertobat dari Dosa

Kekudusan Allah menuntut pertobatan. Seperti Niniwe pertama kali bertobat di masa Yunus, demikianlah kita dipanggil untuk meninggalkan dosa dan mendekat kepada Allah yang kudus melalui pertobatan dan iman.

3. Menjadi Kudus dalam Hidup

1 Petrus 1:16 berkata, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Ini bukan hanya panggilan moral, tetapi cerminan dari status kita sebagai anak-anak Allah. Kekudusan hidup adalah tanda bahwa kita mengenal Allah yang kudus.

4. Bersandar kepada Kristus

Tanpa Kristus, kekudusan Allah hanya akan menjadi murka yang membinasakan. Tetapi di dalam Kristus, kekudusan Allah menjadi sumber pengharapan dan pemulihan. Hanya di bawah naungan darah Kristus, kita dapat berani menghampiri Allah yang kudus.

Penutup

Nahum 1:6 memperlihatkan bahwa kekudusan Allah bukan hanya konsep teologis abstrak, tetapi realitas yang aktif dalam sejarah manusia. Kekudusan-Nya menghakimi dosa, namun juga memelihara umat yang berlindung kepada-Nya.

Dalam terang teologi Reformed, ayat ini menekankan bahwa kekudusan Allah tidak dapat dipisahkan dari penghakiman dan anugerah. Kita diundang untuk takut akan Tuhan, bertobat dari dosa, hidup kudus, dan bersandar penuh kepada Kristus—satu-satunya pengantara antara manusia berdosa dan Allah yang kudus.

“Siapakah yang tahan menghadapi gemas-Nya?” — Tidak seorang pun. Tetapi di dalam Kristus, kita tidak hanya bertahan, melainkan beroleh damai dengan Allah yang kudus.

Next Post Previous Post